Kanvas Terakhir


BAYANG-BAYANG DI BALIK KANVAS

Malam itu, angin berembus pelan, membelai dinding-dinding rumah tua tempat Reza tinggal. Rumah itu, dengan catnya yang mulai terkelupas dan aroma kanvas yang bercampur terpentin, berdiri seperti saksi bisu dari segala emosi yang pernah tumpah di dalamnya.

Di dalam studio yang temaram, Reza menatap kanvas besar yang masih kosong. Kuas di tangannya gemetar sedikit—sebuah perasaan aneh menjalar dalam dadanya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan ruangan. Namun, ia menepis perasaan itu. Ia terlalu lelah untuk memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal.

Lamat-lamat, dentingan jam dinding tua menggema. Pukul dua dini hari. Suasana semakin sunyi, hanya terdengar suara angin yang menyusup melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Reza menghela napas panjang dan memutuskan untuk beristirahat. Ia berjalan menuju balkon, menghirup udara malam yang dingin. Kota Yogyakarta di malam hari begitu tenang, namun bagi Reza, ada sesuatu yang terasa berbeda. Seperti bayangan yang terus mengintai dari kejauhan.

Tiba-tiba, suara berderit terdengar dari belakangnya.

“Siapa di sana?” tanyanya, namun tak ada jawaban.

Reza berbalik, matanya menyapu ruangan, tetapi hanya ada gelap dan pantulan dirinya di kaca jendela. Ia menggeleng pelan, mencoba meyakinkan diri bahwa semua hanya permainan pikirannya sendiri.

Lalu, sesuatu menyentuh bahunya.

Jeritan tertahan, Reza terhuyung ke belakang. Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, tubuhnya terdorong dengan kekuatan tak terlihat. Udara dingin menampar wajahnya, dan gravitasi mulai menariknya jatuh.

Waktu seakan melambat. Dalam beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Reza melihat langit malam yang kelam, merasakan angin menerpa tubuhnya, dan dalam keheningan yang mencekam, ia menyadari satu hal—ini bukan kecelakaan. Ini bukan keputusasaan. Ini adalah akhir yang telah dirancang.

Tubuhnya membentur tanah dengan suara yang mengerikan.

Saat fajar menyingsing, jeritan seorang tetangga membelah kesunyian. Tubuh Reza tergeletak di halaman berbatu, kepalanya menghadap langit, matanya terbuka dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan—antara ketakutan dan keterkejutan. Darah yang mengalir dari pelipisnya membentuk pola aneh di lantai, seolah menggambarkan jejak-jejak kejatuhannya.

Polisi datang, mengamankan tempat kejadian perkara. Mereka melihat ke atas, ke balkon tempat Reza diyakini jatuh. Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Tidak ada sidik jari yang mencurigakan. Semua tampak seperti kecelakaan biasa—atau mungkin bunuh diri, begitu mereka menduga.

Di antara kerumunan yang berkumpul di depan rumah, berdirilah Gilang Mahendra. Wajahnya pucat, tangannya terkepal di dalam saku jaketnya. Ia menatap tubuh tak bernyawa itu dengan tatapan yang sulit diartikan—bukan duka, bukan keterkejutan, tetapi sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.

“Kasihan sekali,” bisik seorang warga.

“Dia selalu tampak gelisah akhir-akhir ini,” tambah yang lain.

Gilang menelan ludah. Ia tahu, semua mata kini beralih ke teori bunuh diri. Ia tahu, rencananya berjalan sempurna. Namun, jauh di dalam benaknya, sebuah suara kecil berbisik—apakah benar semuanya telah berakhir?

JEJAK YANG TERSEMBUNYI

Gilang menutup pintu studionya dengan pelan. Tangannya masih bergetar, meskipun di wajahnya tak tampak ekspresi bersalah. Ia berjalan ke meja kayu tempat berbagai sketsa tersusun rapi. Di antara kertas-kertas itu, ada satu yang menarik perhatiannya—sebuah potret Reza, digambar dengan detail yang mengerikan. Mata Reza dalam sketsa itu kosong, seolah melambangkan takdir yang telah menjemputnya.

Ia menghela napas, membayangkan kembali malam tadi. Betapa mudahnya mendorong tubuh itu ke dalam kehampaan. Tidak ada perlawanan, tidak ada jeritan yang nyata. Hanya momen singkat sebelum gravitasi mengambil alih.

Namun, ketukan keras di pintu membuat Gilang tersentak.

“Pak Gilang?” Suara seorang pria terdengar dari luar.

Gilang menarik napas, menenangkan dirinya sebelum membuka pintu. Seorang polisi berdiri di ambang pintu, matanya tajam menatapnya.

“Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal terkait kematian Pak Reza. Bisa kami masuk sebentar?”

Darah Gilang berdesir. Namun, ia tersenyum, memberi jalan bagi petugas untuk masuk. Di balik ketenangan yang ia tunjukkan, pikirannya berputar cepat. Apakah ada sesuatu yang tertinggal? Sebuah jejak yang tak seharusnya ada?

Ia harus memastikan semuanya tetap terkubur dalam bayang-bayang.

BAYANGAN DI BALIK MATA

Gilang duduk di dalam studionya, menatap potret Reza yang baru saja ia selesaikan. Goresan pensilnya tajam, membentuk ekspresi wajah yang tampak hidup, seolah Reza menatapnya langsung dari dalam kertas. Ia mengusap dahinya yang berkeringat, pikirannya melayang ke kejadian malam itu.

Ketukan di pintu kembali menggema, mengembalikan Gilang ke realitas. Polisi masih ada di luar. Ia menarik napas dalam, lalu berjalan dengan langkah terkontrol untuk membukakan pintu.

“Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal, Pak Gilang,” ujar petugas sambil mencatat sesuatu di buku kecilnya. “Anda terakhir kali bertemu dengan almarhum kapan?”

Gilang berpura-pura berpikir. “Hmm… dua hari lalu, kalau tidak salah. Kami sempat berbincang soal proyek ilustrasi bersama, tapi dia terlihat sangat kelelahan.”

Polisi itu mengangguk. “Ada yang aneh dengan perilaku almarhum?”

Gilang berusaha menampilkan ekspresi prihatin. “Sepertinya dia tertekan. Kadang berbicara sendiri, atau menatap kosong ke luar jendela.”

Polisi mencatat dengan saksama. Gilang menahan napasnya, mencoba menilai apakah kebohongannya cukup meyakinkan.

Sebelum polisi beranjak, salah satu dari mereka bertanya, “Anda mengenal seseorang bernama Sita Adiningrum?”

Gilang merasakan dadanya mencelos, tetapi ia segera menguasai dirinya. “Ya, tentu. Dia asisten Reza.”

“Kami baru saja berbicara dengannya,” kata polisi itu. “Dia mengatakan sesuatu yang menarik.”

Gilang menggenggam jemarinya erat. “Oh? Apa itu?”

Polisi itu menatapnya tajam, seakan mencoba membaca pikirannya. “Dia bilang Reza sering mendapat ancaman dari seseorang. Pesan-pesan misterius yang ditulis dengan cat merah di dinding studionya. Anda tahu sesuatu tentang itu?”

Gilang pura-pura mengernyit, padahal pikirannya langsung berputar cepat. Ia yakin telah menghapus semua jejak. Jika memang ada pesan yang tertinggal, siapa yang meletakkannya? Atau… apakah Reza sempat menyimpan sesuatu sebelum kematiannya?

“Saya tidak tahu soal itu,” jawab Gilang dengan suara mantap. “Tapi saya bisa bantu jika dibutuhkan.”

Polisi mengangguk. “Baiklah. Kami akan tetap menghubungi Anda jika ada perkembangan.”

Gilang menutup pintu dengan pelan. Seketika tubuhnya merosot ke kursi, napasnya memburu. Ada sesuatu yang tidak beres. Seseorang tahu lebih dari yang seharusnya.

Ia bangkit, berjalan menuju lemari tua di sudut ruangan. Dengan tangan bergetar, ia menggeser beberapa tumpukan kertas dan menarik sebuah buku sketsa lama. Di balik halaman-halaman berisi ilustrasi, terselip sebuah surat yang sudah menguning.

Ia membuka surat itu dengan hati-hati. Isinya hanya satu kalimat pendek yang membuat jantungnya berhenti berdetak:

“Aku tahu apa yang kau lakukan. Kau tak akan bisa melukis lagi tanpa melihat bayanganku.”

Gilang menatap tulisan itu dengan mata membelalak. Ia mengenali goresan tangannya sendiri. Tetapi ia tidak ingat pernah menulisnya.

Bayangan Reza kembali muncul di benaknya, seolah berbisik di telinganya dengan suara yang dingin.

Malam semakin gelap. Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, Gilang merasa ketakutan.

KANVAS YANG BERBICARA

Hari berikutnya, Gilang mencoba mengabaikan surat itu. Ia membakar kertas tersebut, memastikan tidak ada jejak tersisa. Namun, semakin ia berusaha melupakannya, semakin kuat bayangan Reza mengikutinya.

Lukisan-lukisannya terasa berbeda. Wajah-wajah yang ia gambar tampak seperti sedang menatapnya dengan mata kosong, seolah-olah memendam rahasia yang tak terkatakan. Saat ia mulai melukis potret baru, tangannya bergerak sendiri, menciptakan sosok yang tak ia kenali. Sosok itu… mirip dengan Reza.

Ketukan kembali terdengar di pintu. Kali ini bukan polisi, melainkan Sita.

“Gilang,” suaranya gemetar, “ada sesuatu yang harus kamu lihat.”

Sita menyerahkan sebuah sketsa. Itu adalah gambar terakhir yang Reza buat sebelum kematiannya. Gilang menatapnya dengan cermat—wajah dalam gambar itu adalah dirinya sendiri, dengan mata yang kosong dan senyum yang ganjil.

“Dia menggambar ini sebelum jatuh dari balkon,” kata Sita dengan suara bergetar. “Seolah-olah dia tahu sesuatu akan terjadi.”

Gilang merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. Ia menelan ludah, mencoba tetap tenang. Tapi ada satu hal yang lebih mengganggunya—di sudut bawah sketsa, tertulis satu kalimat pendek:

“Aku masih di sini.”

Lukisan di studio seakan bergerak di sudut pandangnya. Udara di dalam ruangan terasa semakin berat. Gilang menyadari satu hal yang mengerikan—Reza belum benar-benar pergi.

Dan kini, ia menuntut jawaban.

GORESAN TERAKHIR

Gilang mengunci diri di dalam studionya. Suara-suara berbisik di sudut pikirannya, memanggilnya dengan nada yang lembut namun mengancam. Ia menatap kanvas kosong di depannya, kuas di tangannya gemetar.

Bayangan Reza terus muncul di setiap sudut ruangan. Di cermin, di pantulan jendela, di antara tumpukan sketsa yang berserakan di lantai. Ia tahu ini bukan halusinasi biasa. Ada sesuatu yang lebih nyata dari sekadar rasa bersalah.

Suara ketukan menggema dari pintu.

“Gilang?” suara Sita terdengar di balik kayu.

Gilang tidak menjawab. Ia hanya menatap kanvasnya yang tiba-tiba menampilkan bayangan samar seorang pria—sosok Reza, dengan mata kosong yang menatapnya tajam.

Tiba-tiba, seakan tangannya digerakkan oleh sesuatu yang tak terlihat, Gilang mulai melukis dengan liar. Kuasnya menari di atas kanvas, menciptakan wajah Reza dalam detail yang menyeramkan. Setiap goresan menambah kedalaman pada ekspresi menyeramkan itu, seolah-olah Reza benar-benar hidup dalam lukisan.

Keringat membasahi pelipisnya. Gilang mundur, napasnya tersengal-sengal. Ia ingin berhenti, tetapi tangannya terus bergerak.

Ketukan di pintu semakin keras. Kali ini suara Sita bercampur dengan suara lain.

“Gilang, buka pintunya!”

Tiba-tiba, lampu di studio berkedip dan padam. Dalam kegelapan, hanya ada satu hal yang terlihat—cahaya redup dari lukisan yang baru saja ia buat. Mata Reza dalam lukisan itu... bergerak.

Gilang menjerit dan terpental ke belakang. Tubuhnya gemetar hebat.

“Kau tidak bisa lari dariku, Gilang.”

Suara itu datang dari dalam lukisan.

Ketika pintu akhirnya didobrak, Sita dan beberapa polisi menemukan Gilang terduduk di sudut ruangan, tubuhnya kaku dan tatapannya kosong menatap ke depan. Di kanvas di hadapannya, potret Reza telah berubah.

Di bawah wajah Reza yang menyeramkan, kini ada sosok lain—sosok Gilang, dengan mata ketakutan dan mulut yang terbuka lebar dalam jeritan abadi.

Lukisan itu menjadi saksi bisu dari kisah kelam yang telah usai.

Namun, apakah benar-benar usai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...