Terkunci Dalam Bayang - Bayang

Pernahkah kau merasa detak jantungmu menggema lebih keras daripada suara gemuruh dunia? Aku merasakannya malam itu. Bukan karena rasa takut, melainkan karena keberhasilan yang memabukan. Segala rencana, segala detail, berjalan seperti simfoni gelap yang kurancang dengan penuh gairah.

Aku duduk di pojok kamar itu, mengamati tubuhnya yang kini tak bernyawa terbaring di karpet merah tua. Darah yang merembes keluar seperti tinta hitam di atas kertas putih, membentuk pola yang hanya aku pahami. Pola itu adalah tanda kemenangan, tanda bahwa aku telah menguasai kehidupannya~ dan, lebih dari itu, menguasai realitas.

Namanya Rienaldo. Seorang pria congkak yang menganggap dirinya tak terkalahkan. Dia mencuri, bukan dengan tangan, tetapi dengan kata-kata. Aku tak tahan mendengar kebohongannya, melihat kebusukannya yang bersembunyi di balik senyum liciknya. Setiap kali dia berbicara, rasanya seperti racun yang merayap ke telingaku. Jadi, aku membuat keputusan yang sederhana namun tak terhindarkan: dia harus pergi.

Oh, betapa indah aku merancang kematiannya! Kunci dari rencanaku adalah menciptakan ilusi. Dunia ini selalu percaya pada apa yang mereka lihat, jadi aku berikan kepada mereka pemandangan yang sempurna~ sebuah pembunuhan di ruang tertutup.

Aku memilih kamar hotel itu dengan hati-hati. Lokasinya, struktur pintunya, bahkan posisi jendelanya~ semua diperhitungkan. Aku mengundang Reinaldo ke kamarku, seperti seekor laba-laba yang memikat lalat ke jaringnya. Dia datang, seperti yang kuduga, dengan senyum penuh kebodohan.

"Minumlah," kataku. Menawarkan segelas anggur yang kububuhi racun halus. Racun itu tidak mematikan seketika; aku ingin menikmati detik-detik terakhirnya, melihat wajahnya yang berubah dari ceria menjadi bingung, lalu panik.

Dan kemudian, ketika dia mulai terengah-engah, aku bertindak. Sebilah pisau kecil yang kubawa dari dapur hotel menembus kulitnya. Aku memastikan~ selalu memastikan. Tubuhnya jatuh dengan suara lembut yang anehnya harmonis.

Namun, keindahan sejati ada pada detail setelahnya. Dengan ketelitian seorang seniman, aku mengunci pintu dari luar meggunakan trik sederhana yang kuciptakan sendiri. Sebuah tali tipis yang terikat pada kunci memungkinkan aku menariknya hingga terkunci dari luar. Aku memasang tali itu melalui celah kecil di bawah pintu, lalu menariknya sebelum memutuskan tali tersebut. Triknya sederhana, namun cukup untuk membodohi polisi yang hanya percaya pada fakta kasatmata.

Aku melangkah keluar dari kamar dengan tenang, menyatu dengan tamu-tamu lain di koridor. Aku mendengar langkah-langkah kaki petugas kebersihan yang akan menemukan tubuhnya keesokan harinya.

Tetapi malam itu, saat aku kembali ke kamar lain yang kusewa dengan nama palsu, sebuah pikiran menghantuiku. Bukan rasa bersalah~ tidak, itu terlalu remeh bagi seseorang sepertiku. Namun, ada sesuatu di dalam kepalaku, sebuah detak yang tak kunjung reda.

Tok. Tok. Tok.

Aku menoleh, tetapi tidak ada apa-apa. Suara itu bukan berasal dari dunia luar; itu berasal dari dalam diriku. Aku mendengar suara detak jantungnya, detak jantungnya, detak yang perlahan tapi pasti menjadi semakin keras. 

Aku memcoba mengabaikannya, tetapi detak itu tidak mau diam. Semakin aku mengingat wajahnya, semakin keras suara itu bergema. Hingga akhirnya, aku merasa seluruh duniaku terguncang oleh satu hal yang tak bisa kuhentikan: rasa takut bahwa aku telah meninggalkan sesuatu, sebuah petunjuk yang akan membawaku ke kehancuran.

Dan di sanalah aku sekarang, duduk di kamar gelap ini, merasakan bayangan kematian melingkupiku. Aku tahu mereka akan datang. Polisi, detektif atau mungkin hanya bayangan yang diciptakan oleh pikiranku sendiri. Mereka akan menemukan celah dalam rencanaku, karena aku tidak sempurna~ tidak seperti ilusi yang kuciptakan.

Dan mungkin, hanya mungkin, aku sendiri yang akan membuka pintu itu untuk mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...