Ketika kereta Argo Parahyangan melaju menembus gelapnya malam, aku terduduk di kursiku, mencoba melupakan apa yang baru saja kulakukan. Tapi percuma. Setiap denting roda di rel terasa seperti gema napas terakhirnya. Wajahnya, ekspresi terkejut yang membeku dalam kematian, terus menghantuiku di setiap bayangan jendela.
Aku menggenggam belati kecil di dalam saku mantelku—belati yang telah kubersihkan, tapi tetap terasa berat, seolah masih membawa dosa yang menempel di ujungnya. Bau darahnya seakan masih melekat di ujung jariku. Tidak ada yang mencurigai aku. Penumpang lain sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tidak menyadari bahwa aku membawa rahasia gelap yang akan terus membayangiku.
Tapi bagaimana bisa aku sampai di sini? Semuanya bermula beberapa jam yang lalu, di Stasiun Cipeundeuy.
Stasiun itu lengang, diterangi lampu temaram yang memantulkan bayanganku di lantai basah. Aku turun dari Argo Parahyangan, berjalan dengan langkah yang sengaja kubuat santai. Kereta lain, Lodaya Malam, telah berhenti di peron sebelah. Aku menunggu di sudut gelap, mengamati penumpang yang naik dan turun, memastikan tidak ada yang memperhatikanku.
Ketika waktunya tepat, aku menyelinap masuk ke Lodaya Malam. Aku tahu persis di mana dia duduk—di gerbong eksekutif, dekat jendela, menikmati kopi hangat yang selalu dia pesan setiap perjalanan. Aku sudah menghafal kebiasaan Sutarto, korbanku, selama berminggu-minggu.
Setelah masuk ke gerbong, aku berdiri sejenak, memperhatikan punggungnya. Rencana itu terasa begitu sederhana di kepalaku, tapi berat ketika aku benar-benar harus melakukannya. Namun, amarah yang kupendam begitu lama memaksaku melangkah maju.
Beberapa menit sebelumnya, saat aku masih berada di Argo Parahyangan, aku menggenggam belati itu untuk memastikan ia siap digunakan. Aku terus memutar ulang ingatan akan wajah ayahku yang hancur karena ulah Sutarto. Dia telah menghancurkan keluargaku dengan tipu muslihatnya—menjebak kami dalam utang yang tidak mungkin kami lunasi. Ayahku memilih gantung diri daripada hidup dalam rasa malu.
Aku tahu malam ini adalah saatnya membalas dendam. Aku sudah menyusun rencana ini dengan sempurna. Kedua kereta berhenti di Stasiun Cipeundeuy selama beberapa menit, memberi cukup waktu untukku berpindah tanpa ada yang menyadari.
Dan sekarang, di gerbong Lodaya Malam, aku berdiri di belakang Sutarto. Napasnya tenang, seolah dunia tidak pernah mengguncangnya.
"Sutarto," bisikku pelan.
Dia menoleh, terkejut, dan untuk sesaat, matanya bertemu dengan mataku. Aku melihat ketakutan, tapi juga pengakuan. Dia tahu mengapa aku di sini.
"Apa... apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Keadilan," jawabku, dan tanpa ragu lagi, aku menghujamkan belati itu ke tubuhnya.
Ketika tubuhnya terkulai, aku membersihkan belati dengan saputangan, lalu meninggalkan gerbong itu dengan tenang. Ketika Lodaya Malam berhenti lagi di pemberhentian berikutnya, aku turun dan menyelinap kembali ke Argo Parahyangan, membawa rahasiaku bersamaku.
Kini, aku duduk di kursiku, mencoba menyembunyikan getaran di tanganku. Aku berhasil, pikirku. Tapi saat malam semakin larut, aku menyadari bahwa bayangannya tidak akan pernah meninggalkanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar