Aku terbangun dengan rasa lelah yang luar biasa, seolah seluruh dunia berada di atas bahuku. Hari ini, lebih berat dari yang lain. Seakan tak ada lagi sisa kekuatan yang bisa kulawan. Kejenuhan menggigit setiap langkahku, dan aku merasakan betapa waktu hanya menunggu untuk menghancurkanku. Tak ada tempat untuk bersembunyi. Tak ada jalan keluar.
Sejak lama, hidup ini terasa seperti hukuman yang tak berkesudahan. Seperti kain kafan yang terus-menerus menempel pada tubuhku, mengingatkanku bahwa aku tidak akan selamat dari waktu yang terus berjalan. Setiap langkah, setiap detik, seolah mempercepat proses kepergianku. Aku sekarat, dan aku tahu itu.
Ke mana pun aku pergi, aku selalu merasa seolah-olah ada sesuatu yang telah mati dalam diriku, sesuatu yang seharusnya memberi hidup, tetapi justru semakin menghilang. Apa yang bisa aku lakukan dengan tubuh yang hanya menjadi alat untuk menjalani rutinitas yang tak ada habisnya? Kehidupan ini begitu monoton. Segala sesuatu yang kulakukan terasa sama, tak ada perubahan. Jam yang berlalu tetap sama, penuh dengan kekosongan.
Aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana aku bisa sampai pada titik ini? Aku dulu pernah memiliki impian, harapan, dan segala hal yang membuat hidupku tampak berarti. Namun semua itu perlahan menghilang, tenggelam dalam lautan penyesalan dan kekecewaan. Aku merasa telah jatuh jauh ke dalam jurang yang gelap. Setiap hari aku semakin tenggelam dalam kesedihan yang tak bisa kuungkapkan, menelan segala sesuatu yang pernah kukenal sebagai hidup. Kini, aku hanya merasa seperti sebuah jenazah—sebuah tubuh yang bergerak, tetapi tanpa jiwa yang menghidupkannya.
Aku bermimpi tentang hal-hal yang telah aku abaikan—hal-hal yang dulu begitu berarti, tetapi kini hanya menjadi kenangan yang jauh dan samar. Aku bermimpi tentang kebahagiaan yang hilang, tentang cinta yang tidak pernah benar-benar terwujud, tentang kesempatan yang terlewat begitu saja. Semua itu seperti bayang-bayang yang terus mengikutiku, mengingatkanku pada apa yang pernah ada dan kini tak lebih dari sebuah kehampaan.
Kadang aku merasa bahwa aku sudah mati sejak lama, bahwa aku telah menjadi jenazah sebelum sempat merasakan kehidupan yang seharusnya. Apa gunanya terus berjuang jika semuanya hanya berujung pada kehampaan? Apa yang bisa kulakukan dengan semua penyesalan yang menumpuk di hatiku? Setiap langkah terasa sia-sia. Setiap napas terasa seperti beban yang tak perlu. Aku telah hilang dari diriku sendiri, terjebak dalam kenyataan yang tak bisa kuhindari.
Hidup ini, dengan segala rutinitas dan penderitaannya, seperti sebuah perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Aku terus berjalan, tetapi aku tak tahu ke mana arahku. Tak tahu apakah ada harapan di ujung jalan atau hanya lebih banyak kegelapan yang menunggu. Yang aku tahu hanya satu: aku telah menjadi jenazah, bergerak di dunia yang tak lagi mampu memberikan arti bagi diriku.
Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah ini satu-satunya jalan yang kutempuh? Aku hanya bisa menunggu, menunggu apakah waktu akan menghentikan penderitaanku atau justru semakin memperburuk semuanya. Aku sekarat, dan aku merasa bahwa aku sudah mati, meskipun tubuh ini masih ada.
Aku terbangun lagi di pagi hari yang suram, namun tubuhku terasa semakin berat. Rasanya seperti ada sesuatu yang menahan langkahku, sebuah kekuatan tak terlihat yang membuatku merasa lebih dekat dengan tanah, seolah aku sudah terhubung lebih kuat dengan kehampaan yang ada di bawahnya. Dulu, pagi adalah waktu yang penuh dengan harapan—saat aku bisa merencanakan hari-hariku, menatap dunia dengan sedikit keyakinan bahwa setiap detik yang berlalu membawa peluang baru. Sekarang, pagi hanya berarti satu hal: penundaan dari kenyataan bahwa aku semakin lelah menjalani hari-hari ini.
Hari-hari terasa seperti jam yang terhenti di tengah kebingungannya sendiri. Waktu mengalir begitu perlahan, namun setiap detiknya membuatku semakin hilang, semakin terhapus. Semua yang pernah membuatku bersemangat, yang dulu memberikan aku alasan untuk bertahan, kini hanyalah sisa-sisa kenangan yang jauh. Setiap usaha untuk bergerak maju selalu terhambat oleh bayangan yang lebih besar: rasa kecewa yang menelan semua energi yang ada dalam diriku.
Aku mencoba untuk bangun dari tempat tidurku, tetapi itu seperti mendorong tubuh yang tidak lagi ingin bergerak. Setiap langkah yang kutempuh terasa semakin sulit, seakan aku berjalan melalui pasir yang sangat dalam, dan setiap gerakan hanya membuatku tenggelam lebih dalam. Ada sesuatu yang memeluk tubuhku dengan erat—bukan tangan yang penuh kasih, tetapi sesuatu yang lebih berat dan lebih gelap: keputusasaan.
Dulu aku memiliki impian—impian tentang kebahagiaan, tentang pencapaian, tentang hal-hal besar yang akan ku raih. Tetapi hari ini, impian itu hanya seperti bayangan yang semakin memudar. Setiap kali aku mencoba untuk memikirkan sesuatu yang lebih baik, pikiranku dipenuhi dengan suara yang berkata, "Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan. Semua sudah berakhir."
Kepalaku pusing, dan tubuhku terasa seperti terikat dalam ikatan yang tak bisa terlepas. Aku mencoba keluar dari rumah, menghirup udara segar, berharap bisa merasa sedikit lebih baik. Namun udara itu terasa menyesakkan. Di luar, orang-orang berlalu lalang dengan kehidupan mereka yang tampaknya penuh tujuan. Mereka tampak sibuk, seolah tidak ada yang salah dengan dunia ini. Tetapi aku tahu, mereka tidak tahu. Mereka tidak tahu betapa lelahnya aku, betapa kosongnya perasaanku. Aku adalah bagian dari dunia ini yang terlupakan, sebuah bayangan yang berjalan di antara orang-orang hidup, tetapi sudah lama kehilangan nyawanya sendiri.
Keputusasaan semakin menggerogoti diriku. Ada saat-saat ketika aku hanya duduk, menatap langit yang seolah tidak pernah berubah, merasakan waktu terus berlari tanpa peduli apakah aku ikut berlari atau tidak. Setiap napasku terasa sia-sia, setiap detik terasa hanya sebagai penundaan dari sesuatu yang tak dapat ku hindari—kehilangan, kehampaan, dan akhirnya, kematian yang sudah mendekat.
Aku mulai bertanya-tanya, apakah aku benar-benar hidup? Rasanya, aku sudah menjadi sesuatu yang lebih mirip dengan hantu, bergerak tanpa tujuan, tanpa makna. Ada bagian dari diriku yang ingin berteriak, ingin melawan, tetapi semua yang keluar hanya diam—diam yang begitu dalam, yang membuatku terkurung dalam tubuhku sendiri.
Aku mengingat masa kecilku, saat aku masih punya impian, saat dunia ini terasa penuh dengan kemungkinan. Aku ingin terbang, ingin menjadi besar, ingin mengubah dunia. Tetapi semua itu hanyalah impian kosong, dan kenyataan ini semakin menutup semua jalan keluar yang ada. Apakah ada gunanya berjuang? Apakah ada gunanya terus mencari, terus berharap pada sesuatu yang tak pernah datang?
Aku mulai merasakan betapa beratnya hidup ini. Setiap langkah terasa seperti beban yang tak bisa aku lepaskan. Waktu terus berlalu, dan aku hanya terus berada di tempat yang sama. Penyesalan menjadi teman setia. Penyesalan atas hal-hal yang tidak kulakukan, kata-kata yang tidak terucapkan, peluang yang terlewat begitu saja. Apakah ini hidup? Ataukah aku hanya menunggu untuk mati?
Keputusasaan ini tidak datang dengan satu pukulan besar, tetapi perlahan-lahan ia merayap ke dalam jiwa, menggerogoti setiap bagian dari diriku yang dulu hidup. Setiap harapan yang pernah ada kini hancur, dan yang tersisa hanya tumpukan puing-puing impian yang tak lagi bisa kubangun kembali. Aku hanya bisa berdiri di sana, di tengah hampa, bertanya pada diriku sendiri apakah ada alasan untuk terus berjalan.
Apakah ini akhir dari segalanya? Aku melihat ke sekeliling, tetapi semuanya tampak begitu jauh, seolah aku tidak lagi berada di tempat yang sama dengan orang-orang yang masih punya harapan. Aku adalah seorang yang terperangkap dalam waktu yang tidak pernah berhenti, tetapi aku merasa seolah aku sudah lama mati. Jenazah yang masih bernapas, tapi tidak pernah benar-benar hidup.
Aku berhenti bertanya-tanya tentang masa depan. Aku berhenti berharap. Karena dalam keputusasaan yang semakin dalam, aku tahu satu hal: aku sudah menjadi bagian dari dunia yang telah lama terabaikan. Aku hanyalah sebuah bayangan yang melintas di antara orang-orang yang masih punya tujuan. Dan mungkin, itulah takdirku: untuk menjadi jenazah, bahkan sebelum aku sempat merasakan hidup.
Aku duduk di tepi jalan, membiarkan waktu berlalu begitu saja. Di sekelilingku, dunia terus bergerak, seolah tak ada yang tahu apa yang sedang kurasakan. Orang-orang berjalan dengan langkah cepat, terjebak dalam rutinitas mereka masing-masing, sibuk dengan segala hal yang sepertinya sangat penting. Mereka tampak hidup, penuh semangat, dan terarah. Sementara aku—aku hanya duduk di sini, tak tahu harus ke mana. Semua yang aku lihat terasa kabur, seolah aku sedang menonton film yang sudah tamat, tetapi aku tidak bisa mematikan layar.
Pikiranku semakin lama semakin berat. Aku tidak bisa menepis perasaan bahwa aku sedang terperangkap dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku, sesuatu yang tak bisa kutangani. Setiap kali aku mencoba untuk mengingat kembali tujuan hidupku, itu terasa seperti mencoba memegang angin—semuanya menghilang begitu saja.
Aku teringat kata-kata seseorang yang pernah kukenal: "Jangan pernah menyerah. Ada jalan keluar dari kegelapan." Kata-kata itu sepertinya masih ada dalam diriku, meskipun aku tidak tahu apakah itu benar. Jalan keluar apa yang bisa ada di tempat seperti ini? Dari jurang keputusasaan yang semakin dalam, dari hidup yang telah kehilangan maknanya. Aku ingin percaya bahwa masih ada secercah harapan, tetapi itu terasa begitu jauh, seperti mimpi yang sudah lama terlupakan.
Tiba-tiba, sebuah suara mengalihkan lamunanku. “Apa yang kau lakukan di sini?” Seorang pria berdiri di depanku, menatapku dengan mata penuh kekhawatiran. Aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali seseorang benar-benar memperhatikanku. Mungkin sudah terlalu lama. Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap pria itu dengan pandangan kosong, seolah tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku.
“Ada yang bisa saya bantu?” lanjutnya, dengan suara lebih lembut.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Apa yang bisa aku katakan? Aku ingin berteriak, ingin mengungkapkan semua yang terasa sesak di dada ini, tetapi kata-kata itu terhenti sebelum sempat keluar. Hanya keheningan yang menggema. Aku merasa bodoh. Aku merasa kecil.
“Aku… aku hanya…” aku terdiam sejenak. Apa yang ingin kukatakan? Bagaimana bisa seseorang mengerti perasaan seperti ini, perasaan yang lebih gelap daripada malam? Aku hanya menggelengkan kepala.
Dia duduk di sampingku, tetap diam, tidak memaksa. Ada sesuatu yang aneh dalam kehadirannya, sesuatu yang membuatku merasa sedikit lebih tenang. Mungkin hanya karena ada seseorang yang hadir di sini, meskipun kata-kata tak perlu diucapkan. Dalam keheningan itu, aku merasakan sesuatu yang sedikit berbeda—sebuah ketenangan yang tidak pernah datang sebelumnya.
“Aku tidak tahu harus ke mana,” akhirnya aku berkata, meskipun suaraku terdengar sangat kecil. Aku merasa begitu rapuh, seperti sebuah benda pecah yang sudah tak bisa disatukan kembali.
Pria itu mengangguk perlahan, seolah memahami. “Kadang, kita memang tidak tahu ke mana harus pergi. Tapi itu bukan berarti kita berhenti berjalan.”
Aku menatapnya. "Tapi... jika aku terus berjalan, aku hanya semakin merasa jauh dari diri sendiri."
“Kadang kita harus kehilangan diri kita untuk menemukan kembali siapa kita sebenarnya,” jawabnya, matanya menatap lurus ke depan, ke arah jalan yang membentang di depan kami. “Kehidupan ini tidak selalu jelas, dan mungkin kita tidak akan pernah memiliki semua jawaban. Tapi selama kita masih bernapas, selama kita masih ada, itu berarti kita masih memiliki kesempatan.”
Aku merasa kata-katanya menggugah sesuatu dalam diriku, meskipun aku tak tahu apa itu. Seolah ada secercah cahaya yang mulai menyusup ke dalam kegelapan hatiku. Aku merasa bingung, terombang-ambing antara keraguan dan keinginan untuk percaya. Aku sudah begitu lama terbiasa dengan kesendirian ini, dengan perasaan bahwa aku sudah mati sebelum waktunya. Tapi ada sesuatu dalam kalimatnya yang membuatku ingin mencoba, bahkan jika hanya untuk sesaat.
“Apakah kamu percaya pada harapan?” tanyaku, suaraku hampir tidak terdengar.
Dia tersenyum tipis. “Saya percaya bahwa harapan itu bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya. Kita harus menciptakannya, meski terkadang itu terasa sangat sulit.”
Aku menarik napas panjang. Harapan... kata itu terdengar asing. Selama ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan keputusasaan, menganggapnya sebagai teman yang selalu ada. Namun, saat ini, aku merasakan bahwa mungkin—hanya mungkin—ada sesuatu yang lebih dari sekadar keputusasaan. Mungkin ada ruang untuk sedikit harapan, ruang untuk sedikit cahaya yang bisa menerobos kegelapan itu.
Kami duduk lama dalam diam, tidak perlu banyak kata. Tetapi kehadirannya memberi aku rasa yang aneh—sebuah perasaan bahwa mungkin, hanya mungkin, aku tidak sepenuhnya hilang. Aku bisa merasa, meskipun itu sangat sulit. Dan mungkin, itu adalah awal yang kecil, tetapi penting.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu apakah aku akan menemukan jalan keluar dari keputusasaan ini. Tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, aku merasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih hidup.
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa sedikit berbeda, meskipun aku tidak bisa menggambarkan dengan jelas mengapa. Mungkin karena ada orang yang meluangkan waktu untuk duduk bersamaku, berbicara meskipun aku tidak bisa memberi banyak respons. Mungkin karena kata-kata yang sederhana tapi penuh makna itu, meskipun belum sepenuhnya membuka jalan, setidaknya memberikan celah kecil bagi kemungkinan untuk sesuatu yang lebih baik. Tapi, entah bagaimana, aku merasa seolah-olah hidupku masih berada di ambang jurang, antara harapan dan keputusasaan.
Aku mulai berusaha mengubah sedikit rutinitasku—hanya sedikit. Aku mulai berjalan lebih sering, meskipun terkadang aku merasa seperti tubuhku bukan milikku sendiri, terpaksa melangkah tanpa semangat. Setiap pagi, aku memaksakan diri untuk keluar rumah, meskipun hanya untuk berjalan mengitari blok. Itu saja sudah cukup membuatku merasa seperti ada yang berubah, meskipun sedikit.
Suatu hari, aku berjalan lagi di taman kecil dekat rumahku. Udara itu dingin, tetapi menyegarkan. Aku mendengar suara tawa anak-anak yang bermain, dan untuk sesaat, aku merasa seperti tersedot kembali ke dunia yang lebih hidup. Aku berhenti sebentar di bangku taman, menatap mereka yang berlari-lari, tanpa beban, tanpa keraguan. Mereka tidak tahu apa-apa tentang hidup yang keras, mereka hanya menikmati detik-detik yang berlalu.
Itulah yang dulu kurindukan—kebebasan untuk hidup tanpa rasa takut, tanpa perasaan yang membebani. Tetapi hidup telah memberi banyak pelajaran yang keras, banyak kesalahan yang tak bisa diperbaiki, dan banyak penyesalan yang tak bisa dihapus. Semua itu menjadi lapisan-lapisan tebal yang melapisi hatiku, hingga aku tidak lagi merasa bisa menembusnya.
Aku duduk di bangku taman, dan sejenak membiarkan pikiran-pikiranku mengalir. Aku masih merasa jauh dari diriku yang dulu, tetapi ada semacam kedamaian dalam ketidaktahuan ini. Setidaknya, aku tidak lagi merasa terperangkap dalam ruang hampa yang gelap, meskipun rasanya aku hanya berjalan perlahan-lahan menuju tepi jurang yang sama.
Kehidupan memang aneh. Suatu saat, segalanya bisa terasa begitu kosong, tanpa arah, tanpa tujuan. Tapi di saat yang lain, ketika kita tidak mengharapkannya, sebuah momen kecil bisa merubah pandangan kita tentang dunia. Itu mungkin tidak banyak, tetapi cukup untuk membuat kita berpikir: “Mungkin aku bisa bertahan lebih lama lagi.”
Kepalaku kembali mengingat pertemuan dengan pria di bangku itu. Kata-katanya berputar di pikiranku. "Kehidupan ini tidak selalu jelas, dan mungkin kita tidak akan pernah memiliki semua jawaban. Tapi selama kita masih bernapas, selama kita masih ada, itu berarti kita masih memiliki kesempatan."
Aku tahu, kesempatan seperti apa yang dimaksudnya belum sepenuhnya jelas. Aku tidak berharap ada jalan pintas untuk keluar dari kegelapan ini, tetapi seiring berjalannya waktu, aku merasa sedikit demi sedikit sesuatu mulai bergeser di dalam diriku. Mungkin, bukan tentang menemukan jawaban, tapi tentang memberi diri kita kesempatan untuk merasakan sedikit harapan, meskipun itu hanya seberkas cahaya yang lemah.
Aku mulai berbicara lebih banyak—meskipun hanya kepada diriku sendiri. Kadang aku mengingatkan diriku untuk berhenti berpikir tentang keputusasaan yang menyesakkan dan mencoba melihat hal-hal kecil yang mungkin layak disyukuri. Aku menulis di buku catatanku, meskipun tulisanku tidak pernah begitu jelas. Terkadang hanya kata-kata acak, atau kalimat yang setengah terputus, tetapi aku merasa sedikit lega. Itu adalah cara kecil untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam, tanpa harus membuat orang lain mengerti.
Suatu sore, saat aku berjalan di sekitar kota, aku bertemu dengan seorang wanita tua yang sedang duduk di kursi taman, membaca buku. Dia tersenyum padaku saat aku lewat, dan sesuatu dalam senyumnya mengingatkanku pada hal yang sudah lama kulupakan—bahwa masih ada kebaikan dalam dunia ini. Senyumnya tidak berbicara banyak, tetapi entah mengapa aku merasa seperti mendapat sesuatu yang berharga dari kehadirannya.
Aku menghentikan langkahku, dan entah mengapa aku merasa perlu berkata sesuatu. "Apakah hidup selalu seperti ini?" tanyaku, sedikit ragu.
Wanita itu menutup bukunya dan menatapku dengan lembut. “Hidup adalah perjalanan, anak muda. Terkadang perjalanan itu terasa sangat sulit, tetapi setiap langkah yang kita ambil, seberapapun kecilnya, adalah langkah menuju sesuatu yang baru. Jangan pernah berhenti melangkah, meskipun dunia terasa berat.”
Aku terdiam. Kata-katanya terasa seperti jantungku yang mulai berdetak lebih cepat. Terkadang aku merasa bahwa semua orang di sekitarku hidup dengan cara mereka sendiri—mereka tahu apa yang mereka inginkan dan ke mana mereka pergi. Tapi aku, aku seperti orang yang terperangkap dalam kabut tebal, tidak tahu arah yang harus diambil.
Namun saat wanita itu berbicara, aku merasakan bahwa mungkin ada hal-hal kecil yang perlu dipelajari lagi, hal-hal yang tidak perlu langsung dipahami, tetapi bisa memberi sedikit arah di tengah kebingunganku. Aku mengucapkan terima kasih padanya, dan melanjutkan langkahku, meskipun tidak tahu ke mana.
Hari demi hari, aku mulai merasakan perubahan—tidak besar, tetapi cukup untuk membuatku merasa bahwa aku tidak sepenuhnya hilang. Mungkin aku masih terjebak di suatu tempat di antara harapan dan keputusasaan, tetapi sekarang aku tahu bahwa sedikit demi sedikit, setiap langkah bisa membawa aku lebih dekat pada jalan yang baru, meskipun jalannya belum terlihat jelas.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, atau apakah aku akan pernah benar-benar bebas dari perasaan ini. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa sedikit lebih hidup.
Mungkin itulah yang dimaksud dengan harapan—bukan sesuatu yang datang dengan cepat, tetapi sesuatu yang tumbuh perlahan, dari hal-hal kecil yang kita lakukan, bahkan saat kita merasa seolah-olah semuanya sudah terlambat.
Aku duduk di tepi jendela kamar, menatap langit yang kini lebih gelap. Hari sudah larut, tetapi mataku tetap terjaga, memikirkan segala hal yang telah terjadi. Waktu berjalan begitu cepat, begitu perlahan, begitu tidak terhitung. Rasanya, setiap detik yang berlalu seolah membawa sesuatu yang tak bisa kupegang, seperti pasir yang terus mengalir meskipun aku berusaha merengkuhnya. Tetapi entah mengapa, kini aku merasa sedikit lebih ringan. Tidak sepenuhnya lega, tidak sepenuhnya hilang, namun ada perasaan yang berbeda—sebuah penerimaan yang mulai menyusup masuk.
Malam ini, pikiranku terhenti pada satu hal yang sudah lama tidak aku renungkan: waktu itu sendiri. Dalam kebingunganku, aku selalu merasa bahwa waktu adalah musuh—sesuatu yang terus berlalu tanpa memberi ampun, tanpa memperdulikan kesedihanku. Tetapi malam ini, aku mulai melihatnya dalam perspektif yang berbeda.
Dulu, aku merasa waktu hanya berisi kekosongan. Setiap jam terasa seperti beban yang semakin menumpuk. Namun, kini aku sadar bahwa waktu juga adalah sebuah pelajaran. Waktu bukan hanya yang membuat kita terluka, tetapi juga yang memberi kita kesempatan untuk pulih, untuk belajar, untuk melihat hal-hal dari perspektif yang berbeda.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan ke luar. Udara malam ini terasa lebih sejuk, dan aku membiarkan angin menyentuh wajahku, mencoba merasakan setiap hembusannya. Sebelumnya, aku akan merasa bahwa udara ini penuh dengan beban yang tak bisa kuatasi, tetapi kali ini, aku membiarkannya mengalir begitu saja, tanpa mencoba menahan atau melawan. Waktu ini bukan lagi tentang ketakutan akan kehilangan atau keraguan yang membelenggu, tetapi tentang bagaimana aku bisa hidup di dalamnya—mengalir, bergerak, meresap ke dalam tiap detiknya.
Setiap orang pernah mengalami kegelapan, itu adalah bagian dari kehidupan. Namun dalam kegelapan itu, aku mulai menyadari sesuatu yang penting—bahwa kegelapan itu tidak kekal, bahwa di baliknya ada cahaya yang perlahan muncul, meskipun lemah. Aku tidak harus melihat semuanya dengan terang benderang. Aku hanya perlu melihat sedikit demi sedikit, memberi ruang untuk harapan, memberi ruang untuk kehidupan yang masih bisa tumbuh.
Aku melangkah lebih jauh, melewati jalan setapak yang sudah sering kulalui. Langit malam ini tampak lebih bersahabat, dengan bintang-bintang yang seolah-olah mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari diriku. Sesuatu yang tak dapat aku pahami sepenuhnya, tetapi yang memberi aku kesempatan untuk terus melangkah, untuk tetap bertahan, meskipun dengan langkah yang lambat dan ragu.
Aku teringat pada pria yang pertama kali berbicara padaku, dan juga pada wanita tua yang kutemui di taman. Kedua pertemuan itu, meskipun singkat, memberikan dampak yang tak terduga. Mereka tidak mengubah segala sesuatu dalam sekejap, tetapi mereka membuka pintu kecil yang memungkinkan cahaya masuk, sedikit demi sedikit. Kata-kata mereka, meskipun sederhana, mengingatkanku bahwa hidup ini bukan tentang menjawab semua pertanyaan, tetapi tentang memberi kesempatan untuk bertanya, untuk merasakan, untuk berubah perlahan.
Sebelumnya, aku tidak tahu apa yang aku cari. Aku hanya merasa terjebak dalam kesedihan yang tak terungkapkan, dalam waktu yang terasa membunuhku. Tetapi kini aku merasa sedikit lebih jelas. Mungkin bukan jalan yang lurus, mungkin bukan sebuah solusi instan, tetapi langkah-langkah kecil yang aku ambil, perlahan-lahan mengarahkanku pada sesuatu yang lebih baik—penerimaan, pemahaman, dan sedikit harapan.
Aku berhenti di tengah jalan, melihat ke depan. Entah mengapa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa sedikit lebih ringan. Aku tahu jalan ini tidak mudah, dan aku tidak bisa mengharapkan semua rasa sakit dan keraguan untuk hilang dalam semalam. Namun, ada sesuatu yang terasa lebih jelas—bahwa aku masih bisa berjalan, meskipun perlahan. Bahwa hidup ini tidak hanya tentang apa yang aku tidak miliki, tetapi juga tentang apa yang bisa aku rasakan, apa yang masih bisa aku nikmati.
Saat aku berjalan kembali ke rumah, langkahku terasa lebih pasti. Tidak karena aku telah menemukan jawaban yang sempurna, atau karena semua penderitaan dan keputusasaanku telah menghilang, tetapi karena aku mulai menerima bahwa perjalanan ini bukan tentang kesempurnaan. Perjalanan ini adalah tentang bertahan—tentang menerima waktu yang tak terhitung ini dan memberi diriku kesempatan untuk tumbuh, meskipun kadang aku merasa terlalu lelah.
Aku membuka pintu rumahku, memasuki keheningan yang familiar. Tapi kali ini, keheningan itu tidak lagi terasa menakutkan. Keheningan itu seperti ruang kosong yang bisa kutempati, ruang yang tidak mengekangku, tetapi memberi aku tempat untuk bernafas. Aku merasa sedikit lebih hidup.
Aku duduk di kursi favoritku, menatap keluar jendela. Waktu terus berjalan, seperti biasanya. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kaya, dalam setiap detiknya. Mungkin itu adalah kedamaian yang datang dengan menerima ketidakpastian. Mungkin itu adalah keberanian untuk terus berjalan meskipun aku tidak tahu ke mana. Mungkin itu adalah waktu yang tak terhitung—bukan sebagai musuh, tetapi sebagai teman yang memberi aku ruang untuk merasakan, untuk tumbuh, dan untuk akhirnya menjadi diri sendiri lagi.
Aku mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tetapi malam ini, aku tahu satu hal: aku masih bisa berjalan. Dan itu sudah cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar