Kakakku Galak Banget!
Matahari mulai naik, sinarnya menyapu dedaunan yang masih basah oleh embun. Di pinggir jalan, pedagang bubur ayam sudah mulai berteriak menawarkan dagangannya, sesekali mengaduk buburnya dengan gerakan cepat dan penuh pengalaman. Sementara itu, di trotoar kecil dekat sekolah, Asri masih sibuk membersihkan rumput yang menempel di seragamnya.
"Ayo cepet, nanti telat!" bentak Tari sambil menahan tawa.
"As— Astaghfirullah… Aku tadi jatuh lho, Kak. Luka batinku lebih dalam daripada luka fisikku," kata Asri dengan dramatis.
Tari hanya menggeleng dan kembali mengayuh sepedanya, meninggalkan Asri yang masih berdiri di pinggir jalan. Dengan tergopoh-gopoh, Asri buru-buru menaiki sepedanya dan menyusul.
Begitu sampai di gerbang sekolah, seorang satpam berbadan besar dengan kumis tebal berdiri di depan pintu masuk, tangan menyilang di dada. Namanya Pak Dul, penjaga sekolah yang terkenal galak kalau urusan keterlambatan.
"Jam piro iki?" tanyanya dengan suara dalam.
Tari buru-buru melihat jam di tangannya. "Masih jam tujuh kurang lima, Pak!"
Pak Dul mengangguk. "Oke. Masuk."
Mereka berdua mengayuh sepeda ke parkiran, lalu bergegas masuk kelas. Di depan pintu kelas 5B, sudah ada beberapa teman Asri yang sedang ngobrol. Salah satunya adalah Adit, bocah tinggi berkacamata yang selalu membawa buku kemana-mana.
"Kowe ngopo, As?" tanya Adit begitu melihat rambut Asri yang masih penuh dedaunan kecil.
Asri menarik nafas panjang, lalu mengembuskannya dramatis. "Aku tadi jatuh, Dit. Tragis. Kejadian yang akan kuceritakan ke anak-cucuku nanti."
Adit hanya tertawa kecil, lalu berjalan masuk ke dalam kelas. Sementara itu, seorang bocah perempuan berambut kuncir dua tiba-tiba muncul dari belakang, menepuk bahu Asri dengan semangat.
"Asri! Nanti istirahat, kita ke kantin yuk!" katanya.
Itu Rini, sahabat Asri sejak kelas satu. Anak pedagang bakpia yang selalu punya ide-ide aneh, tapi entah kenapa selalu bisa menyeret Asri untuk ikut dalam kegilaannya.
"Tapi aku belum ada uang jajan, Rin," kata Asri sambil cemberut.
"Tenang! Aku ada ide! Pokoknya ikut aja nanti!" Rini tersenyum misterius.
Asri menelan ludah. Setiap kali Rini bilang "aku ada ide", itu hampir selalu berakhir dengan bencana.
Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, tiba-tiba suara bel berbunyi nyaring. Semua anak segera masuk dan duduk di tempat masing-masing.
Bu Rahayu, wali kelas mereka, masuk dengan wajah serius. Ia guru yang sabar, tapi kalau sudah marah, suaranya bisa bikin kaca jendela bergetar.
"Pagi, anak-anak!" katanya tegas.
"Selamat pagi, Bu!" semua anak menjawab serempak.
"Baik, sebelum kita mulai pelajaran, saya mau mengingatkan bahwa minggu depan ada ulangan matematika. Jadi mulai sekarang, kalian harus belajar lebih giat."
Terdengar keluhan serentak dari seluruh kelas.
"Matematika lagi…" bisik Asri.
"Matematika itu penting, Asri," kata Adit yang duduk di sebelahnya.
"Iya penting, tapi buat siapa? Aku kan nggak mau jadi kalkulator," gerutu Asri.
Bu Rahayu mengetuk meja dengan penggaris, membuat semua anak diam seketika.
"Baik, sekarang kita mulai pelajaran hari ini. Buku kalian sudah siap?"
Seluruh kelas serentak mengeluarkan buku, kecuali satu orang.
Asri merogoh tasnya, mengaduk-aduk isinya dengan panik. Buku matematikanya tidak ada.
"Asri," panggil Bu Rahayu dengan nada berbahaya.
Asri menegakkan badan. "Ehehe… Aku lupa bawa buku, Bu."
Bu Rahayu menatapnya tajam. "Lupa lagi? Minggu lalu juga lupa. Kamu kapan mau belajar disiplin?"
Asri tertawa kecil, mencoba meredakan suasana. "Eee… aku kan anaknya fleksibel, Bu. Disiplin itu berat…"
Seluruh kelas tertawa. Tapi Bu Rahayu tidak.
"Baik, kalau begitu, kamu berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai."
Mata Asri membesar. "Hah?!? Tapi Bu—"
"Atau kamu mau saya suruh mengerjakan soal di papan tulis?"
Asri langsung berdiri tanpa protes. Berdiri di depan kelas lebih baik daripada mengerjakan soal matematika.
Dan begitulah, selama satu jam pelajaran, Asri berdiri di sudut kelas seperti patung, sementara teman-temannya sibuk menyalin rumus dari papan tulis.
Ketika bel istirahat berbunyi, ia langsung berlari kembali ke tempat duduknya dan menoleh ke Rini.
"Oke, Rin. Jadi ide gilamu tadi apa?"
Rini tersenyum lebar. "Ayo ikut ke kantin. Percaya deh, ini bakal seru!"
Asri menelan ludah. Sepertinya, petualangan barunya baru saja dimulai…
Bersambung…
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar