JEJAK DI BALIK KANVAS

Aku selalu percaya bahwa seni adalah cerminan jiwa, dan aku adalah seorang seniman. Namun, bukan dengan kuas aku berkarya, melainkan dengan rencana yang terperinci, detail yang sempurna, dan eksekusi yang tanpa cela. Malam ini, mahakaryaku akan selesai—sebuah kematian yang tak meninggalkan jejak.

Hujan turun rintik-rintik di kota Yogyakarta. Angin dingin merayap di antara gang-gang sempit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Aku berdiri di balik tirai tebal di sudut kamar apartemen ini, mengawasi Reza Pramana, sang ilustrator besar, yang sedang sibuk di studionya. Ia menatap kanvas kosong, frustrasi, seakan jiwanya sendiri telah habis terperas oleh goresan tangannya.

Aku tersenyum. Ia tak tahu bahwa malam ini akan menjadi akhir dari semua itu.

Dengan hati-hati, aku meraih gulungan kawat tipis yang telah kupersiapkan. Transparan, nyaris tak terlihat di cahaya redup lampu kamar. Aku bekerja cepat dan senyap, mengikatnya ke pegangan besi balkon di lantai dua apartemen ini. Panjangnya sudah kuukur dengan cermat—cukup tinggi untuk mengenai pergelangan kakinya jika ia berjalan mendekat ke tepi.

Sekarang, tinggal memancingnya.

Aku melangkah perlahan ke dalam ruangan, menyapu pandanganku ke meja kerja yang dipenuhi sketsa dan tumpukan kertas bertuliskan catatan kecilnya. Aku mengambil salah satunya—sebuah gambar setengah jadi yang tampak seperti sosokku. Sepertinya, dalam ketidaksadarannya, Reza sudah mulai merasakan keberadaanku.

Aku merobek kertas itu, meremasnya, lalu melemparkannya ke lantai. Tak cukup hanya itu. Aku menggeser beberapa benda di atas meja dengan gerakan yang cukup kasar, menciptakan suara samar yang cukup untuk membuatnya menoleh.

“Siapa di sana?” Suaranya waspada, tetapi tak segera beranjak dari kursinya.

Aku diam, menunggu.

Beberapa detik berlalu, lalu ia bangkit. Matanya menyapu ruangan, alisnya berkerut. Aku bisa merasakan pikirannya berputar—mencari-cari logika dari sesuatu yang tampaknya tak masuk akal. Aku mundur ke sudut ruangan, membiarkan bayanganku menyatu dengan gelapnya malam di luar jendela.

Reza melangkah mendekat. Aku tahu kebiasaannya. Ia selalu memiliki insting untuk berdiri di balkon saat merasa jenuh, mencari udara segar sebelum kembali melukis. Dan benar saja, ia berjalan ke arahnya.

Satu langkah… dua langkah…

Lalu—

Tersandung.

Jeritannya terputus ketika tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia mencoba meraih sesuatu, tetapi tak ada yang bisa menahannya. Aku melihatnya dalam gerakan lambat, ekspresi kagetnya yang terpantul di kaca jendela sebelum tubuhnya menghantam tanah basah di bawah sana dengan suara yang tumpul.

Hening.

Aku menunggu beberapa saat, mendengar suara hujan yang masih setia menemani malam. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari bawah sana. Dengan tenang, aku melangkah ke balkon, mengamati tubuh yang kini tak bergerak lagi. Darah mengalir perlahan dari pelipisnya, bercampur dengan genangan air hujan di trotoar.

Sempurna.

Aku melepas kawatnya dengan hati-hati, menggulungnya kembali dan memasukkannya ke dalam saku. Tak ada jejak, tak ada saksi. Hanya sebuah kecelakaan tragis yang akan memenuhi halaman depan koran esok pagi.

Aku tersenyum tipis dan melangkah keluar dari apartemen itu. Jalanan malam masih sunyi, hanya suara air yang menetes dari genting dan angin yang berdesir pelan. Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma tanah yang basah—aroma yang mengiringi kemenangan kecilku.

Seni adalah cerminan jiwa. Dan malam ini, aku telah menciptakan mahakarya yang tak akan pernah dilupakan.

Duality Fate

Kutukan Tulisan & Keberuntungan yang Tak Wajar

Jakarta, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di bawah sinar lampu jalan yang redup dan hiruk-pikuk manusia yang berkelebat seperti bayangan, seorang wanita duduk membungkuk di hadapan laptopnya, jemarinya menari di atas papan ketik dengan kecepatan yang tak berirama—terkadang berhenti lama, seakan pikirannya tersesat di antara kata-kata yang ia ciptakan.

Aruna mengembuskan napas pelan, menatap naskah yang hampir selesai. Ia seharusnya merasa puas, tetapi alih-alih, jantungnya berdetak dengan ritme gelisah yang tidak ia pahami. Setiap kali ia menulis akhir dari sebuah cerita, ada sesuatu yang mengendap di udara—sebuah firasat yang gelap, menekan, seolah-olah dunia mengamati kata-katanya dengan cara yang tidak seharusnya.

Ia menggigit bibirnya. Apakah ini hanya paranoia? Ataukah benar, seperti yang selama ini ia takutkan, setiap kisah yang ia tulis selalu mengundang sesuatu yang lebih dari sekadar imajinasi?

Sebuah suara berderit. Aruna tersentak. Itu hanya angin yang menerpa jendela apartemennya, namun dada Aruna berdebar lebih cepat. Ini terjadi lagi—perasaan familiar bahwa sesuatu yang tak kasatmata tengah mengintip dari balik layar laptopnya.

Ia menoleh ke kanan, ke sebuah naskah lama yang telah ia selesaikan beberapa bulan lalu. Novel itu adalah kisah tentang seorang pria yang kehilangan pekerjaannya secara tragis setelah perusahaan tempatnya bekerja terbakar habis dalam satu malam. Dan memang demikianlah yang terjadi dalam kenyataan.

Aruna tak ingin percaya bahwa ia bertanggung jawab atas kejadian itu. Namun, berapa banyak kebetulan yang dibutuhkan hingga sesuatu tak lagi disebut kebetulan?

Di sisi lain kota, di sebuah studio yang megah, seseorang tertawa dengan bebasnya.

Raka, aktor papan atas yang wajahnya terpampang di segala sudut kota, baru saja memenangkan kontrak baru yang bahkan tidak pernah ia perjuangkan. Nasib baiknya seperti surga yang menghampar tanpa batas. Ia telah beberapa kali lolos dari maut—dari hampir tertabrak bus, dari chandelier yang jatuh di atas panggung, hingga dari kecelakaan pesawat yang ia batalkan di menit terakhir hanya karena ponselnya tertinggal.

Bagi Raka, keberuntungan adalah miliknya secara mutlak. Ia percaya bahwa hidup memang memihaknya, bahwa takdir menulis jalan yang dipenuhi keajaiban untuknya.

Ia tidak tahu bahwa jauh di seberang kota, seseorang sedang membayar harga dari setiap keberuntungan yang ia terima.

Malam itu, Aruna menuliskan adegan akhir dari naskah barunya. Tokoh utama dalam ceritanya, seorang pria bernama Adrian, akhirnya menemui ajalnya setelah terjebak dalam labirin kutukan yang ia ciptakan sendiri.

Saat kata TAMAT muncul di layar, sesuatu yang aneh terjadi.

Lampu di kamar Aruna berkedip. Hawa dingin menjalar di tengkuknya.

Lalu, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul di layar.

Breaking News: Aktor Raka Pradipta baru saja memenangkan penghargaan sebagai “Aktor Paling Bersinar Tahun Ini.”

Dada Aruna serasa diremas. Ia tidak menulis tentang penghargaan, tetapi ia tahu, setiap kali ia menuliskan tragedi, keberuntungan akan jatuh pada seseorang.

Dan malam ini, keberuntungan itu jatuh pada Raka.

Aruna menggigit bibirnya, menatap layar laptopnya yang masih menampilkan kata TAMAT dengan gemetar.

Jika setiap kata yang ia tulis memiliki konsekuensi… maka seberapa jauh ia bisa mengendalikan takdir seseorang?

Dan lebih penting lagi—seberapa banyak yang bisa ia ubah sebelum semuanya terlambat?

Cermin di Balik Kata-kata

Malam di Jakarta terasa lebih pekat daripada biasanya. Awan tebal menggantung rendah, seakan ingin menelan kota dalam gulungan gelapnya. Hujan yang turun rintik-rintik menggores jendela kamar Aruna seperti jari-jari samar yang ingin masuk, menyusup ke dalam ruangannya yang pengap oleh kecemasan.

Ia duduk diam di depan laptopnya, matanya menatap kosong pada layar yang masih menampilkan kata TAMAT dari naskah yang baru saja ia selesaikan. Namun, di dalam pikirannya, badai bergemuruh.

Aruna selalu merasa bahwa tulisannya memiliki nyawa sendiri. Setiap kata yang ia susun bukan hanya rangkaian huruf, melainkan urat-urat yang menjalar ke realitas, menciptakan sesuatu yang tak seharusnya ada.

Dan kini, ia menemukan bukti lain.

Di ponselnya, berita tentang Raka Pradipta yang baru saja memenangkan penghargaan terus bermunculan, seakan mengejeknya.

"Apa ini kebetulan?" bisiknya pada dirinya sendiri.

Tangannya gemetar saat ia menutup laptopnya, mencoba mengusir perasaan bahwa ada sesuatu—atau seseorang—yang mengawasinya. Ia ingin percaya bahwa ini hanya imajinasi, bahwa kelelahan telah membuatnya berhalusinasi.

Tapi, kemudian ada ketukan di pintu.

Sebuah ketukan pelan, nyaris seperti bisikan yang diwujudkan dalam bentuk suara.

Aruna menoleh, jantungnya mencelos. Ia tidak menunggu tamu.

Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju pintu dan mengintip melalui lubang intip.

Tidak ada siapa-siapa.

Namun, saat ia berbalik, sebuah bayangan melintas di cermin dekat pintu.

Aruna terhuyung ke belakang, dadanya naik turun tak beraturan. Ia menatap cermin itu—sebuah pantulan dirinya yang tampak… berbeda. Lebih suram. Lebih gelap.

Cermin itu bergetar sedikit, seakan sesuatu di dalamnya ingin keluar.

"Ini hanya ilusi," katanya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Namun, sebelum ia sempat berpaling, sesuatu muncul di permukaan kaca itu.

Sebuah tulisan.

"Kau tahu apa yang telah kau lakukan."

Aruna menahan napas. Huruf-huruf itu seperti tercetak dengan kabut dingin di permukaan cermin, perlahan menghilang sebelum ia sempat mengedipkan mata.

Lalu, ponselnya kembali bergetar.

Sebuah pesan masuk.

Nomor Tidak Dikenal:
"Berhenti menulis."

Darahnya berdesir.

Ia merasa udara di sekitarnya semakin menekan, ruangan yang semula hangat kini terasa seperti gua yang lembap dan berisi sesuatu yang tak kasatmata.

Namun, rasa takut itu perlahan berubah menjadi tekad.

Aruna menatap laptopnya yang tertutup, lalu kembali menyalakannya. Jika ada seseorang—atau sesuatu—yang memperingatkannya untuk berhenti menulis, maka itu berarti tulisannya memiliki kuasa lebih dari yang ia sadari.

Dan ia ingin tahu seberapa dalam ia bisa menggali kebenaran ini.

Ia mengambil napas panjang, lalu mulai mengetik.

Namun, sebelum ia menyelesaikan satu kalimat pun, lampu di apartemennya padam.

Hanya layar laptopnya yang tetap menyala, menampilkan pantulan samar wajahnya.

Di dalam pantulan itu, ada seseorang yang berdiri di belakangnya.

Dan seseorang itu… tersenyum

Bayangan di Antara Kata

Hawa dingin menyusup ke dalam ruangan, lebih menusuk daripada sekadar mati listrik biasa. Aruna tetap terpaku di tempatnya, matanya tak berani berkedip saat menatap pantulan di layar laptopnya.

Sosok di belakangnya masih berdiri di sana—tersenyum, tanpa suara, tanpa gerakan. Seolah menunggu.

Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin sosok itu bisa mendengarnya.

Tapi ketika ia berani menoleh… tidak ada siapa-siapa.

Ruangan tetap sunyi.

Namun, Aruna tahu betul, ia tidak sedang sendirian.

Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol pada laptopnya. Layar yang semula hanya menampilkan dokumen kosong kini menampilkan sesuatu yang tak pernah ia ketik sendiri.

Sebuah paragraf yang seolah tertulis oleh tangan tak kasatmata.

"Bayangan itu bukan ilusi. Ia adalah bagian dari cerita yang belum selesai. Kau telah menulis takdir yang lebih dalam daripada yang kau sadari."

Aruna mundur, kursinya bergeser sedikit hingga menyentuh lemari di belakangnya.

Tiba-tiba, suara notifikasi ponsel memecah kesunyian.

Pesan baru dari Nomor Tidak Dikenal.

"Jangan lanjutkan."

Sebuah ketukan kembali terdengar di pintu. Kali ini lebih keras.

Aruna menatap ke arah pintu itu dengan napas tertahan. Ia bisa merasakan sesuatu di baliknya, sesuatu yang lebih nyata daripada sekadar ketakutan yang bermain di pikirannya.

Lalu, ponselnya bergetar lagi.

"Jika kau membukanya, kau akan melihat apa yang tidak seharusnya kau lihat."

Aruna menelan ludah. Tangannya basah oleh keringat, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar daripada ketakutannya. Ia bangkit perlahan dan berjalan menuju pintu, setiap langkah terasa berat seolah lantai mencoba menahannya.

Dengan jantung berdegup kencang, ia meraih gagang pintu…

Namun, sebelum ia sempat membukanya, lampu di apartemennya tiba-tiba menyala kembali.

Dan suara ketukan itu berhenti.

Hening.

Seolah tidak pernah ada apa pun di balik pintu itu.

Aruna menatap sekeliling, tubuhnya masih tegang. Namun, segalanya tampak kembali normal.

Terlalu normal.

Ia melangkah kembali ke mejanya, menatap laptopnya yang masih menyala. Tulisan misterius yang tadi muncul telah lenyap, dokumen kembali kosong seperti sebelumnya.

Hanya satu hal yang tersisa di layar.

Sebuah kalimat pendek yang terpampang di bagian bawah dokumen:

"Cerita ini belum selesai, Aruna."

Tangannya mengepal.

Ia tahu, ini bukan sekadar tulisan. Ini adalah pesan.

Dan ia tidak punya pilihan lain selain mencari tahu siapa—atau apa—yang telah menulisnya.

Peran yang Tak Bisa Dihindari

Udara di apartemen Aruna terasa lebih berat sejak malam itu. Sejak pesan-pesan misterius muncul di layar laptopnya, sejak ketukan aneh di pintu, sejak sensasi bahwa seseorang—atau sesuatu—selalu mengawasinya.

Tapi pagi ini, ia harus tetap pergi.

Lokasi syuting berada di sebuah gedung tua di Jakarta Pusat. Bangunan itu pernah menjadi teater di era kolonial, sebelum akhirnya terbengkalai dan kini disewa untuk produksi film. Langit mendung menggantung rendah, menambah aura suram di sekitar gedung tua itu.

Begitu tiba, Aruna melihat Raka sudah berada di sana. Seperti biasa, aktor itu tampak santai, tersenyum seolah hidupnya tidak pernah diusik oleh keanehan.

"Aruna! Akhirnya datang juga," sapa Raka riang. "Kupikir kau menghilang setelah menulis naskah terakhir."

Aruna menatapnya tajam. "Kalau aku menghilang, mungkin kau akan mendapat lebih banyak keberuntungan, bukan?"

Raka tertawa kecil. "Mungkin."

Mereka berjalan bersama memasuki gedung. Tim produksi sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk pengambilan gambar. Tapi begitu Aruna melangkah masuk, ia langsung merasakan sesuatu yang tidak beres.

Udara di dalam lebih dingin daripada seharusnya. Bau kayu lapuk bercampur dengan sesuatu yang lebih samar—seperti bau kertas tua yang nyaris membusuk.

Lalu, di sudut ruangan, ia melihat sebuah cermin besar.

Dan di dalam pantulan cermin itu… seseorang sedang menatapnya.

Bukan dirinya. Bukan kru produksi.

Sosok perempuan dengan mata kosong dan senyum tipis yang menyeramkan.

Aruna terhuyung mundur, napasnya tercekat. Saat ia kembali melihat ke arah cermin—sosok itu telah lenyap.

"Ada apa?" tanya Raka, melihat wajah pucat Aruna.

"Tidak… tidak ada apa-apa," jawabnya cepat. Tapi pikirannya masih kacau.

Apakah ini akibat dari tulisannya?

Syuting berjalan lancar—hampir terlalu lancar. Tidak ada kendala teknis, tidak ada kejadian aneh… sampai adegan terakhir hari itu.

Raka sedang mengambil adegan di mana karakternya harus berdiri di depan cermin besar yang sama. Sesuai naskah, ia harus menatap pantulannya dan mengucapkan dialog.

Tapi sesuatu terjadi.

Saat kamera mulai merekam, ruangan menjadi hening. Tidak ada suara sama sekali—bahkan napas kru pun terasa lenyap.

Dan di dalam cermin, bayangan Raka tidak mengikuti gerakannya.

Ia mengangkat tangan—pantulan tetap diam.

Ia berbalik—pantulan masih menatap lurus ke arahnya.

Lalu, perlahan-lahan, bayangan itu tersenyum.

Senyuman yang bukan milik Raka.

Kru berteriak panik, lampu tiba-tiba padam, dan di tengah kegelapan, terdengar suara tawa kecil yang asing—bukan milik siapa pun di ruangan itu.

Aruna berdiri kaku. Ini bukan kebetulan.

Ini bukan kesalahan teknis.

Ini adalah akibat dari tulisannya.

Dan ia sadar, mereka baru saja membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkunci.

Bayangan yang Keluar dari Cermin

Suara tawa kecil itu masih menggema, menyelinap ke setiap sudut ruangan yang gelap. Aruna berdiri membatu, jantungnya berdebar kencang di dalam rongga dada.

"Kru! Matikan kamera! Nyalakan lampu!" sutradara berteriak, suaranya mengandung kepanikan yang jarang terdengar.

Beberapa detik kemudian, lampu kembali menyala dengan kilatan menyilaukan. Namun, ketika cahaya memenuhi ruangan, semua orang terpaku.

Raka masih berdiri di depan cermin. Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Wajahnya pucat, dan matanya… kosong. Seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat.

"Raka?" suara Aruna bergetar saat ia melangkah mendekat.

Aktor itu tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke dalam cermin, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.

Aruna mengalihkan pandangan ke permukaan cermin, dan perutnya mencelos.

Di sana, di dalam refleksi yang seharusnya menampilkan ruangan yang sama dengan mereka, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Raka. Tidak ada kru.

Yang ada hanyalah ruangan kosong, remang-remang, dengan dinding yang tampak lebih tua, lebih rusak… seperti versi lain dari tempat mereka berada.

Dan di tengah ruangan kosong itu, berdiri sosok pria yang menyerupai Raka, tetapi bukan Raka.

Bayangan itu tersenyum.

Senyuman yang tidak natural.

Senyuman yang terlalu lebar.

Senyuman yang tidak seharusnya ada di wajah manusia.

Lalu, perlahan, sosok itu melangkah mundur… dan menghilang ke dalam kegelapan.

Saat itu juga, Raka tersentak dan jatuh berlutut di lantai, seperti seseorang yang baru saja kembali dari alam lain. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar.

"Aku… Aku ada di sana," gumamnya dengan suara parau.

Aruna menelan ludah. "Di mana?"

Raka mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang masih dipenuhi ketakutan. "Di dalam cermin. Aku bisa merasakannya. Itu bukan pantulan. Itu… dunia lain."

Ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin. Seisi kru saling berpandangan, tidak ada yang berani berbicara.

Sutradara akhirnya bersuara, mencoba menertawakan situasi dengan gugup. "Oke, kita break dulu. Semua bisa tenang sebentar."

Namun, Aruna tahu, ini bukan sekadar adegan film.

Ini bukan ilusi.

Kutukan dalam tulisannya sudah mulai bergerak lagi.

Dan kali ini, ia tidak yakin bisa menghentikannya.

Pintu di Balik Refleksi

Malam menjalar di atas Jakarta dengan keheningan yang aneh. Hujan turun rintik-rintik, membasahi kaca jendela apartemen Aruna dengan irama yang tak beraturan. Ia duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong yang seharusnya diisi dengan naskah baru. Namun, pikirannya masih terjebak pada apa yang terjadi di lokasi syuting tadi siang.

Cermin itu. Bayangan Raka. Dunia yang ada di dalamnya.

Tidak mungkin itu hanya kebetulan.

Ia mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan, ke cermin tinggi dengan ukiran kayu jati yang sudah lama ada di apartemennya. Tidak ada yang aneh di sana, hanya pantulan dirinya sendiri—mata lelah, rambut berantakan, ekspresi gelisah. Tapi ia tahu lebih baik daripada menganggapnya sekadar benda mati.

Di meja, naskah yang ia tulis untuk produksi ini tergeletak terbuka, halaman-halamannya berantakan. Ia menyapu pandangan ke kalimat-kalimat yang tertulis di sana, mencari sesuatu—petunjuk, kebetulan, atau mungkin, jawaban.

"Adegan 43: Karakter utama melihat bayangannya di dalam cermin, tetapi pantulan itu tidak meniru gerakannya. Sebaliknya, ia tersenyum lebih dulu."

Darah di tubuhnya terasa membeku.

Itu bukan adegan yang seharusnya ada. Ia tidak ingat pernah menulis kalimat itu.

Aruna menarik napas dalam-dalam. Mungkin ia lelah, mungkin pikirannya mulai mencampuradukkan realitas dan fiksi. Ia menutup naskah itu dengan cepat dan beranjak ke dapur, menuangkan segelas air.

Namun, saat ia kembali ke meja…

Naskah itu sudah terbuka lagi.

Dan ada kalimat baru yang muncul di halaman berikutnya, tertulis dengan tinta yang tampak lebih pekat, lebih nyata daripada tulisan sebelumnya.

"Pintu sudah terbuka. Masuklah."

Segelas air di tangannya jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping.

Di tempat lain, Raka duduk di dalam mobilnya, masih berusaha mengatur napas setelah apa yang terjadi di lokasi syuting. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, berusaha mengabaikan kilasan bayangan yang masih menghantuinya.

Sebuah suara samar tiba-tiba terdengar dari kursi belakang.

Pelan. Hampir seperti bisikan.

"Raka…"

Lehernya terasa kaku saat ia menoleh ke kaca spion.

Tidak ada siapa-siapa di sana.

Hanya gelapnya kursi belakang.

Namun, refleksi di kaca spion menampilkan sesuatu yang lain.

Seseorang duduk di sana.

Seseorang yang memiliki wajah yang sama dengannya.

Tapi tersenyum dengan cara yang tidak wajar.

Jantung Raka berhenti berdetak sejenak. Lalu, suara itu terdengar lagi.

"Kau harus kembali ke cermin."

Di Balik Cermin

Raka terdiam, matanya terpaku pada bayangan di kaca spion. Tubuhnya terasa membatu, seolah jiwanya sendiri tertahan di antara realitas dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Pria dalam refleksi itu—atau apapun dia—masih tersenyum. Bibirnya melengkung lebih lebar, hampir tidak manusiawi. Matanya, meskipun serupa dengan miliknya, tidak memiliki kedalaman, hanya kehampaan yang memerangkap kegelapan.

"Kau harus kembali ke cermin," suara itu mengulang, kali ini lebih jelas.

Jari-jari Raka mencengkeram setir lebih erat. "Apa yang kau inginkan?"

Bayangan di spion miringkan kepalanya sedikit, seolah menilai Raka seperti seorang peneliti mengamati objek eksperimen. "Aku ingin apa yang seharusnya menjadi milikku."

Raka menelan ludah. "Dan itu apa?"

Namun, bayangan itu tidak menjawab. Sebaliknya, refleksi di kaca spion mulai berubah. Warna-warna memudar, latar belakang menjadi lebih suram, seolah refleksi itu menunjukkan tempat yang berbeda dari dunia yang Raka kenal. Dinding-dinding retak, lampu-lampu redup berpendar dengan warna yang tidak alami, dan ada suara samar—seperti seseorang berbisik dari balik dinding.

Itu bukan hanya refleksi. Itu adalah tempat lain.

Di apartemennya, Aruna duduk terpaku di depan naskah yang kini terasa seperti benda terkutuk. Tulisan itu tidak pernah ia buat, tetapi di sana, di halaman yang baru terbuka, kata-kata terus bermunculan. Seolah ada tangan tak kasat mata yang menuliskannya dengan tinta pekat yang sekarat.

"Malam ini, ia akan menatap ke dalam cermin dan melihat kebenaran. Sesuatu akan menariknya masuk. Dan ia tidak akan pernah bisa kembali."

Aruna menahan napas. Ia tahu siapa yang dimaksud.

Ia meraih ponselnya, dengan tangan gemetar mencoba menelepon Raka. Satu dering. Dua dering. Tidak ada jawaban.

Hingga akhirnya, seseorang mengangkat telepon.

Namun, bukan suara Raka yang terdengar.

Melainkan suara lain.

Lebih dalam. Lebih berbisik.

"Semuanya sudah terlambat, Aruna."

Di dalam mobilnya, Raka tidak bisa berpaling dari kaca spion. Bayangan itu tidak lagi sekadar refleksi.

Tangan dari dunia di balik cermin mulai muncul.

Hitam. Panjang. Kurus.

Dan sebelum ia sempat bereaksi, tangan itu meraih lehernya dan menariknya ke dalam kegelapan.

Antara Dua Dunia

Raka merasa tubuhnya terjatuh, bukan ke belakang seperti seharusnya, tetapi ke dalam sesuatu yang tak kasat mata. Sensasi dingin merayapi kulitnya saat gravitasi seolah kehilangan makna. Dunianya terbalik, pikirannya berkabut, dan suara di sekelilingnya berubah menjadi bisikan-bisikan samar yang tak ia pahami.

Ketika ia membuka mata, ia tidak lagi berada di dalam mobilnya.

Sebaliknya, ia berdiri di sebuah ruangan yang asing—atau lebih tepatnya, ruangan yang menyerupai apartemennya, tetapi salah. Dindingnya tampak lebih kusam, cahaya dari lampu di langit-langit redup dan berpendar seperti lilin sekarat. Udara di sekitarnya terasa berat, penuh dengan keheningan yang menekan.

Kemudian, ia melihatnya.

Duduk di sofa, dengan ekspresi santai, ada seseorang yang identik dengannya.

Bayangan itu tersenyum, tetapi kali ini bukan senyum aneh seperti di kaca spion tadi. Ini adalah senyum kepuasan.

"Akhirnya," kata sosok itu dengan suara yang sama seperti miliknya. "Aku sudah menunggu lama sekali."

Raka merasakan darahnya membeku. "Siapa kau?"

Sosok itu mengangkat alis, seolah pertanyaan itu menggelitiknya. "Aku adalah kau." Ia bersandar ke belakang, menatap Raka dengan mata yang dalam dan gelap. "Atau lebih tepatnya… aku adalah kau yang seharusnya ada di sini."

Raka mundur selangkah. "Apa maksudmu?"

Sosok itu tertawa pelan, suaranya menggema di seluruh ruangan yang terasa seperti lorong tanpa ujung. "Kau pikir semua keberuntunganmu itu normal? Kau pikir setiap hal baik yang terjadi dalam hidupmu tidak memiliki harga?" Ia mencondongkan tubuh ke depan. "Ada keseimbangan di dunia ini, Raka. Dan aku adalah bagian dari keseimbangan itu."

Tiba-tiba, Raka merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Seolah udara di dalam paru-parunya ditarik keluar, meninggalkan kehampaan. Ia jatuh berlutut, terengah-engah.

Sosok itu berdiri, mendekatinya dengan langkah santai.

"Keseimbangan telah rusak sejak lama. Keberuntunganmu telah mengambil tempat yang bukan miliknya. Dan sekarang," katanya sambil berjongkok di depan Raka, menatapnya tepat di mata, "sudah waktunya untuk membayarnya."

Sementara itu, di apartemennya, Aruna panik. Ia mencoba menelepon Raka lagi, tetapi ponselnya hanya mengeluarkan suara statis yang aneh.

Naskah di mejanya kini bergetar, seolah ada sesuatu yang ingin keluar dari dalamnya. Kata-kata terus muncul di halaman terakhir:

"Pintu telah terbuka. Jika kau ingin menyelamatkannya, kau tahu di mana mencarinya."

Aruna tahu apa yang harus ia lakukan.

Dengan langkah ragu, ia berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Refleksinya menatapnya dengan ekspresi yang sama gelisahnya.

Ia mengulurkan tangan.

Dan cermin itu mulai bergetar.

Sejenak, ketakutan menahannya. Tapi kemudian, ia mengingat sesuatu—ini bukan pertama kalinya ia menulis sesuatu yang menjadi kenyataan. Dan mungkin, ini juga bukan pertama kalinya ia harus menulis ulang takdir seseorang.

Dengan napas tertahan, ia menyentuh permukaan kaca itu.

Dan dunia di sekelilingnya berubah.

Bayangan yang Mengintai

Udara di sekitar Aruna terasa berat, seolah ia baru saja melangkah ke dalam dimensi yang belum pernah dijamah manusia. Cahaya samar berpendar di sekelilingnya, berkelip seperti bintang yang tersesat. Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu: keheningan yang terlalu pekat, begitu dalam hingga ia bisa mendengar denyut jantungnya sendiri.

Cermin di belakangnya sudah menghilang. Tidak ada jalan kembali.

Aruna berdiri di sebuah lorong panjang yang tampak seperti koridor apartemen Raka, tetapi setiap detailnya terasa salah. Dindingnya lebih suram, catnya terkelupas, dan udara di sini lebih dingin daripada dunia yang ia kenal. Setiap langkah yang ia ambil bergema, seolah lorong ini ingin mengingat keberadaannya.

Lalu ia mendengar suara.

Bukan suara teriakan atau panggilan minta tolong, melainkan suara pena yang menari di atas kertas. Sebuah suara yang begitu familiar baginya.

Aruna mengikuti suara itu, menyusuri lorong yang semakin menyempit. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah gravitasi di tempat ini berbeda. Saat akhirnya ia mencapai ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu kayu tua.

Tanpa berpikir panjang, ia meraih gagangnya dan mendorongnya terbuka.

Di dalam ruangan itu, Raka duduk di sebuah kursi, wajahnya tampak pucat, matanya kosong menatap ke depan. Namun, yang lebih mengerikan adalah keberadaan sosok lain di dekatnya.

Sosok yang identik dengannya.

Bayangan Raka tengah menulis sesuatu di sebuah buku tua dengan pena hitam yang tampak seperti terbuat dari bayangan itu sendiri. Setiap kali pena itu menyentuh kertas, tubuh Raka yang asli tersentak seperti boneka yang ditarik benangnya.

"Apa yang kau lakukan padanya?" suara Aruna nyaris berbisik.

Bayangan itu tidak menoleh, hanya tersenyum kecil. "Aku sedang menulis ulang kisahnya. Bukankah itu yang kau lakukan juga, Aruna?"

Aruna merasakan darahnya berdesir. Ini bukan sekadar kutukan atau kebetulan. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.

"Berhenti," katanya, suaranya bergetar. "Lepaskan dia."

Bayangan Raka akhirnya menatapnya. Matanya kosong, tetapi bibirnya tetap melengkung dalam senyum licik. "Aku bisa membebaskannya, jika kau mau menukar tempat."

Aruna terdiam. Tawaran itu terdengar seperti sesuatu yang bisa ia prediksi dari sebuah cerita. Tapi kali ini, ia adalah bagian dari ceritanya sendiri.

Ia melihat Raka, tubuhnya lemah, tetapi ada sesuatu di matanya yang belum padam. Harapan.

Aruna tahu bahwa jika ia menyerah begitu saja, mereka berdua akan terjebak di dalam tulisan ini selamanya.

Jadi, dengan napas dalam-dalam, ia melakukan satu hal yang belum pernah ia coba sebelumnya.

Ia meraih buku itu, merobek halaman yang dituliskan bayangan tersebut, dan mulai menulis ulang takdir mereka dengan tangannya sendiri.

Ketika tinta mulai menyerap ke dalam kertas, dunia di sekitar mereka mulai bergetar.

Permainan Nasib

Malam di Jakarta terasa lebih sunyi dari biasanya. Di dalam apartemen Aruna yang remang-remang, cahaya lilin yang redup memantulkan bayangan aneh di dinding. Angin berembus dari jendela yang setengah terbuka, membawa bisikan samar yang entah berasal dari mana. Raka duduk di sofa dengan ekspresi gelisah, sementara Aruna berdiri di depan meja kerjanya, menatap buku tua yang terbuka di hadapannya.

"Kita tidak bisa terus seperti ini," gumam Raka akhirnya, suaranya berat.

Aruna menghela napas, tangannya mengusap halaman-halaman buku yang sudah mulai lusuh. "Aku tahu. Tapi bagaimana kalau ini satu-satunya jalan? Kalau aku menulis sesuatu yang bisa membalikkan kutukan ini, bagaimana kalau justru semakin memperparah keadaan?"

Raka bangkit dari sofa dan berjalan mendekati Aruna, menatap tulisan-tulisan misterius yang tampak semakin hidup di bawah cahaya lilin. "Aku sudah terlalu lama hidup dengan keberuntungan yang absurd ini, sementara kau harus menanggung semua kemalangan yang datang. Harus ada cara lain."

Aruna menutup buku itu dengan cepat. "Aku sudah mencoba segalanya, Raka. Tapi setiap kali aku menulis, sesuatu berubah di dunia nyata. Takdir bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan seenaknya."

Sejenak, mereka terdiam. Di luar, suara petir menggelegar meski hujan belum turun. Seakan-akan alam pun menunggu keputusan mereka.

Tiba-tiba, sebuah suara berbisik dari sudut ruangan. Aruna dan Raka menoleh bersamaan, mata mereka menangkap bayangan gelap yang bergerak di cermin di pojok kamar. Perlahan, dari balik bayangan itu, sesosok pria tua muncul. Wajahnya tampak akrab bagi Aruna—pria yang dulu memperingatkannya di perpustakaan tua.

"Takdir tidak bisa diubah tanpa pengorbanan," ucap pria tua itu dengan suara bergetar. "Kalian sudah terlalu jauh. Jika kau ingin menulis ulang segalanya, maka harus ada harga yang dibayar."

Raka meraih tangan Aruna dengan erat. "Apa maksudmu? Pengorbanan seperti apa?"

Pria tua itu tersenyum tipis, tetapi senyumannya lebih menyerupai rasa iba. "Salah satu dari kalian harus menghilang. Hanya dengan begitu keseimbangan dapat dipulihkan."

Jantung Aruna mencelos. Kata-kata pria itu menggantung di udara seperti vonis kematian. Mereka saling bertukar pandang, mencari jawaban dalam mata satu sama lain.

"Tidak ada cara lain?" tanya Aruna, suaranya hampir berbisik.

"Takdir sudah memilih," jawab pria itu sebelum sosoknya memudar kembali ke dalam bayangan.

Kesunyian kembali menyelimuti ruangan, tetapi kini terasa lebih berat, lebih mencekam. Aruna merasakan pena di tangannya bergetar, seolah memaksanya untuk segera menulis.

"Kalau begitu," Raka berbisik, suaranya penuh tekad, "kau harus menulis akhir yang terbaik untuk kita berdua."

Aruna menggigit bibirnya, menatap halaman kosong di hadapannya. Kata-kata pria tua tadi bergema di kepalanya. Ia tahu, apa pun yang ia tulis malam ini akan menjadi kenyataan. Dan keputusan ini akan menentukan segalanya.

Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis.

Pena dan Darah

Saat tinta pertama kali menyentuh kertas, ruangan seolah berguncang. Angin kencang berputar di sekitar mereka, menerbangkan lembaran-lembaran kertas yang berisi fragmen cerita Aruna di masa lalu. Lilin-lilin padam satu per satu, menyisakan kegelapan yang hanya diterangi oleh kilatan petir dari luar jendela.

Raka melangkah mundur, matanya mengawasi dengan waspada. "Aruna, apa yang kau tulis?"

Aruna tidak menjawab. Tatapannya kosong, seperti seseorang yang berada di antara dunia nyata dan dimensi lain. Tangannya bergerak sendiri, menuliskan kata-kata yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya:

"Dalam pilihan terakhir, takdir memisahkan dua jiwa. Satu harus menghilang agar yang lain tetap ada."

Tiba-tiba, sebuah jeritan bergema dari dalam cermin di pojok ruangan. Bayangan gelap mulai merayap keluar, membentuk sosok kabur yang menyerupai Raka.

"Itu bukan aku!" Raka berseru, mundur dengan panik.

Aruna tersentak, pena terjatuh dari tangannya. Sosok itu melangkah maju, wajahnya semakin jelas—dan benar saja, itu adalah refleksi Raka, tetapi dengan mata kosong dan senyum yang tidak wajar.

"Kau menulisku ke dalam kegelapan, Aruna," suara makhluk itu terdengar seperti gema dari dunia lain. "Sekarang, aku ingin keluar."

Ruangan menjadi semakin dingin, napas Aruna membeku di udara. Dia menatap Raka asli, yang kini menatapnya dengan ketakutan dan kebingungan. Jika ia melakukan kesalahan dalam menulis, maka keberadaan Raka bisa tergantikan oleh entitas ini.

"Tidak!" Aruna meraih pena lagi, menuliskan sesuatu dengan cepat:

"Keberuntungan yang sejati bukanlah milik satu orang, tetapi berbagi takdir dengan yang lain."

Begitu kata-kata itu tertulis, ruangan kembali berguncang. Sosok bayangan itu mengerang keras sebelum akhirnya tersedot kembali ke dalam cermin, meninggalkan keheningan yang mencekam.

Raka jatuh berlutut, terengah-engah. "Apa yang baru saja terjadi?"

Aruna memegang tangannya dengan erat. "Aku tidak tahu, tapi kita harus menyelesaikan ini sebelum lebih banyak hal yang keluar dari tulisan ini."

Raka mengangguk, dan untuk pertama kalinya, mereka benar-benar mengerti: akhir cerita ini bukan hanya tentang mereka, tetapi tentang dunia yang telah mereka ubah.

Malam itu, mereka mulai menulis bab terakhir—dan kali ini, mereka harus memastikan akhir yang benar-benar adil bagi semua.

Gerbang Takdir

Malam semakin pekat saat Aruna dan Raka melangkah ke dalam gedung tua yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Setiap langkah menggema, seolah mengingatkan mereka bahwa apa pun yang menanti di ujung perjalanan ini bukanlah sesuatu yang bisa mereka hindari. Bayangan-bayangan bergerak di sudut ruangan, tetapi tidak ada angin yang berhembus. Seakan tempat ini bernafas, hidup dalam cara yang tak bisa mereka pahami sepenuhnya.

Di tengah aula utama, sebuah cermin besar berdiri tegak. Namun, bayangan yang terpantul di dalamnya tidak mengikuti gerakan mereka. Aruna menelan ludah, sementara Raka mengepalkan tangan, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

"Inilah titik akhirnya," suara berat menggema dari sudut ruangan. Dari bayangan muncul sosok pria tua berjubah hitam, matanya kosong, namun menyimpan rahasia yang terlalu dalam untuk diungkapkan dalam satu tatapan.

Aruna melangkah maju. "Siapa kau? Kenapa hidup kami selalu saling bertautan?"

Pria itu tersenyum samar. "Kalian adalah dua sisi dari takdir yang terpecah. Keseimbangan yang telah diubah sejak masa lalu. Raka adalah cahaya yang selalu bersinar, sementara kau, Aruna, adalah kegelapan yang menuliskan segalanya."

Raka menggeleng, tidak menerima kenyataan ini begitu saja. "Tidak mungkin. Ini hanya kebetulan, bukan?"

Pria itu mengangkat tangan, dan bayangan dalam cermin mulai berubah. Gambar-gambar dari masa lalu muncul—dua anak kecil yang terpisah oleh sebuah gerhana. Sebuah pena yang terjatuh dari tangan seorang wanita, dan seorang pria yang mengangkatnya. Sebuah kontrak yang tertulis dalam bahasa yang telah lama dilupakan.

"Kalian ditakdirkan untuk saling melengkapi, tetapi juga untuk saling menghancurkan. Setiap keberuntungan yang kau terima, Raka, adalah hasil dari kemalangan Aruna. Begitu juga sebaliknya. Dan kini, kalian telah sampai di titik di mana takdir harus diputuskan."

Aruna menggigit bibirnya, matanya berkilat dengan tekad. "Dan jika kami tidak ingin mengikuti takdir ini?"

Pria itu tertawa kecil. "Maka kau harus menulis akhir yang baru. Tetapi ingat, setiap kata memiliki harga. Jika kau ingin mengubah takdir, sesuatu harus dikorbankan."

Hening menguasai ruangan. Raka menatap Aruna, matanya menyiratkan pertanyaan yang sama yang ada dalam benaknya. Apakah mereka siap untuk membayar harga itu?

Aruna meraih pena yang tergantung di lehernya—pena yang sejak awal telah menjadi sumber dari segala keanehan ini. Ia menatap cermin di hadapannya dan mengambil keputusan.

"Aku akan menulis akhir yang baru," bisiknya.

Namun, ketika tinta mulai mengalir di udara, bayangan-bayangan mulai berontak, dan gedung tua itu mulai bergetar hebat. Mereka tidak akan membiarkan takdir berubah begitu saja.

Dan saat itu, gerbang di dalam cermin mulai terbuka, memperlihatkan sesuatu yang lebih gelap dari yang pernah mereka bayangkan...

Akhir yang Baru

Bayangan yang berontak dari cermin mulai meluap keluar, memenuhi ruangan dengan kehadiran yang hampir tak tertahankan. Aruna merasakan udara semakin berat, seolah sesuatu menariknya ke dalam pusaran yang tak terlihat. Pena di tangannya bergetar, seakan sadar bahwa keputusan yang diambilnya akan mengubah segalanya.

Raka menggenggam tangan Aruna, menariknya mundur. "Apa yang akan kau tulis? Apa yang harus kita lakukan?"

Aruna menatap tinta hitam yang melayang di udara, menunggu untuk membentuk takdir yang baru. “Aku harus menulis ulang segalanya,” gumamnya. "Tapi itu berarti aku harus mengorbankan sesuatu."

Pria berjubah hitam berdiri di sudut ruangan, matanya memantulkan cahaya redup dari gerbang yang terbuka dalam cermin. "Setiap perubahan datang dengan harga, Aruna. Jika kau ingin memutus hubungan kalian, salah satu dari kalian harus menghilang."

Raka menggeleng, ekspresinya penuh tekad. "Tidak ada yang harus menghilang. Kita bisa menemukan cara lain."

Tetapi Aruna sudah tahu jawabannya. Ia mengerti bahwa selama ini, dirinya hanyalah bagian dari keseimbangan yang terus berulang. Jika ia terus hidup dalam bayang-bayang kutukan ini, tak akan ada akhir yang bahagia.

Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis di udara dengan pena itu, menciptakan untaian kata yang mengubah realitas:

“Aku menghapus diriku dari takdir ini. Keberuntungan dan kemalangan tidak lagi terikat. Biarkan Raka memiliki hidupnya sendiri, dan biarkan dunia melanjutkan tanpa kehadiranku.”

Tinta berkilau terang sebelum meledak menjadi ribuan serpihan cahaya. Ruangan itu bergetar hebat, suara jeritan bayangan memenuhi udara sebelum akhirnya mereda. Perlahan, cermin retak dan pecah berkeping-keping, menghapus gerbang yang telah terbuka.

Raka menjerit, mencoba meraih Aruna yang mulai memudar. "Tidak! Aruna, kau tidak bisa melakukan ini!"

Aruna tersenyum lemah. "Ini satu-satunya cara… agar kau bisa bebas." Air mata mengalir di pipinya saat ia merasakan tubuhnya menjadi lebih ringan, suaranya hampir tak terdengar lagi. "Jadilah bahagia, Raka."

Dalam sekejap, Aruna lenyap, meninggalkan ruangan yang kini sunyi. Tidak ada lagi bayangan, tidak ada lagi gerbang. Hanya Raka yang berdiri di sana, menatap kosong ke tempat di mana Aruna terakhir kali berada.

Waktu berlalu. Dunia bergerak maju. Keberuntungan masih mengikuti Raka, tetapi kini terasa hampa. Ia masih bisa tersenyum, masih bisa tertawa, tetapi ada bagian dalam dirinya yang selalu kosong. Seakan ada seseorang yang pernah ada, tetapi tak bisa diingat sepenuhnya.

Hingga suatu hari, saat hujan turun dengan lembut di Jakarta, sebuah buku tua terjatuh dari rak di sebuah perpustakaan. Sampulnya usang, judulnya samar. Dengan ragu, Raka membukanya.

Di halaman pertama, tertulis satu kalimat dengan tinta yang sangat familiar:

“Takdir menunggu untuk ditulis kembali.”

Dan dengan itu, bab baru dimulai.

Kanvas Terakhir


BAYANG-BAYANG DI BALIK KANVAS

Malam itu, angin berembus pelan, membelai dinding-dinding rumah tua tempat Reza tinggal. Rumah itu, dengan catnya yang mulai terkelupas dan aroma kanvas yang bercampur terpentin, berdiri seperti saksi bisu dari segala emosi yang pernah tumpah di dalamnya.

Di dalam studio yang temaram, Reza menatap kanvas besar yang masih kosong. Kuas di tangannya gemetar sedikit—sebuah perasaan aneh menjalar dalam dadanya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan ruangan. Namun, ia menepis perasaan itu. Ia terlalu lelah untuk memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal.

Lamat-lamat, dentingan jam dinding tua menggema. Pukul dua dini hari. Suasana semakin sunyi, hanya terdengar suara angin yang menyusup melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Reza menghela napas panjang dan memutuskan untuk beristirahat. Ia berjalan menuju balkon, menghirup udara malam yang dingin. Kota Yogyakarta di malam hari begitu tenang, namun bagi Reza, ada sesuatu yang terasa berbeda. Seperti bayangan yang terus mengintai dari kejauhan.

Tiba-tiba, suara berderit terdengar dari belakangnya.

“Siapa di sana?” tanyanya, namun tak ada jawaban.

Reza berbalik, matanya menyapu ruangan, tetapi hanya ada gelap dan pantulan dirinya di kaca jendela. Ia menggeleng pelan, mencoba meyakinkan diri bahwa semua hanya permainan pikirannya sendiri.

Lalu, sesuatu menyentuh bahunya.

Jeritan tertahan, Reza terhuyung ke belakang. Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, tubuhnya terdorong dengan kekuatan tak terlihat. Udara dingin menampar wajahnya, dan gravitasi mulai menariknya jatuh.

Waktu seakan melambat. Dalam beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Reza melihat langit malam yang kelam, merasakan angin menerpa tubuhnya, dan dalam keheningan yang mencekam, ia menyadari satu hal—ini bukan kecelakaan. Ini bukan keputusasaan. Ini adalah akhir yang telah dirancang.

Tubuhnya membentur tanah dengan suara yang mengerikan.

Saat fajar menyingsing, jeritan seorang tetangga membelah kesunyian. Tubuh Reza tergeletak di halaman berbatu, kepalanya menghadap langit, matanya terbuka dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan—antara ketakutan dan keterkejutan. Darah yang mengalir dari pelipisnya membentuk pola aneh di lantai, seolah menggambarkan jejak-jejak kejatuhannya.

Polisi datang, mengamankan tempat kejadian perkara. Mereka melihat ke atas, ke balkon tempat Reza diyakini jatuh. Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Tidak ada sidik jari yang mencurigakan. Semua tampak seperti kecelakaan biasa—atau mungkin bunuh diri, begitu mereka menduga.

Di antara kerumunan yang berkumpul di depan rumah, berdirilah Gilang Mahendra. Wajahnya pucat, tangannya terkepal di dalam saku jaketnya. Ia menatap tubuh tak bernyawa itu dengan tatapan yang sulit diartikan—bukan duka, bukan keterkejutan, tetapi sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.

“Kasihan sekali,” bisik seorang warga.

“Dia selalu tampak gelisah akhir-akhir ini,” tambah yang lain.

Gilang menelan ludah. Ia tahu, semua mata kini beralih ke teori bunuh diri. Ia tahu, rencananya berjalan sempurna. Namun, jauh di dalam benaknya, sebuah suara kecil berbisik—apakah benar semuanya telah berakhir?

JEJAK YANG TERSEMBUNYI

Gilang menutup pintu studionya dengan pelan. Tangannya masih bergetar, meskipun di wajahnya tak tampak ekspresi bersalah. Ia berjalan ke meja kayu tempat berbagai sketsa tersusun rapi. Di antara kertas-kertas itu, ada satu yang menarik perhatiannya—sebuah potret Reza, digambar dengan detail yang mengerikan. Mata Reza dalam sketsa itu kosong, seolah melambangkan takdir yang telah menjemputnya.

Ia menghela napas, membayangkan kembali malam tadi. Betapa mudahnya mendorong tubuh itu ke dalam kehampaan. Tidak ada perlawanan, tidak ada jeritan yang nyata. Hanya momen singkat sebelum gravitasi mengambil alih.

Namun, ketukan keras di pintu membuat Gilang tersentak.

“Pak Gilang?” Suara seorang pria terdengar dari luar.

Gilang menarik napas, menenangkan dirinya sebelum membuka pintu. Seorang polisi berdiri di ambang pintu, matanya tajam menatapnya.

“Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal terkait kematian Pak Reza. Bisa kami masuk sebentar?”

Darah Gilang berdesir. Namun, ia tersenyum, memberi jalan bagi petugas untuk masuk. Di balik ketenangan yang ia tunjukkan, pikirannya berputar cepat. Apakah ada sesuatu yang tertinggal? Sebuah jejak yang tak seharusnya ada?

Ia harus memastikan semuanya tetap terkubur dalam bayang-bayang.

BAYANGAN DI BALIK MATA

Gilang duduk di dalam studionya, menatap potret Reza yang baru saja ia selesaikan. Goresan pensilnya tajam, membentuk ekspresi wajah yang tampak hidup, seolah Reza menatapnya langsung dari dalam kertas. Ia mengusap dahinya yang berkeringat, pikirannya melayang ke kejadian malam itu.

Ketukan di pintu kembali menggema, mengembalikan Gilang ke realitas. Polisi masih ada di luar. Ia menarik napas dalam, lalu berjalan dengan langkah terkontrol untuk membukakan pintu.

“Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal, Pak Gilang,” ujar petugas sambil mencatat sesuatu di buku kecilnya. “Anda terakhir kali bertemu dengan almarhum kapan?”

Gilang berpura-pura berpikir. “Hmm… dua hari lalu, kalau tidak salah. Kami sempat berbincang soal proyek ilustrasi bersama, tapi dia terlihat sangat kelelahan.”

Polisi itu mengangguk. “Ada yang aneh dengan perilaku almarhum?”

Gilang berusaha menampilkan ekspresi prihatin. “Sepertinya dia tertekan. Kadang berbicara sendiri, atau menatap kosong ke luar jendela.”

Polisi mencatat dengan saksama. Gilang menahan napasnya, mencoba menilai apakah kebohongannya cukup meyakinkan.

Sebelum polisi beranjak, salah satu dari mereka bertanya, “Anda mengenal seseorang bernama Sita Adiningrum?”

Gilang merasakan dadanya mencelos, tetapi ia segera menguasai dirinya. “Ya, tentu. Dia asisten Reza.”

“Kami baru saja berbicara dengannya,” kata polisi itu. “Dia mengatakan sesuatu yang menarik.”

Gilang menggenggam jemarinya erat. “Oh? Apa itu?”

Polisi itu menatapnya tajam, seakan mencoba membaca pikirannya. “Dia bilang Reza sering mendapat ancaman dari seseorang. Pesan-pesan misterius yang ditulis dengan cat merah di dinding studionya. Anda tahu sesuatu tentang itu?”

Gilang pura-pura mengernyit, padahal pikirannya langsung berputar cepat. Ia yakin telah menghapus semua jejak. Jika memang ada pesan yang tertinggal, siapa yang meletakkannya? Atau… apakah Reza sempat menyimpan sesuatu sebelum kematiannya?

“Saya tidak tahu soal itu,” jawab Gilang dengan suara mantap. “Tapi saya bisa bantu jika dibutuhkan.”

Polisi mengangguk. “Baiklah. Kami akan tetap menghubungi Anda jika ada perkembangan.”

Gilang menutup pintu dengan pelan. Seketika tubuhnya merosot ke kursi, napasnya memburu. Ada sesuatu yang tidak beres. Seseorang tahu lebih dari yang seharusnya.

Ia bangkit, berjalan menuju lemari tua di sudut ruangan. Dengan tangan bergetar, ia menggeser beberapa tumpukan kertas dan menarik sebuah buku sketsa lama. Di balik halaman-halaman berisi ilustrasi, terselip sebuah surat yang sudah menguning.

Ia membuka surat itu dengan hati-hati. Isinya hanya satu kalimat pendek yang membuat jantungnya berhenti berdetak:

“Aku tahu apa yang kau lakukan. Kau tak akan bisa melukis lagi tanpa melihat bayanganku.”

Gilang menatap tulisan itu dengan mata membelalak. Ia mengenali goresan tangannya sendiri. Tetapi ia tidak ingat pernah menulisnya.

Bayangan Reza kembali muncul di benaknya, seolah berbisik di telinganya dengan suara yang dingin.

Malam semakin gelap. Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, Gilang merasa ketakutan.

KANVAS YANG BERBICARA

Hari berikutnya, Gilang mencoba mengabaikan surat itu. Ia membakar kertas tersebut, memastikan tidak ada jejak tersisa. Namun, semakin ia berusaha melupakannya, semakin kuat bayangan Reza mengikutinya.

Lukisan-lukisannya terasa berbeda. Wajah-wajah yang ia gambar tampak seperti sedang menatapnya dengan mata kosong, seolah-olah memendam rahasia yang tak terkatakan. Saat ia mulai melukis potret baru, tangannya bergerak sendiri, menciptakan sosok yang tak ia kenali. Sosok itu… mirip dengan Reza.

Ketukan kembali terdengar di pintu. Kali ini bukan polisi, melainkan Sita.

“Gilang,” suaranya gemetar, “ada sesuatu yang harus kamu lihat.”

Sita menyerahkan sebuah sketsa. Itu adalah gambar terakhir yang Reza buat sebelum kematiannya. Gilang menatapnya dengan cermat—wajah dalam gambar itu adalah dirinya sendiri, dengan mata yang kosong dan senyum yang ganjil.

“Dia menggambar ini sebelum jatuh dari balkon,” kata Sita dengan suara bergetar. “Seolah-olah dia tahu sesuatu akan terjadi.”

Gilang merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. Ia menelan ludah, mencoba tetap tenang. Tapi ada satu hal yang lebih mengganggunya—di sudut bawah sketsa, tertulis satu kalimat pendek:

“Aku masih di sini.”

Lukisan di studio seakan bergerak di sudut pandangnya. Udara di dalam ruangan terasa semakin berat. Gilang menyadari satu hal yang mengerikan—Reza belum benar-benar pergi.

Dan kini, ia menuntut jawaban.

GORESAN TERAKHIR

Gilang mengunci diri di dalam studionya. Suara-suara berbisik di sudut pikirannya, memanggilnya dengan nada yang lembut namun mengancam. Ia menatap kanvas kosong di depannya, kuas di tangannya gemetar.

Bayangan Reza terus muncul di setiap sudut ruangan. Di cermin, di pantulan jendela, di antara tumpukan sketsa yang berserakan di lantai. Ia tahu ini bukan halusinasi biasa. Ada sesuatu yang lebih nyata dari sekadar rasa bersalah.

Suara ketukan menggema dari pintu.

“Gilang?” suara Sita terdengar di balik kayu.

Gilang tidak menjawab. Ia hanya menatap kanvasnya yang tiba-tiba menampilkan bayangan samar seorang pria—sosok Reza, dengan mata kosong yang menatapnya tajam.

Tiba-tiba, seakan tangannya digerakkan oleh sesuatu yang tak terlihat, Gilang mulai melukis dengan liar. Kuasnya menari di atas kanvas, menciptakan wajah Reza dalam detail yang menyeramkan. Setiap goresan menambah kedalaman pada ekspresi menyeramkan itu, seolah-olah Reza benar-benar hidup dalam lukisan.

Keringat membasahi pelipisnya. Gilang mundur, napasnya tersengal-sengal. Ia ingin berhenti, tetapi tangannya terus bergerak.

Ketukan di pintu semakin keras. Kali ini suara Sita bercampur dengan suara lain.

“Gilang, buka pintunya!”

Tiba-tiba, lampu di studio berkedip dan padam. Dalam kegelapan, hanya ada satu hal yang terlihat—cahaya redup dari lukisan yang baru saja ia buat. Mata Reza dalam lukisan itu... bergerak.

Gilang menjerit dan terpental ke belakang. Tubuhnya gemetar hebat.

“Kau tidak bisa lari dariku, Gilang.”

Suara itu datang dari dalam lukisan.

Ketika pintu akhirnya didobrak, Sita dan beberapa polisi menemukan Gilang terduduk di sudut ruangan, tubuhnya kaku dan tatapannya kosong menatap ke depan. Di kanvas di hadapannya, potret Reza telah berubah.

Di bawah wajah Reza yang menyeramkan, kini ada sosok lain—sosok Gilang, dengan mata ketakutan dan mulut yang terbuka lebar dalam jeritan abadi.

Lukisan itu menjadi saksi bisu dari kisah kelam yang telah usai.

Namun, apakah benar-benar usai?

Bayangan di Gerbong Malam

Ketika kereta Argo Parahyangan melaju menembus gelapnya malam, aku terduduk di kursiku, mencoba melupakan apa yang baru saja kulakukan. Tapi percuma. Setiap denting roda di rel terasa seperti gema napas terakhirnya. Wajahnya, ekspresi terkejut yang membeku dalam kematian, terus menghantuiku di setiap bayangan jendela.

Aku menggenggam belati kecil di dalam saku mantelku—belati yang telah kubersihkan, tapi tetap terasa berat, seolah masih membawa dosa yang menempel di ujungnya. Bau darahnya seakan masih melekat di ujung jariku. Tidak ada yang mencurigai aku. Penumpang lain sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tidak menyadari bahwa aku membawa rahasia gelap yang akan terus membayangiku.

Tapi bagaimana bisa aku sampai di sini? Semuanya bermula beberapa jam yang lalu, di Stasiun Cipeundeuy.

Stasiun itu lengang, diterangi lampu temaram yang memantulkan bayanganku di lantai basah. Aku turun dari Argo Parahyangan, berjalan dengan langkah yang sengaja kubuat santai. Kereta lain, Lodaya Malam, telah berhenti di peron sebelah. Aku menunggu di sudut gelap, mengamati penumpang yang naik dan turun, memastikan tidak ada yang memperhatikanku.

Ketika waktunya tepat, aku menyelinap masuk ke Lodaya Malam. Aku tahu persis di mana dia duduk—di gerbong eksekutif, dekat jendela, menikmati kopi hangat yang selalu dia pesan setiap perjalanan. Aku sudah menghafal kebiasaan Sutarto, korbanku, selama berminggu-minggu.

Setelah masuk ke gerbong, aku berdiri sejenak, memperhatikan punggungnya. Rencana itu terasa begitu sederhana di kepalaku, tapi berat ketika aku benar-benar harus melakukannya. Namun, amarah yang kupendam begitu lama memaksaku melangkah maju.

Beberapa menit sebelumnya, saat aku masih berada di Argo Parahyangan, aku menggenggam belati itu untuk memastikan ia siap digunakan. Aku terus memutar ulang ingatan akan wajah ayahku yang hancur karena ulah Sutarto. Dia telah menghancurkan keluargaku dengan tipu muslihatnya—menjebak kami dalam utang yang tidak mungkin kami lunasi. Ayahku memilih gantung diri daripada hidup dalam rasa malu.

Aku tahu malam ini adalah saatnya membalas dendam. Aku sudah menyusun rencana ini dengan sempurna. Kedua kereta berhenti di Stasiun Cipeundeuy selama beberapa menit, memberi cukup waktu untukku berpindah tanpa ada yang menyadari.

Dan sekarang, di gerbong Lodaya Malam, aku berdiri di belakang Sutarto. Napasnya tenang, seolah dunia tidak pernah mengguncangnya.

"Sutarto," bisikku pelan.

Dia menoleh, terkejut, dan untuk sesaat, matanya bertemu dengan mataku. Aku melihat ketakutan, tapi juga pengakuan. Dia tahu mengapa aku di sini.

"Apa... apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Keadilan," jawabku, dan tanpa ragu lagi, aku menghujamkan belati itu ke tubuhnya.

Ketika tubuhnya terkulai, aku membersihkan belati dengan saputangan, lalu meninggalkan gerbong itu dengan tenang. Ketika Lodaya Malam berhenti lagi di pemberhentian berikutnya, aku turun dan menyelinap kembali ke Argo Parahyangan, membawa rahasiaku bersamaku.

Kini, aku duduk di kursiku, mencoba menyembunyikan getaran di tanganku. Aku berhasil, pikirku. Tapi saat malam semakin larut, aku menyadari bahwa bayangannya tidak akan pernah meninggalkanku.

Pintu Terakhir

Sore itu, aku sedang duduk di ruang kerjaku, sebuah tempat yang selalu menjadi benteng bagi pikiranku yang rumit. Dindingnya dihiasi rak buku penuh dengan volume tentang taktik, strategi, dan filsafat yang sering kugunakan sebagai pedoman dalam hidup. Sebuah jam antik di sudut ruangan berdetak perlahan, mengiringi pikiranku yang sibuk merancang rencana berikutnya.

Namun, ketenangan itu pecah oleh getaran ponselku di atas meja. Pesan singkat muncul di layar.

"Reinaldo, aku ingin kita bicara. Malam ini, di kamar 307 Hotel Astana. Aku tunggu."

Aku membaca pesan itu sekali, dua kali, bahkan tiga kali, mencoba menangkap makna tersembunyi di balik kata-katanya. Pesannya sederhana, tanpa embel-embel atau basa-basi. Tapi justru kesederhanaannya yang membuat pikiranku tergelitik.

Tidak ada sapaan akrab seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda emosi dalam pesan itu, seolah-olah ditulis dengan tangan yang dingin dan pikiran yang tanpa perasaan. Aku tahu siapa yang mengirimkannya—seseorang yang kupikir telah kukendalikan sepenuhnya.

Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan ganjil yang menyelinap ke dalam diriku, seperti hembusan angin dingin yang tiba-tiba menyusup ke dalam ruangan yang hangat.

Aku meletakkan ponsel itu kembali di meja, mencoba melanjutkan pekerjaanku, tetapi konsentrasiku telah lenyap. Kata-kata dalam pesan itu terus bergema di benakku, menciptakan resonansi yang tidak nyaman.

“Kenapa sekarang?” pikirku. “Kenapa dia tiba-tiba ingin bicara? Apa yang dia tahu?”

Aku mencoba mencari alasan yang masuk akal. Mungkin ini hanya salah satu usahanya untuk menantangku, untuk mencari celah dalam benteng yang telah kubangun. Tapi di balik semua logika itu, ada ketakutan samar yang tidak bisa kuhapus.

Aku melirik ke arah jendela. Langit di luar mulai memerah, matahari hampir tenggelam di balik cakrawala. Cahaya senja menciptakan bayangan panjang di ruangan itu, bayangan yang tampak seperti tangan-tangan gelap yang mencoba meraihku.

Aku meneguk segelas anggur merah yang ada di mejaku, mencoba menenangkan diri. Tapi bahkan anggur itu terasa pahit, meninggalkan jejak asam di lidahku.

Ketika waktu mendekati malam, aku memutuskan untuk pergi. Tapi kali ini, persiapanku tidak seperti biasanya. Biasanya, aku merasa percaya diri, seperti seorang penguasa yang melangkah ke medan perang yang sudah pasti dimenangkannya. Tapi malam ini, aku merasa seperti seorang bidak yang melangkah ke dalam permainan yang tidak kuketahui aturannya.

Aku mengenakan jas hitam yang biasa menjadi simbol kekuasaanku, memastikan setiap lipatan sempurna. Tapi meskipun penampilanku rapi, ada rasa gelisah yang tidak bisa kusembunyikan. Aku memeriksa ulang dasi, menyemprotkan parfum favoritku, tetapi tidak ada yang bisa menghapus perasaan aneh itu.

Aku mengambil ponselku, membaca pesan itu sekali lagi. Kata-kata itu terasa lebih berat sekarang, seperti ancaman yang tidak terucap.

“Kenapa Hotel Astana?” pikirku. Hotel itu tidak istimewa, bahkan cenderung biasa saja. Namun, pemilihan tempat itu terasa disengaja, seperti bagian dari rencana yang lebih besar.

Perjalanan menuju hotel terasa lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, deru kota yang sibuk menjadi musik latar dalam pikiranku yang sibuk. Tapi malam ini, semuanya terasa tenang, terlalu tenang.

Ketika aku sampai di depan Hotel Astana, aku berhenti sejenak, memandang bangunan itu dengan pandangan curiga. Hotel itu tampak tua, dengan dinding yang mulai memudar dan lampu neon yang berkedip-kedip.

Aku turun dari mobil, mencoba menyembunyikan kegelisahanku di balik langkah yang tegas. Tapi setiap langkahku terasa lebih berat, seolah-olah lantai di bawahku adalah pasir hisap yang perlahan-lahan menarikku ke dalam.

Aku memasuki lobi hotel, aroma karpet tua segera menyerang indra penciumanku. Resepsionis yang duduk di belakang meja tampak tidak peduli, hanya melirikku sekilas sebelum kembali fokus pada layar komputernya.

Aku menuju lift, memencet tombol angka tiga, dan menunggu. Suara mekanisme lift yang bergerak terdengar seperti jeritan logam yang kelelahan. Ketika pintu terbuka, aku melangkah masuk, merasakan ruangan sempit itu menekan sekelilingku.

“307,” gumamku pelan, seperti mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku masih memiliki kendali.

Ketika aku sampai di depan pintu itu, aku berhenti sejenak. Angka "307" tertera di atasnya, kecil dan sederhana. Tapi pintu itu sendiri tampak besar dan mengintimidasi, seperti pintu gerbang ke dunia yang tidak kukenal.

Aku mengetuk perlahan. Suara ketukanku terdengar lebih keras dari yang kuharapkan, menggema di koridor yang sepi. Tidak ada jawaban.

Aku mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Dan kemudian pintu itu terbuka perlahan, tanpa suara.

Dia berdiri di sana, tersenyum tipis. Wajahnya yang biasanya penuh emosi kini tampak kosong, seperti topeng yang menutupi sesuatu yang gelap.

“Masuk,” katanya, suaranya lembut tetapi penuh dengan sesuatu yang tidak bisa kutangkap.

Aku melangkah masuk dengan penuh percaya diri, seperti raja yang melangkah ke istananya. Namun, ketika aku masuk, udara terasa berat, seolah setiap langkahku membuatku semakin tenggelam ke dalam rawa yang tak terlihat.

Kami berbicara. Aku berbicara, lebih tepatnya. Kata-kataku deras mengalir, penuh kesombongan dan kebanggaan atas apa yang telah kucapai. Dia mendengarkan dengan senyum kecil di wajahnya, tapi di balik itu, ada sesuatu yang lain.

Ketika aku meminum anggur yang dia tawarkan, aku merasa seperti diriku biasa: tak terkalahkan. Tapi detik berikutnya, tubuhku terasa aneh. Panas. Berat. Semua kepercayaan diri itu mulai memudar, digantikan oleh sesuatu yang jarang kurasakan: ketidakberdayaan.

Aku mencoba berdiri, tetapi lututku melemas. Aku mengangkat tangan untuk menunjuknya, untuk bertanya apa yang dia lakukan, tetapi tanganku hanya menggantung di udara sebelum jatuh ke sisi tubuhku.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku, tetapi suaraku terdengar parau, hampir tak bisa dikenali.

Dia tersenyum, senyum yang membuat darahku membeku. “Tenang, Reinaldo. Kau sudah waktunya istirahat.”

Aku mencoba melawan. Aku memerintahkan kakiku untuk berdiri, tetapi tubuhku tidak mendengar. Aku memerintahkan tanganku untuk menyerangnya, meraih apa saja yang ada di dekatku, tetapi tangan itu hanya gemetar lemah.

Frustrasi itu seperti api yang membakar dadaku. “Aku tidak seperti ini! Aku adalah Reinaldo! Aku tidak pernah kalah!” pikirku, berulang-ulang, seperti mantra yang kuucapkan untuk diriku sendiri.

Namun, mantra itu tidak berpengaruh. Aku hanya bisa terbaring di sofa, tubuhku lumpuh.

“Mungkin ini hanya mimpi.”
“Mungkin aku bisa pura-pura mati, lalu menyerangnya saat dia lengah.”
“Mungkin seseorang akan datang dan menyelamatkanku.”

Tetapi aku tahu, di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, bahwa semua itu hanyalah kebohongan. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada yang datang. Aku sendirian, terperangkap dalam tubuhku sendiri.

Ketika dia berdiri di atasku, aku tahu inilah akhirnya. Aku mencoba berbicara, memohon, tetapi kata-kata terjebak di tenggorokanku. Pandanganku kabur, tapi aku masih bisa melihat matanya—mata yang penuh kebencian, tapi juga ketenangan yang menyeramkan.

“Apa yang kau inginkan?” akhirnya aku berhasil berbisik, suara itu hampir tak terdengar.

Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, sehingga aku bisa merasakan nafasnya di kulitku. “Aku ingin kau merasakan apa yang orang lain rasakan karena dirimu. Ketakutan. Ketidakberdayaan. Kematian.”

Pisau itu menyentuh kulitku, dingin seperti es. Aku menjerit, tapi jeritan itu hanya bergema di dalam diriku sendiri. Ketakutan memenuhi setiap sudut pikiranku. Aku membayangkan darahku mengalir, tubuhku tergeletak tak bernyawa. Aku membayangkan namaku di koran pagi, kisah hidupku yang terpotong oleh sesuatu yang tak bisa kukendalikan.

Ketika rasa sakit itu akhirnya datang, itu tidak seperti yang kubayangkan. Tidak ada kesakitan fisik yang bisa menandingi penderitaan mental yang kuhadapi saat itu. Aku merasakan hidupku perlahan memudar, dan dengan setiap detak jantung yang tersisa, ketakutanku semakin besar.

Aku takut pada kegelapan yang akan datang, pada kehampaan yang menanti. Aku takut pada apa yang mungkin terjadi setelah mati—apakah ada hukuman? Apakah dosa-dosaku akan dibalas?

Dan di atas segalanya, aku takut pada dirinya, pada mata dingin yang tetap menatapku bahkan ketika napasku mulai hilang.

Ketika aku terbangun, atau setidaknya merasa sadar, aku tidak tahu di mana aku berada. Segalanya gelap, sunyi, kecuali satu hal: suara Tok. Tok. Tok.

Ketukan itu berirama, pelan, tetapi semakin mendekat. Aku ingin bergerak, ingin melihat dari mana suara itu berasal, tetapi aku terjebak, tubuhku terasa berat seperti ditambatkan ke bumi.

Ketukan itu semakin keras, semakin jelas, seperti ada seseorang yang mengetuk pintu yang tak terlihat. Dan kemudian, aku menyadarinya—itu adalah pintu kamarku, pintu tempat aku terbunuh.

Apakah itu dia? Apakah dia kembali untuk memastikan aku benar-benar mati? Ataukah itu seseorang yang lain, seseorang yang datang untuk mencari keadilan atas kematianku?

Ketukan itu tak berhenti. Tok. Tok. Tok.

Dan di tengah suara itu, aku mendengar detak jantungku sendiri, lemah, tetapi terus bertahan, seperti menolak menyerah pada maut.

Tok. Tok. Tok.

Aku mencoba berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar. Dunia menjadi semakin gelap, dan suara ketukan itu berubah menjadi gemuruh yang memenuhi seluruh keberadaanku.

Ketika suara itu akhirnya berhenti, aku merasa tubuhku mulai memudar, larut ke dalam kekosongan. Tetapi sebelum aku benar-benar hilang, satu hal terakhir muncul dalam pikiranku: wajahnya. Wajah yang penuh kemenangan, tetapi juga dipenuhi bayangan ketakutan.

Apakah dia mendengar ketukan itu juga? Apakah pintu itu akan diketuk untuknya suatu hari nanti?

Aku tidak tahu. Tetapi aku tahu satu hal pasti—pintu itu tidak akan pernah benar-benar tertutup.

Bayang di Balik Tangisan

Malam itu kelam, terlalu kelam untuk sebuah rumah yang pernah menjadi istana cinta. Angin menusuk celah-celah jendela tua, melolong seperti jiwa-jiwa tersesat. Di sudut ruangan, ia duduk. Tangisnya bukan lagi air mata biasa—itu adalah jeritan roh yang terbelenggu, meratap pada sesuatu yang tak mampu ia jangkau.

Aku, suaminya, berdiri di ambang pintu. Tubuhku gemetar, bukan oleh dingin malam, tetapi oleh rasa bersalah yang mencakar dari dalam. Bayangannya, kusut dan rapuh, menempel pada lantai seperti arwah yang belum pergi. Namun, aku tidak mendekat. Tidak bisa.

Tangisnya menjadi semakin pelan, tapi tak kalah mengerikan. Itu seperti denting jam tua di ruangan kosong—setiap bunyinya menambah berat di dada, setiap bunyinya mendekatkan aku pada kegilaan. Aku mundur, tercekik oleh sesuatu yang tidak terlihat.

Ketika aku memutar tubuh untuk pergi, sesuatu di balik punggungku memanggil—bukan suara, bukan tangan, tetapi kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Seperti bayangan gelap yang melompat dari dinding, melingkari tubuhku, memaksaku menoleh kembali padanya. Dan saat aku menatapnya, aku tahu... tangis itu bukan hanya kesedihan; itu adalah lubang tanpa dasar.

Aku mundur lagi, tanganku menyentuh pintu, berharap kayunya cukup kuat untuk memutus apa yang mengikatku. "Maaf," bisikku, suara itu hampir tidak keluar. Tapi aku tahu kata itu hampa, seperti aku sendiri.

Aku pergi, pintu tertutup di belakangku dengan suara berat. Dan saat aku berjalan menjauh, aku bisa merasakan sesuatu—bayangan, bisikan, atau mungkin kutukan—mengikuti langkahku. Aku tidak berani menoleh lagi. Tapi di dalam hatiku, aku tahu: aku telah meninggalkan lebih dari seorang istri yang menangis. Aku telah meninggalkan sepotong jiwaku yang akan terus menuntut, terus memanggil, terus menghantuiku.

Malam itu, tangisnya berhenti. Tapi di dalam pikiranku, suara itu akan bergema selamanya.

Aku berjalan jauh, melawan angin malam yang menggigit, tapi suara itu tetap bersamaku. Bukan hanya suara tangisnya, tetapi gema yang lebih gelap, lebih pekat, seperti napas dari sesuatu yang hidup di antara dinding-dinding rumah itu.

Ketika aku akhirnya berhenti di tengah hutan kecil, nafasku terengah. Kupikir, jarak akan menghapus bayangannya. Tapi saat aku menatap ke kegelapan di sekitarku, aku melihat sesuatu—kabut yang bergerak dengan niat, menggulung di antara pepohonan, seolah tahu ke mana aku pergi.

"Maaf!" teriakku lagi, kali ini lebih keras, mencoba mematahkan cengkeraman yang tak terlihat. Tapi suaraku tenggelam, ditelan oleh malam yang terlalu sunyi.

Lalu aku mendengar langkah. Lembut, hampir seperti bisikan, tapi semakin mendekat. Aku memutar tubuh, tapi tidak ada siapa pun. Angin berhenti, dan udara terasa berat, seperti ruangan yang tertutup terlalu lama.

"Kenapa kau pergi?" Suara itu muncul di belakangku, serak, dingin, tapi sangat familiar. Aku tahu itu suaranya—istri yang kutinggalkan, tapi ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak manusiawi dalam nada itu.

"Kau tidak di sini," bisikku, setengah meyakinkan diriku sendiri. "Kau di rumah."

Tawa kecil yang retak mengisi udara. "Rumah?" katanya, dan aku merasakan sesuatu menyentuh pundakku. Aku melompat, berputar, tapi hanya ada bayangan. "Rumah bukan lagi milik kita. Kau meninggalkannya, dan meninggalkanku."

Aku ingin lari, tapi tubuhku terpaku. Bayangan di sekelilingku mulai bergerak, membentuk sesuatu—siluetnya, wajahnya, tapi matanya kosong, hitam seperti lubang tanpa dasar.

"Aku hanya butuh kau tinggal," katanya, mendekat. "Tapi kau memilih pergi. Sekarang kau harus tahu apa artinya ditinggalkan."

Aku mencoba mundur, tapi kakiku terjerat akar yang tak terlihat. Bayangan itu semakin dekat, dan udara menjadi dingin hingga napasku membeku di tenggorokan.

"Aku minta maaf," bisikku lagi, tapi suaraku hilang.

"Maaf tidak cukup." Suaranya berubah, lebih dalam, lebih berat. Wajahnya memudar, berganti menjadi sesuatu yang tak bisa kugambarkan—bentuk yang menelan cahaya, seperti malam yang hidup. "Sekarang kau milikku, seperti aku pernah menjadi milikmu."

Sebelum aku bisa berteriak, dunia di sekitarku runtuh. Kegelapan menelanku sepenuhnya, dan tangisan itu—tangisannya—menggema di dalam kepalaku, menjadi satu-satunya suara yang tersisa.

Aku tidak pernah benar-benar pergi darinya. Dan kini, aku tahu, aku tidak akan pernah benar-benar bebas.

Aku terbangun di suatu tempat yang tidak kukenal. Ruangan itu dingin, dinding-dindingnya berlapis batu hitam yang berkilauan seperti permukaan cermin yang retak. Tidak ada pintu, tidak ada jendela, hanya kegelapan yang memeluk segala sesuatu. Tapi aku tidak sendiri.

Di tengah ruangan, berdiri sosoknya. Ia menatapku dengan mata yang bukan lagi milik manusia—dua lingkaran kosong, dalam, dan berdenyut seperti pusaran malam. Wajahnya adalah wajah istriku, tapi senyumnya tipis, dipahat oleh kebencian dan kepedihan.

"Kau telah kembali," katanya, suaranya kini bukan lagi ratapan melainkan perintah. "Tempat ini adalah rumah kita sekarang. Tidak ada jalan keluar."

Aku mencoba berbicara, meminta penjelasan, tapi suaraku hilang, ditelan oleh udara tebal yang penuh bisikan—bisikan dari dirinya, dari bayang-bayang di dinding, dari sesuatu yang tak kasat mata tetapi ada di mana-mana.

"Apa yang kau mau?" tanyaku akhirnya, suaraku terdengar kecil, seperti anak yang tersesat.

Ia tersenyum lebih lebar, tetapi bukan senyuman yang lembut. Itu adalah senyum seseorang yang telah menang. "Aku hanya ingin kau merasakan apa yang kurasakan," bisiknya, mendekat hingga aku bisa merasakan dinginnya napasnya di kulitku. "Kesepian, rasa ditinggalkan, dan rasa kehilangan yang abadi."

Dari dinding ruangan, bayangan mulai merayap, menyentuh kulitku, menyusup ke dalam pikiranku. Aku melihat kilasan—wajahnya menangis sendirian, suara pintu yang kututup dengan kasar, langkah kakiku menjauh. Tapi itu tidak berhenti di sana. Aku melihat lebih banyak—bayangannya, menunggu di sudut ruangan yang dingin, menunggu hingga malam melahapnya. Dan kemudian, aku melihatnya berbisik sesuatu ke kegelapan, memanggil sesuatu yang tak seharusnya datang.

"Aku... aku minta maaf," ucapku, tanganku gemetar.

"Kau akan minta maaf selamanya," katanya, suaranya penuh kepastian.

Tiba-tiba, ruangan itu berubah. Dinding-dindingnya memanjang, menjadi labirin tanpa ujung, setiap sudutnya dihuni oleh bayangan yang menangis, memanggilku dengan suaranya. Aku mulai berlari, mencoba menemukan jalan keluar, tapi setiap langkah membawaku kembali ke tempat yang sama—ke dirinya, menungguku di tengah kegelapan.

"Apa ini?" teriakku.

"Ini adalah rumahmu sekarang," katanya. "Seperti aku terjebak dalam tangisku, kini kau terjebak dalam bayanganku."

Dan aku tahu, saat itu juga, bahwa aku tidak akan pernah keluar. Aku akan terus berlari, mendengar tangisan yang tak pernah berhenti, dikelilingi oleh bayangan yang mengingatkanku pada dosa yang tak bisa dihapus.

Begitulah caranya membalas dendam: bukan dengan kemarahan, tapi dengan menjadikanku bagian dari kesedihannya, selamanya.

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...