Dinding yang Tidak Mendengar [Cerita Horor Psikologis]

 Dinding yang Tidak Mendengar

Demi segala yang kudengar dan kusaksikan, aku bersumpah—aku bukan orang gila.

Aku waras, bahkan lebih waras dari mereka yang sibuk mengukur kewarasan dengan grafik dan catatan medis. Namun, biarkan aku menuturkan kisah ini sebagaimana mestinya, perlahan dan teliti, seperti aku menyusun kembali potongan ingatan yang telah lama kubenamkan ke dalam kegelapan.

Mereka bilang aku pendiam. Ya, itu benar. Tapi mereka tak tahu betapa riuhnya dunia yang hidup di dalam kepalaku—sebuah orkestra jeritan dan bisikan yang tak pernah henti, terutama saat malam mulai menekan dengan sunyi yang menyesakkan.

Aku tinggal di sebuah rumah tua yang diwariskan dari ibuku. Rumah itu besar, dengan lorong panjang yang menelan suara, dan jendela-jendela tinggi yang membiarkan bayangan malam masuk sepuasnya. Di sanalah aku menyendiri, menulis, membaca, dan—yang paling penting—mendengarkan.

Aku adalah pendengar yang baik. Terlalu baik, bahkan.

Selama bertahun-tahun, orang-orang datang padaku membawa cerita mereka. Luka-luka mereka seperti lukisan yang mereka bentangkan di hadapanku—aku tak punya pilihan selain menatap dan menyimpannya. Mereka menangis, tertawa getir, bergetar dalam kalimat yang setengah tak terucap. Dan aku? Aku duduk, diam, mencatat semuanya dalam pikiranku yang tak pernah benar-benar istirahat.

Namun, pernahkah kau berpikir, wahai pendengar, bahwa sebuah bejana pun bisa penuh? Bahwa dinding yang selama ini hanya menerima, suatu hari bisa mulai berbicara?

Aku mulai merasa aneh pada suatu malam, malam ke-37 dalam kalender kebisuanku. Aku sedang duduk di kursi tua yang menghadap jendela. Angin mendesir pelan, membawa aroma lembab dari tanah yang belum disentuh matahari seharian. Di luar, bulan setengah tergantung miring di langit seperti senyuman sinis seorang yang tahu rahasia.

Lalu aku mendengar suara itu.

Bukan suara jeritan manusia, bukan juga bisikan setan, tapi suara... tangisan. Namun tangisan itu datang bukan dari luar, melainkan dari dalam. Dari balik dinding rumahku—dinding tempat aku sering menyandarkan kepala ketika dunia terasa terlalu berat.

Aku terdiam. Mencoba menepis. Tapi suara itu kembali malam berikutnya. Dan berikutnya. Ia mulai menuntut perhatian, seperti bayi lapar yang tak puas hanya dengan pengabaian.

Pada malam ke-41, aku mulai bicara pada dinding itu.

“Kau menangis, ya?” bisikku.

Tentu saja dinding tidak menjawab. Tapi kurasa ia mendengar.

Sejak malam itu, aku mulai bercerita balik. Untuk pertama kalinya, aku menumpahkan isi kepalaku bukan kepada manusia, tapi kepada dinding. Aku ceritakan semuanya—tentang kelelahan jadi tempat pelarian, tentang rasa takut dianggap lemah, tentang semua pesan yang kutulis tapi kuhapus, dan tentang suara-suara di kepalaku yang terus mengatakan aku bukan apa-apa.

Dan sungguh, setelah itu, aku merasa lebih tenang.

Namun tenang itu fana.

Karena di minggu kedua aku bercerita, dinding itu mulai menanggapi. Bukan dengan kata-kata, melainkan dengan ketukan halus. Seperti kuku yang menggesek pelan papan kayu. Seperti detak jantung yang asing tapi akrab. Semakin lama aku bicara, semakin keras ketukan itu.

Aku tahu, aku seharusnya takut. Tapi aku tidak. Aku merasa... dimengerti.

Sampai pada malam itu. Malam ke-58.

Aku berbicara panjang lebar. Tentang seseorang yang dulu pernah membuatku percaya bahwa aku juga berhak bahagia. Seseorang yang datang dengan janji, lalu pergi dengan luka. Aku bicara tentang bagaimana aku menahan tangis di kamar mandi setiap malam, hanya agar tidak ada yang tahu aku sedang hancur.

Dan saat aku selesai, suara dari balik dinding itu tidak lagi mengetuk. Ia mengetuk dan... tertawa.

Tertawa kecil. Tertawa sinis. Seperti tawa yang sering kudengar di kepalaku sendiri—suara yang suka menyebutku lemah, pecundang, beban.

“Aku tahu kau tidak kuat,” bisiknya. “Tapi kenapa berpura-pura?”

Aku mundur. Dadaku sesak. Dinding itu kini memantulkan diriku sendiri, semua kebohongan yang kubangun demi terlihat baik-baik saja. Aku menjerit padanya.

“Diam!”

Tapi suara itu tidak diam. Ia justru membalas, dengan suara yang kini seperti suaraku sendiri. Ia menirukan setiap kalimat yang pernah kuucap pada orang lain: “Kamu harus kuat.” “Jangan nyerah, ya.” “Aku di sini kok.”

Kalimat-kalimat yang selalu kusebutkan, meski aku sendiri tak pernah benar-benar percaya.

Aku meraih palu dari bawah meja. Langkahku berat, tapi pasti. Aku berjalan menuju dinding itu, dinding yang telah terlalu banyak tahu, terlalu banyak menyimpan, terlalu banyak mendengar. Aku tak ingin ia tahu lagi.

Dengan hentakan penuh amarah dan ketakutan, aku memukulnya. Sekali. Dua kali. Puluhan kali. Debu berhamburan. Kayu pecah. Udara dipenuhi serpihan kenangan.

Dan di balik dinding itu—tak ada apa-apa.
Hanya gelap dan suara napasku sendiri.

Rumah menjadi sunyi. Dan aku duduk di lantai, memandangi kehancuran yang kubuat.

Tapi sejak saat itu, dinding tak pernah berbicara lagi. Tak pernah menangis. Tak pernah mengetuk.
Dan aku? Aku kembali mendengar cerita orang lain. Dengan senyum, dengan anggukan, dengan “aku ngerti kok.”

Hanya saja, sekarang, aku tahu.
Bahwa ada bagian dalam diriku yang telah kukubur bersama dinding itu.

Dan malam-malamku kembali sunyi.
Terlalu sunyi.


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...