LUKISAN TANPA WAJAH
Lukisan itu selalu menggantung di dinding ruang kerjanya. Sebuah kanvas abstrak tanpa bentuk jelas, tanpa ekspresi, tanpa wajah. Namun, semakin lama dia menatapnya, semakin banyak bayangan yang muncul—bayangan yang tidak seharusnya ada.
Sebagai seorang kolektor seni, ia selalu percaya bahwa setiap lukisan memiliki jiwa. Tapi kali ini, jiwanya sendiri yang perlahan terkoyak. Seiring dengan serangkaian pembunuhan yang terjadi, dia mulai menyadari pola yang tak bisa dijelaskan—semua korban memiliki keterkaitan dengannya, semua kematian mencerminkan adegan dari lukisan dalam koleksinya.
Lukisan yang Tak Bermakna
Aku selalu percaya bahwa seni memiliki jiwa. Setiap sapuan kuas, setiap detail yang tertuang di atas kanvas, menyimpan emosi yang tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada lukisan yang terasa penuh gairah, ada yang memancarkan kesedihan mendalam, dan ada pula yang mengundang ketakutan yang entah dari mana asalnya.
Tapi di antara semua koleksi yang kupajang di ruang kerjaku, ada satu lukisan yang terasa berbeda. Bukan karena teknik atau keindahannya, melainkan karena ia selalu terasa… kosong.
Lukisan itu tergantung di dinding seberang meja kerjaku. Sebuah kanvas besar dengan sapuan warna yang kacau, bentuk yang tak jelas, tanpa sosok, tanpa wajah. Aku bahkan tak ingat dari mana aku mendapatkannya—mungkin hasil lelang bertahun-tahun lalu, atau hadiah dari seseorang yang kini telah kulupakan. Yang pasti, lukisan itu sudah ada di sana sejak lama, terabaikan, seperti benda mati tanpa makna.
Namun akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berubah.
Aku tak tahu pasti kapan perasaan itu dimulai. Mungkin beberapa minggu lalu, ketika aku bangun di tengah malam dan mendapati diriku duduk di depan lukisan itu tanpa tahu bagaimana aku bisa sampai di sana. Atau mungkin lebih lama dari itu, sejak aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang menatap balik dari balik lapisan cat yang kasar.
Aku mengusap wajahku, mencoba mengusir perasaan aneh yang terus mengganggu pikiranku.
Ruangan ini seharusnya menjadi tempat yang paling nyaman bagiku. Cahaya lampu gantung redup menyinari rak-rak kayu berisi berbagai buku seni dan katalog lelang. Di sepanjang dinding, lukisan-lukisan dari berbagai periode sejarah tertata rapi, mulai dari gaya klasik hingga modern. Aroma samar cat minyak bercampur dengan wangi kayu tua dari lantai parquet yang selalu mengeluarkan bunyi pelan setiap kali aku melangkah.
Namun, di ruangan yang seharusnya menjadi surga bagi seorang kolektor seni seperti aku, ada sesuatu yang terasa salah.
Aku kembali menatap lukisan itu. Warna-warna acaknya tampak lebih gelap dari yang kuingat. Apakah ini hanya pantulan cahaya? Atau mataku yang sudah terlalu lelah? Aku mengalihkan pandangan dan menghela napas. Tidak ada gunanya memikirkan hal-hal tak masuk akal.
Saat itulah teleponku berdering, mengusik keheningan yang membungkus ruangan. Aku mengulurkan tangan dan mengambil ponsel di atas meja, melihat sekilas nama yang muncul di layar.
Arman.
Aku terdiam sejenak. Nama itu membawa kembali ingatan yang samar. Arman, teman masa kecilku. Kami tumbuh di lingkungan yang sama, berbagi cerita, berbagi rahasia. Namun seiring waktu, hubungan kami merenggang. Aku yang semakin tenggelam dalam dunia koleksi seniku, dan dia yang memilih jalan berbeda sebagai seorang kurator seni. Kami jarang berbicara, hampir seperti orang asing.
Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku sekarang?
Aku mengangkat telepon. “Halo?”
Suaranya terdengar jelas, meski ada sedikit keraguan dalam nada bicaranya. “Aku di kota. Bisakah kita bertemu?”
Aku mengernyit. “Ada apa?”
“Aku ingin membicarakan sesuatu. Tentang… koleksi lukisanmu.”
Alisku berkerut. “Lukisanku?”
“Ya. Ada sesuatu yang penting. Aku tidak bisa menjelaskan di telepon. Kita bisa bertemu?”
Aku menatap lukisan abstrak di dinding seberang, dan entah kenapa, untuk sesaat aku merasa warnanya tampak lebih pekat dari sebelumnya.
Aku mengangguk, meskipun dia tak bisa melihatnya. “Baiklah. Di mana?”
“Ada kafe baru di dekat galeri tempatku bekerja. Namanya DeLume. Bisa besok sore?”
Aku menghela napas. Aku tidak suka pertemuan spontan seperti ini, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa ini bukan sekadar basa-basi.
“Baik. Besok sore.”
Setelah percakapan berakhir, aku meletakkan ponsel dan kembali menatap lukisan di dinding.
Kenapa Arman tiba-tiba tertarik dengan koleksi lukisanku?
Dan kenapa, di saat yang sama, aku mulai merasa bahwa ada sesuatu dalam ruangan ini yang berubah?
Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu. Ini hanya kebetulan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun malam itu, aku kembali terbangun di tengah malam.
Dan ketika aku sadar, aku sudah berdiri di depan lukisan itu, dengan jantung berdebar kencang tanpa alasan.
Lukisan itu tetap sama. Tidak berubah.
Tapi entah kenapa, kali ini aku merasa bahwa sesuatu… atau seseorang… ada di dalamnya, menatap balik ke arahku.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar