Tampilkan postingan dengan label Cerita Komedi Remaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Komedi Remaja. Tampilkan semua postingan

Asri SI BOCAH TENGIL #10 Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati [Cerita Komedi Remaja]

Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati

Pasar Beringharjo sore itu ramai. Bukan ramai biasa, tapi ramai seperti orkestra yang belum diatur konduktor. Ada suara teriakan ibu-ibu, suara pedagang batik menawarkan kain, anak kecil nangis karena nggak dibelikan balon, sampai suara klakson becak yang kadang terdengar seperti kodok terjebak di ember.

Tari menggandeng tangan Asri erat, menembus kerumunan manusia seperti kakak yang sedang membawa misi penyelamatan dunia. Wajahnya serius, alisnya menyatu, mata menyisir kiri kanan.

"Sepatu anak, ukuran tiga enam atau tiga tujuh ada nggak, Pak? Yang jangan mahal-mahal ya..." tanya Tari ke salah satu penjual.

Asri mengikuti di belakang, keringatan, tapi matanya penuh harap. Sepatu lamanya—yang sudah bolong dan pernah kena lem tembak pakai glue gun bekas proyek prakarya—akhirnya bakal diganti.

Setelah menawar di dua, tiga lapak, akhirnya mereka nemu. Sepatu warna hitam dengan strip putih di samping. Modelnya mirip yang dipakai pemain bola di TV.

"Ini keren banget, Kak...!"

Tari senyum. Tapi senyumnya nggak penuh. Ada sesuatu di matanya—entah lelah, entah sedih. Mungkin karena uang jajan seminggunya habis buat beli sepatu itu.

"Jaga baik-baik ya. Jangan buat nginjek sawah atau nyari kodok di parit belakang rumah Bu Lurah," katanya.

Asri mengangguk, wajahnya bersinar seperti lampu jalan baru diganti bohlamnya. Tapi di balik senyum itu, ada rasa aneh.

Sepatu baru itu nyaman, tapi hatinya berat. Karena tahu, kakaknya berkorban.

Malam harinya, di kamar yang temboknya penuh gambar tempelan majalah dan jadwal pelajaran, Asri duduk menatap sepatu barunya. Di bawah cahaya lampu lima watt yang remang, sepatu itu terlihat seperti harta karun.

"Kak Tari baik banget... Tapi aku belum bisa ngasih apa-apa ke dia..."

Dari luar kamar, suara ibu terdengar memanggil, "Asri, udah salat magrib belum?"

Asri berdiri, lalu mengecup pelan sepatu barunya, seolah itu benda suci. Lalu dia lari keluar kamar, jawab, "Iya, Bu!"

Malam itu langit Jogja berwarna biru tua, bulan sabit menggantung di langit seperti senyum setengah hati. Dan di dalam rumah kecil itu, ada anak kecil yang mulai belajar mengenali bentuk cinta paling sederhana: pengorbanan diam-diam seorang kakak.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 -


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu [Cerita Komedi Remaja]

Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

Jogja pagi itu seperti gadis pemalu yang belum sempat merias wajah. Kabut masih menggantung tipis di antara celah genteng dan tiang listrik, menutupi matahari yang baru sempat mengintip malu-malu dari balik pepohonan. Di gang sempit penuh jemuran itu, langkah kecil Asri terdengar tak beraturan. Sepasang sepatu hitamnya—yang warnanya sudah lebih mirip arang daripada obsidian—menyentuh tanah dengan suara ‘ceplek-ceplek’ yang tak bisa disembunyikan.

Sepatu itu... sudah bolong di ujungnya.

Jempol kaki Asri yang lincah kadang menyembul malu-malu, seolah ingin menyapa dunia luar yang lebih luas dari ruang kelas dan halaman sekolah. Tapi pagi ini, dia tak tertawa seperti biasanya. Ada yang ditahannya di dada. Entah itu rasa malu, atau cuma angin pagi yang dinginnya menelusup lewat lubang sepatunya.

"Ndak usah lari, Sri. Jalan aja pelan-pelan. Toh ujungnya tetep sekolah," kata Tari—kakaknya—dari belakang.

Tari, kakak sulung yang sedang remaja, rambutnya selalu dikucir dua dan membawa ransel penuh buku pelajaran dan cita-cita yang belum sempat ditulis. Ia sekolah di SMP sebelah. Bedanya dengan Asri, selain usia dan tinggi badan, adalah cara mereka menghadapi dunia. Tari penuh logika. Asri penuh insting dan cilok.

"Sepatuku bikin bunyi kayak tikus kecebur sumur," keluh Asri.

Tari terkekeh, "Emangnya tikus suka nyemplung sumur?"

Asri mengangkat bahu. Kadang yang ia pikirkan tak butuh penjelasan. Hanya butuh dimengerti.

Sampai di pelataran sekolah, mereka berpisah. Komplek sekolah SD dan SMP itu cuma dipisahkan pagar dan papan nama. Tari masuk ke gerbang kiri, Asri ke kanan. Tapi sebelum berpisah, Tari sempat menepuk pundak adiknya.

"Nanti sore ikut aku ke pasar ya, cari sepatu. Siapa tahu ada yang murah, tapi bagus."

Asri mengangguk. Pelan. Ada perasaan hangat seperti teh tubruk sore hari yang terselip di sela kata-kata kakaknya. Sepatu bekas mungkin tidak akan menyembunyikan jempolnya dengan sempurna, tapi bisa menyembunyikan kekhawatiran yang makin hari makin dia pahami: bahwa di balik omelan Ibu dan sunyi Bapak, ada kasih yang tak selalu berbentuk barang baru.

Sesampainya di sekolah, teman-temannya mulai datang satu per satu.

"Heh, Sri! Jempolmu kepo tuh!" seru Bowo sambil menunjuk sepatunya.

"Ini... ventilasi. Biar kaki enggak kepanasan," jawab Asri enteng.

Mereka tertawa. Bahkan Dani, si ketua kelas yang jarang senyum, ikutan nyengir. Asri memang punya bakat sulap: mengubah kekurangan jadi bahan ketawa, mengubah malu jadi mainan sore hari.

Di jam istirahat, ia duduk di sudut koridor sekolah, membuka bekal dari ibunya. Nasi dingin, sambal terasi, dan tempe goreng. Tapi di ujung bekal itu, ada sebuah catatan kecil yang ditulis dengan pulpen merah:

“Semangat sekolah, Sri. Jangan malu. Jempolmu boleh nongol, tapi hatimu harus tetap sembunyi di balik kebaikan.”

Tulisannya agak miring. Mungkin Ibu menulis sambil mengejar waktu, atau sambil mengejar sabar yang makin menipis. Tapi pesan itu cukup untuk membuat Asri tersenyum kecil, mengunyah tempe pelan-pelan, dan berpikir bahwa kadang, sepatu bolong pun bisa membawa kita ke tempat yang paling tulus: rasa syukur.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #10 Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati

Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung [Cerita Komedi Remaja]

Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

Rumah Asri bukan istana. Tapi di sana, ada drama yang tak kalah dari sinetron jam tujuh. Ada cinta, ada cemburu, ada tawa, ada juga teriakan kecil yang kadang bikin kuping merah.

Pagi itu, matahari baru setengah naik, burung gereja masih cerewet di atas genteng, dan suara wajan bertemu bawang putih mulai menggema dari dapur.

"Asriii! Bangun! Nanti kesiangan, lho!"

Suara ibunya membelah kesunyian pagi. Suara itu seperti alarm alami yang tak bisa di-snooze. Asri menggeliat di kasurnya yang sudah mulai tipis, menarik selimut sampai ke hidung, berharap bisa hilang dari radar ibu.

"Masih ngantuk, Bu... 5 menit lagi..." gumamnya, suara seperti orang di ujung dunia.

Tapi suara spatula membentur penggorengan adalah tanda bahwa 5 menit itu akan segera berakhir. Dan benar saja, tak sampai 3 menit, ibunya sudah muncul di depan pintu kamar, satu tangan membawa handuk, tangan lain menunjuk jam dinding.

"Kamu tuh, kalau sekolah kayak mau perang. Mana sepatu belum disikat, seragam belum disetrika, PR juga belum selesai, ya kan?!"

Asri bangun sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal. Wajahnya masih bantal semua.

"Udah kok, Bu... PR-nya tinggal dikit..."

"Dikit-dikit tapi belum selesai. Itu sama aja kayak masak tapi lupa garam. Nggak ada gunanya."

Dapur rumah itu kecil, tapi hangat. Ada aroma tumis kangkung bercampur sambal terasi yang mengambang di udara, menembus sampai ke ruang tamu. Di meja, sudah ada bekal dibungkus kertas minyak—nasi, telur dadar, dan irisan timun. Bekal sederhana, tapi dibuat dengan cinta dan sedikit keluhan.

Ayah Asri masih di depan televisi, menyesap kopi hitamnya yang diseruput keras. "Jangan bikin Ibu ngomel tiap pagi, Sri. Itu bisa memperpendek usia."

Asri menatap ayahnya, lalu ibunya. Mereka berdua seperti langit dan bumi—yang satu tenang, yang satu gemuruh. Tapi dari keduanya, Asri belajar bahwa hidup bukan soal jadi sempurna, tapi soal terus bangun pagi walau semalam ketiduran ngerjain PR.

"Sarapan, Sri. Jangan cuma mandangin nasi. Kalau lapar pas pelajaran, nanti gurunya dikira setan gara-gara kamu melamun."

Asri tertawa kecil. Mulutnya mengunyah nasi, matanya menatap luar jendela. Di luar sana, Jogja masih berkabut. Tapi di dalam sini, hatinya sudah mulai hangat.

Lalu muncul sosok yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamar yang menganga.

"Ibu, Asri tuh semalam tidur duluan, PR-nya malah aku yang bantuin ngerjain!" ujar Tari, kakak Asri, dengan nada setengah kesal tapi penuh rasa sayang yang dibungkus sindiran.

Tari, gadis remaja kelas dua SMP yang rambutnya selalu diikat dua seperti kupu-kupu yang sedang menari di belakang kepala. Ia muncul dengan buku PR Asri di tangan kiri, dan sisir di tangan kanan.

"Kak Tari lebay," gerutu Asri sambil mengunyah lebih cepat.

"Lebay-lebay juga, kalau bukan Kakak, kamu bisa kena semprot Bu Gurumu pagi ini."

Ibunya tertawa pendek sambil membalik tumis kangkung di wajan. "Ya sudah, Kak Tari, makasih ya bantuin adikmu. Tapi Sri, lain kali jangan nyusahin kakak terus. PR sendiri ya dikerjain sendiri."

Asri hanya mengangguk pelan. Di meja makan itu, tiga sosok berbeda duduk: seorang ibu yang penuh semangat, seorang ayah yang kalem seperti lagu keroncong, dan seorang kakak perempuan yang cerewet tapi penyayang.

Rumah itu mungkin sederhana, tapi bagai panggung kecil tempat opera kehidupan dimainkan. Ada tawa, ada teriakan, ada tangis yang kadang sembunyi di balik pintu kamar.

Rumah, meski sering diisi omelan, adalah tempat paling nyamannya di dunia.

Bersambung.....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #7 Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


Asri SI BOCAH TENGIL #7 Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus [Cerita Komedi Remaja]

Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus

Siang itu Jogja panas bukan main. Matahari menyala-nyala, membakar aspal dan genteng rumah warga seperti sedang menguji kesabaran manusia. Asri pulang sekolah sambil menenteng tas yang lebih berat dari isi kantongnya. Keringat mengalir dari pelipisnya, tapi ada satu hal yang lebih mendesak dari panas matahari: lapar.

Lapar bukan karena belum makan. Tapi lapar karena liat gerobak cilok mangkal di depan warung Bu Slamet.

"Cilok... cilok... panas... gurih...!"

Suara si penjual cilok terdengar seperti musik surgawi di telinga Asri. Tanpa pikir panjang, ia berbelok, lupa daratan, lupa rumah, lupa janji ke ibunya buat hemat uang saku.

"Mas, cilok seribuan lima ya! Pake saus banyak, tapi cabenya dikit!" kata Asri sambil menyodorkan uang recehan dari saku bajunya.

Penjual cilok mengangguk bijak seperti pendeta yang tahu betul apa yang dibutuhkan umatnya. Asri menunggu dengan sabar, lidahnya sudah menari-nari membayangkan rasa kenyal dan pedas gurih cilok yang selalu bikin ketagihan.

Lima menit kemudian, Asri pulang dengan langkah lebih ringan. Perut senang, hati tenang. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama.

Begitu sampai di rumah, suara ibunya menyambut dari dapur, "Asri! Sini kamu!"

Nada suaranya tidak seperti biasanya. Ada getaran. Ada hawa panas yang tak kalah dari terik matahari tadi.

Asri masuk dengan langkah pelan, matanya mengintip ke arah dapur. Ibunya berdiri dengan tangan bertolak pinggang, alisnya naik sebelah, bibirnya mengerucut tipis-tipis seperti orang tahan napas.

"Kamu tadi jajan lagi ya?"

Asri terdiam. Diam yang lebih keras dari suara bising pasar. Tapi di wajahnya, ada sisa saus merah yang belum sempat ia bersihkan.

"Itu apa di pipimu? Saus cilok, ya Allah... Asri..."

Dan meledaklah omelan itu seperti petasan cap tikus dilempar ke dalam kaleng kosong.

"Kamu tuh, Ibu udah bilang berapa kali? Nabung! Nabung! Bukan jajan terus tiap hari! Uang jajan itu buat ditabung setengahnya, bukan buat beli cilok tiap pulang sekolah!"

Asri cengengesan. Tapi senyum itu segera luntur ketika melihat mata ibu yang berkaca-kaca, bukan karena marah, tapi karena lelah. Lelah mengulang nasihat yang sama.

"Ibu kerja ngumpulin uang buat kamu sekolah, bukan buat kamu foya-foya jajan. Cilok hari ini, es krim besok, mie ayam lusa. Besok-besok kamu minta ginjal ibu juga?!"

Asri tertunduk. Kata-kata ibunya lebih pedas dari cabai rawit.

"Maaf, Bu..." suaranya kecil seperti bisikan semut di dalam toples gula.

Ibunya mendesah, lalu merogoh saku celemeknya. Ia mengeluarkan dua lembar uang ribuan.

"Ini. Buat besok. Tapi inget, separuh masuk celengan. Kalau ibu dapet laporan dari warung Bu Slamet atau si Mas cilok itu, kamu puasa jajan sebulan. Ngerti?"

Asri mengangguk, matanya berkaca-kaca. Bukan karena sedih, tapi karena merasa dicintai dengan cara yang keras tapi jujur.

Sore itu, ia duduk di pojokan kamar, membuka celengan ayamnya yang mulai berat. Ia masukkan uang dari ibunya ke dalam sana, lalu tersenyum kecil.

Cilok itu enak.

Tapi pelukan ibu lebih mengenyangkan.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #6 Misteri Kotak Bekal yang Hilang

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

Asri SI BOCAH TENGIL #6 Misteri Kotak Bekal yang Hilang

Misteri Kotak Bekal yang Hilang

Pagi masih muda, tapi hiruk-pikuk sekolah sudah seperti pasar tiban. Kaki-kaki kecil berlarian di lorong kelas, suara obrolan bercampur tawa bersahutan, seperti orkestra tanpa konduktor. Udara bercampur aroma seragam yang masih basah kena setrikaan ibu-ibu semalam, dan sisa embun yang malas menguap di lapangan sekolah. Di antara semua keriuhan itu, Asri duduk di bangkunya dengan raut wajah tak biasa. Ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang lebih penting dari PR Matematika yang kemarin hampir membuatnya mati berdiri di depan kelas.

Kotak bekalnya.

Asri mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Tasnya sudah dibongkar tiga kali, laci meja juga diperiksa ulang. Nihil. Kotak bekal berwarna hijau terang dengan stiker karakter kesayangannya lenyap entah ke mana.

Rini yang duduk di sebelahnya menatap heran. "Kenapa, As? Kok kayak kehilangan separuh nyawa?"

"Kotak bekalku hilang, Rin. Padahal tadi pagi aku yakin banget naruhnya di tas."

Adit yang baru saja duduk ikut menimpali. "Siapa tahu ketinggalan di rumah?"

Asri menggeleng kuat. "Nggak mungkin, Dit. Aku bahkan bisa membayangkan betapa indahnya nasi goreng buatan ibu tadi pagi, lengkap dengan telur dadar yang dikerat tipis-tipis kayak di restoran. Mana mungkin aku lupa naruh?"

Mata Rini menyipit. "Kalau nggak ketinggalan di rumah, berarti… hilang di sekolah?"

Asri dan Adit saling berpandangan. Hilang di sekolah? Ini bukan sekadar kasus kehilangan barang biasa. Ini adalah kasus besar. Kasus yang harus dipecahkan sebelum jam istirahat tiba. Sebab, jam istirahat tanpa kotak bekal sama saja seperti pelajaran tanpa bel pulang—menyiksa.

"Baiklah," kata Asri akhirnya, memasang ekspresi seperti detektif yang baru saja mengambil kasus terbesarnya. "Kita harus cari tahu siapa pelakunya."

Adit mengangkat tangan. "Tunggu. Kenapa kita langsung mikir ini dicuri? Bisa aja jatuh atau tertukar."

"Coba pikir, Dit. Kalau jatuh, pasti ada yang lihat. Kalau tertukar, harusnya ada yang ngaku. Tapi sampai sekarang, kotak bekalku masih nggak ada. Ini pasti ulah seseorang."

Rini menyandarkan dagu di tangannya. "Jadi kita mulai dari mana?"

Asri menatap sekeliling kelas. Wajah-wajah polos teman-temannya kini berubah menjadi tersangka potensial dalam kepalanya. Lalu matanya tertumbuk pada satu sosok di pojokan kelas. Bowo.

Si kutu buku ini memang dikenal jenius dalam urusan pelajaran. Tapi di balik kejeniusannya, ada kebiasaan yang mencurigakan: dia sering membawa bekal, tapi jarang terlihat benar-benar makan. Bisa jadi, ini bagian dari rencananya selama ini.

"Bowo," panggil Asri, mendekati meja sang jenius.

Bowo menatapnya dari balik kacamatanya. "Kenapa, As? Ada soal Matematika yang nggak kamu mengerti lagi?"

"Bukan. Ini lebih serius. Kotak bekalku hilang."

Bowo mengangkat alis. "Dan kamu pikir aku yang ambil?"

"Kamu selalu bawa bekal, tapi aku jarang lihat kamu makan. Ini bukti pertama."

"Bekalku nggak hilang, jadi aku nggak perlu mencuri bekal orang lain. Itu bukti pertama versiku," balas Bowo santai.

Asri mendecak. Oke, target pertama lolos dari kecurigaan.

Rini yang sejak tadi diam akhirnya bersuara, "Gimana kalau kita cari di tempat-tempat yang nggak terduga? Misalnya, di ruang guru, kantin, atau bahkan di kelas lain? Bisa aja seseorang nemu kotak bekalmu dan lupa balikin."

"Setuju," kata Asri. "Ayo kita mulai investigasi."

Mereka bertiga berpencar. Adit ke kantin, Rini ke ruang guru, dan Asri menyisir lorong kelas. Ia bertanya ke beberapa teman, tapi tak ada yang melihat bekalnya. Sampai akhirnya, di dekat rak sepatu, ia melihat sesuatu yang familiar—sebuah tutup hijau dengan stiker karakter yang dikenalnya.

Dengan langkah cepat, Asri menghampiri. Itu benar-benar tutup kotak bekalnya! Tapi anehnya, kotaknya sendiri tidak ada.

"Hei, kalian! Sini! Aku nemu sesuatu!" serunya memanggil Rini dan Adit.

Mereka segera berkumpul. "Lho, kok cuma tutupnya? Mana kotaknya?" tanya Rini.

Adit mengangkat tutupnya, mengamatinya dengan seksama. "Ini nggak sengaja jatuh atau sengaja disembunyikan?"

Asri menatap sekeliling. "Kayaknya ada yang mau bikin aku panik. Tapi siapa? Dan kenapa?"

Saat mereka bertiga masih berpikir keras, tiba-tiba terdengar suara tawa pelan dari belakang rak sepatu. Tawa yang khas, seperti seseorang yang menikmati keusilan yang baru saja diperbuat.

Mereka bertiga saling berpandangan. Tanpa berkata-kata, mereka bergerak ke belakang rak sepatu, dan di sana, berjongkok dengan wajah penuh kemenangan, adalah... Dono.

Si tukang jahil kelas. Tangannya masih menggenggam kotak bekal Asri yang terbuka, isinya sudah setengah habis.

"Dono!" teriak Asri, setengah marah, setengah tak percaya.

Dono nyengir, mulutnya masih penuh dengan nasi goreng. "As, enak banget bekalmu. Coba tiap hari bawa lebih ya?"

Asri mendengus, sementara Rini menepuk jidat dan Adit hanya bisa geleng-geleng kepala. Misteri ini akhirnya terpecahkan. Dan meskipun ia berhasil mendapatkan kembali kotak bekalnya, Asri sadar satu hal:

Di sekolah ini, ada yang lebih berat dari PR Matematika.

Yakni, menjaga bekal tetap utuh sampai jam istirahat.

Bersambung....


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #5 Sekolah Itu Berat, Lebih Berat Lagi PR-nya

Sekolah Itu Berat, Lebih Berat Lagi PR-nya

Pagi yang biasa, matahari naik setengah malas di ufuk timur, menyinari ubin-ubin sekolah dasar yang entah kenapa selalu terlihat kusam meski tiap pagi disapu Pak Slamet. Angin pagi menyelinap masuk dari celah jendela kelas, menggoda buku-buku tulis yang dibiarkan terbuka di meja. Suara ayam dari kandang belakang kantin kadang menyelinap, bersahutan dengan bel sekolah yang suaranya mirip toa masjid.

Asri duduk di bangku paling belakang, sandaran kursinya dimiringkan sedikit ke belakang, kakinya selonjor di bawah meja. Matanya masih setengah mengantuk, rambut acak-acakan.

"Kalian udah ngerjain PR Matematika?" suara Rini tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

Asri mengerjapkan mata, menoleh ke kanan-kiri, mencari siapa yang ditanya. Tapi tatapan Rini jelas tertuju padanya.

"PR?" Asri mengulang kata itu, seperti seorang filsuf yang sedang mempertanyakan makna hidup.

"Iya, PR. Yang 10 soal itu loh," kata Rini, mulai gemas.

Asri masih diam. Otaknya berusaha mengakses ingatan terakhir tentang PR itu, tapi yang muncul justru ingatan tentang semalam, saat dia ketiduran dengan posisi tengkurap di meja belajar, sementara pensil masih terselip di antara jari-jari.

Rini menghela napas panjang. "As, jangan bilang kamu lupa."

"Nggak lupa, aku cuman... belum ngerjain," jawab Asri santai.

"ASTAGA! Ini PR Matematika, As! Miss Diah nggak main-main kalau ada yang nggak ngerjain."

Asri menggaruk kepala. Ya, dia tahu betul bagaimana Miss Diah kalau sudah urusan PR. Guru killer se-Indonesia pun mungkin bisa minder kalau melihat cara Miss Diah menangani murid-muridnya yang tidak mengerjakan tugas.

"Kita harus nemuin solusi," kata Adit, yang sejak tadi diam saja tapi sebenarnya mengalami dilema yang sama.

"Solusi apa? Nyontek?" tanya Rini tajam.

Asri melirik jam dinding di depan kelas. Lima belas menit lagi Miss Diah masuk. Waktu yang tersisa hanya cukup untuk satu dari dua pilihan: pasrah atau bergerak cepat. Dan karena pasrah bukan keahlian Asri, maka ia memilih opsi kedua.

"Baiklah," kata Asri akhirnya, dengan ekspresi seperti seorang jenderal yang baru saja memutuskan strategi perang. "Kita harus cari orang yang udah ngerjain PR ini."

"Dan kita salin jawabannya?" tanya Adit penuh harap.

"Bukan, Dit. Kita meyakinkan dia buat ngajarin kita dalam waktu 10 menit."

Adit dan Rini berpandangan. Rencana ini terdengar nyaris mustahil.

Tapi Asri tetap beranjak dari kursinya. "Ayo cari target. Aku yakin ada satu orang yang udah ngerjain PR ini dengan sempurna."

Rini menghela napas. "Kamu pasti mikir tentang..."

"Bener," potong Asri. "Kita cari Bowo."

Mereka bertiga langsung berjalan cepat menuju meja Bowo, sang jenius kelas yang entah bagaimana caranya selalu menyelesaikan PR sebelum matahari terbit. Bowo sedang asyik membaca buku tebal yang isinya lebih banyak angka daripada huruf.

"Bowo, kita butuh bantuan," kata Asri tanpa basa-basi.

Bowo menatap mereka bertiga dengan tatapan curiga. "Jangan bilang kalian belum ngerjain PR?"

Asri, Adit, dan Rini saling berpandangan, lalu mengangguk bersamaan.

Bowo menghela napas panjang, seperti seorang dokter yang baru saja menerima pasien dalam kondisi kritis. "Lima belas menit lagi Miss Diah masuk. Apa yang bisa aku lakukan dalam waktu sesingkat itu?"

Asri berpikir cepat. "Ajari kami konsep dasarnya. Biar kami bisa jawab kalau nanti dipanggil ke depan."

Bowo menatap mereka dengan ekspresi tak percaya. "Kalian pikir belajar Matematika itu kayak belajar lirik lagu? Lima belas menit nggak cukup!"

"Tapi setidaknya lebih baik daripada nggak sama sekali, kan?" kata Rini putus asa.

Bowo menggeleng, lalu menutup bukunya. "Baiklah, ayo ke meja aku."

Dan selama 10 menit berikutnya, mereka bertiga mengalami pelajaran Matematika paling intens dalam sejarah hidup mereka. Bowo menjelaskan cepat, nyaris seperti komentator sepak bola yang berusaha meringkas 90 menit pertandingan dalam satu kalimat.

Saat bel berbunyi, Miss Diah masuk dengan langkah tegas, wajahnya penuh wibawa. "Oke, anak-anak, keluarkan PR kalian."

Asri melirik Rini dan Adit. Keringat dingin sudah membasahi dahi mereka. Buku tulis mereka terbuka, angka-angka dan rumus-rumus yang baru saja mereka salin dari papan catatan Bowo terasa seperti mantra tak dikenal.

Miss Diah melirik ke seluruh kelas. "Asri, maju ke depan."

Deg.

Asri menelan ludah. Ini dia saatnya. Apakah ia berhasil menyerap ilmu kilat dari Bowo? Atau ia akan menjadi korban berikutnya dari kekejaman PR Matematika?

Asri melangkah pelan ke depan kelas, sementara teman-temannya menahan napas.

"Coba jawab soal nomor 7," kata Miss Diah, menunjuk angka-angka di papan tulis.

Asri mengambil kapur. Tangannya sedikit gemetar. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam.

Dan saat ia membuka mata, otaknya mengakses satu memori penting dari penjelasan Bowo tadi. Tiba-tiba, ia mengerti.

Tangannya bergerak, menuliskan angka-angka di papan tulis.

Dan ketika ia selesai...

Miss Diah tersenyum. "Bagus, Asri. Jawabanmu benar."

Kelas langsung gempar. Rini menepuk dahinya, Adit hampir tersedak air liur sendiri. Sementara Bowo di belakang hanya mengangguk kecil, puas.

Asri menoleh ke arah teman-temannya dan mengedipkan mata.

Kadang, sekolah itu berat.

Tapi lebih berat lagi kalau PR-nya nggak dikerjain.


Bersambung...


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #4 Duel di Pojok Kantin

Duel di Pojok Kantin

Siang itu, matahari seperti sedang mendidihkan seluruh halaman sekolah. Udara bergetar, aspal di depan kantin seakan mengeluarkan uap tipis yang melayang malas. Tapi di pojok kantin, suasana jauh lebih panas dari siang yang melelehkan.

Dua anak laki-laki berdiri berhadapan, saling tatap, saling tantang. Adit, dengan kacamatanya yang sedikit miring karena keringat, menggertakkan giginya. Jono, dengan tangan yang bersedekap dan mulutnya menyeringai, berdiri penuh kemenangan seolah ini bukan sekadar urusan tahu isi terakhir, tapi soal harga diri dan kebanggaan.

Anak-anak lain mulai berkumpul di sekeliling mereka, membentuk lingkaran kecil yang tak terlalu rapat, memberi ruang cukup bagi dua petarung ini untuk beradu kehormatan.

"As, dengkulku mulai gemetar ini," bisik Rini.

Asri mengusap peluh di tengkuknya. "Aku juga. bukan aku yang bertarung, jadi kenapa aku deg-degan?"

Bu Sarti, sang penguasa kantin, akhirnya melangkah ke tengah arena. Langkahnya mantap, penuh wibawa. Di balik kacamatanya yang tebal, matanya menatap anak-anak ini dengan tajam, seperti seorang hakim di persidangan paling penting abad ini.

"Wis-wis, opo to sing diributke?" suaranya berat. 

Adit menunjuk etalase kaca.

"Tahu isi terakhir, Bu."

Jono menimpali, "Aku yang mau beli!"

"Tapi aku yang antre duluan!"

Langit yang tadi biru, kini terasa makin menekan. Seketika kantin menjadi tempat yang sunyi. Bahkan suara kipas angin tua di sudut dinding yang biasanya berderit-derit seperti nenek renta, kini terdengar lebih lambat.

Mata-mata anak-anak lain berbinar, bukan karena kasihan atau peduli, tapi karena mereka tahu, ini bukan lagi soal tahu isi semata. Ini adalah duel yang akan dikenang turun-temurun, diceritakan dengan gaya berlebihan kepada angkatan-angkatan mendatang.

Lalu, Rini, si pemilik ide gila, melangkah ke depan.

"As, aku punya ide," katanya dengan mata berbinar-binar seperti ilmuwan yang baru saja menemukan teori revolusioner.

"Kenapa ya aku selalu takut kalau kamu bilang begitu?"

Tapi sudah terlambat. Rini sudah berdiri di tengah-tengah, tangannya terangkat seperti seorang wasit yang hendak memulai pertandingan.

"Baiklah, semua! Daripada ribut-ribut nggak jelas, kita adakan duel adu kuat buat menentukan siapa yang paling pantas mendapatkan tahu isi terakhir ini!"

Sorakan terdengar. Beberapa anak langsung semangat, seolah baru saja mendapat tontonan gratis yang lebih seru daripada sinetron laga di TV sore.

Jono menyeringai. "Adu kuat? Hah! Aku pasti menang!"

Adit menyesuaikan kacamatanya. "Kalau pertandingannya adil, aku tidak akan mundur!"

"As, ini akan jadi eksperimen sosial yang menarik," bisik Rini, suaranya penuh semangat.

"Halah, ini akan jadi caraku masuk ruang BP," balas Asri, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Mereka berdua akhirnya duduk berhadapan di bangku panjang kantin. Meja kayu tua di antara mereka sudah siap menjadi arena pertempuran.

Matahari dari jendela kantin menyorot ke atas permukaan meja yang sudah mulai lapuk, memberikan efek dramatis. Seseorang bahkan mulai menabuh meja, menciptakan suara drumroll murahan yang menambah ketegangan.

"SIAP… MULAI!"

Tangan mereka bertaut. Otot-otot Jono menegang, urat di dahinya mulai muncul. Adit menahan dorongan dengan susah payah, giginya menggertak, tapi matanya penuh perlawanan.

Dorongan pertama, meja sedikit bergetar.

Dorongan kedua, keringat mulai menetes.

Dorongan ketiga…

BRAK!

Adit kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjungkal ke belakang, tangannya meraih udara kosong. Dan dalam satu kejadian yang akan diceritakan ulang selama bertahun-tahun kemudian…

GUBRAK!

Meja tempat etalase gorengan berdiri bergoyang hebat. Gelas-gelas plastik jatuh berhamburan. Minyak dari penggorengan memercik.

Dan tahu isi yang menjadi rebutan?

Ia terbang.

Seperti dalam adegan slow motion film laga, tahu isi itu melayang di udara, berputar sekali, dua kali, tiga kali. Waktu terasa berhenti. Semua mata mengikuti perjalanannya, dari satu sudut ke sudut lain.

Lalu…

PLUK!

Tahu isi itu mendarat dengan sempurna di atas kepala Bu Sarti.

Sunyi.

Semua anak membeku di tempat. Bahkan jangkrik di kebun belakang sekolah pun sepertinya sadar untuk tidak berbunyi.

Bu Sarti, dengan minyak tahu menetes pelan dari dahinya, menghela napas. Tangannya bergerak perlahan, mengambil tahu isi dari kepalanya.

"As, aku takut," bisik Rini.

Asri hanya menelan ludah.

Lalu, dalam gerakan yang sangat pelan dan penuh wibawa, Bu Sarti menatap mereka semua satu per satu.

"As, ini saatnya kita kabur," kata Rini, suaranya hampir seperti doa yang putus asa.

Dan tanpa menunggu lebih lama, mereka semua serentak berlari seperti dikejar genderuwo. Kantin mendadak sepi, hanya menyisakan Bu Sarti yang berdiri kaku dengan tahu isi di tangannya.

Dari kejauhan, terdengar suara beratnya bergema pelan.

"Anak-anak jaman saiki…"

Dan begitulah, kisah tentang duel di pojok kantin menjadi legenda, yang akan diceritakan berulang kali oleh generasi mendatang.

Bersambung...


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #3 Rencana Besar di Kantin

Rencana Besar di Kantin

Bel istirahat baru saja berbunyi, dan seperti sekawanan burung merpati yang dilepas dari sangkar, murid-murid berhamburan keluar kelas. Beberapa langsung berlari ke kantin, yang lain memilih duduk di bawah pohon, mengobrol sambil menikmati semilir angin siang.

Di antara kerumunan itu, dua bocah perempuan berjalan dengan langkah penuh semangat. Asri dan Rini.

"Aku masih nggak yakin sama rencana ini, Rin," kata Asri sambil menatap sahabatnya dengan penuh curiga.

Rini tersenyum lebar. "Percaya aja, As! Ini bakal berhasil!"

Asri menghela napas. Setiap kali Rini bilang "ini bakal berhasil", justru itu adalah tanda bahwa mereka akan terlibat dalam sesuatu yang entah konyol atau berbahaya.

Mereka sampai di kantin, sebuah bangunan kecil dengan atap seng yang sudah mulai berkarat di beberapa bagian. Meja-meja kayu panjang berjajar di depannya, dipenuhi anak-anak yang sibuk mengunyah gorengan, nasi kuning, atau es lilin yang dibeli dari gerobak dekat gerbang sekolah.

Di balik etalase kaca yang penuh dengan risoles, tahu isi, dan lemper, Bu Sarti—penjaga kantin yang dikenal murah senyum tapi tegas soal utang—sedang sibuk melayani anak-anak yang antre.

"Asri, Rini! Mau beli apa?" tanyanya ramah.

Rini menyenggol Asri pelan. "Tenang. Biarkan aku yang bicara."

Asri hanya bisa menelan ludah.

Rini melangkah maju, bersandar di etalase dengan gaya seperti seorang negosiator ulung.

"Bu Sarti, hari ini kami nggak bawa uang jajan," katanya dengan suara penuh percaya diri.

Bu Sarti menaikkan alis. "Terus mau utang?"

Rini mengangkat tangan. "Oh, tentu tidak, Bu. Kami punya proposal yang lebih menarik!"

Bu Sarti menatapnya curiga. "Proposal opo meneh iki?"

Asri sudah mulai merasa tidak enak.

Rini menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara dengan nada dramatis, seperti seorang politikus yang sedang berpidato di depan rakyatnya.

"Begini, Bu. Kami tahu bahwa kantin ini terkenal dengan gorengannya yang renyah, es lilinnya yang segar, dan suasana yang nyaman. Tapi ada satu masalah besar!"

Bu Sarti melipat tangan di dada. "Masalah opo?"

"Marketing, Bu! Promosi! Branding!" Rini mengayunkan tangannya ke udara, seakan kata-katanya punya kekuatan sihir. "Coba pikir, kalau kantin ini punya lebih banyak pelanggan, keuntungan pasti meningkat, kan?"

Bu Sarti menyipitkan mata. "Terus kowe loro iki arep ngopo?"

Asri memandang Rini dengan wajah penuh kepasrahan.

Rini tersenyum. "Kami menawarkan jasa promosi, Bu! Kami akan berkeliling sekolah, merekomendasikan kantin ini ke semua murid. Kami bisa bikin slogan, kampanye mulut ke mulut, bahkan kalau perlu kami bisa bikin yel-yel!"

Asri langsung menoleh ke Rini dengan ekspresi kaget. "Hah?!? Yel-yel?!? Sejak kapan?!?"

Rini mengabaikannya dan terus melanjutkan. "Sebagai imbalannya, kami hanya minta satu gorengan dan satu es lilin setiap hari selama seminggu. Gimana, Bu?"

Bu Sarti terdiam.

Asri menahan napas.

Rini masih tersenyum.

Hening.

Lalu Bu Sarti tertawa. Bukan tawa geli atau senang, tapi tawa khas seorang ibu yang sudah terlalu paham dengan kelakuan anak-anak macam mereka.

"Kowe loro iki pinter tenan, yo!" katanya sambil menggeleng. "Tapi maaf, aku nggak butuh promosi. Wong kantinku sudah laris dari dulu."

Rini terbelalak. "T-tapi Bu, ini kesempatan emas! Dengan strategi pemasaran yang tepat, kantin ini bisa jadi kantin nomor satu se-Kotagede!"

Bu Sarti terkekeh. "Wis, nggak usah neko-neko. Kalau pengin gorengan, ya bayar. Ora bayar, ora mangan."

Asri menghembuskan napas lega. Setidaknya kali ini mereka tidak berakhir dihukum seperti waktu mereka mencoba bisnis jualan kertas contekan minggu lalu.

Rini masih terlihat kecewa, tapi akhirnya ia menyerah. "Ya udahlah… Kalau gitu, kita cari cara lain buat makan gratis."

Asri langsung panik. "Rin, plis, nggak usah cari perkara lagi!"

Tapi sebelum mereka bisa berdiskusi lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah meja pojok kantin.

"Aku duluan yang mau beli!"

"Bukannya aku dulu yang antre?!"

Asri dan Rini menoleh. Di sana, dua anak laki-laki sedang berdebat sengit. Yang satu berkacamata dengan raut wajah serius—Adit. Yang satu lagi berbadan lebih besar dengan rambut cepak—Jono, anak kelas sebelah yang terkenal suka cari gara-gara.

"Eh, eh, ada ribut-ribut!" bisik Asri penuh semangat.

Rini mengangguk. "Seru nih! Ayo kita tonton!"

Mereka berdua buru-buru mendekat, tanpa tahu bahwa kejadian ini akan membawa mereka ke dalam masalah baru… lagi.

Bersambung…




Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #2 Kakakku Galak Banget!

Kakakku Galak Banget!

Matahari mulai naik, sinarnya menyapu dedaunan yang masih basah oleh embun. Di pinggir jalan, pedagang bubur ayam sudah mulai berteriak menawarkan dagangannya, sesekali mengaduk buburnya dengan gerakan cepat dan penuh pengalaman. Sementara itu, di trotoar kecil dekat sekolah, Asri masih sibuk membersihkan rumput yang menempel di seragamnya.

"Ayo cepet, nanti telat!" bentak Tari sambil menahan tawa.

"As— Astaghfirullah… Aku tadi jatuh lho, Kak. Luka batinku lebih dalam daripada luka fisikku," kata Asri dengan dramatis.

Tari hanya menggeleng dan kembali mengayuh sepedanya, meninggalkan Asri yang masih berdiri di pinggir jalan. Dengan tergopoh-gopoh, Asri buru-buru menaiki sepedanya dan menyusul.

Begitu sampai di gerbang sekolah, seorang satpam berbadan besar dengan kumis tebal berdiri di depan pintu masuk, tangan menyilang di dada. Namanya Pak Dul, penjaga sekolah yang terkenal galak kalau urusan keterlambatan.

"Jam piro iki?" tanyanya dengan suara dalam.

Tari buru-buru melihat jam di tangannya. "Masih jam tujuh kurang lima, Pak!"

Pak Dul mengangguk. "Oke. Masuk."

Mereka berdua mengayuh sepeda ke parkiran, lalu bergegas masuk kelas. Di depan pintu kelas 5B, sudah ada beberapa teman Asri yang sedang ngobrol. Salah satunya adalah Adit, bocah tinggi berkacamata yang selalu membawa buku kemana-mana.

"Kowe ngopo, As?" tanya Adit begitu melihat rambut Asri yang masih penuh dedaunan kecil.

Asri menarik nafas panjang, lalu mengembuskannya dramatis. "Aku tadi jatuh, Dit. Tragis. Kejadian yang akan kuceritakan ke anak-cucuku nanti."

Adit hanya tertawa kecil, lalu berjalan masuk ke dalam kelas. Sementara itu, seorang bocah perempuan berambut kuncir dua tiba-tiba muncul dari belakang, menepuk bahu Asri dengan semangat.

"Asri! Nanti istirahat, kita ke kantin yuk!" katanya.

Itu Rini, sahabat Asri sejak kelas satu. Anak pedagang bakpia yang selalu punya ide-ide aneh, tapi entah kenapa selalu bisa menyeret Asri untuk ikut dalam kegilaannya.

"Tapi aku belum ada uang jajan, Rin," kata Asri sambil cemberut.

"Tenang! Aku ada ide! Pokoknya ikut aja nanti!" Rini tersenyum misterius.

Asri menelan ludah. Setiap kali Rini bilang "aku ada ide", itu hampir selalu berakhir dengan bencana.

Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, tiba-tiba suara bel berbunyi nyaring. Semua anak segera masuk dan duduk di tempat masing-masing.

Bu Rahayu, wali kelas mereka, masuk dengan wajah serius. Ia guru yang sabar, tapi kalau sudah marah, suaranya bisa bikin kaca jendela bergetar.

"Pagi, anak-anak!" katanya tegas.

"Selamat pagi, Bu!" semua anak menjawab serempak.

"Baik, sebelum kita mulai pelajaran, saya mau mengingatkan bahwa minggu depan ada ulangan matematika. Jadi mulai sekarang, kalian harus belajar lebih giat."

Terdengar keluhan serentak dari seluruh kelas.

"Matematika lagi…" bisik Asri.

"Matematika itu penting, Asri," kata Adit yang duduk di sebelahnya.

"Iya penting, tapi buat siapa? Aku kan nggak mau jadi kalkulator," gerutu Asri.

Bu Rahayu mengetuk meja dengan penggaris, membuat semua anak diam seketika.

"Baik, sekarang kita mulai pelajaran hari ini. Buku kalian sudah siap?"

Seluruh kelas serentak mengeluarkan buku, kecuali satu orang.

Asri merogoh tasnya, mengaduk-aduk isinya dengan panik. Buku matematikanya tidak ada.

"Asri," panggil Bu Rahayu dengan nada berbahaya.

Asri menegakkan badan. "Ehehe… Aku lupa bawa buku, Bu."

Bu Rahayu menatapnya tajam. "Lupa lagi? Minggu lalu juga lupa. Kamu kapan mau belajar disiplin?"

Asri tertawa kecil, mencoba meredakan suasana. "Eee… aku kan anaknya fleksibel, Bu. Disiplin itu berat…"

Seluruh kelas tertawa. Tapi Bu Rahayu tidak.

"Baik, kalau begitu, kamu berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai."

Mata Asri membesar. "Hah?!? Tapi Bu—"

"Atau kamu mau saya suruh mengerjakan soal di papan tulis?"

Asri langsung berdiri tanpa protes. Berdiri di depan kelas lebih baik daripada mengerjakan soal matematika.

Dan begitulah, selama satu jam pelajaran, Asri berdiri di sudut kelas seperti patung, sementara teman-temannya sibuk menyalin rumus dari papan tulis.

Ketika bel istirahat berbunyi, ia langsung berlari kembali ke tempat duduknya dan menoleh ke Rini.

"Oke, Rin. Jadi ide gilamu tadi apa?"

Rini tersenyum lebar. "Ayo ikut ke kantin. Percaya deh, ini bakal seru!"

Asri menelan ludah. Sepertinya, petualangan barunya baru saja dimulai…

Bersambung…


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #1Kenalan Sama Asri!


Di tengah hiruk-pikuk kehidupan Yogyakarta, Asri, seorang bocah tengil yang selalu bikin onar, menjalani hari-harinya dengan segudang keisengan, petualangan konyol, dan kehangatan keluarga yang penuh drama. Bersama sahabat-sahabatnya, ia menghadapi beragam kejadian seru-dari masalah sekolah, rencana iseng yang sering berujung bencana, hingga pertengkaran kocak dengan kakaknya yang galak. Dalam setiap kekacauan yang ia buat, ada satu hal yang selalu melekat: semangatnya yang tak pernah padam untuk menjalani hidup dengan cara yang paling Asri-bebas, lucu, dan tanpa beban.

Kenalan Sama Asri!

Angin pagi berhembus dari celah jendela yang separuh terbuka, membawa aroma tanah basah yang masih tersisa dari hujan semalam. Langit di atas Yogyakarta masih berwarna biru keunguan, seakan ragu untuk menyambut mentari yang sebentar lagi akan menyala garang di atas kepala. Di kejauhan, ayam jantan mulai bernyanyi, menyusul suara azan Subuh yang baru saja usai.

Tapi di dalam sebuah rumah kecil bercat hijau muda di gang sempit daerah Kotagede, sudah ada satu makhluk yang sejak tadi ribut bukan main.

"Buk! Buk! Kak Tari!"

Suara itu menggelegar seperti petir. Sebuah lemari kayu tua berguncang hebat, nyaris tumbang, seiring dengan tangan kecil yang sibuk mengacak-acak isi di dalamnya. Kaus kaki, buku pelajaran, hingga pita rambut beterbangan keluar, berserakan di lantai.

"Asriiiiiii!!!"

Seorang gadis remaja dengan rambut masih basah keluar dari kamar mandi, wajahnya penuh amarah. Itu Tari, kakak Asri. Yang lahir dua tahun lebih dulu, tapi merasa seolah membawa tanggung jawab menjaga anak satu kampung.

"As— Astaghfirullah, Asri! Apa-apaan kamu ngerusak kamarku?!?"

"Aku nyari kaus kaki, Kak! Punyaku hilang semua!"

"Lha terus, kenapa ngacak-acak kamarku?!? Pikirannya taruh di kepala, bukan di dengkul!"

Tari menarik kerah baju adiknya, menyeret bocah tengil itu keluar dari kamar dengan kasar. Asri menggelepar-gelepar seperti ikan lele yang baru ditangkap dari empang, berusaha melepaskan diri, tapi Tari tak peduli.

Dari dapur, terdengar suara seorang perempuan dengan nada yang sudah terlalu akrab dengan kekacauan semacam ini.

"Asri! Tari! Cepetan sarapan! Kalian mau telat sekolah!"

Asri, yang sudah bebas dari cengkeraman kakaknya, langsung lari ke meja makan. Kursi plastik berwarna biru berdecit ketika ia duduk dengan kasar. Di hadapannya, sepiring nasi goreng mengepul dengan telur ceplok yang kuningnya masih setengah matang.

Ibu datang dengan daster lusuhnya, tangan masih memegang spatula. Matanya menatap Asri penuh curiga.

"Kamu bikin onar lagi, ya?"

Asri pura-pura tak mendengar. Ia sudah menyendok nasi goreng dan mengunyah dengan nikmat. Tari duduk di seberangnya dengan wajah masih merengut.

"Asri ini lho, Bu! Pagi-pagi sudah bikin orang naik darah!"

Asri menelan makanannya cepat-cepat. "Lha salahku apa? Aku cuma nyari kaus kaki!"

"Lha itu yang di kakimu apa?" Tari menunjuk ke bawah meja.

Asri melongok ke bawah. Sepasang kaus kaki biru dengan gambar Doraemon sudah melilit di kakinya.

"Oh… Lha kok udah ada?"

Ibu langsung menepuk dahinya. "Astaghfirullah, Asri! Pagi-pagi sudah bikin geger!"

Di ujung meja, seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan hanya terkekeh pelan. Itu bapak. Sejak tadi ia sibuk membaca koran, sesekali menyeruput kopi hitam kental dalam gelas kecil.

"Sudah, sudah. Makan dulu, nanti telat," katanya dengan suara datar.

Setelah sarapan dan berpamitan, Asri dan Tari naik sepeda menuju sekolah. Matahari mulai naik sedikit demi sedikit, cahayanya menembus celah pohon rindang di sepanjang jalan. Beberapa pedagang kaki lima mulai membuka dagangan mereka, menata gerobak, menghidupkan kompor, dan mengipas-ngipas arang. Aroma gorengan mulai mengudara.

Tari mengayuh sepedanya dengan anggun, penuh kehati-hatian. Sementara Asri?

"Asri! Pelan-pelan! Nanti jatuh!" teriak Tari dari belakang.

Tapi Asri tertawa lebar. "Santai, Kak! Aku udah kayak pembalap ini!"

Baru saja ia selesai bicara, roda sepedanya masuk ke lubang kecil di jalan.

"WOAAAA!!"

BRUKK!

Asri terlempar ke semak-semak di pinggir jalan. Daun-daun dan ranting-ranting kecil menempel di rambutnya yang berantakan. Tari berhenti, memandang adiknya dengan ekspresi penuh kepasrahan.

"Ya Allah, Asri… Pagi-pagi udah bikin kekacauan…"

Sementara itu, di dalam semak-semak, Asri hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mencerna kejadian barusan.

"Yah… kayanya aku nggak jadi pembalap deh…"

Dan begitulah kehidupan Asri, bocah tengil dari Jogja, yang setiap harinya selalu membawa kekacauan baru.

Bersambung…


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...