Aku berjalan sendirian di tengah senja yang terbenam. Langit memerah, namun hatiku kosong, tak ada warna. Pikiran-pikiranku berputar-putar, seperti angin yang tak bisa berhenti. Ada semacam keheningan dalam diriku yang begitu berat. Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai merasa seperti ini, seolah setiap langkahku semakin menjauh dari dunia yang lain, dari orang-orang yang mungkin masih mampu merasakan kebahagiaan.
Keinginan untuk selalu sendiri telah menjadi bagian dari diriku. Aku merasa telanjang—tanpa pelindung, tanpa harapan, seolah aku hanyalah bayangan yang mengembara tanpa tujuan. Bahkan pikiranku pun terasa tidak berfungsi dengan benar, seperti mesin yang kehilangan arah. Segala sesuatu yang pernah membuatku tertawa, yang dulu bisa menggetarkan hatiku, kini hanyalah kenangan samar yang tak mampu menyentuhku lagi.
Aku teringat masa kecilku, ketika segala sesuatu tampak begitu luas dan penuh dengan kemungkinan. Dunia ini seolah tak berbatas. Aku memiliki mimpi yang tinggi, mimpi yang begitu besar—mimpi yang bahkan orang-orang dewasa pun tak bisa mengerti. Tetapi seiring berjalannya waktu, mimpi itu mulai memudar. Dan aku, yang dulu berlari menuju cakrawala tanpa ujung, kini hanya berhenti di ambang jurang yang begitu dalam.
Aku pernah berpikir, bahwa dunia ini penuh dengan ruang yang luas, penuh dengan peluang dan keajaiban yang tak terhitung jumlahnya. Namun sekarang aku tahu, ruang itu bukanlah sesuatu yang bisa diisi dengan harapan atau kebahagiaan. Itu hanya sebuah ilusi. Di hadapanku, hanya ada jurang yang semakin besar dan mengancam. Setiap langkah yang kutempuh, semakin aku merasa jatuh ke dalamnya.
Tapi anehnya, aku tidak takut. Bukan karena aku berani, tetapi lebih karena aku merasa terlalu lelah untuk merasa takut. Semua penderitaan yang kurasakan seakan sudah membeku dalam diriku, membentuk lapisan es yang tak bisa dihancurkan. Aku tak lagi tertawa, bahkan untuk diriku sendiri. Ketika aku mencoba untuk menertawakan penderitaanku, aku merasa bahwa itu hanya akan memperburuk keadaan. Ketika aku mencoba mengingat kebahagiaan masa lalu, itu hanya mengingatkanku pada apa yang telah hilang.
Hari demi hari, jam demi jam berlalu dalam hidupku, tapi aku tak merasa adanya perubahan yang berarti. Hidupku terasa begitu panjang, begitu membosankan untuk dipikirkan. Jika saja ada sesuatu yang bisa membangkitkanku, sesuatu yang mampu menghapuskan kekosongan ini, aku akan mengejarnya tanpa ragu. Tetapi saat ini, aku hanya bisa berdiri di hadapan jurang yang besar, menatap ke dalamnya, tanpa tahu apakah ada jalan keluar.
Aku teringat kembali akan masa kecilku—betapa aku dulu penuh dengan mimpi yang tak terhitung jumlahnya. Aku ingin terbang, ingin menggapai bintang, ingin menjadi seseorang yang luar biasa. Tapi semua itu hanyalah mimpi belaka, bukan? Aku pernah menjadi orang yang penuh dengan ide dan harapan, tetapi kini aku hanya seorang yang terjebak dalam ruang kosong. Aku tenggelam, tak tahu arah, menghadapi cakrawala yang ternyata hanyalah batasan-batasan semu yang menyesatkan.
Aku menatap jurang itu lagi. Kali ini, aku tidak mencoba untuk mencari jalan keluar. Aku hanya berdiri di sana, menatap ke dalamnya, berusaha menerima kenyataan bahwa mungkin tidak ada jalan keluar. Mungkin ini adalah takdirku—untuk terus berdiri di ambang jurang, tanpa pernah bisa melangkah lebih jauh.
Malam mulai turun, dan aku merasa kesepian yang lebih dalam daripada sebelumnya. Namun, dalam kesendirian itu, aku mulai merasakan sebuah keheningan yang berbeda. Bukankah kesepian itu adalah bagian dari diriku juga? Bukankah jurang ini, meskipun menakutkan, adalah bagian dari jalan hidup yang harus kujalani?
Mungkin aku akan jatuh, mungkin aku akan terjerembab lebih dalam. Tapi setidaknya, aku tahu bahwa aku masih ada—masih hidup, masih berjuang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam diriku. Tidak ada lagi yang bisa menahan langkahku. Aku hanya bisa berjalan, meski kadang aku merasa terjatuh ke dalam jurang yang besar ini. Namun, mungkin dari dalam jurang itu, aku akan menemukan sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar mimpi-mimpi masa kecil yang sudah lama terkubur.
Aku menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku membiarkan diriku merasa. Tanpa penilaian. Tanpa harapan. Hanya ada aku, dan jurang ini.
Selamat datang di dunia kecil saya. Setiap cerita di sini adalah semesta baru yang saya ciptakan—penuh imajinasi, kejutan, dan mungkin sedikit keanehan yang menyenangkan. Blog ini adalah rumah bagi ide-ide yang selama ini hanya hidup di kepala, dan kini saya bagikan untuk Anda nikmati. Terima kasih sudah singgah. Semoga setiap cerita di sini bisa menemani, menginspirasi, atau sekadar membuat Anda tersenyum. Selamat membaca! 🌙✨
Langkah Terhenti
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]
Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...
-
Pernahkah kau merasa detak jantungmu menggema lebih keras daripada suara gemuruh dunia? Aku merasakannya malam itu. Bukan karena rasa takut,...
-
Kutukan Tulisan & Keberuntungan yang Tak Wajar Jakarta, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di bawah sinar lampu jalan yang redup da...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar