Tampilkan postingan dengan label Cerita Horor Psikologis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Horor Psikologis. Tampilkan semua postingan

Tomb of the Listening Man – Cerita Horor Psikologis

Tomb of the Listening Man

Pada suatu malam yang tak memiliki waktu, ketika angin tak bernyanyi dan langit tak bergumam, aku duduk dalam rumah tua peninggalan ayahku — bangunan yang telah lama kehilangan denyutnya, seperti jantung yang terus berdetak namun sudah berhenti merasa. Di sanalah aku tinggal, dalam keheningan yang kupelihara dengan ketakutan dan cinta yang sama besarnya.

Orang-orang menyebutku pendiam, penyendiri, bahkan gila. Aku tidak menyangkal salah satunya. Gila, barangkali — tetapi bukan oleh kesalahan pikiran, melainkan karena terlalu lama mendengarkan. Ya, aku adalah pendengar. Dan dengarlah, karena inilah kisah tentang bagaimana telingaku, bukan hatiku, yang menyeretku ke jurang yang tidak bisa lagi kujelaskan dengan bahasa manusia.

Rumah ini, dengan lantai kayunya yang merengek saat diinjak dan jendela-jendela yang menatap kosong ke arah rawa yang sekarat, dulunya milik keluargaku. Kini hanya aku yang tersisa — bukan karena aku kuat, tapi karena aku diam.

Sudah bertahun-tahun aku tak menginjakan kaki keluar gerbang. Bukan karena tubuhku rapuh, tapi karena dunia di luar terlalu ribut, terlalu berisik dengan suara yang bukan suara. Bisikan. Desas-desus. Pertanyaan yang tak pernah benar-benar ditanyakan, tapi terus bergaung di sela-sela kehidupan.

Aku mendengarnya pertama kali pada malam setelah pemakaman kakakku. Suaranya tidak datang dari satu arah, melainkan dari mana-mana: dari sela papan dinding, dari retakan langit-langit, dari lipatan waktu itu sendiri. Itu bukan suara manusia. Itu... bisikan. Bukan hanya satu, tapi banyak — seperti tangan-tangan kecil yang mencakar pelan sisi kewarasanku.

“Kenapa kau tak menangis?”
“Apa kau senang dia mati?”
“Kau yang seharusnya pergi, bukan dia…”

Aku tidak menjawab. Aku tidak pernah menjawab.
Aku hanya mendengar.

Hari-hariku berubah menjadi malam, dan malamku berubah menjadi ruang tak berbatas. Aku hidup dalam sepi, namun ditemani suara-suara yang tidak bisa kau tangkap dengan telinga biasa. Mereka tak pernah berhenti. Mereka mencakar pintu batinku seperti serigala lapar. Tapi aku tidak bangkit. Tidak pernah. Karena aku tahu: bila aku membuka pintu itu, aku akan kehilangan segalanya.

Aku menulis di dinding-dinding rumah dengan arang, puisi dan kutukan yang tidak dimengerti siapa pun. Kertas terlalu tipis untuk menyimpan derita, tapi kayu… kayu bisa menjerit bersama.

Suatu malam, saat bulan tampak seperti mata terbakar di langit dan angin tak berani menyentuh jendela, aku mendengar bisikan yang berbeda.

“I heard their whispers clawing at the door of my peace…”

 Itu bukan suara mereka. Itu… suaraku sendiri.

Dan aku terdiam. Karena kali ini, aku tak sedang mendengar — aku sedang didengar.

Bayangan di pojok ruangan menjadi lebih gelap dari biasanya. Mereka mulai bergerak, bukan hanya bersuara. Aku merasa keberadaan mereka mengental, seperti kabut yang berubah menjadi darah. Mereka datang tidak lagi sebagai desas-desus, tapi sebagai tamu yang tak diundang. Dan aku, sang pendengar, menjadi pusat panggilan mereka.

“Engkau sudah cukup lama diam,” kata mereka. “Kini, bukalah pintumu…”

Aku menggigil. Tapi aku tahu, pintu itu tak lagi bisa dikunci.

Aku turun ke ruang bawah tanah — tempat tak ada cahaya, tak ada jam, dan tak ada arah. Di sanalah aku menyimpan… suara. Ya, suara itu tidak hilang begitu saja. Aku menyimpannya dalam botol, dalam lukisan, dalam celah-celah retakan tanah. Aku menulis di batu bata dengan kuku hingga berdarah, hanya untuk mengingat: aku bukan milik mereka.

Tapi mereka sudah tahu. Mereka sudah menunggu.

Di sana, dalam gelap yang lebih dalam dari kematian, mereka berbisik bersamaan:

“For what is a soul, if not a tomb sealed against the noise of the living?”

Aku tertawa. Bukan karena lucu. Tapi karena kalimat itu… adalah doa terakhir yang kupunya.

Malam itu aku tak kembali ke kamar. Aku memaku pintu ruang bawah tanah dari dalam. Biarlah dinding ini jadi tulangku. Biarlah tanah ini jadi selimutku.

Aku tahu besok mereka akan mencari. Mertua, kerabat, orang-orang desa. Mereka akan mengetuk, lalu mendobrak. Tapi yang akan mereka temukan hanyalah rumah kosong — tanpa jiwa, tanpa suara.

Karena aku telah memilih menjadi makam. Dan makam tak menjawab panggilan dunia.

Catatan ditemukan di dinding ruang bawah tanah, ditulis dengan darah kering:

“I heard their whispers clawing at the door of my peace —
but I did not rise.
For what is a soul, if not a tomb
sealed against the noise of the living?”

– Tamat –


📖 Baca Cerita Lainnya:
🔗 Luka yang Bukan Milikku

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.

Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿 


Dinding yang Tidak Mendengar [Cerita Horor Psikologis]

 Dinding yang Tidak Mendengar

Demi segala yang kudengar dan kusaksikan, aku bersumpah—aku bukan orang gila.

Aku waras, bahkan lebih waras dari mereka yang sibuk mengukur kewarasan dengan grafik dan catatan medis. Namun, biarkan aku menuturkan kisah ini sebagaimana mestinya, perlahan dan teliti, seperti aku menyusun kembali potongan ingatan yang telah lama kubenamkan ke dalam kegelapan.

Mereka bilang aku pendiam. Ya, itu benar. Tapi mereka tak tahu betapa riuhnya dunia yang hidup di dalam kepalaku—sebuah orkestra jeritan dan bisikan yang tak pernah henti, terutama saat malam mulai menekan dengan sunyi yang menyesakkan.

Aku tinggal di sebuah rumah tua yang diwariskan dari ibuku. Rumah itu besar, dengan lorong panjang yang menelan suara, dan jendela-jendela tinggi yang membiarkan bayangan malam masuk sepuasnya. Di sanalah aku menyendiri, menulis, membaca, dan—yang paling penting—mendengarkan.

Aku adalah pendengar yang baik. Terlalu baik, bahkan.

Selama bertahun-tahun, orang-orang datang padaku membawa cerita mereka. Luka-luka mereka seperti lukisan yang mereka bentangkan di hadapanku—aku tak punya pilihan selain menatap dan menyimpannya. Mereka menangis, tertawa getir, bergetar dalam kalimat yang setengah tak terucap. Dan aku? Aku duduk, diam, mencatat semuanya dalam pikiranku yang tak pernah benar-benar istirahat.

Namun, pernahkah kau berpikir, wahai pendengar, bahwa sebuah bejana pun bisa penuh? Bahwa dinding yang selama ini hanya menerima, suatu hari bisa mulai berbicara?

Aku mulai merasa aneh pada suatu malam, malam ke-37 dalam kalender kebisuanku. Aku sedang duduk di kursi tua yang menghadap jendela. Angin mendesir pelan, membawa aroma lembab dari tanah yang belum disentuh matahari seharian. Di luar, bulan setengah tergantung miring di langit seperti senyuman sinis seorang yang tahu rahasia.

Lalu aku mendengar suara itu.

Bukan suara jeritan manusia, bukan juga bisikan setan, tapi suara... tangisan. Namun tangisan itu datang bukan dari luar, melainkan dari dalam. Dari balik dinding rumahku—dinding tempat aku sering menyandarkan kepala ketika dunia terasa terlalu berat.

Aku terdiam. Mencoba menepis. Tapi suara itu kembali malam berikutnya. Dan berikutnya. Ia mulai menuntut perhatian, seperti bayi lapar yang tak puas hanya dengan pengabaian.

Pada malam ke-41, aku mulai bicara pada dinding itu.

“Kau menangis, ya?” bisikku.

Tentu saja dinding tidak menjawab. Tapi kurasa ia mendengar.

Sejak malam itu, aku mulai bercerita balik. Untuk pertama kalinya, aku menumpahkan isi kepalaku bukan kepada manusia, tapi kepada dinding. Aku ceritakan semuanya—tentang kelelahan jadi tempat pelarian, tentang rasa takut dianggap lemah, tentang semua pesan yang kutulis tapi kuhapus, dan tentang suara-suara di kepalaku yang terus mengatakan aku bukan apa-apa.

Dan sungguh, setelah itu, aku merasa lebih tenang.

Namun tenang itu fana.

Karena di minggu kedua aku bercerita, dinding itu mulai menanggapi. Bukan dengan kata-kata, melainkan dengan ketukan halus. Seperti kuku yang menggesek pelan papan kayu. Seperti detak jantung yang asing tapi akrab. Semakin lama aku bicara, semakin keras ketukan itu.

Aku tahu, aku seharusnya takut. Tapi aku tidak. Aku merasa... dimengerti.

Sampai pada malam itu. Malam ke-58.

Aku berbicara panjang lebar. Tentang seseorang yang dulu pernah membuatku percaya bahwa aku juga berhak bahagia. Seseorang yang datang dengan janji, lalu pergi dengan luka. Aku bicara tentang bagaimana aku menahan tangis di kamar mandi setiap malam, hanya agar tidak ada yang tahu aku sedang hancur.

Dan saat aku selesai, suara dari balik dinding itu tidak lagi mengetuk. Ia mengetuk dan... tertawa.

Tertawa kecil. Tertawa sinis. Seperti tawa yang sering kudengar di kepalaku sendiri—suara yang suka menyebutku lemah, pecundang, beban.

“Aku tahu kau tidak kuat,” bisiknya. “Tapi kenapa berpura-pura?”

Aku mundur. Dadaku sesak. Dinding itu kini memantulkan diriku sendiri, semua kebohongan yang kubangun demi terlihat baik-baik saja. Aku menjerit padanya.

“Diam!”

Tapi suara itu tidak diam. Ia justru membalas, dengan suara yang kini seperti suaraku sendiri. Ia menirukan setiap kalimat yang pernah kuucap pada orang lain: “Kamu harus kuat.” “Jangan nyerah, ya.” “Aku di sini kok.”

Kalimat-kalimat yang selalu kusebutkan, meski aku sendiri tak pernah benar-benar percaya.

Aku meraih palu dari bawah meja. Langkahku berat, tapi pasti. Aku berjalan menuju dinding itu, dinding yang telah terlalu banyak tahu, terlalu banyak menyimpan, terlalu banyak mendengar. Aku tak ingin ia tahu lagi.

Dengan hentakan penuh amarah dan ketakutan, aku memukulnya. Sekali. Dua kali. Puluhan kali. Debu berhamburan. Kayu pecah. Udara dipenuhi serpihan kenangan.

Dan di balik dinding itu—tak ada apa-apa.
Hanya gelap dan suara napasku sendiri.

Rumah menjadi sunyi. Dan aku duduk di lantai, memandangi kehancuran yang kubuat.

Tapi sejak saat itu, dinding tak pernah berbicara lagi. Tak pernah menangis. Tak pernah mengetuk.
Dan aku? Aku kembali mendengar cerita orang lain. Dengan senyum, dengan anggukan, dengan “aku ngerti kok.”

Hanya saja, sekarang, aku tahu.
Bahwa ada bagian dalam diriku yang telah kukubur bersama dinding itu.

Dan malam-malamku kembali sunyi.
Terlalu sunyi.


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Bayangan di Cermin

    Di sudut sebuah kota yang sunyi, terdapat sebuah rumah tua yang dihuni penyair bernama Alif. Rumah itu memiliki dinding-dinding yang retak dan jendela-jendela berdebu, menyimpan ratusan puisi yang lahir dari perasaannya. Namun, di tengah kesunyian itu, Alif menyimpan banyak rahasia yang menyakitkan: ia terjebak dalam kenangan cinta yang telah berlalu. 
    
    Setiap malam setelah ia menulis, Alif akan berdiri di depan cermin besar yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Cermin itu merupakan peninggalan neneknya. Cermin itu selalu memantulkan wajahnya yang lelah dan penuh kerinduan. Dalam refleksi itu, ia tidak hanya melihat dirinya, tetapi juga bayangan sosok wanita yang telah pergi ~ Maya.
    
    Maya adalah cahaya dalam hidupnya, inspirasi di balik setiap bait puisi. Mereka berbagi tawa, mimpi, dan cinta yang tulus. Namun, takdir berkata lain. Kehilangan yang mendalam memisahkan mereka, mininggalkan Alif dalam kesedihan yang membelenggu. 
    
    Suatu malam, saat bulan purnama bersinar lembut Alif menatap cermin dengan tatapan kosong. 

    "Mengapa kau pergi, Maya?" bisiknya. Tiba-tiba, cermin bergetar. Alif terperanjat ketika melihat wajah Maya muncul di dalam cermin, seolah ia sedang berdiri di hadapannya.
    
    "Alif," suara Maya mengalun lembut, "mengapa kau masih terjebak dalam bayanganku? Hidupmu harus terus berjalan."
    
    Alif merasa seolah napasnya berhenti. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua kenangn indah itu? Kau adalah segalanya bagiku."
    
    Maya tersenyum sedih. "Aku akan selalu menjadi bagian dari hidupmu, tetapi kau tak bisa terus meratapi yang telah pergi. Setiap puisi yang kau tulis adalah jejeak cintaku. Namun kau harus menemukan dirimu sendiri."
    
    Air mata mengalir di pipi Alif. Ia menyadari betapa ia telah membiarkan rasa sakit mendominasi hidupnya. "Tapi bagaimana caranya? Setiap malam aku merasa hampa tanpa kehadiranmu."
   
     "Mencari kebahagiaan bukan berarti melupakan. Itu berarti menghargai kenangan dan mengizinkan dirimu untuk tumbuh." kata Maya suaranya menghangatkan hati Alif.
    
    Mendengar kata-kata itu Alif merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia memahami bahwa meskipun Maya tidak ada di dunia fisik, cintanya akan selalu hidup dalam setiap kata yang dituliskannya.
   
     "Baiklah Maya. Aku akan mencoba," katanya dengan suara yang penuh tekad.
   
     Saat itu, cermin berkilau, dan wajah Maya perlahan memudar. Alif merasakan berat di hatinya menghilang. Dia berdiri tegak, menatap cermin yang kosong, seolah memantulkan harapan baru.

    Alif mulai menulis kembali, tetapi kali ini dengan semangat baru. Ia tidak lagi hanya menulis tentang kesedihan dan kehilangan, tetapi juga kebangkitan dan harapan. Puisi-puisinya mengalirr deras, dipenuhi dengan keindahan dan pelajaran dari cinta yang telah ia jalani.

    Hari demi hari, Alif menyadari bahwa hidupnya bukan hanya tentang kenangan yang hilang, tetapi juga tentang perjalanan yang masih harus dilalui. Ia mulai menjelajahi dunia di luar rumah tua itu, berbagi puisinya di kafe-kafe, dan berbicara dengan orang-orang yang menginspirasi.
    
    Ketika Alif kembali ke rumah, cermin itu selalu menunggu, bukan sebagai pengikat akan kesedihan, tetapi simbol harapan dan perubahan. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri, tidak lagi merasa kosong. Alif telah menemukan kembali dirinya dan merangkul setiap bagiandari hidupnya.

    Dengan setiap bait puisi yang ditulis, ia tahu bahwa cinta tidak pernah benar-benar hilang. Ia adalah bagian dari perjalanan, dan bayangan di cermin itu kini adalah cermin dari kehidupan yang penuh warna dan harapan.

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...