Rencana Besar di Kantin
Bel istirahat baru saja berbunyi, dan seperti sekawanan burung merpati yang dilepas dari sangkar, murid-murid berhamburan keluar kelas. Beberapa langsung berlari ke kantin, yang lain memilih duduk di bawah pohon, mengobrol sambil menikmati semilir angin siang.
Di antara kerumunan itu, dua bocah perempuan berjalan dengan langkah penuh semangat. Asri dan Rini.
"Aku masih nggak yakin sama rencana ini, Rin," kata Asri sambil menatap sahabatnya dengan penuh curiga.
Rini tersenyum lebar. "Percaya aja, As! Ini bakal berhasil!"
Asri menghela napas. Setiap kali Rini bilang "ini bakal berhasil", justru itu adalah tanda bahwa mereka akan terlibat dalam sesuatu yang entah konyol atau berbahaya.
Mereka sampai di kantin, sebuah bangunan kecil dengan atap seng yang sudah mulai berkarat di beberapa bagian. Meja-meja kayu panjang berjajar di depannya, dipenuhi anak-anak yang sibuk mengunyah gorengan, nasi kuning, atau es lilin yang dibeli dari gerobak dekat gerbang sekolah.
Di balik etalase kaca yang penuh dengan risoles, tahu isi, dan lemper, Bu Sarti—penjaga kantin yang dikenal murah senyum tapi tegas soal utang—sedang sibuk melayani anak-anak yang antre.
"Asri, Rini! Mau beli apa?" tanyanya ramah.
Rini menyenggol Asri pelan. "Tenang. Biarkan aku yang bicara."
Asri hanya bisa menelan ludah.
Rini melangkah maju, bersandar di etalase dengan gaya seperti seorang negosiator ulung.
"Bu Sarti, hari ini kami nggak bawa uang jajan," katanya dengan suara penuh percaya diri.
Bu Sarti menaikkan alis. "Terus mau utang?"
Rini mengangkat tangan. "Oh, tentu tidak, Bu. Kami punya proposal yang lebih menarik!"
Bu Sarti menatapnya curiga. "Proposal opo meneh iki?"
Asri sudah mulai merasa tidak enak.
Rini menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara dengan nada dramatis, seperti seorang politikus yang sedang berpidato di depan rakyatnya.
"Begini, Bu. Kami tahu bahwa kantin ini terkenal dengan gorengannya yang renyah, es lilinnya yang segar, dan suasana yang nyaman. Tapi ada satu masalah besar!"
Bu Sarti melipat tangan di dada. "Masalah opo?"
"Marketing, Bu! Promosi! Branding!" Rini mengayunkan tangannya ke udara, seakan kata-katanya punya kekuatan sihir. "Coba pikir, kalau kantin ini punya lebih banyak pelanggan, keuntungan pasti meningkat, kan?"
Bu Sarti menyipitkan mata. "Terus kowe loro iki arep ngopo?"
Asri memandang Rini dengan wajah penuh kepasrahan.
Rini tersenyum. "Kami menawarkan jasa promosi, Bu! Kami akan berkeliling sekolah, merekomendasikan kantin ini ke semua murid. Kami bisa bikin slogan, kampanye mulut ke mulut, bahkan kalau perlu kami bisa bikin yel-yel!"
Asri langsung menoleh ke Rini dengan ekspresi kaget. "Hah?!? Yel-yel?!? Sejak kapan?!?"
Rini mengabaikannya dan terus melanjutkan. "Sebagai imbalannya, kami hanya minta satu gorengan dan satu es lilin setiap hari selama seminggu. Gimana, Bu?"
Bu Sarti terdiam.
Asri menahan napas.
Rini masih tersenyum.
Hening.
Lalu Bu Sarti tertawa. Bukan tawa geli atau senang, tapi tawa khas seorang ibu yang sudah terlalu paham dengan kelakuan anak-anak macam mereka.
"Kowe loro iki pinter tenan, yo!" katanya sambil menggeleng. "Tapi maaf, aku nggak butuh promosi. Wong kantinku sudah laris dari dulu."
Rini terbelalak. "T-tapi Bu, ini kesempatan emas! Dengan strategi pemasaran yang tepat, kantin ini bisa jadi kantin nomor satu se-Kotagede!"
Bu Sarti terkekeh. "Wis, nggak usah neko-neko. Kalau pengin gorengan, ya bayar. Ora bayar, ora mangan."
Asri menghembuskan napas lega. Setidaknya kali ini mereka tidak berakhir dihukum seperti waktu mereka mencoba bisnis jualan kertas contekan minggu lalu.
Rini masih terlihat kecewa, tapi akhirnya ia menyerah. "Ya udahlah… Kalau gitu, kita cari cara lain buat makan gratis."
Asri langsung panik. "Rin, plis, nggak usah cari perkara lagi!"
Tapi sebelum mereka bisa berdiskusi lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah meja pojok kantin.
"Aku duluan yang mau beli!"
"Bukannya aku dulu yang antre?!"
Asri dan Rini menoleh. Di sana, dua anak laki-laki sedang berdebat sengit. Yang satu berkacamata dengan raut wajah serius—Adit. Yang satu lagi berbadan lebih besar dengan rambut cepak—Jono, anak kelas sebelah yang terkenal suka cari gara-gara.
"Eh, eh, ada ribut-ribut!" bisik Asri penuh semangat.
Rini mengangguk. "Seru nih! Ayo kita tonton!"
Mereka berdua buru-buru mendekat, tanpa tahu bahwa kejadian ini akan membawa mereka ke dalam masalah baru… lagi.
Bersambung…
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar