Pintu Terakhir

Sore itu, aku sedang duduk di ruang kerjaku, sebuah tempat yang selalu menjadi benteng bagi pikiranku yang rumit. Dindingnya dihiasi rak buku penuh dengan volume tentang taktik, strategi, dan filsafat yang sering kugunakan sebagai pedoman dalam hidup. Sebuah jam antik di sudut ruangan berdetak perlahan, mengiringi pikiranku yang sibuk merancang rencana berikutnya.

Namun, ketenangan itu pecah oleh getaran ponselku di atas meja. Pesan singkat muncul di layar.

"Reinaldo, aku ingin kita bicara. Malam ini, di kamar 307 Hotel Astana. Aku tunggu."

Aku membaca pesan itu sekali, dua kali, bahkan tiga kali, mencoba menangkap makna tersembunyi di balik kata-katanya. Pesannya sederhana, tanpa embel-embel atau basa-basi. Tapi justru kesederhanaannya yang membuat pikiranku tergelitik.

Tidak ada sapaan akrab seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda emosi dalam pesan itu, seolah-olah ditulis dengan tangan yang dingin dan pikiran yang tanpa perasaan. Aku tahu siapa yang mengirimkannya—seseorang yang kupikir telah kukendalikan sepenuhnya.

Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan ganjil yang menyelinap ke dalam diriku, seperti hembusan angin dingin yang tiba-tiba menyusup ke dalam ruangan yang hangat.

Aku meletakkan ponsel itu kembali di meja, mencoba melanjutkan pekerjaanku, tetapi konsentrasiku telah lenyap. Kata-kata dalam pesan itu terus bergema di benakku, menciptakan resonansi yang tidak nyaman.

“Kenapa sekarang?” pikirku. “Kenapa dia tiba-tiba ingin bicara? Apa yang dia tahu?”

Aku mencoba mencari alasan yang masuk akal. Mungkin ini hanya salah satu usahanya untuk menantangku, untuk mencari celah dalam benteng yang telah kubangun. Tapi di balik semua logika itu, ada ketakutan samar yang tidak bisa kuhapus.

Aku melirik ke arah jendela. Langit di luar mulai memerah, matahari hampir tenggelam di balik cakrawala. Cahaya senja menciptakan bayangan panjang di ruangan itu, bayangan yang tampak seperti tangan-tangan gelap yang mencoba meraihku.

Aku meneguk segelas anggur merah yang ada di mejaku, mencoba menenangkan diri. Tapi bahkan anggur itu terasa pahit, meninggalkan jejak asam di lidahku.

Ketika waktu mendekati malam, aku memutuskan untuk pergi. Tapi kali ini, persiapanku tidak seperti biasanya. Biasanya, aku merasa percaya diri, seperti seorang penguasa yang melangkah ke medan perang yang sudah pasti dimenangkannya. Tapi malam ini, aku merasa seperti seorang bidak yang melangkah ke dalam permainan yang tidak kuketahui aturannya.

Aku mengenakan jas hitam yang biasa menjadi simbol kekuasaanku, memastikan setiap lipatan sempurna. Tapi meskipun penampilanku rapi, ada rasa gelisah yang tidak bisa kusembunyikan. Aku memeriksa ulang dasi, menyemprotkan parfum favoritku, tetapi tidak ada yang bisa menghapus perasaan aneh itu.

Aku mengambil ponselku, membaca pesan itu sekali lagi. Kata-kata itu terasa lebih berat sekarang, seperti ancaman yang tidak terucap.

“Kenapa Hotel Astana?” pikirku. Hotel itu tidak istimewa, bahkan cenderung biasa saja. Namun, pemilihan tempat itu terasa disengaja, seperti bagian dari rencana yang lebih besar.

Perjalanan menuju hotel terasa lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, deru kota yang sibuk menjadi musik latar dalam pikiranku yang sibuk. Tapi malam ini, semuanya terasa tenang, terlalu tenang.

Ketika aku sampai di depan Hotel Astana, aku berhenti sejenak, memandang bangunan itu dengan pandangan curiga. Hotel itu tampak tua, dengan dinding yang mulai memudar dan lampu neon yang berkedip-kedip.

Aku turun dari mobil, mencoba menyembunyikan kegelisahanku di balik langkah yang tegas. Tapi setiap langkahku terasa lebih berat, seolah-olah lantai di bawahku adalah pasir hisap yang perlahan-lahan menarikku ke dalam.

Aku memasuki lobi hotel, aroma karpet tua segera menyerang indra penciumanku. Resepsionis yang duduk di belakang meja tampak tidak peduli, hanya melirikku sekilas sebelum kembali fokus pada layar komputernya.

Aku menuju lift, memencet tombol angka tiga, dan menunggu. Suara mekanisme lift yang bergerak terdengar seperti jeritan logam yang kelelahan. Ketika pintu terbuka, aku melangkah masuk, merasakan ruangan sempit itu menekan sekelilingku.

“307,” gumamku pelan, seperti mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku masih memiliki kendali.

Ketika aku sampai di depan pintu itu, aku berhenti sejenak. Angka "307" tertera di atasnya, kecil dan sederhana. Tapi pintu itu sendiri tampak besar dan mengintimidasi, seperti pintu gerbang ke dunia yang tidak kukenal.

Aku mengetuk perlahan. Suara ketukanku terdengar lebih keras dari yang kuharapkan, menggema di koridor yang sepi. Tidak ada jawaban.

Aku mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Dan kemudian pintu itu terbuka perlahan, tanpa suara.

Dia berdiri di sana, tersenyum tipis. Wajahnya yang biasanya penuh emosi kini tampak kosong, seperti topeng yang menutupi sesuatu yang gelap.

“Masuk,” katanya, suaranya lembut tetapi penuh dengan sesuatu yang tidak bisa kutangkap.

Aku melangkah masuk dengan penuh percaya diri, seperti raja yang melangkah ke istananya. Namun, ketika aku masuk, udara terasa berat, seolah setiap langkahku membuatku semakin tenggelam ke dalam rawa yang tak terlihat.

Kami berbicara. Aku berbicara, lebih tepatnya. Kata-kataku deras mengalir, penuh kesombongan dan kebanggaan atas apa yang telah kucapai. Dia mendengarkan dengan senyum kecil di wajahnya, tapi di balik itu, ada sesuatu yang lain.

Ketika aku meminum anggur yang dia tawarkan, aku merasa seperti diriku biasa: tak terkalahkan. Tapi detik berikutnya, tubuhku terasa aneh. Panas. Berat. Semua kepercayaan diri itu mulai memudar, digantikan oleh sesuatu yang jarang kurasakan: ketidakberdayaan.

Aku mencoba berdiri, tetapi lututku melemas. Aku mengangkat tangan untuk menunjuknya, untuk bertanya apa yang dia lakukan, tetapi tanganku hanya menggantung di udara sebelum jatuh ke sisi tubuhku.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku, tetapi suaraku terdengar parau, hampir tak bisa dikenali.

Dia tersenyum, senyum yang membuat darahku membeku. “Tenang, Reinaldo. Kau sudah waktunya istirahat.”

Aku mencoba melawan. Aku memerintahkan kakiku untuk berdiri, tetapi tubuhku tidak mendengar. Aku memerintahkan tanganku untuk menyerangnya, meraih apa saja yang ada di dekatku, tetapi tangan itu hanya gemetar lemah.

Frustrasi itu seperti api yang membakar dadaku. “Aku tidak seperti ini! Aku adalah Reinaldo! Aku tidak pernah kalah!” pikirku, berulang-ulang, seperti mantra yang kuucapkan untuk diriku sendiri.

Namun, mantra itu tidak berpengaruh. Aku hanya bisa terbaring di sofa, tubuhku lumpuh.

“Mungkin ini hanya mimpi.”
“Mungkin aku bisa pura-pura mati, lalu menyerangnya saat dia lengah.”
“Mungkin seseorang akan datang dan menyelamatkanku.”

Tetapi aku tahu, di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, bahwa semua itu hanyalah kebohongan. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada yang datang. Aku sendirian, terperangkap dalam tubuhku sendiri.

Ketika dia berdiri di atasku, aku tahu inilah akhirnya. Aku mencoba berbicara, memohon, tetapi kata-kata terjebak di tenggorokanku. Pandanganku kabur, tapi aku masih bisa melihat matanya—mata yang penuh kebencian, tapi juga ketenangan yang menyeramkan.

“Apa yang kau inginkan?” akhirnya aku berhasil berbisik, suara itu hampir tak terdengar.

Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, sehingga aku bisa merasakan nafasnya di kulitku. “Aku ingin kau merasakan apa yang orang lain rasakan karena dirimu. Ketakutan. Ketidakberdayaan. Kematian.”

Pisau itu menyentuh kulitku, dingin seperti es. Aku menjerit, tapi jeritan itu hanya bergema di dalam diriku sendiri. Ketakutan memenuhi setiap sudut pikiranku. Aku membayangkan darahku mengalir, tubuhku tergeletak tak bernyawa. Aku membayangkan namaku di koran pagi, kisah hidupku yang terpotong oleh sesuatu yang tak bisa kukendalikan.

Ketika rasa sakit itu akhirnya datang, itu tidak seperti yang kubayangkan. Tidak ada kesakitan fisik yang bisa menandingi penderitaan mental yang kuhadapi saat itu. Aku merasakan hidupku perlahan memudar, dan dengan setiap detak jantung yang tersisa, ketakutanku semakin besar.

Aku takut pada kegelapan yang akan datang, pada kehampaan yang menanti. Aku takut pada apa yang mungkin terjadi setelah mati—apakah ada hukuman? Apakah dosa-dosaku akan dibalas?

Dan di atas segalanya, aku takut pada dirinya, pada mata dingin yang tetap menatapku bahkan ketika napasku mulai hilang.

Ketika aku terbangun, atau setidaknya merasa sadar, aku tidak tahu di mana aku berada. Segalanya gelap, sunyi, kecuali satu hal: suara Tok. Tok. Tok.

Ketukan itu berirama, pelan, tetapi semakin mendekat. Aku ingin bergerak, ingin melihat dari mana suara itu berasal, tetapi aku terjebak, tubuhku terasa berat seperti ditambatkan ke bumi.

Ketukan itu semakin keras, semakin jelas, seperti ada seseorang yang mengetuk pintu yang tak terlihat. Dan kemudian, aku menyadarinya—itu adalah pintu kamarku, pintu tempat aku terbunuh.

Apakah itu dia? Apakah dia kembali untuk memastikan aku benar-benar mati? Ataukah itu seseorang yang lain, seseorang yang datang untuk mencari keadilan atas kematianku?

Ketukan itu tak berhenti. Tok. Tok. Tok.

Dan di tengah suara itu, aku mendengar detak jantungku sendiri, lemah, tetapi terus bertahan, seperti menolak menyerah pada maut.

Tok. Tok. Tok.

Aku mencoba berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar. Dunia menjadi semakin gelap, dan suara ketukan itu berubah menjadi gemuruh yang memenuhi seluruh keberadaanku.

Ketika suara itu akhirnya berhenti, aku merasa tubuhku mulai memudar, larut ke dalam kekosongan. Tetapi sebelum aku benar-benar hilang, satu hal terakhir muncul dalam pikiranku: wajahnya. Wajah yang penuh kemenangan, tetapi juga dipenuhi bayangan ketakutan.

Apakah dia mendengar ketukan itu juga? Apakah pintu itu akan diketuk untuknya suatu hari nanti?

Aku tidak tahu. Tetapi aku tahu satu hal pasti—pintu itu tidak akan pernah benar-benar tertutup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...