Di Ujung Jalan Itu

Malam melahirkan dingin, menusuk dada

Kita duduk berdua, tanpa kata - hanya

derak ranting kering jadi saksi.

Langit hitam, tak ada bintang

seperti dompet kita - kosong, berdebu,

ngganga.


"Besok makan apa?" tanyamu,

dengan mata lelah, tangan gemetar.

Aku ingin menjawab, tapi kata-kata itu

serasa batu, menyesak di tenggorokan.


Cinta ini, katamu dulu,

seperti api unggun - tak akan padam walau

badai menerjang.

Tapi lihatlah kita sekarang

api itu, kecil hampir mati

Kita pernah bermimpi tentang rumah kecil, 

di pinggir ladang padi,

anak-anak berlari di halaman,

tapi mimpi itu kini abu di telapak tangan.


"Aku lelah", gumammu

Aku tahu maksudmu. Lelah lapar, lelah

hidup.

Tapi aku tidak bisa membiarkan kita karam 

di laut kemiskinan yang menggulung -

gulung ini.


Di ujung jalan itu,

kita hanya punya satu pilihan

berjalan, meski dengan kaki luka, 

atau diam, menjadi batu.

Dan aku memilih berjalan.

Karena aku mencintaimu - bukan untuk hari ini,

tapi untuk sebuah fajar yang mungkin,

meski jauh,

pasti akan tiba.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...