Asri SI BOCAH TENGIL #3 Rencana Besar di Kantin

Rencana Besar di Kantin

Bel istirahat baru saja berbunyi, dan seperti sekawanan burung merpati yang dilepas dari sangkar, murid-murid berhamburan keluar kelas. Beberapa langsung berlari ke kantin, yang lain memilih duduk di bawah pohon, mengobrol sambil menikmati semilir angin siang.

Di antara kerumunan itu, dua bocah perempuan berjalan dengan langkah penuh semangat. Asri dan Rini.

"Aku masih nggak yakin sama rencana ini, Rin," kata Asri sambil menatap sahabatnya dengan penuh curiga.

Rini tersenyum lebar. "Percaya aja, As! Ini bakal berhasil!"

Asri menghela napas. Setiap kali Rini bilang "ini bakal berhasil", justru itu adalah tanda bahwa mereka akan terlibat dalam sesuatu yang entah konyol atau berbahaya.

Mereka sampai di kantin, sebuah bangunan kecil dengan atap seng yang sudah mulai berkarat di beberapa bagian. Meja-meja kayu panjang berjajar di depannya, dipenuhi anak-anak yang sibuk mengunyah gorengan, nasi kuning, atau es lilin yang dibeli dari gerobak dekat gerbang sekolah.

Di balik etalase kaca yang penuh dengan risoles, tahu isi, dan lemper, Bu Sarti—penjaga kantin yang dikenal murah senyum tapi tegas soal utang—sedang sibuk melayani anak-anak yang antre.

"Asri, Rini! Mau beli apa?" tanyanya ramah.

Rini menyenggol Asri pelan. "Tenang. Biarkan aku yang bicara."

Asri hanya bisa menelan ludah.

Rini melangkah maju, bersandar di etalase dengan gaya seperti seorang negosiator ulung.

"Bu Sarti, hari ini kami nggak bawa uang jajan," katanya dengan suara penuh percaya diri.

Bu Sarti menaikkan alis. "Terus mau utang?"

Rini mengangkat tangan. "Oh, tentu tidak, Bu. Kami punya proposal yang lebih menarik!"

Bu Sarti menatapnya curiga. "Proposal opo meneh iki?"

Asri sudah mulai merasa tidak enak.

Rini menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara dengan nada dramatis, seperti seorang politikus yang sedang berpidato di depan rakyatnya.

"Begini, Bu. Kami tahu bahwa kantin ini terkenal dengan gorengannya yang renyah, es lilinnya yang segar, dan suasana yang nyaman. Tapi ada satu masalah besar!"

Bu Sarti melipat tangan di dada. "Masalah opo?"

"Marketing, Bu! Promosi! Branding!" Rini mengayunkan tangannya ke udara, seakan kata-katanya punya kekuatan sihir. "Coba pikir, kalau kantin ini punya lebih banyak pelanggan, keuntungan pasti meningkat, kan?"

Bu Sarti menyipitkan mata. "Terus kowe loro iki arep ngopo?"

Asri memandang Rini dengan wajah penuh kepasrahan.

Rini tersenyum. "Kami menawarkan jasa promosi, Bu! Kami akan berkeliling sekolah, merekomendasikan kantin ini ke semua murid. Kami bisa bikin slogan, kampanye mulut ke mulut, bahkan kalau perlu kami bisa bikin yel-yel!"

Asri langsung menoleh ke Rini dengan ekspresi kaget. "Hah?!? Yel-yel?!? Sejak kapan?!?"

Rini mengabaikannya dan terus melanjutkan. "Sebagai imbalannya, kami hanya minta satu gorengan dan satu es lilin setiap hari selama seminggu. Gimana, Bu?"

Bu Sarti terdiam.

Asri menahan napas.

Rini masih tersenyum.

Hening.

Lalu Bu Sarti tertawa. Bukan tawa geli atau senang, tapi tawa khas seorang ibu yang sudah terlalu paham dengan kelakuan anak-anak macam mereka.

"Kowe loro iki pinter tenan, yo!" katanya sambil menggeleng. "Tapi maaf, aku nggak butuh promosi. Wong kantinku sudah laris dari dulu."

Rini terbelalak. "T-tapi Bu, ini kesempatan emas! Dengan strategi pemasaran yang tepat, kantin ini bisa jadi kantin nomor satu se-Kotagede!"

Bu Sarti terkekeh. "Wis, nggak usah neko-neko. Kalau pengin gorengan, ya bayar. Ora bayar, ora mangan."

Asri menghembuskan napas lega. Setidaknya kali ini mereka tidak berakhir dihukum seperti waktu mereka mencoba bisnis jualan kertas contekan minggu lalu.

Rini masih terlihat kecewa, tapi akhirnya ia menyerah. "Ya udahlah… Kalau gitu, kita cari cara lain buat makan gratis."

Asri langsung panik. "Rin, plis, nggak usah cari perkara lagi!"

Tapi sebelum mereka bisa berdiskusi lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah meja pojok kantin.

"Aku duluan yang mau beli!"

"Bukannya aku dulu yang antre?!"

Asri dan Rini menoleh. Di sana, dua anak laki-laki sedang berdebat sengit. Yang satu berkacamata dengan raut wajah serius—Adit. Yang satu lagi berbadan lebih besar dengan rambut cepak—Jono, anak kelas sebelah yang terkenal suka cari gara-gara.

"Eh, eh, ada ribut-ribut!" bisik Asri penuh semangat.

Rini mengangguk. "Seru nih! Ayo kita tonton!"

Mereka berdua buru-buru mendekat, tanpa tahu bahwa kejadian ini akan membawa mereka ke dalam masalah baru… lagi.

Bersambung…




Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #2 Kakakku Galak Banget!

Kakakku Galak Banget!

Matahari mulai naik, sinarnya menyapu dedaunan yang masih basah oleh embun. Di pinggir jalan, pedagang bubur ayam sudah mulai berteriak menawarkan dagangannya, sesekali mengaduk buburnya dengan gerakan cepat dan penuh pengalaman. Sementara itu, di trotoar kecil dekat sekolah, Asri masih sibuk membersihkan rumput yang menempel di seragamnya.

"Ayo cepet, nanti telat!" bentak Tari sambil menahan tawa.

"As— Astaghfirullah… Aku tadi jatuh lho, Kak. Luka batinku lebih dalam daripada luka fisikku," kata Asri dengan dramatis.

Tari hanya menggeleng dan kembali mengayuh sepedanya, meninggalkan Asri yang masih berdiri di pinggir jalan. Dengan tergopoh-gopoh, Asri buru-buru menaiki sepedanya dan menyusul.

Begitu sampai di gerbang sekolah, seorang satpam berbadan besar dengan kumis tebal berdiri di depan pintu masuk, tangan menyilang di dada. Namanya Pak Dul, penjaga sekolah yang terkenal galak kalau urusan keterlambatan.

"Jam piro iki?" tanyanya dengan suara dalam.

Tari buru-buru melihat jam di tangannya. "Masih jam tujuh kurang lima, Pak!"

Pak Dul mengangguk. "Oke. Masuk."

Mereka berdua mengayuh sepeda ke parkiran, lalu bergegas masuk kelas. Di depan pintu kelas 5B, sudah ada beberapa teman Asri yang sedang ngobrol. Salah satunya adalah Adit, bocah tinggi berkacamata yang selalu membawa buku kemana-mana.

"Kowe ngopo, As?" tanya Adit begitu melihat rambut Asri yang masih penuh dedaunan kecil.

Asri menarik nafas panjang, lalu mengembuskannya dramatis. "Aku tadi jatuh, Dit. Tragis. Kejadian yang akan kuceritakan ke anak-cucuku nanti."

Adit hanya tertawa kecil, lalu berjalan masuk ke dalam kelas. Sementara itu, seorang bocah perempuan berambut kuncir dua tiba-tiba muncul dari belakang, menepuk bahu Asri dengan semangat.

"Asri! Nanti istirahat, kita ke kantin yuk!" katanya.

Itu Rini, sahabat Asri sejak kelas satu. Anak pedagang bakpia yang selalu punya ide-ide aneh, tapi entah kenapa selalu bisa menyeret Asri untuk ikut dalam kegilaannya.

"Tapi aku belum ada uang jajan, Rin," kata Asri sambil cemberut.

"Tenang! Aku ada ide! Pokoknya ikut aja nanti!" Rini tersenyum misterius.

Asri menelan ludah. Setiap kali Rini bilang "aku ada ide", itu hampir selalu berakhir dengan bencana.

Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, tiba-tiba suara bel berbunyi nyaring. Semua anak segera masuk dan duduk di tempat masing-masing.

Bu Rahayu, wali kelas mereka, masuk dengan wajah serius. Ia guru yang sabar, tapi kalau sudah marah, suaranya bisa bikin kaca jendela bergetar.

"Pagi, anak-anak!" katanya tegas.

"Selamat pagi, Bu!" semua anak menjawab serempak.

"Baik, sebelum kita mulai pelajaran, saya mau mengingatkan bahwa minggu depan ada ulangan matematika. Jadi mulai sekarang, kalian harus belajar lebih giat."

Terdengar keluhan serentak dari seluruh kelas.

"Matematika lagi…" bisik Asri.

"Matematika itu penting, Asri," kata Adit yang duduk di sebelahnya.

"Iya penting, tapi buat siapa? Aku kan nggak mau jadi kalkulator," gerutu Asri.

Bu Rahayu mengetuk meja dengan penggaris, membuat semua anak diam seketika.

"Baik, sekarang kita mulai pelajaran hari ini. Buku kalian sudah siap?"

Seluruh kelas serentak mengeluarkan buku, kecuali satu orang.

Asri merogoh tasnya, mengaduk-aduk isinya dengan panik. Buku matematikanya tidak ada.

"Asri," panggil Bu Rahayu dengan nada berbahaya.

Asri menegakkan badan. "Ehehe… Aku lupa bawa buku, Bu."

Bu Rahayu menatapnya tajam. "Lupa lagi? Minggu lalu juga lupa. Kamu kapan mau belajar disiplin?"

Asri tertawa kecil, mencoba meredakan suasana. "Eee… aku kan anaknya fleksibel, Bu. Disiplin itu berat…"

Seluruh kelas tertawa. Tapi Bu Rahayu tidak.

"Baik, kalau begitu, kamu berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai."

Mata Asri membesar. "Hah?!? Tapi Bu—"

"Atau kamu mau saya suruh mengerjakan soal di papan tulis?"

Asri langsung berdiri tanpa protes. Berdiri di depan kelas lebih baik daripada mengerjakan soal matematika.

Dan begitulah, selama satu jam pelajaran, Asri berdiri di sudut kelas seperti patung, sementara teman-temannya sibuk menyalin rumus dari papan tulis.

Ketika bel istirahat berbunyi, ia langsung berlari kembali ke tempat duduknya dan menoleh ke Rini.

"Oke, Rin. Jadi ide gilamu tadi apa?"

Rini tersenyum lebar. "Ayo ikut ke kantin. Percaya deh, ini bakal seru!"

Asri menelan ludah. Sepertinya, petualangan barunya baru saja dimulai…

Bersambung…


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #2 Bayangan dalam Kanvas [Cerita Misteri]

Bayangan dalam Kanvas

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mengalami insomnia seburuk ini. Sejak perbincangan dengan Arman semalam, pikiranku terus-menerus dipenuhi oleh pertanyaan yang belum terjawab. Kenapa dia tiba-tiba tertarik dengan koleksi lukisanku? Apa yang sebenarnya ingin dia katakan?

Aku menatap cangkir kopi yang sudah dingin di meja. Sejak tadi pagi, aku hanya duduk di ruang kerjaku, mengamati lukisan yang sama—lukisan tanpa wajah yang seolah memiliki rahasia yang enggan diungkap. Aku mencoba mencari makna di dalamnya, mencoba mengingat dari mana aku mendapatkannya, tapi jawabannya terus menghindariku.

Aku menyandarkan tubuh di kursi dan menghela napas panjang. Pikiranku masih tertuju pada kejadian semalam. Kenapa aku terbangun di depan lukisan ini? Aku bukan tipe orang yang sering berjalan dalam tidur, apalagi sampai berdiri diam menatap sesuatu selama berjam-jam. Aku merasakan sensasi tidak nyaman setiap kali menatap lukisan itu lebih lama dari yang seharusnya.

Tapi aku tidak bisa berhenti.

Aku melirik jam di dinding. Masih ada beberapa jam sebelum aku harus bertemu dengan Arman di kafe DeLume. Mungkin aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku. Aku bangkit dari kursi, berjalan ke rak buku, dan mengambil katalog lelang yang kusimpan sejak bertahun-tahun lalu.

Jika aku bisa menemukan asal-usul lukisan ini, mungkin aku bisa memahami kenapa perasaan aneh ini terus menghantuiku.

Aku membuka halaman demi halaman, membaca daftar karya seni yang pernah kubeli. Beberapa lukisan aku ingat dengan jelas; bagaimana aku mendapatkannya, dari siapa, bahkan di mana aku menawarnya. Tapi tidak ada satu pun yang menyebutkan lukisan tanpa wajah itu. Aku mengerutkan kening. Ini aneh.

Aku kembali ke meja kerja, membuka laptop, dan mulai mencari catatan digital dari setiap lelang yang pernah kuikuti. Aku mengetikkan berbagai kata kunci: lukisan tanpa wajah, abstrak, anonim, tapi tidak ada satu pun hasil yang cocok dengan lukisan yang kini tergantung di dinding ruanganku.

Aku menatapnya lagi, merasa ada sesuatu yang luput dari perhatianku. Mungkin aku harus melihatnya lebih dekat.

Aku berdiri dan berjalan ke arah lukisan itu. Semakin dekat, semakin aku merasa ada sesuatu yang berubah. Warna-warna di dalamnya terlihat lebih suram dari biasanya, seolah ada lapisan baru yang muncul dalam kegelapan kanvas. Aku mengangkat tangan dan menyentuh permukaannya. Catnya terasa sedikit kasar, tapi ada bagian tertentu yang terasa lebih halus. Seolah-olah ada sesuatu yang pernah tertutup di sana.

Aku mundur selangkah, mencoba menenangkan detak jantungku yang entah kenapa semakin cepat. Aku merasa seolah sedang menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak kuganggu.

Malam sebelumnya, saat aku berdiri di hadapan lukisan itu, ada kilasan aneh yang muncul dalam benakku. Sebuah lorong panjang, suara langkah kaki, dan aroma cat minyak yang menyengat. Seolah aku pernah berada di suatu tempat yang berhubungan dengan lukisan ini, tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Bayangan itu samar, seperti memori yang telah lama terkubur.

Aku menutup mata, mencoba menggali lebih dalam. Aku ingat ada seseorang yang berbicara kepadaku dalam bisikan—suara itu terdengar akrab, tetapi wajahnya tidak bisa kulihat. “Kau tidak boleh melupakan ini, Leonard,” suara itu berkata. “Lukisan ini… adalah bagian darimu.”

Aku tersentak dan mundur beberapa langkah. Keringat dingin mengalir di pelipisku. Apa yang baru saja kulihat? Apakah itu sekadar ilusi, ataukah ada sesuatu yang benar-benar terkubur dalam ingatanku?

Aku menyalakan laptop kembali dan membuka folder arsip lama yang pernah kupindai dari catatan pribadiku. Ada beberapa potongan koran yang kusimpan—berita tentang berbagai lelang seni yang pernah kuhadiri, wawancara dengan kolektor, hingga laporan-laporan seni yang menarik perhatianku. Saat aku menggulir layar, sebuah artikel dengan tajuk “Tragedi Galeri Senja: Misteri Pembunuhan di Balik Sebuah Lukisan” membuat napasku tertahan.

Tanganku gemetar saat mengklik artikel itu. Mataku membaca setiap kata dengan cepat, dan sebuah foto di dalam artikel membuat dadaku terasa sesak.

Itu adalah ruangan galeri tua, dengan lampu remang-remang dan dinding yang dipenuhi lukisan-lukisan abstrak. Di tengah ruangan, ada sebuah kursi dengan noda darah yang mengering, dan di dinding belakangnya… tergantung sebuah lukisan yang sangat familiar.

Lukisan tanpa wajah.

Aku menatap foto itu dengan ngeri. Ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin lukisan yang ada di rumahku sekarang pernah menjadi saksi bisu dari sebuah pembunuhan? Siapa korban yang ada di ruangan itu?

Aku membaca lebih lanjut. Nama korban disebutkan dalam artikel itu: Damar Baskara, seorang kolektor seni ternama yang ditemukan tewas di depan lukisan yang kini tergantung di rumahku.

Baskara.

Aku merasakan jantungku mencelos. Itu nama keluargaku. Nama belakangku.

Tangan kananku mencengkeram sisi meja, mencoba menyangga tubuhku yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Apakah ini kebetulan? Ataukah ini bagian dari ingatan yang selama ini terhapus dari pikiranku?

Pikiran itu terlalu mengerikan untuk diterima. Jika Damar Baskara memiliki hubungan denganku… apakah mungkin dia adalah—

Aku menutup laptopku dengan cepat, napasku memburu. Aku tidak bisa menerima ini. Aku tidak siap untuk menghadapinya. Namun, jauh di dalam benakku, aku tahu bahwa misteri ini sudah mulai terbuka sedikit demi sedikit.

Aku harus mencari tahu kebenarannya. Tapi di saat yang sama, aku takut akan apa yang mungkin kutemukan.


Bersambung...

LUKISAN TANPA WAJAH #1Lukisan yang Tak Bermakna [Cerita Misteri]

LUKISAN TANPA WAJAH

Lukisan itu selalu menggantung di dinding ruang kerjanya. Sebuah kanvas abstrak tanpa bentuk jelas, tanpa ekspresi, tanpa wajah. Namun, semakin lama dia menatapnya, semakin banyak bayangan yang muncul—bayangan yang tidak seharusnya ada.

Sebagai seorang kolektor seni, ia selalu percaya bahwa setiap lukisan memiliki jiwa. Tapi kali ini, jiwanya sendiri yang perlahan terkoyak. Seiring dengan serangkaian pembunuhan yang terjadi, dia mulai menyadari pola yang tak bisa dijelaskan—semua korban memiliki keterkaitan dengannya, semua kematian mencerminkan adegan dari lukisan dalam koleksinya.

Lukisan yang Tak Bermakna

Aku selalu percaya bahwa seni memiliki jiwa. Setiap sapuan kuas, setiap detail yang tertuang di atas kanvas, menyimpan emosi yang tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada lukisan yang terasa penuh gairah, ada yang memancarkan kesedihan mendalam, dan ada pula yang mengundang ketakutan yang entah dari mana asalnya.

Tapi di antara semua koleksi yang kupajang di ruang kerjaku, ada satu lukisan yang terasa berbeda. Bukan karena teknik atau keindahannya, melainkan karena ia selalu terasa… kosong.

Lukisan itu tergantung di dinding seberang meja kerjaku. Sebuah kanvas besar dengan sapuan warna yang kacau, bentuk yang tak jelas, tanpa sosok, tanpa wajah. Aku bahkan tak ingat dari mana aku mendapatkannya—mungkin hasil lelang bertahun-tahun lalu, atau hadiah dari seseorang yang kini telah kulupakan. Yang pasti, lukisan itu sudah ada di sana sejak lama, terabaikan, seperti benda mati tanpa makna.

Namun akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berubah.

Aku tak tahu pasti kapan perasaan itu dimulai. Mungkin beberapa minggu lalu, ketika aku bangun di tengah malam dan mendapati diriku duduk di depan lukisan itu tanpa tahu bagaimana aku bisa sampai di sana. Atau mungkin lebih lama dari itu, sejak aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang menatap balik dari balik lapisan cat yang kasar.

Aku mengusap wajahku, mencoba mengusir perasaan aneh yang terus mengganggu pikiranku.

Ruangan ini seharusnya menjadi tempat yang paling nyaman bagiku. Cahaya lampu gantung redup menyinari rak-rak kayu berisi berbagai buku seni dan katalog lelang. Di sepanjang dinding, lukisan-lukisan dari berbagai periode sejarah tertata rapi, mulai dari gaya klasik hingga modern. Aroma samar cat minyak bercampur dengan wangi kayu tua dari lantai parquet yang selalu mengeluarkan bunyi pelan setiap kali aku melangkah.

Namun, di ruangan yang seharusnya menjadi surga bagi seorang kolektor seni seperti aku, ada sesuatu yang terasa salah.

Aku kembali menatap lukisan itu. Warna-warna acaknya tampak lebih gelap dari yang kuingat. Apakah ini hanya pantulan cahaya? Atau mataku yang sudah terlalu lelah? Aku mengalihkan pandangan dan menghela napas. Tidak ada gunanya memikirkan hal-hal tak masuk akal.

Saat itulah teleponku berdering, mengusik keheningan yang membungkus ruangan. Aku mengulurkan tangan dan mengambil ponsel di atas meja, melihat sekilas nama yang muncul di layar.

Arman.

Aku terdiam sejenak. Nama itu membawa kembali ingatan yang samar. Arman, teman masa kecilku. Kami tumbuh di lingkungan yang sama, berbagi cerita, berbagi rahasia. Namun seiring waktu, hubungan kami merenggang. Aku yang semakin tenggelam dalam dunia koleksi seniku, dan dia yang memilih jalan berbeda sebagai seorang kurator seni. Kami jarang berbicara, hampir seperti orang asing.

Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku sekarang?

Aku mengangkat telepon. “Halo?”

Suaranya terdengar jelas, meski ada sedikit keraguan dalam nada bicaranya. “Aku di kota. Bisakah kita bertemu?”

Aku mengernyit. “Ada apa?”

“Aku ingin membicarakan sesuatu. Tentang… koleksi lukisanmu.”

Alisku berkerut. “Lukisanku?”

“Ya. Ada sesuatu yang penting. Aku tidak bisa menjelaskan di telepon. Kita bisa bertemu?”

Aku menatap lukisan abstrak di dinding seberang, dan entah kenapa, untuk sesaat aku merasa warnanya tampak lebih pekat dari sebelumnya.

Aku mengangguk, meskipun dia tak bisa melihatnya. “Baiklah. Di mana?”

“Ada kafe baru di dekat galeri tempatku bekerja. Namanya DeLume. Bisa besok sore?”

Aku menghela napas. Aku tidak suka pertemuan spontan seperti ini, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa ini bukan sekadar basa-basi.

“Baik. Besok sore.”

Setelah percakapan berakhir, aku meletakkan ponsel dan kembali menatap lukisan di dinding.

Kenapa Arman tiba-tiba tertarik dengan koleksi lukisanku?

Dan kenapa, di saat yang sama, aku mulai merasa bahwa ada sesuatu dalam ruangan ini yang berubah?

Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu. Ini hanya kebetulan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun malam itu, aku kembali terbangun di tengah malam.

Dan ketika aku sadar, aku sudah berdiri di depan lukisan itu, dengan jantung berdebar kencang tanpa alasan.

Lukisan itu tetap sama. Tidak berubah.

Tapi entah kenapa, kali ini aku merasa bahwa sesuatu… atau seseorang… ada di dalamnya, menatap balik ke arahku.


Bersambung...

Asri SI BOCAH TENGIL #1Kenalan Sama Asri!


Di tengah hiruk-pikuk kehidupan Yogyakarta, Asri, seorang bocah tengil yang selalu bikin onar, menjalani hari-harinya dengan segudang keisengan, petualangan konyol, dan kehangatan keluarga yang penuh drama. Bersama sahabat-sahabatnya, ia menghadapi beragam kejadian seru-dari masalah sekolah, rencana iseng yang sering berujung bencana, hingga pertengkaran kocak dengan kakaknya yang galak. Dalam setiap kekacauan yang ia buat, ada satu hal yang selalu melekat: semangatnya yang tak pernah padam untuk menjalani hidup dengan cara yang paling Asri-bebas, lucu, dan tanpa beban.

Kenalan Sama Asri!

Angin pagi berhembus dari celah jendela yang separuh terbuka, membawa aroma tanah basah yang masih tersisa dari hujan semalam. Langit di atas Yogyakarta masih berwarna biru keunguan, seakan ragu untuk menyambut mentari yang sebentar lagi akan menyala garang di atas kepala. Di kejauhan, ayam jantan mulai bernyanyi, menyusul suara azan Subuh yang baru saja usai.

Tapi di dalam sebuah rumah kecil bercat hijau muda di gang sempit daerah Kotagede, sudah ada satu makhluk yang sejak tadi ribut bukan main.

"Buk! Buk! Kak Tari!"

Suara itu menggelegar seperti petir. Sebuah lemari kayu tua berguncang hebat, nyaris tumbang, seiring dengan tangan kecil yang sibuk mengacak-acak isi di dalamnya. Kaus kaki, buku pelajaran, hingga pita rambut beterbangan keluar, berserakan di lantai.

"Asriiiiiii!!!"

Seorang gadis remaja dengan rambut masih basah keluar dari kamar mandi, wajahnya penuh amarah. Itu Tari, kakak Asri. Yang lahir dua tahun lebih dulu, tapi merasa seolah membawa tanggung jawab menjaga anak satu kampung.

"As— Astaghfirullah, Asri! Apa-apaan kamu ngerusak kamarku?!?"

"Aku nyari kaus kaki, Kak! Punyaku hilang semua!"

"Lha terus, kenapa ngacak-acak kamarku?!? Pikirannya taruh di kepala, bukan di dengkul!"

Tari menarik kerah baju adiknya, menyeret bocah tengil itu keluar dari kamar dengan kasar. Asri menggelepar-gelepar seperti ikan lele yang baru ditangkap dari empang, berusaha melepaskan diri, tapi Tari tak peduli.

Dari dapur, terdengar suara seorang perempuan dengan nada yang sudah terlalu akrab dengan kekacauan semacam ini.

"Asri! Tari! Cepetan sarapan! Kalian mau telat sekolah!"

Asri, yang sudah bebas dari cengkeraman kakaknya, langsung lari ke meja makan. Kursi plastik berwarna biru berdecit ketika ia duduk dengan kasar. Di hadapannya, sepiring nasi goreng mengepul dengan telur ceplok yang kuningnya masih setengah matang.

Ibu datang dengan daster lusuhnya, tangan masih memegang spatula. Matanya menatap Asri penuh curiga.

"Kamu bikin onar lagi, ya?"

Asri pura-pura tak mendengar. Ia sudah menyendok nasi goreng dan mengunyah dengan nikmat. Tari duduk di seberangnya dengan wajah masih merengut.

"Asri ini lho, Bu! Pagi-pagi sudah bikin orang naik darah!"

Asri menelan makanannya cepat-cepat. "Lha salahku apa? Aku cuma nyari kaus kaki!"

"Lha itu yang di kakimu apa?" Tari menunjuk ke bawah meja.

Asri melongok ke bawah. Sepasang kaus kaki biru dengan gambar Doraemon sudah melilit di kakinya.

"Oh… Lha kok udah ada?"

Ibu langsung menepuk dahinya. "Astaghfirullah, Asri! Pagi-pagi sudah bikin geger!"

Di ujung meja, seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan hanya terkekeh pelan. Itu bapak. Sejak tadi ia sibuk membaca koran, sesekali menyeruput kopi hitam kental dalam gelas kecil.

"Sudah, sudah. Makan dulu, nanti telat," katanya dengan suara datar.

Setelah sarapan dan berpamitan, Asri dan Tari naik sepeda menuju sekolah. Matahari mulai naik sedikit demi sedikit, cahayanya menembus celah pohon rindang di sepanjang jalan. Beberapa pedagang kaki lima mulai membuka dagangan mereka, menata gerobak, menghidupkan kompor, dan mengipas-ngipas arang. Aroma gorengan mulai mengudara.

Tari mengayuh sepedanya dengan anggun, penuh kehati-hatian. Sementara Asri?

"Asri! Pelan-pelan! Nanti jatuh!" teriak Tari dari belakang.

Tapi Asri tertawa lebar. "Santai, Kak! Aku udah kayak pembalap ini!"

Baru saja ia selesai bicara, roda sepedanya masuk ke lubang kecil di jalan.

"WOAAAA!!"

BRUKK!

Asri terlempar ke semak-semak di pinggir jalan. Daun-daun dan ranting-ranting kecil menempel di rambutnya yang berantakan. Tari berhenti, memandang adiknya dengan ekspresi penuh kepasrahan.

"Ya Allah, Asri… Pagi-pagi udah bikin kekacauan…"

Sementara itu, di dalam semak-semak, Asri hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mencerna kejadian barusan.

"Yah… kayanya aku nggak jadi pembalap deh…"

Dan begitulah kehidupan Asri, bocah tengil dari Jogja, yang setiap harinya selalu membawa kekacauan baru.

Bersambung…


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


JEJAK DI BALIK KANVAS

Aku selalu percaya bahwa seni adalah cerminan jiwa, dan aku adalah seorang seniman. Namun, bukan dengan kuas aku berkarya, melainkan dengan rencana yang terperinci, detail yang sempurna, dan eksekusi yang tanpa cela. Malam ini, mahakaryaku akan selesai—sebuah kematian yang tak meninggalkan jejak.

Hujan turun rintik-rintik di kota Yogyakarta. Angin dingin merayap di antara gang-gang sempit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Aku berdiri di balik tirai tebal di sudut kamar apartemen ini, mengawasi Reza Pramana, sang ilustrator besar, yang sedang sibuk di studionya. Ia menatap kanvas kosong, frustrasi, seakan jiwanya sendiri telah habis terperas oleh goresan tangannya.

Aku tersenyum. Ia tak tahu bahwa malam ini akan menjadi akhir dari semua itu.

Dengan hati-hati, aku meraih gulungan kawat tipis yang telah kupersiapkan. Transparan, nyaris tak terlihat di cahaya redup lampu kamar. Aku bekerja cepat dan senyap, mengikatnya ke pegangan besi balkon di lantai dua apartemen ini. Panjangnya sudah kuukur dengan cermat—cukup tinggi untuk mengenai pergelangan kakinya jika ia berjalan mendekat ke tepi.

Sekarang, tinggal memancingnya.

Aku melangkah perlahan ke dalam ruangan, menyapu pandanganku ke meja kerja yang dipenuhi sketsa dan tumpukan kertas bertuliskan catatan kecilnya. Aku mengambil salah satunya—sebuah gambar setengah jadi yang tampak seperti sosokku. Sepertinya, dalam ketidaksadarannya, Reza sudah mulai merasakan keberadaanku.

Aku merobek kertas itu, meremasnya, lalu melemparkannya ke lantai. Tak cukup hanya itu. Aku menggeser beberapa benda di atas meja dengan gerakan yang cukup kasar, menciptakan suara samar yang cukup untuk membuatnya menoleh.

“Siapa di sana?” Suaranya waspada, tetapi tak segera beranjak dari kursinya.

Aku diam, menunggu.

Beberapa detik berlalu, lalu ia bangkit. Matanya menyapu ruangan, alisnya berkerut. Aku bisa merasakan pikirannya berputar—mencari-cari logika dari sesuatu yang tampaknya tak masuk akal. Aku mundur ke sudut ruangan, membiarkan bayanganku menyatu dengan gelapnya malam di luar jendela.

Reza melangkah mendekat. Aku tahu kebiasaannya. Ia selalu memiliki insting untuk berdiri di balkon saat merasa jenuh, mencari udara segar sebelum kembali melukis. Dan benar saja, ia berjalan ke arahnya.

Satu langkah… dua langkah…

Lalu—

Tersandung.

Jeritannya terputus ketika tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia mencoba meraih sesuatu, tetapi tak ada yang bisa menahannya. Aku melihatnya dalam gerakan lambat, ekspresi kagetnya yang terpantul di kaca jendela sebelum tubuhnya menghantam tanah basah di bawah sana dengan suara yang tumpul.

Hening.

Aku menunggu beberapa saat, mendengar suara hujan yang masih setia menemani malam. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari bawah sana. Dengan tenang, aku melangkah ke balkon, mengamati tubuh yang kini tak bergerak lagi. Darah mengalir perlahan dari pelipisnya, bercampur dengan genangan air hujan di trotoar.

Sempurna.

Aku melepas kawatnya dengan hati-hati, menggulungnya kembali dan memasukkannya ke dalam saku. Tak ada jejak, tak ada saksi. Hanya sebuah kecelakaan tragis yang akan memenuhi halaman depan koran esok pagi.

Aku tersenyum tipis dan melangkah keluar dari apartemen itu. Jalanan malam masih sunyi, hanya suara air yang menetes dari genting dan angin yang berdesir pelan. Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma tanah yang basah—aroma yang mengiringi kemenangan kecilku.

Seni adalah cerminan jiwa. Dan malam ini, aku telah menciptakan mahakarya yang tak akan pernah dilupakan.

Duality Fate

Kutukan Tulisan & Keberuntungan yang Tak Wajar

Jakarta, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di bawah sinar lampu jalan yang redup dan hiruk-pikuk manusia yang berkelebat seperti bayangan, seorang wanita duduk membungkuk di hadapan laptopnya, jemarinya menari di atas papan ketik dengan kecepatan yang tak berirama—terkadang berhenti lama, seakan pikirannya tersesat di antara kata-kata yang ia ciptakan.

Aruna mengembuskan napas pelan, menatap naskah yang hampir selesai. Ia seharusnya merasa puas, tetapi alih-alih, jantungnya berdetak dengan ritme gelisah yang tidak ia pahami. Setiap kali ia menulis akhir dari sebuah cerita, ada sesuatu yang mengendap di udara—sebuah firasat yang gelap, menekan, seolah-olah dunia mengamati kata-katanya dengan cara yang tidak seharusnya.

Ia menggigit bibirnya. Apakah ini hanya paranoia? Ataukah benar, seperti yang selama ini ia takutkan, setiap kisah yang ia tulis selalu mengundang sesuatu yang lebih dari sekadar imajinasi?

Sebuah suara berderit. Aruna tersentak. Itu hanya angin yang menerpa jendela apartemennya, namun dada Aruna berdebar lebih cepat. Ini terjadi lagi—perasaan familiar bahwa sesuatu yang tak kasatmata tengah mengintip dari balik layar laptopnya.

Ia menoleh ke kanan, ke sebuah naskah lama yang telah ia selesaikan beberapa bulan lalu. Novel itu adalah kisah tentang seorang pria yang kehilangan pekerjaannya secara tragis setelah perusahaan tempatnya bekerja terbakar habis dalam satu malam. Dan memang demikianlah yang terjadi dalam kenyataan.

Aruna tak ingin percaya bahwa ia bertanggung jawab atas kejadian itu. Namun, berapa banyak kebetulan yang dibutuhkan hingga sesuatu tak lagi disebut kebetulan?

Di sisi lain kota, di sebuah studio yang megah, seseorang tertawa dengan bebasnya.

Raka, aktor papan atas yang wajahnya terpampang di segala sudut kota, baru saja memenangkan kontrak baru yang bahkan tidak pernah ia perjuangkan. Nasib baiknya seperti surga yang menghampar tanpa batas. Ia telah beberapa kali lolos dari maut—dari hampir tertabrak bus, dari chandelier yang jatuh di atas panggung, hingga dari kecelakaan pesawat yang ia batalkan di menit terakhir hanya karena ponselnya tertinggal.

Bagi Raka, keberuntungan adalah miliknya secara mutlak. Ia percaya bahwa hidup memang memihaknya, bahwa takdir menulis jalan yang dipenuhi keajaiban untuknya.

Ia tidak tahu bahwa jauh di seberang kota, seseorang sedang membayar harga dari setiap keberuntungan yang ia terima.

Malam itu, Aruna menuliskan adegan akhir dari naskah barunya. Tokoh utama dalam ceritanya, seorang pria bernama Adrian, akhirnya menemui ajalnya setelah terjebak dalam labirin kutukan yang ia ciptakan sendiri.

Saat kata TAMAT muncul di layar, sesuatu yang aneh terjadi.

Lampu di kamar Aruna berkedip. Hawa dingin menjalar di tengkuknya.

Lalu, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul di layar.

Breaking News: Aktor Raka Pradipta baru saja memenangkan penghargaan sebagai “Aktor Paling Bersinar Tahun Ini.”

Dada Aruna serasa diremas. Ia tidak menulis tentang penghargaan, tetapi ia tahu, setiap kali ia menuliskan tragedi, keberuntungan akan jatuh pada seseorang.

Dan malam ini, keberuntungan itu jatuh pada Raka.

Aruna menggigit bibirnya, menatap layar laptopnya yang masih menampilkan kata TAMAT dengan gemetar.

Jika setiap kata yang ia tulis memiliki konsekuensi… maka seberapa jauh ia bisa mengendalikan takdir seseorang?

Dan lebih penting lagi—seberapa banyak yang bisa ia ubah sebelum semuanya terlambat?

Cermin di Balik Kata-kata

Malam di Jakarta terasa lebih pekat daripada biasanya. Awan tebal menggantung rendah, seakan ingin menelan kota dalam gulungan gelapnya. Hujan yang turun rintik-rintik menggores jendela kamar Aruna seperti jari-jari samar yang ingin masuk, menyusup ke dalam ruangannya yang pengap oleh kecemasan.

Ia duduk diam di depan laptopnya, matanya menatap kosong pada layar yang masih menampilkan kata TAMAT dari naskah yang baru saja ia selesaikan. Namun, di dalam pikirannya, badai bergemuruh.

Aruna selalu merasa bahwa tulisannya memiliki nyawa sendiri. Setiap kata yang ia susun bukan hanya rangkaian huruf, melainkan urat-urat yang menjalar ke realitas, menciptakan sesuatu yang tak seharusnya ada.

Dan kini, ia menemukan bukti lain.

Di ponselnya, berita tentang Raka Pradipta yang baru saja memenangkan penghargaan terus bermunculan, seakan mengejeknya.

"Apa ini kebetulan?" bisiknya pada dirinya sendiri.

Tangannya gemetar saat ia menutup laptopnya, mencoba mengusir perasaan bahwa ada sesuatu—atau seseorang—yang mengawasinya. Ia ingin percaya bahwa ini hanya imajinasi, bahwa kelelahan telah membuatnya berhalusinasi.

Tapi, kemudian ada ketukan di pintu.

Sebuah ketukan pelan, nyaris seperti bisikan yang diwujudkan dalam bentuk suara.

Aruna menoleh, jantungnya mencelos. Ia tidak menunggu tamu.

Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju pintu dan mengintip melalui lubang intip.

Tidak ada siapa-siapa.

Namun, saat ia berbalik, sebuah bayangan melintas di cermin dekat pintu.

Aruna terhuyung ke belakang, dadanya naik turun tak beraturan. Ia menatap cermin itu—sebuah pantulan dirinya yang tampak… berbeda. Lebih suram. Lebih gelap.

Cermin itu bergetar sedikit, seakan sesuatu di dalamnya ingin keluar.

"Ini hanya ilusi," katanya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Namun, sebelum ia sempat berpaling, sesuatu muncul di permukaan kaca itu.

Sebuah tulisan.

"Kau tahu apa yang telah kau lakukan."

Aruna menahan napas. Huruf-huruf itu seperti tercetak dengan kabut dingin di permukaan cermin, perlahan menghilang sebelum ia sempat mengedipkan mata.

Lalu, ponselnya kembali bergetar.

Sebuah pesan masuk.

Nomor Tidak Dikenal:
"Berhenti menulis."

Darahnya berdesir.

Ia merasa udara di sekitarnya semakin menekan, ruangan yang semula hangat kini terasa seperti gua yang lembap dan berisi sesuatu yang tak kasatmata.

Namun, rasa takut itu perlahan berubah menjadi tekad.

Aruna menatap laptopnya yang tertutup, lalu kembali menyalakannya. Jika ada seseorang—atau sesuatu—yang memperingatkannya untuk berhenti menulis, maka itu berarti tulisannya memiliki kuasa lebih dari yang ia sadari.

Dan ia ingin tahu seberapa dalam ia bisa menggali kebenaran ini.

Ia mengambil napas panjang, lalu mulai mengetik.

Namun, sebelum ia menyelesaikan satu kalimat pun, lampu di apartemennya padam.

Hanya layar laptopnya yang tetap menyala, menampilkan pantulan samar wajahnya.

Di dalam pantulan itu, ada seseorang yang berdiri di belakangnya.

Dan seseorang itu… tersenyum

Bayangan di Antara Kata

Hawa dingin menyusup ke dalam ruangan, lebih menusuk daripada sekadar mati listrik biasa. Aruna tetap terpaku di tempatnya, matanya tak berani berkedip saat menatap pantulan di layar laptopnya.

Sosok di belakangnya masih berdiri di sana—tersenyum, tanpa suara, tanpa gerakan. Seolah menunggu.

Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin sosok itu bisa mendengarnya.

Tapi ketika ia berani menoleh… tidak ada siapa-siapa.

Ruangan tetap sunyi.

Namun, Aruna tahu betul, ia tidak sedang sendirian.

Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol pada laptopnya. Layar yang semula hanya menampilkan dokumen kosong kini menampilkan sesuatu yang tak pernah ia ketik sendiri.

Sebuah paragraf yang seolah tertulis oleh tangan tak kasatmata.

"Bayangan itu bukan ilusi. Ia adalah bagian dari cerita yang belum selesai. Kau telah menulis takdir yang lebih dalam daripada yang kau sadari."

Aruna mundur, kursinya bergeser sedikit hingga menyentuh lemari di belakangnya.

Tiba-tiba, suara notifikasi ponsel memecah kesunyian.

Pesan baru dari Nomor Tidak Dikenal.

"Jangan lanjutkan."

Sebuah ketukan kembali terdengar di pintu. Kali ini lebih keras.

Aruna menatap ke arah pintu itu dengan napas tertahan. Ia bisa merasakan sesuatu di baliknya, sesuatu yang lebih nyata daripada sekadar ketakutan yang bermain di pikirannya.

Lalu, ponselnya bergetar lagi.

"Jika kau membukanya, kau akan melihat apa yang tidak seharusnya kau lihat."

Aruna menelan ludah. Tangannya basah oleh keringat, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar daripada ketakutannya. Ia bangkit perlahan dan berjalan menuju pintu, setiap langkah terasa berat seolah lantai mencoba menahannya.

Dengan jantung berdegup kencang, ia meraih gagang pintu…

Namun, sebelum ia sempat membukanya, lampu di apartemennya tiba-tiba menyala kembali.

Dan suara ketukan itu berhenti.

Hening.

Seolah tidak pernah ada apa pun di balik pintu itu.

Aruna menatap sekeliling, tubuhnya masih tegang. Namun, segalanya tampak kembali normal.

Terlalu normal.

Ia melangkah kembali ke mejanya, menatap laptopnya yang masih menyala. Tulisan misterius yang tadi muncul telah lenyap, dokumen kembali kosong seperti sebelumnya.

Hanya satu hal yang tersisa di layar.

Sebuah kalimat pendek yang terpampang di bagian bawah dokumen:

"Cerita ini belum selesai, Aruna."

Tangannya mengepal.

Ia tahu, ini bukan sekadar tulisan. Ini adalah pesan.

Dan ia tidak punya pilihan lain selain mencari tahu siapa—atau apa—yang telah menulisnya.

Peran yang Tak Bisa Dihindari

Udara di apartemen Aruna terasa lebih berat sejak malam itu. Sejak pesan-pesan misterius muncul di layar laptopnya, sejak ketukan aneh di pintu, sejak sensasi bahwa seseorang—atau sesuatu—selalu mengawasinya.

Tapi pagi ini, ia harus tetap pergi.

Lokasi syuting berada di sebuah gedung tua di Jakarta Pusat. Bangunan itu pernah menjadi teater di era kolonial, sebelum akhirnya terbengkalai dan kini disewa untuk produksi film. Langit mendung menggantung rendah, menambah aura suram di sekitar gedung tua itu.

Begitu tiba, Aruna melihat Raka sudah berada di sana. Seperti biasa, aktor itu tampak santai, tersenyum seolah hidupnya tidak pernah diusik oleh keanehan.

"Aruna! Akhirnya datang juga," sapa Raka riang. "Kupikir kau menghilang setelah menulis naskah terakhir."

Aruna menatapnya tajam. "Kalau aku menghilang, mungkin kau akan mendapat lebih banyak keberuntungan, bukan?"

Raka tertawa kecil. "Mungkin."

Mereka berjalan bersama memasuki gedung. Tim produksi sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk pengambilan gambar. Tapi begitu Aruna melangkah masuk, ia langsung merasakan sesuatu yang tidak beres.

Udara di dalam lebih dingin daripada seharusnya. Bau kayu lapuk bercampur dengan sesuatu yang lebih samar—seperti bau kertas tua yang nyaris membusuk.

Lalu, di sudut ruangan, ia melihat sebuah cermin besar.

Dan di dalam pantulan cermin itu… seseorang sedang menatapnya.

Bukan dirinya. Bukan kru produksi.

Sosok perempuan dengan mata kosong dan senyum tipis yang menyeramkan.

Aruna terhuyung mundur, napasnya tercekat. Saat ia kembali melihat ke arah cermin—sosok itu telah lenyap.

"Ada apa?" tanya Raka, melihat wajah pucat Aruna.

"Tidak… tidak ada apa-apa," jawabnya cepat. Tapi pikirannya masih kacau.

Apakah ini akibat dari tulisannya?

Syuting berjalan lancar—hampir terlalu lancar. Tidak ada kendala teknis, tidak ada kejadian aneh… sampai adegan terakhir hari itu.

Raka sedang mengambil adegan di mana karakternya harus berdiri di depan cermin besar yang sama. Sesuai naskah, ia harus menatap pantulannya dan mengucapkan dialog.

Tapi sesuatu terjadi.

Saat kamera mulai merekam, ruangan menjadi hening. Tidak ada suara sama sekali—bahkan napas kru pun terasa lenyap.

Dan di dalam cermin, bayangan Raka tidak mengikuti gerakannya.

Ia mengangkat tangan—pantulan tetap diam.

Ia berbalik—pantulan masih menatap lurus ke arahnya.

Lalu, perlahan-lahan, bayangan itu tersenyum.

Senyuman yang bukan milik Raka.

Kru berteriak panik, lampu tiba-tiba padam, dan di tengah kegelapan, terdengar suara tawa kecil yang asing—bukan milik siapa pun di ruangan itu.

Aruna berdiri kaku. Ini bukan kebetulan.

Ini bukan kesalahan teknis.

Ini adalah akibat dari tulisannya.

Dan ia sadar, mereka baru saja membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkunci.

Bayangan yang Keluar dari Cermin

Suara tawa kecil itu masih menggema, menyelinap ke setiap sudut ruangan yang gelap. Aruna berdiri membatu, jantungnya berdebar kencang di dalam rongga dada.

"Kru! Matikan kamera! Nyalakan lampu!" sutradara berteriak, suaranya mengandung kepanikan yang jarang terdengar.

Beberapa detik kemudian, lampu kembali menyala dengan kilatan menyilaukan. Namun, ketika cahaya memenuhi ruangan, semua orang terpaku.

Raka masih berdiri di depan cermin. Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Wajahnya pucat, dan matanya… kosong. Seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat.

"Raka?" suara Aruna bergetar saat ia melangkah mendekat.

Aktor itu tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke dalam cermin, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.

Aruna mengalihkan pandangan ke permukaan cermin, dan perutnya mencelos.

Di sana, di dalam refleksi yang seharusnya menampilkan ruangan yang sama dengan mereka, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Raka. Tidak ada kru.

Yang ada hanyalah ruangan kosong, remang-remang, dengan dinding yang tampak lebih tua, lebih rusak… seperti versi lain dari tempat mereka berada.

Dan di tengah ruangan kosong itu, berdiri sosok pria yang menyerupai Raka, tetapi bukan Raka.

Bayangan itu tersenyum.

Senyuman yang tidak natural.

Senyuman yang terlalu lebar.

Senyuman yang tidak seharusnya ada di wajah manusia.

Lalu, perlahan, sosok itu melangkah mundur… dan menghilang ke dalam kegelapan.

Saat itu juga, Raka tersentak dan jatuh berlutut di lantai, seperti seseorang yang baru saja kembali dari alam lain. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar.

"Aku… Aku ada di sana," gumamnya dengan suara parau.

Aruna menelan ludah. "Di mana?"

Raka mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang masih dipenuhi ketakutan. "Di dalam cermin. Aku bisa merasakannya. Itu bukan pantulan. Itu… dunia lain."

Ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin. Seisi kru saling berpandangan, tidak ada yang berani berbicara.

Sutradara akhirnya bersuara, mencoba menertawakan situasi dengan gugup. "Oke, kita break dulu. Semua bisa tenang sebentar."

Namun, Aruna tahu, ini bukan sekadar adegan film.

Ini bukan ilusi.

Kutukan dalam tulisannya sudah mulai bergerak lagi.

Dan kali ini, ia tidak yakin bisa menghentikannya.

Pintu di Balik Refleksi

Malam menjalar di atas Jakarta dengan keheningan yang aneh. Hujan turun rintik-rintik, membasahi kaca jendela apartemen Aruna dengan irama yang tak beraturan. Ia duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong yang seharusnya diisi dengan naskah baru. Namun, pikirannya masih terjebak pada apa yang terjadi di lokasi syuting tadi siang.

Cermin itu. Bayangan Raka. Dunia yang ada di dalamnya.

Tidak mungkin itu hanya kebetulan.

Ia mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan, ke cermin tinggi dengan ukiran kayu jati yang sudah lama ada di apartemennya. Tidak ada yang aneh di sana, hanya pantulan dirinya sendiri—mata lelah, rambut berantakan, ekspresi gelisah. Tapi ia tahu lebih baik daripada menganggapnya sekadar benda mati.

Di meja, naskah yang ia tulis untuk produksi ini tergeletak terbuka, halaman-halamannya berantakan. Ia menyapu pandangan ke kalimat-kalimat yang tertulis di sana, mencari sesuatu—petunjuk, kebetulan, atau mungkin, jawaban.

"Adegan 43: Karakter utama melihat bayangannya di dalam cermin, tetapi pantulan itu tidak meniru gerakannya. Sebaliknya, ia tersenyum lebih dulu."

Darah di tubuhnya terasa membeku.

Itu bukan adegan yang seharusnya ada. Ia tidak ingat pernah menulis kalimat itu.

Aruna menarik napas dalam-dalam. Mungkin ia lelah, mungkin pikirannya mulai mencampuradukkan realitas dan fiksi. Ia menutup naskah itu dengan cepat dan beranjak ke dapur, menuangkan segelas air.

Namun, saat ia kembali ke meja…

Naskah itu sudah terbuka lagi.

Dan ada kalimat baru yang muncul di halaman berikutnya, tertulis dengan tinta yang tampak lebih pekat, lebih nyata daripada tulisan sebelumnya.

"Pintu sudah terbuka. Masuklah."

Segelas air di tangannya jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping.

Di tempat lain, Raka duduk di dalam mobilnya, masih berusaha mengatur napas setelah apa yang terjadi di lokasi syuting. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, berusaha mengabaikan kilasan bayangan yang masih menghantuinya.

Sebuah suara samar tiba-tiba terdengar dari kursi belakang.

Pelan. Hampir seperti bisikan.

"Raka…"

Lehernya terasa kaku saat ia menoleh ke kaca spion.

Tidak ada siapa-siapa di sana.

Hanya gelapnya kursi belakang.

Namun, refleksi di kaca spion menampilkan sesuatu yang lain.

Seseorang duduk di sana.

Seseorang yang memiliki wajah yang sama dengannya.

Tapi tersenyum dengan cara yang tidak wajar.

Jantung Raka berhenti berdetak sejenak. Lalu, suara itu terdengar lagi.

"Kau harus kembali ke cermin."

Di Balik Cermin

Raka terdiam, matanya terpaku pada bayangan di kaca spion. Tubuhnya terasa membatu, seolah jiwanya sendiri tertahan di antara realitas dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Pria dalam refleksi itu—atau apapun dia—masih tersenyum. Bibirnya melengkung lebih lebar, hampir tidak manusiawi. Matanya, meskipun serupa dengan miliknya, tidak memiliki kedalaman, hanya kehampaan yang memerangkap kegelapan.

"Kau harus kembali ke cermin," suara itu mengulang, kali ini lebih jelas.

Jari-jari Raka mencengkeram setir lebih erat. "Apa yang kau inginkan?"

Bayangan di spion miringkan kepalanya sedikit, seolah menilai Raka seperti seorang peneliti mengamati objek eksperimen. "Aku ingin apa yang seharusnya menjadi milikku."

Raka menelan ludah. "Dan itu apa?"

Namun, bayangan itu tidak menjawab. Sebaliknya, refleksi di kaca spion mulai berubah. Warna-warna memudar, latar belakang menjadi lebih suram, seolah refleksi itu menunjukkan tempat yang berbeda dari dunia yang Raka kenal. Dinding-dinding retak, lampu-lampu redup berpendar dengan warna yang tidak alami, dan ada suara samar—seperti seseorang berbisik dari balik dinding.

Itu bukan hanya refleksi. Itu adalah tempat lain.

Di apartemennya, Aruna duduk terpaku di depan naskah yang kini terasa seperti benda terkutuk. Tulisan itu tidak pernah ia buat, tetapi di sana, di halaman yang baru terbuka, kata-kata terus bermunculan. Seolah ada tangan tak kasat mata yang menuliskannya dengan tinta pekat yang sekarat.

"Malam ini, ia akan menatap ke dalam cermin dan melihat kebenaran. Sesuatu akan menariknya masuk. Dan ia tidak akan pernah bisa kembali."

Aruna menahan napas. Ia tahu siapa yang dimaksud.

Ia meraih ponselnya, dengan tangan gemetar mencoba menelepon Raka. Satu dering. Dua dering. Tidak ada jawaban.

Hingga akhirnya, seseorang mengangkat telepon.

Namun, bukan suara Raka yang terdengar.

Melainkan suara lain.

Lebih dalam. Lebih berbisik.

"Semuanya sudah terlambat, Aruna."

Di dalam mobilnya, Raka tidak bisa berpaling dari kaca spion. Bayangan itu tidak lagi sekadar refleksi.

Tangan dari dunia di balik cermin mulai muncul.

Hitam. Panjang. Kurus.

Dan sebelum ia sempat bereaksi, tangan itu meraih lehernya dan menariknya ke dalam kegelapan.

Antara Dua Dunia

Raka merasa tubuhnya terjatuh, bukan ke belakang seperti seharusnya, tetapi ke dalam sesuatu yang tak kasat mata. Sensasi dingin merayapi kulitnya saat gravitasi seolah kehilangan makna. Dunianya terbalik, pikirannya berkabut, dan suara di sekelilingnya berubah menjadi bisikan-bisikan samar yang tak ia pahami.

Ketika ia membuka mata, ia tidak lagi berada di dalam mobilnya.

Sebaliknya, ia berdiri di sebuah ruangan yang asing—atau lebih tepatnya, ruangan yang menyerupai apartemennya, tetapi salah. Dindingnya tampak lebih kusam, cahaya dari lampu di langit-langit redup dan berpendar seperti lilin sekarat. Udara di sekitarnya terasa berat, penuh dengan keheningan yang menekan.

Kemudian, ia melihatnya.

Duduk di sofa, dengan ekspresi santai, ada seseorang yang identik dengannya.

Bayangan itu tersenyum, tetapi kali ini bukan senyum aneh seperti di kaca spion tadi. Ini adalah senyum kepuasan.

"Akhirnya," kata sosok itu dengan suara yang sama seperti miliknya. "Aku sudah menunggu lama sekali."

Raka merasakan darahnya membeku. "Siapa kau?"

Sosok itu mengangkat alis, seolah pertanyaan itu menggelitiknya. "Aku adalah kau." Ia bersandar ke belakang, menatap Raka dengan mata yang dalam dan gelap. "Atau lebih tepatnya… aku adalah kau yang seharusnya ada di sini."

Raka mundur selangkah. "Apa maksudmu?"

Sosok itu tertawa pelan, suaranya menggema di seluruh ruangan yang terasa seperti lorong tanpa ujung. "Kau pikir semua keberuntunganmu itu normal? Kau pikir setiap hal baik yang terjadi dalam hidupmu tidak memiliki harga?" Ia mencondongkan tubuh ke depan. "Ada keseimbangan di dunia ini, Raka. Dan aku adalah bagian dari keseimbangan itu."

Tiba-tiba, Raka merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Seolah udara di dalam paru-parunya ditarik keluar, meninggalkan kehampaan. Ia jatuh berlutut, terengah-engah.

Sosok itu berdiri, mendekatinya dengan langkah santai.

"Keseimbangan telah rusak sejak lama. Keberuntunganmu telah mengambil tempat yang bukan miliknya. Dan sekarang," katanya sambil berjongkok di depan Raka, menatapnya tepat di mata, "sudah waktunya untuk membayarnya."

Sementara itu, di apartemennya, Aruna panik. Ia mencoba menelepon Raka lagi, tetapi ponselnya hanya mengeluarkan suara statis yang aneh.

Naskah di mejanya kini bergetar, seolah ada sesuatu yang ingin keluar dari dalamnya. Kata-kata terus muncul di halaman terakhir:

"Pintu telah terbuka. Jika kau ingin menyelamatkannya, kau tahu di mana mencarinya."

Aruna tahu apa yang harus ia lakukan.

Dengan langkah ragu, ia berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Refleksinya menatapnya dengan ekspresi yang sama gelisahnya.

Ia mengulurkan tangan.

Dan cermin itu mulai bergetar.

Sejenak, ketakutan menahannya. Tapi kemudian, ia mengingat sesuatu—ini bukan pertama kalinya ia menulis sesuatu yang menjadi kenyataan. Dan mungkin, ini juga bukan pertama kalinya ia harus menulis ulang takdir seseorang.

Dengan napas tertahan, ia menyentuh permukaan kaca itu.

Dan dunia di sekelilingnya berubah.

Bayangan yang Mengintai

Udara di sekitar Aruna terasa berat, seolah ia baru saja melangkah ke dalam dimensi yang belum pernah dijamah manusia. Cahaya samar berpendar di sekelilingnya, berkelip seperti bintang yang tersesat. Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu: keheningan yang terlalu pekat, begitu dalam hingga ia bisa mendengar denyut jantungnya sendiri.

Cermin di belakangnya sudah menghilang. Tidak ada jalan kembali.

Aruna berdiri di sebuah lorong panjang yang tampak seperti koridor apartemen Raka, tetapi setiap detailnya terasa salah. Dindingnya lebih suram, catnya terkelupas, dan udara di sini lebih dingin daripada dunia yang ia kenal. Setiap langkah yang ia ambil bergema, seolah lorong ini ingin mengingat keberadaannya.

Lalu ia mendengar suara.

Bukan suara teriakan atau panggilan minta tolong, melainkan suara pena yang menari di atas kertas. Sebuah suara yang begitu familiar baginya.

Aruna mengikuti suara itu, menyusuri lorong yang semakin menyempit. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah gravitasi di tempat ini berbeda. Saat akhirnya ia mencapai ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu kayu tua.

Tanpa berpikir panjang, ia meraih gagangnya dan mendorongnya terbuka.

Di dalam ruangan itu, Raka duduk di sebuah kursi, wajahnya tampak pucat, matanya kosong menatap ke depan. Namun, yang lebih mengerikan adalah keberadaan sosok lain di dekatnya.

Sosok yang identik dengannya.

Bayangan Raka tengah menulis sesuatu di sebuah buku tua dengan pena hitam yang tampak seperti terbuat dari bayangan itu sendiri. Setiap kali pena itu menyentuh kertas, tubuh Raka yang asli tersentak seperti boneka yang ditarik benangnya.

"Apa yang kau lakukan padanya?" suara Aruna nyaris berbisik.

Bayangan itu tidak menoleh, hanya tersenyum kecil. "Aku sedang menulis ulang kisahnya. Bukankah itu yang kau lakukan juga, Aruna?"

Aruna merasakan darahnya berdesir. Ini bukan sekadar kutukan atau kebetulan. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.

"Berhenti," katanya, suaranya bergetar. "Lepaskan dia."

Bayangan Raka akhirnya menatapnya. Matanya kosong, tetapi bibirnya tetap melengkung dalam senyum licik. "Aku bisa membebaskannya, jika kau mau menukar tempat."

Aruna terdiam. Tawaran itu terdengar seperti sesuatu yang bisa ia prediksi dari sebuah cerita. Tapi kali ini, ia adalah bagian dari ceritanya sendiri.

Ia melihat Raka, tubuhnya lemah, tetapi ada sesuatu di matanya yang belum padam. Harapan.

Aruna tahu bahwa jika ia menyerah begitu saja, mereka berdua akan terjebak di dalam tulisan ini selamanya.

Jadi, dengan napas dalam-dalam, ia melakukan satu hal yang belum pernah ia coba sebelumnya.

Ia meraih buku itu, merobek halaman yang dituliskan bayangan tersebut, dan mulai menulis ulang takdir mereka dengan tangannya sendiri.

Ketika tinta mulai menyerap ke dalam kertas, dunia di sekitar mereka mulai bergetar.

Permainan Nasib

Malam di Jakarta terasa lebih sunyi dari biasanya. Di dalam apartemen Aruna yang remang-remang, cahaya lilin yang redup memantulkan bayangan aneh di dinding. Angin berembus dari jendela yang setengah terbuka, membawa bisikan samar yang entah berasal dari mana. Raka duduk di sofa dengan ekspresi gelisah, sementara Aruna berdiri di depan meja kerjanya, menatap buku tua yang terbuka di hadapannya.

"Kita tidak bisa terus seperti ini," gumam Raka akhirnya, suaranya berat.

Aruna menghela napas, tangannya mengusap halaman-halaman buku yang sudah mulai lusuh. "Aku tahu. Tapi bagaimana kalau ini satu-satunya jalan? Kalau aku menulis sesuatu yang bisa membalikkan kutukan ini, bagaimana kalau justru semakin memperparah keadaan?"

Raka bangkit dari sofa dan berjalan mendekati Aruna, menatap tulisan-tulisan misterius yang tampak semakin hidup di bawah cahaya lilin. "Aku sudah terlalu lama hidup dengan keberuntungan yang absurd ini, sementara kau harus menanggung semua kemalangan yang datang. Harus ada cara lain."

Aruna menutup buku itu dengan cepat. "Aku sudah mencoba segalanya, Raka. Tapi setiap kali aku menulis, sesuatu berubah di dunia nyata. Takdir bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan seenaknya."

Sejenak, mereka terdiam. Di luar, suara petir menggelegar meski hujan belum turun. Seakan-akan alam pun menunggu keputusan mereka.

Tiba-tiba, sebuah suara berbisik dari sudut ruangan. Aruna dan Raka menoleh bersamaan, mata mereka menangkap bayangan gelap yang bergerak di cermin di pojok kamar. Perlahan, dari balik bayangan itu, sesosok pria tua muncul. Wajahnya tampak akrab bagi Aruna—pria yang dulu memperingatkannya di perpustakaan tua.

"Takdir tidak bisa diubah tanpa pengorbanan," ucap pria tua itu dengan suara bergetar. "Kalian sudah terlalu jauh. Jika kau ingin menulis ulang segalanya, maka harus ada harga yang dibayar."

Raka meraih tangan Aruna dengan erat. "Apa maksudmu? Pengorbanan seperti apa?"

Pria tua itu tersenyum tipis, tetapi senyumannya lebih menyerupai rasa iba. "Salah satu dari kalian harus menghilang. Hanya dengan begitu keseimbangan dapat dipulihkan."

Jantung Aruna mencelos. Kata-kata pria itu menggantung di udara seperti vonis kematian. Mereka saling bertukar pandang, mencari jawaban dalam mata satu sama lain.

"Tidak ada cara lain?" tanya Aruna, suaranya hampir berbisik.

"Takdir sudah memilih," jawab pria itu sebelum sosoknya memudar kembali ke dalam bayangan.

Kesunyian kembali menyelimuti ruangan, tetapi kini terasa lebih berat, lebih mencekam. Aruna merasakan pena di tangannya bergetar, seolah memaksanya untuk segera menulis.

"Kalau begitu," Raka berbisik, suaranya penuh tekad, "kau harus menulis akhir yang terbaik untuk kita berdua."

Aruna menggigit bibirnya, menatap halaman kosong di hadapannya. Kata-kata pria tua tadi bergema di kepalanya. Ia tahu, apa pun yang ia tulis malam ini akan menjadi kenyataan. Dan keputusan ini akan menentukan segalanya.

Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis.

Pena dan Darah

Saat tinta pertama kali menyentuh kertas, ruangan seolah berguncang. Angin kencang berputar di sekitar mereka, menerbangkan lembaran-lembaran kertas yang berisi fragmen cerita Aruna di masa lalu. Lilin-lilin padam satu per satu, menyisakan kegelapan yang hanya diterangi oleh kilatan petir dari luar jendela.

Raka melangkah mundur, matanya mengawasi dengan waspada. "Aruna, apa yang kau tulis?"

Aruna tidak menjawab. Tatapannya kosong, seperti seseorang yang berada di antara dunia nyata dan dimensi lain. Tangannya bergerak sendiri, menuliskan kata-kata yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya:

"Dalam pilihan terakhir, takdir memisahkan dua jiwa. Satu harus menghilang agar yang lain tetap ada."

Tiba-tiba, sebuah jeritan bergema dari dalam cermin di pojok ruangan. Bayangan gelap mulai merayap keluar, membentuk sosok kabur yang menyerupai Raka.

"Itu bukan aku!" Raka berseru, mundur dengan panik.

Aruna tersentak, pena terjatuh dari tangannya. Sosok itu melangkah maju, wajahnya semakin jelas—dan benar saja, itu adalah refleksi Raka, tetapi dengan mata kosong dan senyum yang tidak wajar.

"Kau menulisku ke dalam kegelapan, Aruna," suara makhluk itu terdengar seperti gema dari dunia lain. "Sekarang, aku ingin keluar."

Ruangan menjadi semakin dingin, napas Aruna membeku di udara. Dia menatap Raka asli, yang kini menatapnya dengan ketakutan dan kebingungan. Jika ia melakukan kesalahan dalam menulis, maka keberadaan Raka bisa tergantikan oleh entitas ini.

"Tidak!" Aruna meraih pena lagi, menuliskan sesuatu dengan cepat:

"Keberuntungan yang sejati bukanlah milik satu orang, tetapi berbagi takdir dengan yang lain."

Begitu kata-kata itu tertulis, ruangan kembali berguncang. Sosok bayangan itu mengerang keras sebelum akhirnya tersedot kembali ke dalam cermin, meninggalkan keheningan yang mencekam.

Raka jatuh berlutut, terengah-engah. "Apa yang baru saja terjadi?"

Aruna memegang tangannya dengan erat. "Aku tidak tahu, tapi kita harus menyelesaikan ini sebelum lebih banyak hal yang keluar dari tulisan ini."

Raka mengangguk, dan untuk pertama kalinya, mereka benar-benar mengerti: akhir cerita ini bukan hanya tentang mereka, tetapi tentang dunia yang telah mereka ubah.

Malam itu, mereka mulai menulis bab terakhir—dan kali ini, mereka harus memastikan akhir yang benar-benar adil bagi semua.

Gerbang Takdir

Malam semakin pekat saat Aruna dan Raka melangkah ke dalam gedung tua yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Setiap langkah menggema, seolah mengingatkan mereka bahwa apa pun yang menanti di ujung perjalanan ini bukanlah sesuatu yang bisa mereka hindari. Bayangan-bayangan bergerak di sudut ruangan, tetapi tidak ada angin yang berhembus. Seakan tempat ini bernafas, hidup dalam cara yang tak bisa mereka pahami sepenuhnya.

Di tengah aula utama, sebuah cermin besar berdiri tegak. Namun, bayangan yang terpantul di dalamnya tidak mengikuti gerakan mereka. Aruna menelan ludah, sementara Raka mengepalkan tangan, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

"Inilah titik akhirnya," suara berat menggema dari sudut ruangan. Dari bayangan muncul sosok pria tua berjubah hitam, matanya kosong, namun menyimpan rahasia yang terlalu dalam untuk diungkapkan dalam satu tatapan.

Aruna melangkah maju. "Siapa kau? Kenapa hidup kami selalu saling bertautan?"

Pria itu tersenyum samar. "Kalian adalah dua sisi dari takdir yang terpecah. Keseimbangan yang telah diubah sejak masa lalu. Raka adalah cahaya yang selalu bersinar, sementara kau, Aruna, adalah kegelapan yang menuliskan segalanya."

Raka menggeleng, tidak menerima kenyataan ini begitu saja. "Tidak mungkin. Ini hanya kebetulan, bukan?"

Pria itu mengangkat tangan, dan bayangan dalam cermin mulai berubah. Gambar-gambar dari masa lalu muncul—dua anak kecil yang terpisah oleh sebuah gerhana. Sebuah pena yang terjatuh dari tangan seorang wanita, dan seorang pria yang mengangkatnya. Sebuah kontrak yang tertulis dalam bahasa yang telah lama dilupakan.

"Kalian ditakdirkan untuk saling melengkapi, tetapi juga untuk saling menghancurkan. Setiap keberuntungan yang kau terima, Raka, adalah hasil dari kemalangan Aruna. Begitu juga sebaliknya. Dan kini, kalian telah sampai di titik di mana takdir harus diputuskan."

Aruna menggigit bibirnya, matanya berkilat dengan tekad. "Dan jika kami tidak ingin mengikuti takdir ini?"

Pria itu tertawa kecil. "Maka kau harus menulis akhir yang baru. Tetapi ingat, setiap kata memiliki harga. Jika kau ingin mengubah takdir, sesuatu harus dikorbankan."

Hening menguasai ruangan. Raka menatap Aruna, matanya menyiratkan pertanyaan yang sama yang ada dalam benaknya. Apakah mereka siap untuk membayar harga itu?

Aruna meraih pena yang tergantung di lehernya—pena yang sejak awal telah menjadi sumber dari segala keanehan ini. Ia menatap cermin di hadapannya dan mengambil keputusan.

"Aku akan menulis akhir yang baru," bisiknya.

Namun, ketika tinta mulai mengalir di udara, bayangan-bayangan mulai berontak, dan gedung tua itu mulai bergetar hebat. Mereka tidak akan membiarkan takdir berubah begitu saja.

Dan saat itu, gerbang di dalam cermin mulai terbuka, memperlihatkan sesuatu yang lebih gelap dari yang pernah mereka bayangkan...

Akhir yang Baru

Bayangan yang berontak dari cermin mulai meluap keluar, memenuhi ruangan dengan kehadiran yang hampir tak tertahankan. Aruna merasakan udara semakin berat, seolah sesuatu menariknya ke dalam pusaran yang tak terlihat. Pena di tangannya bergetar, seakan sadar bahwa keputusan yang diambilnya akan mengubah segalanya.

Raka menggenggam tangan Aruna, menariknya mundur. "Apa yang akan kau tulis? Apa yang harus kita lakukan?"

Aruna menatap tinta hitam yang melayang di udara, menunggu untuk membentuk takdir yang baru. “Aku harus menulis ulang segalanya,” gumamnya. "Tapi itu berarti aku harus mengorbankan sesuatu."

Pria berjubah hitam berdiri di sudut ruangan, matanya memantulkan cahaya redup dari gerbang yang terbuka dalam cermin. "Setiap perubahan datang dengan harga, Aruna. Jika kau ingin memutus hubungan kalian, salah satu dari kalian harus menghilang."

Raka menggeleng, ekspresinya penuh tekad. "Tidak ada yang harus menghilang. Kita bisa menemukan cara lain."

Tetapi Aruna sudah tahu jawabannya. Ia mengerti bahwa selama ini, dirinya hanyalah bagian dari keseimbangan yang terus berulang. Jika ia terus hidup dalam bayang-bayang kutukan ini, tak akan ada akhir yang bahagia.

Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis di udara dengan pena itu, menciptakan untaian kata yang mengubah realitas:

“Aku menghapus diriku dari takdir ini. Keberuntungan dan kemalangan tidak lagi terikat. Biarkan Raka memiliki hidupnya sendiri, dan biarkan dunia melanjutkan tanpa kehadiranku.”

Tinta berkilau terang sebelum meledak menjadi ribuan serpihan cahaya. Ruangan itu bergetar hebat, suara jeritan bayangan memenuhi udara sebelum akhirnya mereda. Perlahan, cermin retak dan pecah berkeping-keping, menghapus gerbang yang telah terbuka.

Raka menjerit, mencoba meraih Aruna yang mulai memudar. "Tidak! Aruna, kau tidak bisa melakukan ini!"

Aruna tersenyum lemah. "Ini satu-satunya cara… agar kau bisa bebas." Air mata mengalir di pipinya saat ia merasakan tubuhnya menjadi lebih ringan, suaranya hampir tak terdengar lagi. "Jadilah bahagia, Raka."

Dalam sekejap, Aruna lenyap, meninggalkan ruangan yang kini sunyi. Tidak ada lagi bayangan, tidak ada lagi gerbang. Hanya Raka yang berdiri di sana, menatap kosong ke tempat di mana Aruna terakhir kali berada.

Waktu berlalu. Dunia bergerak maju. Keberuntungan masih mengikuti Raka, tetapi kini terasa hampa. Ia masih bisa tersenyum, masih bisa tertawa, tetapi ada bagian dalam dirinya yang selalu kosong. Seakan ada seseorang yang pernah ada, tetapi tak bisa diingat sepenuhnya.

Hingga suatu hari, saat hujan turun dengan lembut di Jakarta, sebuah buku tua terjatuh dari rak di sebuah perpustakaan. Sampulnya usang, judulnya samar. Dengan ragu, Raka membukanya.

Di halaman pertama, tertulis satu kalimat dengan tinta yang sangat familiar:

“Takdir menunggu untuk ditulis kembali.”

Dan dengan itu, bab baru dimulai.

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...