Di sudut sebuah kota yang sunyi, terdapat sebuah rumah tua yang dihuni penyair bernama Alif. Rumah itu memiliki dinding-dinding yang retak dan jendela-jendela berdebu, menyimpan ratusan puisi yang lahir dari perasaannya. Namun, di tengah kesunyian itu, Alif menyimpan banyak rahasia yang menyakitkan: ia terjebak dalam kenangan cinta yang telah berlalu.
Setiap malam setelah ia menulis, Alif akan berdiri di depan cermin besar yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Cermin itu merupakan peninggalan neneknya. Cermin itu selalu memantulkan wajahnya yang lelah dan penuh kerinduan. Dalam refleksi itu, ia tidak hanya melihat dirinya, tetapi juga bayangan sosok wanita yang telah pergi ~ Maya.
Maya adalah cahaya dalam hidupnya, inspirasi di balik setiap bait puisi. Mereka berbagi tawa, mimpi, dan cinta yang tulus. Namun, takdir berkata lain. Kehilangan yang mendalam memisahkan mereka, mininggalkan Alif dalam kesedihan yang membelenggu.
Suatu malam, saat bulan purnama bersinar lembut Alif menatap cermin dengan tatapan kosong.
"Mengapa kau pergi, Maya?" bisiknya. Tiba-tiba, cermin bergetar. Alif terperanjat ketika melihat wajah Maya muncul di dalam cermin, seolah ia sedang berdiri di hadapannya.
"Alif," suara Maya mengalun lembut, "mengapa kau masih terjebak dalam bayanganku? Hidupmu harus terus berjalan."
Alif merasa seolah napasnya berhenti. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua kenangn indah itu? Kau adalah segalanya bagiku."
Maya tersenyum sedih. "Aku akan selalu menjadi bagian dari hidupmu, tetapi kau tak bisa terus meratapi yang telah pergi. Setiap puisi yang kau tulis adalah jejeak cintaku. Namun kau harus menemukan dirimu sendiri."
Air mata mengalir di pipi Alif. Ia menyadari betapa ia telah membiarkan rasa sakit mendominasi hidupnya. "Tapi bagaimana caranya? Setiap malam aku merasa hampa tanpa kehadiranmu."
"Mencari kebahagiaan bukan berarti melupakan. Itu berarti menghargai kenangan dan mengizinkan dirimu untuk tumbuh." kata Maya suaranya menghangatkan hati Alif.
Mendengar kata-kata itu Alif merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia memahami bahwa meskipun Maya tidak ada di dunia fisik, cintanya akan selalu hidup dalam setiap kata yang dituliskannya.
"Baiklah Maya. Aku akan mencoba," katanya dengan suara yang penuh tekad.
Saat itu, cermin berkilau, dan wajah Maya perlahan memudar. Alif merasakan berat di hatinya menghilang. Dia berdiri tegak, menatap cermin yang kosong, seolah memantulkan harapan baru.
Alif mulai menulis kembali, tetapi kali ini dengan semangat baru. Ia tidak lagi hanya menulis tentang kesedihan dan kehilangan, tetapi juga kebangkitan dan harapan. Puisi-puisinya mengalirr deras, dipenuhi dengan keindahan dan pelajaran dari cinta yang telah ia jalani.
Hari demi hari, Alif menyadari bahwa hidupnya bukan hanya tentang kenangan yang hilang, tetapi juga tentang perjalanan yang masih harus dilalui. Ia mulai menjelajahi dunia di luar rumah tua itu, berbagi puisinya di kafe-kafe, dan berbicara dengan orang-orang yang menginspirasi.
Ketika Alif kembali ke rumah, cermin itu selalu menunggu, bukan sebagai pengikat akan kesedihan, tetapi simbol harapan dan perubahan. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri, tidak lagi merasa kosong. Alif telah menemukan kembali dirinya dan merangkul setiap bagiandari hidupnya.
Dengan setiap bait puisi yang ditulis, ia tahu bahwa cinta tidak pernah benar-benar hilang. Ia adalah bagian dari perjalanan, dan bayangan di cermin itu kini adalah cermin dari kehidupan yang penuh warna dan harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar