LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua

Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka jendela ruang kerjaku, aroma tanah basah dan daun busuk menerobos masuk, menciptakan kesan seolah alam sedang mengubur sesuatu yang tak ingin ditemukan. Di kejauhan, lonceng gereja tua berdentang pelan, menghantam sunyi dengan ritme kematian yang lambat dan berulang.

Aku telah membaca ulang jurnal ayahku. Setiap kalimat di dalamnya terasa seperti desahan terakhir dari seorang pria yang tahu ia sedang dikuntit oleh kegelapan yang tak dapat dijelaskan. Jurnal itu bukan sekadar catatan, tapi jeritan pelan dari seseorang yang kehilangan akal sehatnya sedikit demi sedikit.

“Lukisan itu membisikkan sesuatu di malam-malam tertentu. Bukan suara, tapi kehendak. Seolah ia hidup, dan aku hanya wadahnya.”

Kata-kata itu menempel di benakku seperti jamur yang tumbuh di dinding lembap. Aku merasa seperti sedang berjalan di antara dua alam: dunia nyata dan sesuatu yang jauh lebih purba, lebih gelap, lebih mendalam—tempat di mana ingatan, dosa, dan kematian saling berbisik.

Arman datang sore itu, wajahnya letih namun dipenuhi tekad. Ia membawa satu lagi artefak: bingkai kosong dari masa lalu, yang ditemukan di ruang penyimpanan galeri tua. Ia yakin itu milik ayahku.

“Ada ukiran simbol di bagian belakangnya. Sejenis segel, atau mungkin mantra,” katanya, menunjukkan goresan-goresan halus yang hampir tak terlihat.

Segel itu membentuk lingkaran di mana huruf-huruf Latin bercampur dengan aksara Jawa kuno. Dan saat aku menyentuhnya, denyut nadi di ujung jariku melonjak. Ada rasa dingin yang menjalar cepat, bukan dingin biasa—dingin yang membuat jantung berdegup lebih lambat, seolah tubuh bersiap menyambut sesuatu yang tak seharusnya hadir di dunia ini.

Malam pun datang lebih cepat dari biasanya.

Aku menyalakan lilin dan duduk di depan lukisan itu. Bayangan dari api yang menari di dinding membuat lukisan tampak bergerak. Warna merah tua di sudut-sudut lukisan seolah menjadi genangan darah yang belum mengering. Aku mendengar suara langkah dari lantai atas, padahal aku tahu aku sendirian.

Saat aku memandang lebih dalam, wajah seseorang mulai muncul samar di dalam lukisan. Tidak sepenuhnya jelas, namun cukup untuk menimbulkan rasa takut mendalam: mata itu... mata itu seperti mengenalku.

Aku mulai menyusun kronologi: ayahku mati setelah menemukan sesuatu; Arman mencium kejanggalan dalam pola; lukisan itu muncul kembali setelah bertahun-tahun terkubur; dan kini, setiap orang yang menyentuhnya mulai melihat hal yang sama: kilasan masa lalu, jejak yang hilang, bisikan dari kanvas.

Namun, aku tahu ini bukan sekadar teka-teki logis. Ini adalah jiwa yang terbelah, batin yang perlahan digerogoti oleh pengetahuan terlarang. Karena semakin dalam aku menyelam ke dalam misteri lukisan itu, semakin aku merasa bahwa aku bukan sekadar penelusur kebenaran, melainkan bagian dari narasinya—subjek dari kegilaan yang diwariskan.

Aku bermimpi malam itu. Dalam mimpi, aku berada di ruangan tua, dindingnya dipenuhi lukisan tanpa wajah. Setiap bingkai memancarkan aura kesedihan yang tak tertahankan. Dan di tengah ruangan, berdiri ayahku. Tapi wajahnya tak lagi seperti yang kuingat. Itu adalah wajah tanpa ekspresi, datar, seperti topeng yang baru saja dipahat oleh penderitaan.

“Leo,” katanya, suaranya serak dan berat, “jangan biarkan lukisan itu selesai.”

Aku terbangun dengan napas terengah dan bantal yang basah oleh keringat. Lonceng gereja berdentang lima kali. Aku menoleh ke arah lukisan di ruang kerja—dan untuk pertama kalinya, aku melihat goresan tambahan. Sebuah garis vertikal di pojok kiri bawah yang sebelumnya tidak ada. Seolah seseorang telah melanjutkan lukisan itu... saat aku tidur.

Aku tahu kini, misteri ini tak hanya tentang masa lalu. Ia sedang berkembang, hidup, tumbuh—dan aku berada di pusat pusarannya.

Dan mungkin, hanya dengan membuka pintu kedua—pintu yang dijaga oleh ingatan tergelapku—aku bisa mengakhiri semua ini. Atau ikut terkubur bersama kebenaran yang tak semestinya dibangkitkan.

Bersambung...


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Tomb of the Listening Man – Cerita Horor Psikologis

Tomb of the Listening Man

Pada suatu malam yang tak memiliki waktu, ketika angin tak bernyanyi dan langit tak bergumam, aku duduk dalam rumah tua peninggalan ayahku — bangunan yang telah lama kehilangan denyutnya, seperti jantung yang terus berdetak namun sudah berhenti merasa. Di sanalah aku tinggal, dalam keheningan yang kupelihara dengan ketakutan dan cinta yang sama besarnya.

Orang-orang menyebutku pendiam, penyendiri, bahkan gila. Aku tidak menyangkal salah satunya. Gila, barangkali — tetapi bukan oleh kesalahan pikiran, melainkan karena terlalu lama mendengarkan. Ya, aku adalah pendengar. Dan dengarlah, karena inilah kisah tentang bagaimana telingaku, bukan hatiku, yang menyeretku ke jurang yang tidak bisa lagi kujelaskan dengan bahasa manusia.

Rumah ini, dengan lantai kayunya yang merengek saat diinjak dan jendela-jendela yang menatap kosong ke arah rawa yang sekarat, dulunya milik keluargaku. Kini hanya aku yang tersisa — bukan karena aku kuat, tapi karena aku diam.

Sudah bertahun-tahun aku tak menginjakan kaki keluar gerbang. Bukan karena tubuhku rapuh, tapi karena dunia di luar terlalu ribut, terlalu berisik dengan suara yang bukan suara. Bisikan. Desas-desus. Pertanyaan yang tak pernah benar-benar ditanyakan, tapi terus bergaung di sela-sela kehidupan.

Aku mendengarnya pertama kali pada malam setelah pemakaman kakakku. Suaranya tidak datang dari satu arah, melainkan dari mana-mana: dari sela papan dinding, dari retakan langit-langit, dari lipatan waktu itu sendiri. Itu bukan suara manusia. Itu... bisikan. Bukan hanya satu, tapi banyak — seperti tangan-tangan kecil yang mencakar pelan sisi kewarasanku.

“Kenapa kau tak menangis?”
“Apa kau senang dia mati?”
“Kau yang seharusnya pergi, bukan dia…”

Aku tidak menjawab. Aku tidak pernah menjawab.
Aku hanya mendengar.

Hari-hariku berubah menjadi malam, dan malamku berubah menjadi ruang tak berbatas. Aku hidup dalam sepi, namun ditemani suara-suara yang tidak bisa kau tangkap dengan telinga biasa. Mereka tak pernah berhenti. Mereka mencakar pintu batinku seperti serigala lapar. Tapi aku tidak bangkit. Tidak pernah. Karena aku tahu: bila aku membuka pintu itu, aku akan kehilangan segalanya.

Aku menulis di dinding-dinding rumah dengan arang, puisi dan kutukan yang tidak dimengerti siapa pun. Kertas terlalu tipis untuk menyimpan derita, tapi kayu… kayu bisa menjerit bersama.

Suatu malam, saat bulan tampak seperti mata terbakar di langit dan angin tak berani menyentuh jendela, aku mendengar bisikan yang berbeda.

“I heard their whispers clawing at the door of my peace…”

 Itu bukan suara mereka. Itu… suaraku sendiri.

Dan aku terdiam. Karena kali ini, aku tak sedang mendengar — aku sedang didengar.

Bayangan di pojok ruangan menjadi lebih gelap dari biasanya. Mereka mulai bergerak, bukan hanya bersuara. Aku merasa keberadaan mereka mengental, seperti kabut yang berubah menjadi darah. Mereka datang tidak lagi sebagai desas-desus, tapi sebagai tamu yang tak diundang. Dan aku, sang pendengar, menjadi pusat panggilan mereka.

“Engkau sudah cukup lama diam,” kata mereka. “Kini, bukalah pintumu…”

Aku menggigil. Tapi aku tahu, pintu itu tak lagi bisa dikunci.

Aku turun ke ruang bawah tanah — tempat tak ada cahaya, tak ada jam, dan tak ada arah. Di sanalah aku menyimpan… suara. Ya, suara itu tidak hilang begitu saja. Aku menyimpannya dalam botol, dalam lukisan, dalam celah-celah retakan tanah. Aku menulis di batu bata dengan kuku hingga berdarah, hanya untuk mengingat: aku bukan milik mereka.

Tapi mereka sudah tahu. Mereka sudah menunggu.

Di sana, dalam gelap yang lebih dalam dari kematian, mereka berbisik bersamaan:

“For what is a soul, if not a tomb sealed against the noise of the living?”

Aku tertawa. Bukan karena lucu. Tapi karena kalimat itu… adalah doa terakhir yang kupunya.

Malam itu aku tak kembali ke kamar. Aku memaku pintu ruang bawah tanah dari dalam. Biarlah dinding ini jadi tulangku. Biarlah tanah ini jadi selimutku.

Aku tahu besok mereka akan mencari. Mertua, kerabat, orang-orang desa. Mereka akan mengetuk, lalu mendobrak. Tapi yang akan mereka temukan hanyalah rumah kosong — tanpa jiwa, tanpa suara.

Karena aku telah memilih menjadi makam. Dan makam tak menjawab panggilan dunia.

Catatan ditemukan di dinding ruang bawah tanah, ditulis dengan darah kering:

“I heard their whispers clawing at the door of my peace —
but I did not rise.
For what is a soul, if not a tomb
sealed against the noise of the living?”

– Tamat –


📖 Baca Cerita Lainnya:
🔗 Luka yang Bukan Milikku

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.

Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿 


📚 Review Buku: Selamatkan Anak-Anak oleh Neil Postman

📚 Review Buku: Selamatkan Anak-Anak oleh Neil Postman

Saat Anak-Anak Tak Lagi Punya Masa Kanak-Kanak

Pernah nggak, kamu melihat anak-anak zaman sekarang dan merasa... ada yang berbeda? Mereka cepat sekali dewasa — atau setidaknya, terlihat seperti itu. Mulai dari cara berpakaian, bahasa yang digunakan, sampai konten yang mereka konsumsi di media. Apa yang sebenarnya terjadi?

Itu juga yang jadi pertanyaan utama Neil Postman dalam bukunya yang berjudul “Selamatkan Anak-Anak.”

Buku ini membuka mataku tentang satu hal penting: bisa jadi, tanpa sadar, kita sedang menghapus masa kanak-kanak itu sendiri.


Apa Isi Buku Ini?

Neil Postman, seorang kritikus media asal Amerika, menulis buku ini sebagai refleksi atas perubahan besar dalam cara anak-anak tumbuh di era modern. Menurutnya, dulu masa kanak-kanak adalah fase yang punya batasan jelas. Anak-anak tidak langsung tahu urusan orang dewasa. Ada proses bertahap — dari belajar membaca, menyimak cerita, hingga pelan-pelan memahami kompleksitas hidup.

Tapi sekarang, terutama sejak hadirnya televisi (dan kini internet), semua batas itu runtuh. Anak-anak bisa mengakses konten dewasa sejak dini. Tidak perlu bisa membaca, tidak perlu pendampingan, hanya tinggal menyalakan layar.


Anak-Anak Tahu Terlalu Banyak, Terlalu Cepat

Postman menyebut televisi sebagai media yang “demokratis secara ekstrem” — artinya semua orang bisa mengakses apa saja, tanpa batas usia atau kesiapan mental. Ketika dulu pengetahuan dewasa dijaga dengan bahasa tulis yang butuh kemampuan membaca dan memahami, sekarang anak-anak hanya perlu menonton.

Buatku pribadi, ini pemikiran yang sangat relevan. Apalagi sekarang, anak-anak bahkan punya akses ke smartphone dan media sosial sejak usia dini. Mereka melihat kekerasan, konsumsi gaya hidup dewasa, bahkan drama politik — sebelum mereka tahu cara mengelola emosi mereka sendiri.


Refleksi: Apakah Kita Terlalu Cepat Mendorong Mereka Dewasa?

Aku jadi ingat masa kecilku. Main petak umpet, baca buku cerita bergambar, nonton kartun tiap Minggu pagi. Rasanya ada ruang untuk benar-benar jadi anak-anak — polos, penuh imajinasi, dan tumbuh tanpa tekanan dewasa.

Bandingkan dengan sekarang. Anak-anak berkompetisi di media sosial, merasa harus tampil keren, dan tahu istilah-istilah yang dulu baru kita pahami saat SMA.

Apa ini bentuk kemajuan? Atau justru kehilangan?


Siapa yang Perlu Membaca Buku Ini?

Menurutku, buku ini cocok untuk:

  • Orang tua yang ingin memahami dunia anak dari perspektif budaya dan media.

  • Guru dan pendidik yang ingin membangun ruang aman untuk tumbuh kembang anak.

  • Siapa pun yang peduli dengan generasi masa depan.

Postman tidak sekadar menyalahkan media. Ia mengajak kita berpikir lebih dalam: apakah kita masih menjaga “kesucian” masa kecil, atau justru menghapusnya demi kecepatan dan efisiensi?


 Menjaga Masa Kecil adalah Tanggung Jawab Bersama

“Jika masa kanak-kanak punah, yang hilang bukan hanya anak-anak, tapi juga harapan akan masa depan yang lebih baik.” – Neil Postman

Membaca Selamatkan Anak-Anak membuatku ingin lebih bijak — sebagai individu yang suatu saat bisa jadi orang tua, guru, atau sekadar bagian dari masyarakat. Karena menjaga anak-anak bukan cuma soal teknologi atau peraturan, tapi soal nilai-nilai yang kita rawat dan wariskan.


Kalau kamu sendiri, apa kenangan masa kecil yang paling kamu rindukan?
Dan bagaimana kamu ingin generasi setelah kita mengenal masa kecil mereka?


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #11Jejak yang Terlupakan [Cerita Misteri]

Jejak yang Terlupakan

Kabut pagi menggantung rendah di atas halaman rumah, menyelimuti rerumputan dengan embun yang berkilau redup di bawah cahaya matahari yang enggan terbit sepenuhnya. Aku berdiri di depan jendela ruang kerja, secangkir kopi hangat di tangan, menatap kosong ke arah pagar besi yang membatasi rumah tua ini dari dunia luar. Ada ketenangan yang mencurigakan pagi itu, seolah alam sendiri menahan napas, menyembunyikan sesuatu di balik sunyi yang terlalu sempurna.

Sudah seminggu sejak aku menemukan ukiran "M-R-T" di lukisan itu. Setiap malam sejak saat itu, pikiranku dipenuhi oleh potongan-potongan ingatan yang tak utuh—seperti pecahan cermin yang mencerminkan bayangan masa lalu tanpa bentuk yang jelas. Di antara mimpi dan kenyataan, sesosok bayangan pria tua dengan mantel abu-abu sering muncul, berdiri membelakangiku di lorong rumah ini, tak pernah bicara, hanya menatap lukisan itu dari kejauhan.

Hari itu, Arman kembali datang. Langkah kakinya di lorong kayu terdengar ringan namun tegas, seperti seseorang yang membawa kabar penting. Ia duduk tanpa banyak bicara dan meletakkan sebuah buku catatan tua di atas meja.

"Aku menemukannya di perpustakaan daerah, tersembunyi di antara arsip lama tentang sejarah seniman Indonesia," katanya. "Buku ini milik seseorang bernama Raden T. Prawira. Seorang pelukis yang menghilang secara misterius pada tahun 1979. Lihat halaman ini."

Aku membuka halaman yang ditunjuknya, dan di sana, terpampang sketsa kasar—siluet seorang pria dalam bak mandi, dengan pisau tergenggam di tangan kanan. Tepat di bawahnya tertulis sebuah catatan dalam bahasa Belanda yang telah menguning:

"Voor hen die het zien, zal de waarheid verschijnen."

"Untuk mereka yang melihat, kebenaran akan muncul," terjemahku pelan.

Arman menatapku dengan mata yang sulit disembunyikan kekhawatirannya. "Leo, aku yakin lukisanmu itu bukan sekadar karya seni. Ia mungkin semacam penyimpan—sebuah arsip psikologis atau bahkan spiritual. Seperti... pintu ke ingatan kolektif yang ingin dilupakan."

Aku mengangguk, walau hatiku belum sepenuhnya mengerti. Namun ada sesuatu dalam nada suara Arman yang membangkitkan rasa percaya. Aku membuka kembali dokumen lelang yang dulu ia bawa. Nama ayahku, Agung Baskara, kembali menari di hadapanku seperti bayang-bayang yang tak kunjung surut.

Aku teringat pada satu ruangan yang selama ini kutinggalkan—gudang kecil di belakang rumah. Ayah dulu melarangku masuk ke sana, dan setelah ia meninggal secara misterius, aku tak pernah punya keberanian untuk menyentuhnya. Tapi pagi itu, kaki ini seperti bergerak sendiri.

Gudang itu berdebu, gelap, dan berbau tanah yang lembap. Di antara tumpukan peti kayu, aku menemukan sebuah koper kulit tua yang terkunci. Dengan jemari gemetar, aku membongkarnya. Di dalamnya, tergeletak tumpukan surat, foto-foto usang, dan sebuah jurnal kulit yang sangat familiar.

Tulisannya rapi, khas ayahku.

Halaman-halaman awal berisi catatan tentang seni, koleksi pribadi, dan refleksi estetika. Namun makin ke belakang, tulisannya berubah. Lebih gelap. Lebih kacau. Ada entri tentang mimpi-mimpi aneh, suara-suara dari dalam lukisan, dan sosok pria yang terus mengintainya dari balik bingkai.

Satu kalimat terpaku di tengah halaman:

"Lukisan itu bukan tentang kematian, tapi tentang pengulangan. Ia menyimpan pola yang akan terus mencari korban berikutnya. Dan kali ini, mungkin anakku."

Tanganku bergetar. Napasku tercekat. Apakah ayah tahu bahwa ia akan mati karena lukisan itu? Apakah ini sebab ia tak pernah membiarkanku dekat dengannya?

Malam itu, aku duduk di depan lukisan, kali ini tak sekadar mengamati, tetapi mencoba mendengarkan. Bunyi detak jam dinding terdengar seperti gema langkah di koridor tak terlihat. Dan di tengah kesunyian itu, aku mulai menyadari... lukisan itu tak hanya mencerminkan kenangan, tapi membentuknya.

Setiap petunjuk adalah simpul dari kisah yang lebih besar, dan setiap benang yang terurai membawaku lebih dalam ke jalinan kenyataan yang sebelumnya tersembunyi. Kebenaran itu sendiri tampak berdenyut di balik bingkai lukisan, seolah hidup dalam diam, menanti untuk ditemukan oleh mata yang bersedia melihat lebih dalam dari sekadar warna dan bentuk. Di dinding rumah tua ini, kenyataan tampak menggeliat, seperti entitas yang sabar menunggu saatnya untuk berbicara kembali.

Aku belum menemukan semua potongan. Tapi untuk pertama kalinya, aku tahu arah pencarianku. Jejak masa lalu telah muncul kembali—bukan hanya dalam bentuk mimpi dan ketakutan, tetapi dalam bentuk nyata, menuntut untuk diurai. Dan aku siap menyusurinya, meski jalan itu mungkin tak memiliki ujung yang terang.

Karena terkadang, yang paling mengerikan bukanlah misteri itu sendiri, tapi kesadaran bahwa kita adalah bagian darinya.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #10 Potongan yang Mulai Menyatu

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:

🔗 -

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...