Jejak yang Terlupakan
Kabut pagi menggantung rendah di atas halaman rumah, menyelimuti rerumputan dengan embun yang berkilau redup di bawah cahaya matahari yang enggan terbit sepenuhnya. Aku berdiri di depan jendela ruang kerja, secangkir kopi hangat di tangan, menatap kosong ke arah pagar besi yang membatasi rumah tua ini dari dunia luar. Ada ketenangan yang mencurigakan pagi itu, seolah alam sendiri menahan napas, menyembunyikan sesuatu di balik sunyi yang terlalu sempurna.
Sudah seminggu sejak aku menemukan ukiran "M-R-T" di lukisan itu. Setiap malam sejak saat itu, pikiranku dipenuhi oleh potongan-potongan ingatan yang tak utuh—seperti pecahan cermin yang mencerminkan bayangan masa lalu tanpa bentuk yang jelas. Di antara mimpi dan kenyataan, sesosok bayangan pria tua dengan mantel abu-abu sering muncul, berdiri membelakangiku di lorong rumah ini, tak pernah bicara, hanya menatap lukisan itu dari kejauhan.
Hari itu, Arman kembali datang. Langkah kakinya di lorong kayu terdengar ringan namun tegas, seperti seseorang yang membawa kabar penting. Ia duduk tanpa banyak bicara dan meletakkan sebuah buku catatan tua di atas meja.
"Aku menemukannya di perpustakaan daerah, tersembunyi di antara arsip lama tentang sejarah seniman Indonesia," katanya. "Buku ini milik seseorang bernama Raden T. Prawira. Seorang pelukis yang menghilang secara misterius pada tahun 1979. Lihat halaman ini."
Aku membuka halaman yang ditunjuknya, dan di sana, terpampang sketsa kasar—siluet seorang pria dalam bak mandi, dengan pisau tergenggam di tangan kanan. Tepat di bawahnya tertulis sebuah catatan dalam bahasa Belanda yang telah menguning:
"Voor hen die het zien, zal de waarheid verschijnen."
"Untuk mereka yang melihat, kebenaran akan muncul," terjemahku pelan.
Arman menatapku dengan mata yang sulit disembunyikan kekhawatirannya. "Leo, aku yakin lukisanmu itu bukan sekadar karya seni. Ia mungkin semacam penyimpan—sebuah arsip psikologis atau bahkan spiritual. Seperti... pintu ke ingatan kolektif yang ingin dilupakan."
Aku mengangguk, walau hatiku belum sepenuhnya mengerti. Namun ada sesuatu dalam nada suara Arman yang membangkitkan rasa percaya. Aku membuka kembali dokumen lelang yang dulu ia bawa. Nama ayahku, Agung Baskara, kembali menari di hadapanku seperti bayang-bayang yang tak kunjung surut.
Aku teringat pada satu ruangan yang selama ini kutinggalkan—gudang kecil di belakang rumah. Ayah dulu melarangku masuk ke sana, dan setelah ia meninggal secara misterius, aku tak pernah punya keberanian untuk menyentuhnya. Tapi pagi itu, kaki ini seperti bergerak sendiri.
Gudang itu berdebu, gelap, dan berbau tanah yang lembap. Di antara tumpukan peti kayu, aku menemukan sebuah koper kulit tua yang terkunci. Dengan jemari gemetar, aku membongkarnya. Di dalamnya, tergeletak tumpukan surat, foto-foto usang, dan sebuah jurnal kulit yang sangat familiar.
Tulisannya rapi, khas ayahku.
Halaman-halaman awal berisi catatan tentang seni, koleksi pribadi, dan refleksi estetika. Namun makin ke belakang, tulisannya berubah. Lebih gelap. Lebih kacau. Ada entri tentang mimpi-mimpi aneh, suara-suara dari dalam lukisan, dan sosok pria yang terus mengintainya dari balik bingkai.
Satu kalimat terpaku di tengah halaman:
"Lukisan itu bukan tentang kematian, tapi tentang pengulangan. Ia menyimpan pola yang akan terus mencari korban berikutnya. Dan kali ini, mungkin anakku."
Tanganku bergetar. Napasku tercekat. Apakah ayah tahu bahwa ia akan mati karena lukisan itu? Apakah ini sebab ia tak pernah membiarkanku dekat dengannya?
Malam itu, aku duduk di depan lukisan, kali ini tak sekadar mengamati, tetapi mencoba mendengarkan. Bunyi detak jam dinding terdengar seperti gema langkah di koridor tak terlihat. Dan di tengah kesunyian itu, aku mulai menyadari... lukisan itu tak hanya mencerminkan kenangan, tapi membentuknya.
Setiap petunjuk adalah simpul dari kisah yang lebih besar, dan setiap benang yang terurai membawaku lebih dalam ke jalinan kenyataan yang sebelumnya tersembunyi. Kebenaran itu sendiri tampak berdenyut di balik bingkai lukisan, seolah hidup dalam diam, menanti untuk ditemukan oleh mata yang bersedia melihat lebih dalam dari sekadar warna dan bentuk. Di dinding rumah tua ini, kenyataan tampak menggeliat, seperti entitas yang sabar menunggu saatnya untuk berbicara kembali.
Aku belum menemukan semua potongan. Tapi untuk pertama kalinya, aku tahu arah pencarianku. Jejak masa lalu telah muncul kembali—bukan hanya dalam bentuk mimpi dan ketakutan, tetapi dalam bentuk nyata, menuntut untuk diurai. Dan aku siap menyusurinya, meski jalan itu mungkin tak memiliki ujung yang terang.
Karena terkadang, yang paling mengerikan bukanlah misteri itu sendiri, tapi kesadaran bahwa kita adalah bagian darinya.
Bersambung...
📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #10 Potongan yang Mulai Menyatu
📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar