Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Yang Tak Pernah Selesai Dalam Kepala [Puisi]

Yang Tak Pernah Selesai Dalam Kepala

Aku ini, Nak,
orang yang pandai sekali mendengar.
Pandai mengangguk—bahkan saat hati sendiri sedang menjerit minta dipeluk.

Orang-orang datang padaku.
Mereka bercerita tentang luka-luka mereka,
tentang ayah yang tak pernah pulang,
tentang ibu yang terlalu sering menangis di dapur,
tentang cinta yang patah di ujung pesan tak terbalas.

Dan aku duduk di situ,
jadi tempat sampah yang sopan.
Tempat luka dibuang dan ditinggal pergi.

Tapi tahu, Nak?
Orang macam aku ini...
kalau mau cerita balik,
malah diam.

Karena kami takut.
Takut dibilang cengeng.
Takut dianggap terlalu rumit untuk dimengerti.
Takut dicap beban,
oleh orang-orang yang katanya “ada buat kita.”

Akhirnya aku hanya duduk sendiri,
di pojok kepala yang ramai oleh suara-suara tak diucapkan.

Aku ini, Nak,
Yang kalau bilang “nggak apa-apa,”
itu bukan karena tak ada apa-apa,
tapi karena tak tahu harus mulai dari mana.


📖 Baca Puisi Lainnya:
🔗 Di Dalam Dingin

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Di Dalam Dingin

Aku tunggu kau di sini,
di sudut ruang yang tak lagi punya nama.
Tangisku menggema,
tapi kau pergi—mengguncang pintu,
tak pernah menoleh.

Aku menjerit tanpa suara,
mencoba menyusup ke dalam hatimu,
tapi semua tertutup kabut.
Kenapa kau biarkan aku hanyut sendiri,
di laut kesedihan yang kau ciptakan?

Kupikir cinta itu hangat,
tapi kenapa sekarang ia menggigil?
Kudekap bayangmu,
tapi hanya dingin yang menyahut.
Di mana janjimu,
atau hanya aku yang percaya angin?

Aku benci memohon,
tapi aku rapuh tanpa tanganmu.
Dan kini aku tahu:
tak semua yang dicintai,
mencintai dengan cara yang sama.

Aku adalah hujan,
kau adalah dinding.
Airku habis membasahimu,
tapi kau tak pernah luluh.

Malam ini aku sendiri lagi.
Tidak ada sisa harapan,
hanya debu.

Di Ujung Jalan Itu

Malam melahirkan dingin, menusuk dada

Kita duduk berdua, tanpa kata - hanya

derak ranting kering jadi saksi.

Langit hitam, tak ada bintang

seperti dompet kita - kosong, berdebu,

ngganga.


"Besok makan apa?" tanyamu,

dengan mata lelah, tangan gemetar.

Aku ingin menjawab, tapi kata-kata itu

serasa batu, menyesak di tenggorokan.


Cinta ini, katamu dulu,

seperti api unggun - tak akan padam walau

badai menerjang.

Tapi lihatlah kita sekarang

api itu, kecil hampir mati

Kita pernah bermimpi tentang rumah kecil, 

di pinggir ladang padi,

anak-anak berlari di halaman,

tapi mimpi itu kini abu di telapak tangan.


"Aku lelah", gumammu

Aku tahu maksudmu. Lelah lapar, lelah

hidup.

Tapi aku tidak bisa membiarkan kita karam 

di laut kemiskinan yang menggulung -

gulung ini.


Di ujung jalan itu,

kita hanya punya satu pilihan

berjalan, meski dengan kaki luka, 

atau diam, menjadi batu.

Dan aku memilih berjalan.

Karena aku mencintaimu - bukan untuk hari ini,

tapi untuk sebuah fajar yang mungkin,

meski jauh,

pasti akan tiba.




Garis yang Pudar



Aku sekarat

Hari dimana aku merasakan lalah yang luarbiasa dan kejenuhan yang suram

Ke mana pun ku pergi kain kafan seolah menyelimutiku

Hidup begitu berat dan penuh penyesalan

Aku telah jatuh rendah ke dalam jurang kekecewaan

Apa yang bisa aku lakukan?

Segala sesuatu yang monoton

Jumlah jam yang sama yang harus dilewati

Aku bermimpi tentang semua hal

Semua hal yang telah terabaikan dari keberadaanku

Aku telah menjadi jenazah bahkan sebelum aku hidup

Jurang di Hadapan



Pikiran membimbingku untuk selalu sendiri dan telanjang

Pengginderaanku mati

Ketika aku belum sempat menertawai penderitaanku sendiri

Oh, berapa jam yang telah berlalu dalam kehidupanku?

Panjang dan membosankan untuk dipikirkan



Betapa masa kecilku penuh dengan mimpi

Orang gila malang yang tak punya ide pasti

Betapa luas

Ruang tak terbatas dalam jiwaku

Tenggelam berhadapan dengan cakrawala tanpa ujung



Oh, tapi ini bukan cakrawala tanpa ujung

Ini adalah jurang yang besar

Sebuah jurang tepat di hadapanku

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...