Malam itu kelam, terlalu kelam untuk sebuah rumah yang pernah menjadi istana cinta. Angin menusuk celah-celah jendela tua, melolong seperti jiwa-jiwa tersesat. Di sudut ruangan, ia duduk. Tangisnya bukan lagi air mata biasa—itu adalah jeritan roh yang terbelenggu, meratap pada sesuatu yang tak mampu ia jangkau.
Aku, suaminya, berdiri di ambang pintu. Tubuhku gemetar, bukan oleh dingin malam, tetapi oleh rasa bersalah yang mencakar dari dalam. Bayangannya, kusut dan rapuh, menempel pada lantai seperti arwah yang belum pergi. Namun, aku tidak mendekat. Tidak bisa.
Tangisnya menjadi semakin pelan, tapi tak kalah mengerikan. Itu seperti denting jam tua di ruangan kosong—setiap bunyinya menambah berat di dada, setiap bunyinya mendekatkan aku pada kegilaan. Aku mundur, tercekik oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Ketika aku memutar tubuh untuk pergi, sesuatu di balik punggungku memanggil—bukan suara, bukan tangan, tetapi kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Seperti bayangan gelap yang melompat dari dinding, melingkari tubuhku, memaksaku menoleh kembali padanya. Dan saat aku menatapnya, aku tahu... tangis itu bukan hanya kesedihan; itu adalah lubang tanpa dasar.
Aku mundur lagi, tanganku menyentuh pintu, berharap kayunya cukup kuat untuk memutus apa yang mengikatku. "Maaf," bisikku, suara itu hampir tidak keluar. Tapi aku tahu kata itu hampa, seperti aku sendiri.
Aku pergi, pintu tertutup di belakangku dengan suara berat. Dan saat aku berjalan menjauh, aku bisa merasakan sesuatu—bayangan, bisikan, atau mungkin kutukan—mengikuti langkahku. Aku tidak berani menoleh lagi. Tapi di dalam hatiku, aku tahu: aku telah meninggalkan lebih dari seorang istri yang menangis. Aku telah meninggalkan sepotong jiwaku yang akan terus menuntut, terus memanggil, terus menghantuiku.
Malam itu, tangisnya berhenti. Tapi di dalam pikiranku, suara itu akan bergema selamanya.
Aku berjalan jauh, melawan angin malam yang menggigit, tapi suara itu tetap bersamaku. Bukan hanya suara tangisnya, tetapi gema yang lebih gelap, lebih pekat, seperti napas dari sesuatu yang hidup di antara dinding-dinding rumah itu.
Ketika aku akhirnya berhenti di tengah hutan kecil, nafasku terengah. Kupikir, jarak akan menghapus bayangannya. Tapi saat aku menatap ke kegelapan di sekitarku, aku melihat sesuatu—kabut yang bergerak dengan niat, menggulung di antara pepohonan, seolah tahu ke mana aku pergi.
"Maaf!" teriakku lagi, kali ini lebih keras, mencoba mematahkan cengkeraman yang tak terlihat. Tapi suaraku tenggelam, ditelan oleh malam yang terlalu sunyi.
Lalu aku mendengar langkah. Lembut, hampir seperti bisikan, tapi semakin mendekat. Aku memutar tubuh, tapi tidak ada siapa pun. Angin berhenti, dan udara terasa berat, seperti ruangan yang tertutup terlalu lama.
"Kenapa kau pergi?" Suara itu muncul di belakangku, serak, dingin, tapi sangat familiar. Aku tahu itu suaranya—istri yang kutinggalkan, tapi ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak manusiawi dalam nada itu.
"Kau tidak di sini," bisikku, setengah meyakinkan diriku sendiri. "Kau di rumah."
Tawa kecil yang retak mengisi udara. "Rumah?" katanya, dan aku merasakan sesuatu menyentuh pundakku. Aku melompat, berputar, tapi hanya ada bayangan. "Rumah bukan lagi milik kita. Kau meninggalkannya, dan meninggalkanku."
Aku ingin lari, tapi tubuhku terpaku. Bayangan di sekelilingku mulai bergerak, membentuk sesuatu—siluetnya, wajahnya, tapi matanya kosong, hitam seperti lubang tanpa dasar.
"Aku hanya butuh kau tinggal," katanya, mendekat. "Tapi kau memilih pergi. Sekarang kau harus tahu apa artinya ditinggalkan."
Aku mencoba mundur, tapi kakiku terjerat akar yang tak terlihat. Bayangan itu semakin dekat, dan udara menjadi dingin hingga napasku membeku di tenggorokan.
"Aku minta maaf," bisikku lagi, tapi suaraku hilang.
"Maaf tidak cukup." Suaranya berubah, lebih dalam, lebih berat. Wajahnya memudar, berganti menjadi sesuatu yang tak bisa kugambarkan—bentuk yang menelan cahaya, seperti malam yang hidup. "Sekarang kau milikku, seperti aku pernah menjadi milikmu."
Sebelum aku bisa berteriak, dunia di sekitarku runtuh. Kegelapan menelanku sepenuhnya, dan tangisan itu—tangisannya—menggema di dalam kepalaku, menjadi satu-satunya suara yang tersisa.
Aku tidak pernah benar-benar pergi darinya. Dan kini, aku tahu, aku tidak akan pernah benar-benar bebas.
Aku terbangun di suatu tempat yang tidak kukenal. Ruangan itu dingin, dinding-dindingnya berlapis batu hitam yang berkilauan seperti permukaan cermin yang retak. Tidak ada pintu, tidak ada jendela, hanya kegelapan yang memeluk segala sesuatu. Tapi aku tidak sendiri.
Di tengah ruangan, berdiri sosoknya. Ia menatapku dengan mata yang bukan lagi milik manusia—dua lingkaran kosong, dalam, dan berdenyut seperti pusaran malam. Wajahnya adalah wajah istriku, tapi senyumnya tipis, dipahat oleh kebencian dan kepedihan.
"Kau telah kembali," katanya, suaranya kini bukan lagi ratapan melainkan perintah. "Tempat ini adalah rumah kita sekarang. Tidak ada jalan keluar."
Aku mencoba berbicara, meminta penjelasan, tapi suaraku hilang, ditelan oleh udara tebal yang penuh bisikan—bisikan dari dirinya, dari bayang-bayang di dinding, dari sesuatu yang tak kasat mata tetapi ada di mana-mana.
"Apa yang kau mau?" tanyaku akhirnya, suaraku terdengar kecil, seperti anak yang tersesat.
Ia tersenyum lebih lebar, tetapi bukan senyuman yang lembut. Itu adalah senyum seseorang yang telah menang. "Aku hanya ingin kau merasakan apa yang kurasakan," bisiknya, mendekat hingga aku bisa merasakan dinginnya napasnya di kulitku. "Kesepian, rasa ditinggalkan, dan rasa kehilangan yang abadi."
Dari dinding ruangan, bayangan mulai merayap, menyentuh kulitku, menyusup ke dalam pikiranku. Aku melihat kilasan—wajahnya menangis sendirian, suara pintu yang kututup dengan kasar, langkah kakiku menjauh. Tapi itu tidak berhenti di sana. Aku melihat lebih banyak—bayangannya, menunggu di sudut ruangan yang dingin, menunggu hingga malam melahapnya. Dan kemudian, aku melihatnya berbisik sesuatu ke kegelapan, memanggil sesuatu yang tak seharusnya datang.
"Aku... aku minta maaf," ucapku, tanganku gemetar.
"Kau akan minta maaf selamanya," katanya, suaranya penuh kepastian.
Tiba-tiba, ruangan itu berubah. Dinding-dindingnya memanjang, menjadi labirin tanpa ujung, setiap sudutnya dihuni oleh bayangan yang menangis, memanggilku dengan suaranya. Aku mulai berlari, mencoba menemukan jalan keluar, tapi setiap langkah membawaku kembali ke tempat yang sama—ke dirinya, menungguku di tengah kegelapan.
"Apa ini?" teriakku.
"Ini adalah rumahmu sekarang," katanya. "Seperti aku terjebak dalam tangisku, kini kau terjebak dalam bayanganku."
Dan aku tahu, saat itu juga, bahwa aku tidak akan pernah keluar. Aku akan terus berlari, mendengar tangisan yang tak pernah berhenti, dikelilingi oleh bayangan yang mengingatkanku pada dosa yang tak bisa dihapus.
Begitulah caranya membalas dendam: bukan dengan kemarahan, tapi dengan menjadikanku bagian dari kesedihannya, selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar