Aku selalu percaya bahwa seni adalah cerminan jiwa, dan aku adalah seorang seniman. Namun, bukan dengan kuas aku berkarya, melainkan dengan rencana yang terperinci, detail yang sempurna, dan eksekusi yang tanpa cela. Malam ini, mahakaryaku akan selesai—sebuah kematian yang tak meninggalkan jejak.
Hujan turun rintik-rintik di kota Yogyakarta. Angin dingin merayap di antara gang-gang sempit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Aku berdiri di balik tirai tebal di sudut kamar apartemen ini, mengawasi Reza Pramana, sang ilustrator besar, yang sedang sibuk di studionya. Ia menatap kanvas kosong, frustrasi, seakan jiwanya sendiri telah habis terperas oleh goresan tangannya.
Aku tersenyum. Ia tak tahu bahwa malam ini akan menjadi akhir dari semua itu.
Dengan hati-hati, aku meraih gulungan kawat tipis yang telah kupersiapkan. Transparan, nyaris tak terlihat di cahaya redup lampu kamar. Aku bekerja cepat dan senyap, mengikatnya ke pegangan besi balkon di lantai dua apartemen ini. Panjangnya sudah kuukur dengan cermat—cukup tinggi untuk mengenai pergelangan kakinya jika ia berjalan mendekat ke tepi.
Sekarang, tinggal memancingnya.
Aku melangkah perlahan ke dalam ruangan, menyapu pandanganku ke meja kerja yang dipenuhi sketsa dan tumpukan kertas bertuliskan catatan kecilnya. Aku mengambil salah satunya—sebuah gambar setengah jadi yang tampak seperti sosokku. Sepertinya, dalam ketidaksadarannya, Reza sudah mulai merasakan keberadaanku.
Aku merobek kertas itu, meremasnya, lalu melemparkannya ke lantai. Tak cukup hanya itu. Aku menggeser beberapa benda di atas meja dengan gerakan yang cukup kasar, menciptakan suara samar yang cukup untuk membuatnya menoleh.
“Siapa di sana?” Suaranya waspada, tetapi tak segera beranjak dari kursinya.
Aku diam, menunggu.
Beberapa detik berlalu, lalu ia bangkit. Matanya menyapu ruangan, alisnya berkerut. Aku bisa merasakan pikirannya berputar—mencari-cari logika dari sesuatu yang tampaknya tak masuk akal. Aku mundur ke sudut ruangan, membiarkan bayanganku menyatu dengan gelapnya malam di luar jendela.
Reza melangkah mendekat. Aku tahu kebiasaannya. Ia selalu memiliki insting untuk berdiri di balkon saat merasa jenuh, mencari udara segar sebelum kembali melukis. Dan benar saja, ia berjalan ke arahnya.
Satu langkah… dua langkah…
Lalu—
Tersandung.
Jeritannya terputus ketika tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia mencoba meraih sesuatu, tetapi tak ada yang bisa menahannya. Aku melihatnya dalam gerakan lambat, ekspresi kagetnya yang terpantul di kaca jendela sebelum tubuhnya menghantam tanah basah di bawah sana dengan suara yang tumpul.
Hening.
Aku menunggu beberapa saat, mendengar suara hujan yang masih setia menemani malam. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari bawah sana. Dengan tenang, aku melangkah ke balkon, mengamati tubuh yang kini tak bergerak lagi. Darah mengalir perlahan dari pelipisnya, bercampur dengan genangan air hujan di trotoar.
Sempurna.
Aku melepas kawatnya dengan hati-hati, menggulungnya kembali dan memasukkannya ke dalam saku. Tak ada jejak, tak ada saksi. Hanya sebuah kecelakaan tragis yang akan memenuhi halaman depan koran esok pagi.
Aku tersenyum tipis dan melangkah keluar dari apartemen itu. Jalanan malam masih sunyi, hanya suara air yang menetes dari genting dan angin yang berdesir pelan. Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma tanah yang basah—aroma yang mengiringi kemenangan kecilku.
Seni adalah cerminan jiwa. Dan malam ini, aku telah menciptakan mahakarya yang tak akan pernah dilupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar