Tampilkan postingan dengan label Review Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Review Buku. Tampilkan semua postingan

📚 Review Buku: Selamatkan Anak-Anak oleh Neil Postman

📚 Review Buku: Selamatkan Anak-Anak oleh Neil Postman

Saat Anak-Anak Tak Lagi Punya Masa Kanak-Kanak

Pernah nggak, kamu melihat anak-anak zaman sekarang dan merasa... ada yang berbeda? Mereka cepat sekali dewasa — atau setidaknya, terlihat seperti itu. Mulai dari cara berpakaian, bahasa yang digunakan, sampai konten yang mereka konsumsi di media. Apa yang sebenarnya terjadi?

Itu juga yang jadi pertanyaan utama Neil Postman dalam bukunya yang berjudul “Selamatkan Anak-Anak.”

Buku ini membuka mataku tentang satu hal penting: bisa jadi, tanpa sadar, kita sedang menghapus masa kanak-kanak itu sendiri.


Apa Isi Buku Ini?

Neil Postman, seorang kritikus media asal Amerika, menulis buku ini sebagai refleksi atas perubahan besar dalam cara anak-anak tumbuh di era modern. Menurutnya, dulu masa kanak-kanak adalah fase yang punya batasan jelas. Anak-anak tidak langsung tahu urusan orang dewasa. Ada proses bertahap — dari belajar membaca, menyimak cerita, hingga pelan-pelan memahami kompleksitas hidup.

Tapi sekarang, terutama sejak hadirnya televisi (dan kini internet), semua batas itu runtuh. Anak-anak bisa mengakses konten dewasa sejak dini. Tidak perlu bisa membaca, tidak perlu pendampingan, hanya tinggal menyalakan layar.


Anak-Anak Tahu Terlalu Banyak, Terlalu Cepat

Postman menyebut televisi sebagai media yang “demokratis secara ekstrem” — artinya semua orang bisa mengakses apa saja, tanpa batas usia atau kesiapan mental. Ketika dulu pengetahuan dewasa dijaga dengan bahasa tulis yang butuh kemampuan membaca dan memahami, sekarang anak-anak hanya perlu menonton.

Buatku pribadi, ini pemikiran yang sangat relevan. Apalagi sekarang, anak-anak bahkan punya akses ke smartphone dan media sosial sejak usia dini. Mereka melihat kekerasan, konsumsi gaya hidup dewasa, bahkan drama politik — sebelum mereka tahu cara mengelola emosi mereka sendiri.


Refleksi: Apakah Kita Terlalu Cepat Mendorong Mereka Dewasa?

Aku jadi ingat masa kecilku. Main petak umpet, baca buku cerita bergambar, nonton kartun tiap Minggu pagi. Rasanya ada ruang untuk benar-benar jadi anak-anak — polos, penuh imajinasi, dan tumbuh tanpa tekanan dewasa.

Bandingkan dengan sekarang. Anak-anak berkompetisi di media sosial, merasa harus tampil keren, dan tahu istilah-istilah yang dulu baru kita pahami saat SMA.

Apa ini bentuk kemajuan? Atau justru kehilangan?


Siapa yang Perlu Membaca Buku Ini?

Menurutku, buku ini cocok untuk:

  • Orang tua yang ingin memahami dunia anak dari perspektif budaya dan media.

  • Guru dan pendidik yang ingin membangun ruang aman untuk tumbuh kembang anak.

  • Siapa pun yang peduli dengan generasi masa depan.

Postman tidak sekadar menyalahkan media. Ia mengajak kita berpikir lebih dalam: apakah kita masih menjaga “kesucian” masa kecil, atau justru menghapusnya demi kecepatan dan efisiensi?


 Menjaga Masa Kecil adalah Tanggung Jawab Bersama

“Jika masa kanak-kanak punah, yang hilang bukan hanya anak-anak, tapi juga harapan akan masa depan yang lebih baik.” – Neil Postman

Membaca Selamatkan Anak-Anak membuatku ingin lebih bijak — sebagai individu yang suatu saat bisa jadi orang tua, guru, atau sekadar bagian dari masyarakat. Karena menjaga anak-anak bukan cuma soal teknologi atau peraturan, tapi soal nilai-nilai yang kita rawat dan wariskan.


Kalau kamu sendiri, apa kenangan masa kecil yang paling kamu rindukan?
Dan bagaimana kamu ingin generasi setelah kita mengenal masa kecil mereka?


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...