Asri SI BOCAH TENGIL #1Kenalan Sama Asri!


Di tengah hiruk-pikuk kehidupan Yogyakarta, Asri, seorang bocah tengil yang selalu bikin onar, menjalani hari-harinya dengan segudang keisengan, petualangan konyol, dan kehangatan keluarga yang penuh drama. Bersama sahabat-sahabatnya, ia menghadapi beragam kejadian seru-dari masalah sekolah, rencana iseng yang sering berujung bencana, hingga pertengkaran kocak dengan kakaknya yang galak. Dalam setiap kekacauan yang ia buat, ada satu hal yang selalu melekat: semangatnya yang tak pernah padam untuk menjalani hidup dengan cara yang paling Asri-bebas, lucu, dan tanpa beban.

Kenalan Sama Asri!

Angin pagi berhembus dari celah jendela yang separuh terbuka, membawa aroma tanah basah yang masih tersisa dari hujan semalam. Langit di atas Yogyakarta masih berwarna biru keunguan, seakan ragu untuk menyambut mentari yang sebentar lagi akan menyala garang di atas kepala. Di kejauhan, ayam jantan mulai bernyanyi, menyusul suara azan Subuh yang baru saja usai.

Tapi di dalam sebuah rumah kecil bercat hijau muda di gang sempit daerah Kotagede, sudah ada satu makhluk yang sejak tadi ribut bukan main.

"Buk! Buk! Kak Tari!"

Suara itu menggelegar seperti petir. Sebuah lemari kayu tua berguncang hebat, nyaris tumbang, seiring dengan tangan kecil yang sibuk mengacak-acak isi di dalamnya. Kaus kaki, buku pelajaran, hingga pita rambut beterbangan keluar, berserakan di lantai.

"Asriiiiiii!!!"

Seorang gadis remaja dengan rambut masih basah keluar dari kamar mandi, wajahnya penuh amarah. Itu Tari, kakak Asri. Yang lahir dua tahun lebih dulu, tapi merasa seolah membawa tanggung jawab menjaga anak satu kampung.

"As— Astaghfirullah, Asri! Apa-apaan kamu ngerusak kamarku?!?"

"Aku nyari kaus kaki, Kak! Punyaku hilang semua!"

"Lha terus, kenapa ngacak-acak kamarku?!? Pikirannya taruh di kepala, bukan di dengkul!"

Tari menarik kerah baju adiknya, menyeret bocah tengil itu keluar dari kamar dengan kasar. Asri menggelepar-gelepar seperti ikan lele yang baru ditangkap dari empang, berusaha melepaskan diri, tapi Tari tak peduli.

Dari dapur, terdengar suara seorang perempuan dengan nada yang sudah terlalu akrab dengan kekacauan semacam ini.

"Asri! Tari! Cepetan sarapan! Kalian mau telat sekolah!"

Asri, yang sudah bebas dari cengkeraman kakaknya, langsung lari ke meja makan. Kursi plastik berwarna biru berdecit ketika ia duduk dengan kasar. Di hadapannya, sepiring nasi goreng mengepul dengan telur ceplok yang kuningnya masih setengah matang.

Ibu datang dengan daster lusuhnya, tangan masih memegang spatula. Matanya menatap Asri penuh curiga.

"Kamu bikin onar lagi, ya?"

Asri pura-pura tak mendengar. Ia sudah menyendok nasi goreng dan mengunyah dengan nikmat. Tari duduk di seberangnya dengan wajah masih merengut.

"Asri ini lho, Bu! Pagi-pagi sudah bikin orang naik darah!"

Asri menelan makanannya cepat-cepat. "Lha salahku apa? Aku cuma nyari kaus kaki!"

"Lha itu yang di kakimu apa?" Tari menunjuk ke bawah meja.

Asri melongok ke bawah. Sepasang kaus kaki biru dengan gambar Doraemon sudah melilit di kakinya.

"Oh… Lha kok udah ada?"

Ibu langsung menepuk dahinya. "Astaghfirullah, Asri! Pagi-pagi sudah bikin geger!"

Di ujung meja, seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan hanya terkekeh pelan. Itu bapak. Sejak tadi ia sibuk membaca koran, sesekali menyeruput kopi hitam kental dalam gelas kecil.

"Sudah, sudah. Makan dulu, nanti telat," katanya dengan suara datar.

Setelah sarapan dan berpamitan, Asri dan Tari naik sepeda menuju sekolah. Matahari mulai naik sedikit demi sedikit, cahayanya menembus celah pohon rindang di sepanjang jalan. Beberapa pedagang kaki lima mulai membuka dagangan mereka, menata gerobak, menghidupkan kompor, dan mengipas-ngipas arang. Aroma gorengan mulai mengudara.

Tari mengayuh sepedanya dengan anggun, penuh kehati-hatian. Sementara Asri?

"Asri! Pelan-pelan! Nanti jatuh!" teriak Tari dari belakang.

Tapi Asri tertawa lebar. "Santai, Kak! Aku udah kayak pembalap ini!"

Baru saja ia selesai bicara, roda sepedanya masuk ke lubang kecil di jalan.

"WOAAAA!!"

BRUKK!

Asri terlempar ke semak-semak di pinggir jalan. Daun-daun dan ranting-ranting kecil menempel di rambutnya yang berantakan. Tari berhenti, memandang adiknya dengan ekspresi penuh kepasrahan.

"Ya Allah, Asri… Pagi-pagi udah bikin kekacauan…"

Sementara itu, di dalam semak-semak, Asri hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mencerna kejadian barusan.

"Yah… kayanya aku nggak jadi pembalap deh…"

Dan begitulah kehidupan Asri, bocah tengil dari Jogja, yang setiap harinya selalu membawa kekacauan baru.

Bersambung…


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...