LUKISAN TANPA WAJAH #5 Berita Pembunuhan [Cerita Misteri]

 

Berita Pembunuhan

Pagi datang dengan enggan, sinar matahari menerobos perlahan melalui tirai jendela ruang kerjaku. Sisa hujan semalam masih menyisakan genangan di jalan-jalan kecil Jakarta, mencerminkan langit yang masih mendung. Aku duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang mulai mendingin di hadapanku. Malam tadi aku hampir tak tidur, pikiranku terus dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang belum tersusun rapi.

Arman datang. Ia masuk tanpa banyak bicara, melempar sebuah koran ke meja. Halamannya sedikit kusut, seolah telah dibolak-balik dengan tergesa.

"Bacalah," katanya dengan nada datar.

Aku menarik napas dalam sebelum meraih koran itu. Mataku langsung tertuju pada judul yang dicetak tebal di halaman utama:

KOLEKTOR SENI TERKEMUKA TEWAS MISTERIUS DI RUMAHNYA

Darahku seakan membeku saat membaca paragraf pertama.

Leonard Baskara, seorang kolektor seni terkenal, ditemukan tewas di rumah pribadinya pada tengah malam. Sumber kepolisian menyebutkan bahwa korban ditemukan dalam posisi duduk di ruang kerja, dengan satu lukisan misterius tergantung di dinding di dekatnya. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, dan pintu rumah ditemukan terkunci dari dalam.

Aku hampir menjatuhkan koran itu. Nama itu—namaku sendiri—tertera di berita ini. Tapi aku masih hidup. Ini pasti semacam kesalahan, atau lebih buruk lagi, sebuah peringatan.

Arman menatapku tajam, menunggu reaksiku.

"Apa-apaan ini?" suaraku bergetar.

"Itulah yang ingin aku tanyakan," jawabnya tenang. "Koran ini dicetak pagi ini, dan namamu ada di dalamnya. Bagaimana mungkin?"

Aku merasakan keringat dingin mengalir di pelipis. Tanganku gemetar saat memegang lembaran itu lebih erat. Ini bukan kebetulan. Seseorang ingin aku membaca ini. Seseorang ingin aku tahu sesuatu.

Aku mengusap wajahku, mencoba berpikir jernih. "Siapa yang menulis artikel ini?"

Arman membuka ponselnya, lalu menunjukkan sesuatu padaku. "Seorang jurnalis investigasi bernama Farah Wijaya. Aku mengenalnya dari kasus-kasus sebelumnya. Dia bukan tipe yang sembarangan menulis tanpa bukti. Kalau namamu ada di sini, pasti ada alasannya."

Aku membaca ulang kalimat-kalimat dalam artikel itu, berusaha mencari kejanggalan. Satu bagian menarik perhatianku:

Di lokasi kejadian, polisi menemukan sebuah lukisan tanpa wajah yang sebelumnya dikabarkan sebagai bagian dari koleksi pribadi korban. Lukisan ini, yang hingga kini belum diketahui asal-usulnya, disebut-sebut memiliki kaitan dengan kasus pembunuhan kolektor seni di masa lalu.

Kepalaku berdenyut hebat. Ini bukan sekadar berita palsu. Ini adalah bayangan dari sesuatu yang lebih dalam—sebuah teka-teki yang belum aku pahami sepenuhnya.

Arman bersandar ke kursi, menyilangkan tangan di dadanya. "Kita perlu bicara dengan Farah."

Aku menatapnya, masih berusaha memahami semuanya. "Jika ini bukan kesalahan, dan namaku benar-benar ada dalam artikel ini... apa artinya?"

Arman menghela napas panjang. "Artinya, seseorang ingin kau menemukan sesuatu. Atau lebih buruk lagi, seseorang ingin memastikan kau mengingat sesuatu yang sudah lama terkubur."

Aku menelan ludah. Pikiranku berputar-putar, menghubungkan titik-titik yang masih samar. Lukisan itu, pembunuhan ayahku, dan sekarang sebuah berita tentang kematianku sendiri.

Satu hal yang pasti: ini bukan akhir dari misteri. Ini baru permulaan.

Bersambung..

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #4 Bayangan di Masa Lalu [Cerita Misteri]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #6 Misteri Kotak Bekal yang Hilang

Misteri Kotak Bekal yang Hilang

Pagi masih muda, tapi hiruk-pikuk sekolah sudah seperti pasar tiban. Kaki-kaki kecil berlarian di lorong kelas, suara obrolan bercampur tawa bersahutan, seperti orkestra tanpa konduktor. Udara bercampur aroma seragam yang masih basah kena setrikaan ibu-ibu semalam, dan sisa embun yang malas menguap di lapangan sekolah. Di antara semua keriuhan itu, Asri duduk di bangkunya dengan raut wajah tak biasa. Ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang lebih penting dari PR Matematika yang kemarin hampir membuatnya mati berdiri di depan kelas.

Kotak bekalnya.

Asri mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Tasnya sudah dibongkar tiga kali, laci meja juga diperiksa ulang. Nihil. Kotak bekal berwarna hijau terang dengan stiker karakter kesayangannya lenyap entah ke mana.

Rini yang duduk di sebelahnya menatap heran. "Kenapa, As? Kok kayak kehilangan separuh nyawa?"

"Kotak bekalku hilang, Rin. Padahal tadi pagi aku yakin banget naruhnya di tas."

Adit yang baru saja duduk ikut menimpali. "Siapa tahu ketinggalan di rumah?"

Asri menggeleng kuat. "Nggak mungkin, Dit. Aku bahkan bisa membayangkan betapa indahnya nasi goreng buatan ibu tadi pagi, lengkap dengan telur dadar yang dikerat tipis-tipis kayak di restoran. Mana mungkin aku lupa naruh?"

Mata Rini menyipit. "Kalau nggak ketinggalan di rumah, berarti… hilang di sekolah?"

Asri dan Adit saling berpandangan. Hilang di sekolah? Ini bukan sekadar kasus kehilangan barang biasa. Ini adalah kasus besar. Kasus yang harus dipecahkan sebelum jam istirahat tiba. Sebab, jam istirahat tanpa kotak bekal sama saja seperti pelajaran tanpa bel pulang—menyiksa.

"Baiklah," kata Asri akhirnya, memasang ekspresi seperti detektif yang baru saja mengambil kasus terbesarnya. "Kita harus cari tahu siapa pelakunya."

Adit mengangkat tangan. "Tunggu. Kenapa kita langsung mikir ini dicuri? Bisa aja jatuh atau tertukar."

"Coba pikir, Dit. Kalau jatuh, pasti ada yang lihat. Kalau tertukar, harusnya ada yang ngaku. Tapi sampai sekarang, kotak bekalku masih nggak ada. Ini pasti ulah seseorang."

Rini menyandarkan dagu di tangannya. "Jadi kita mulai dari mana?"

Asri menatap sekeliling kelas. Wajah-wajah polos teman-temannya kini berubah menjadi tersangka potensial dalam kepalanya. Lalu matanya tertumbuk pada satu sosok di pojokan kelas. Bowo.

Si kutu buku ini memang dikenal jenius dalam urusan pelajaran. Tapi di balik kejeniusannya, ada kebiasaan yang mencurigakan: dia sering membawa bekal, tapi jarang terlihat benar-benar makan. Bisa jadi, ini bagian dari rencananya selama ini.

"Bowo," panggil Asri, mendekati meja sang jenius.

Bowo menatapnya dari balik kacamatanya. "Kenapa, As? Ada soal Matematika yang nggak kamu mengerti lagi?"

"Bukan. Ini lebih serius. Kotak bekalku hilang."

Bowo mengangkat alis. "Dan kamu pikir aku yang ambil?"

"Kamu selalu bawa bekal, tapi aku jarang lihat kamu makan. Ini bukti pertama."

"Bekalku nggak hilang, jadi aku nggak perlu mencuri bekal orang lain. Itu bukti pertama versiku," balas Bowo santai.

Asri mendecak. Oke, target pertama lolos dari kecurigaan.

Rini yang sejak tadi diam akhirnya bersuara, "Gimana kalau kita cari di tempat-tempat yang nggak terduga? Misalnya, di ruang guru, kantin, atau bahkan di kelas lain? Bisa aja seseorang nemu kotak bekalmu dan lupa balikin."

"Setuju," kata Asri. "Ayo kita mulai investigasi."

Mereka bertiga berpencar. Adit ke kantin, Rini ke ruang guru, dan Asri menyisir lorong kelas. Ia bertanya ke beberapa teman, tapi tak ada yang melihat bekalnya. Sampai akhirnya, di dekat rak sepatu, ia melihat sesuatu yang familiar—sebuah tutup hijau dengan stiker karakter yang dikenalnya.

Dengan langkah cepat, Asri menghampiri. Itu benar-benar tutup kotak bekalnya! Tapi anehnya, kotaknya sendiri tidak ada.

"Hei, kalian! Sini! Aku nemu sesuatu!" serunya memanggil Rini dan Adit.

Mereka segera berkumpul. "Lho, kok cuma tutupnya? Mana kotaknya?" tanya Rini.

Adit mengangkat tutupnya, mengamatinya dengan seksama. "Ini nggak sengaja jatuh atau sengaja disembunyikan?"

Asri menatap sekeliling. "Kayaknya ada yang mau bikin aku panik. Tapi siapa? Dan kenapa?"

Saat mereka bertiga masih berpikir keras, tiba-tiba terdengar suara tawa pelan dari belakang rak sepatu. Tawa yang khas, seperti seseorang yang menikmati keusilan yang baru saja diperbuat.

Mereka bertiga saling berpandangan. Tanpa berkata-kata, mereka bergerak ke belakang rak sepatu, dan di sana, berjongkok dengan wajah penuh kemenangan, adalah... Dono.

Si tukang jahil kelas. Tangannya masih menggenggam kotak bekal Asri yang terbuka, isinya sudah setengah habis.

"Dono!" teriak Asri, setengah marah, setengah tak percaya.

Dono nyengir, mulutnya masih penuh dengan nasi goreng. "As, enak banget bekalmu. Coba tiap hari bawa lebih ya?"

Asri mendengus, sementara Rini menepuk jidat dan Adit hanya bisa geleng-geleng kepala. Misteri ini akhirnya terpecahkan. Dan meskipun ia berhasil mendapatkan kembali kotak bekalnya, Asri sadar satu hal:

Di sekolah ini, ada yang lebih berat dari PR Matematika.

Yakni, menjaga bekal tetap utuh sampai jam istirahat.

Bersambung....


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #5 Sekolah Itu Berat, Lebih Berat Lagi PR-nya

Sekolah Itu Berat, Lebih Berat Lagi PR-nya

Pagi yang biasa, matahari naik setengah malas di ufuk timur, menyinari ubin-ubin sekolah dasar yang entah kenapa selalu terlihat kusam meski tiap pagi disapu Pak Slamet. Angin pagi menyelinap masuk dari celah jendela kelas, menggoda buku-buku tulis yang dibiarkan terbuka di meja. Suara ayam dari kandang belakang kantin kadang menyelinap, bersahutan dengan bel sekolah yang suaranya mirip toa masjid.

Asri duduk di bangku paling belakang, sandaran kursinya dimiringkan sedikit ke belakang, kakinya selonjor di bawah meja. Matanya masih setengah mengantuk, rambut acak-acakan.

"Kalian udah ngerjain PR Matematika?" suara Rini tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

Asri mengerjapkan mata, menoleh ke kanan-kiri, mencari siapa yang ditanya. Tapi tatapan Rini jelas tertuju padanya.

"PR?" Asri mengulang kata itu, seperti seorang filsuf yang sedang mempertanyakan makna hidup.

"Iya, PR. Yang 10 soal itu loh," kata Rini, mulai gemas.

Asri masih diam. Otaknya berusaha mengakses ingatan terakhir tentang PR itu, tapi yang muncul justru ingatan tentang semalam, saat dia ketiduran dengan posisi tengkurap di meja belajar, sementara pensil masih terselip di antara jari-jari.

Rini menghela napas panjang. "As, jangan bilang kamu lupa."

"Nggak lupa, aku cuman... belum ngerjain," jawab Asri santai.

"ASTAGA! Ini PR Matematika, As! Miss Diah nggak main-main kalau ada yang nggak ngerjain."

Asri menggaruk kepala. Ya, dia tahu betul bagaimana Miss Diah kalau sudah urusan PR. Guru killer se-Indonesia pun mungkin bisa minder kalau melihat cara Miss Diah menangani murid-muridnya yang tidak mengerjakan tugas.

"Kita harus nemuin solusi," kata Adit, yang sejak tadi diam saja tapi sebenarnya mengalami dilema yang sama.

"Solusi apa? Nyontek?" tanya Rini tajam.

Asri melirik jam dinding di depan kelas. Lima belas menit lagi Miss Diah masuk. Waktu yang tersisa hanya cukup untuk satu dari dua pilihan: pasrah atau bergerak cepat. Dan karena pasrah bukan keahlian Asri, maka ia memilih opsi kedua.

"Baiklah," kata Asri akhirnya, dengan ekspresi seperti seorang jenderal yang baru saja memutuskan strategi perang. "Kita harus cari orang yang udah ngerjain PR ini."

"Dan kita salin jawabannya?" tanya Adit penuh harap.

"Bukan, Dit. Kita meyakinkan dia buat ngajarin kita dalam waktu 10 menit."

Adit dan Rini berpandangan. Rencana ini terdengar nyaris mustahil.

Tapi Asri tetap beranjak dari kursinya. "Ayo cari target. Aku yakin ada satu orang yang udah ngerjain PR ini dengan sempurna."

Rini menghela napas. "Kamu pasti mikir tentang..."

"Bener," potong Asri. "Kita cari Bowo."

Mereka bertiga langsung berjalan cepat menuju meja Bowo, sang jenius kelas yang entah bagaimana caranya selalu menyelesaikan PR sebelum matahari terbit. Bowo sedang asyik membaca buku tebal yang isinya lebih banyak angka daripada huruf.

"Bowo, kita butuh bantuan," kata Asri tanpa basa-basi.

Bowo menatap mereka bertiga dengan tatapan curiga. "Jangan bilang kalian belum ngerjain PR?"

Asri, Adit, dan Rini saling berpandangan, lalu mengangguk bersamaan.

Bowo menghela napas panjang, seperti seorang dokter yang baru saja menerima pasien dalam kondisi kritis. "Lima belas menit lagi Miss Diah masuk. Apa yang bisa aku lakukan dalam waktu sesingkat itu?"

Asri berpikir cepat. "Ajari kami konsep dasarnya. Biar kami bisa jawab kalau nanti dipanggil ke depan."

Bowo menatap mereka dengan ekspresi tak percaya. "Kalian pikir belajar Matematika itu kayak belajar lirik lagu? Lima belas menit nggak cukup!"

"Tapi setidaknya lebih baik daripada nggak sama sekali, kan?" kata Rini putus asa.

Bowo menggeleng, lalu menutup bukunya. "Baiklah, ayo ke meja aku."

Dan selama 10 menit berikutnya, mereka bertiga mengalami pelajaran Matematika paling intens dalam sejarah hidup mereka. Bowo menjelaskan cepat, nyaris seperti komentator sepak bola yang berusaha meringkas 90 menit pertandingan dalam satu kalimat.

Saat bel berbunyi, Miss Diah masuk dengan langkah tegas, wajahnya penuh wibawa. "Oke, anak-anak, keluarkan PR kalian."

Asri melirik Rini dan Adit. Keringat dingin sudah membasahi dahi mereka. Buku tulis mereka terbuka, angka-angka dan rumus-rumus yang baru saja mereka salin dari papan catatan Bowo terasa seperti mantra tak dikenal.

Miss Diah melirik ke seluruh kelas. "Asri, maju ke depan."

Deg.

Asri menelan ludah. Ini dia saatnya. Apakah ia berhasil menyerap ilmu kilat dari Bowo? Atau ia akan menjadi korban berikutnya dari kekejaman PR Matematika?

Asri melangkah pelan ke depan kelas, sementara teman-temannya menahan napas.

"Coba jawab soal nomor 7," kata Miss Diah, menunjuk angka-angka di papan tulis.

Asri mengambil kapur. Tangannya sedikit gemetar. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam.

Dan saat ia membuka mata, otaknya mengakses satu memori penting dari penjelasan Bowo tadi. Tiba-tiba, ia mengerti.

Tangannya bergerak, menuliskan angka-angka di papan tulis.

Dan ketika ia selesai...

Miss Diah tersenyum. "Bagus, Asri. Jawabanmu benar."

Kelas langsung gempar. Rini menepuk dahinya, Adit hampir tersedak air liur sendiri. Sementara Bowo di belakang hanya mengangguk kecil, puas.

Asri menoleh ke arah teman-temannya dan mengedipkan mata.

Kadang, sekolah itu berat.

Tapi lebih berat lagi kalau PR-nya nggak dikerjain.


Bersambung...


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #4 Duel di Pojok Kantin

Duel di Pojok Kantin

Siang itu, matahari seperti sedang mendidihkan seluruh halaman sekolah. Udara bergetar, aspal di depan kantin seakan mengeluarkan uap tipis yang melayang malas. Tapi di pojok kantin, suasana jauh lebih panas dari siang yang melelehkan.

Dua anak laki-laki berdiri berhadapan, saling tatap, saling tantang. Adit, dengan kacamatanya yang sedikit miring karena keringat, menggertakkan giginya. Jono, dengan tangan yang bersedekap dan mulutnya menyeringai, berdiri penuh kemenangan seolah ini bukan sekadar urusan tahu isi terakhir, tapi soal harga diri dan kebanggaan.

Anak-anak lain mulai berkumpul di sekeliling mereka, membentuk lingkaran kecil yang tak terlalu rapat, memberi ruang cukup bagi dua petarung ini untuk beradu kehormatan.

"As, dengkulku mulai gemetar ini," bisik Rini.

Asri mengusap peluh di tengkuknya. "Aku juga. bukan aku yang bertarung, jadi kenapa aku deg-degan?"

Bu Sarti, sang penguasa kantin, akhirnya melangkah ke tengah arena. Langkahnya mantap, penuh wibawa. Di balik kacamatanya yang tebal, matanya menatap anak-anak ini dengan tajam, seperti seorang hakim di persidangan paling penting abad ini.

"Wis-wis, opo to sing diributke?" suaranya berat. 

Adit menunjuk etalase kaca.

"Tahu isi terakhir, Bu."

Jono menimpali, "Aku yang mau beli!"

"Tapi aku yang antre duluan!"

Langit yang tadi biru, kini terasa makin menekan. Seketika kantin menjadi tempat yang sunyi. Bahkan suara kipas angin tua di sudut dinding yang biasanya berderit-derit seperti nenek renta, kini terdengar lebih lambat.

Mata-mata anak-anak lain berbinar, bukan karena kasihan atau peduli, tapi karena mereka tahu, ini bukan lagi soal tahu isi semata. Ini adalah duel yang akan dikenang turun-temurun, diceritakan dengan gaya berlebihan kepada angkatan-angkatan mendatang.

Lalu, Rini, si pemilik ide gila, melangkah ke depan.

"As, aku punya ide," katanya dengan mata berbinar-binar seperti ilmuwan yang baru saja menemukan teori revolusioner.

"Kenapa ya aku selalu takut kalau kamu bilang begitu?"

Tapi sudah terlambat. Rini sudah berdiri di tengah-tengah, tangannya terangkat seperti seorang wasit yang hendak memulai pertandingan.

"Baiklah, semua! Daripada ribut-ribut nggak jelas, kita adakan duel adu kuat buat menentukan siapa yang paling pantas mendapatkan tahu isi terakhir ini!"

Sorakan terdengar. Beberapa anak langsung semangat, seolah baru saja mendapat tontonan gratis yang lebih seru daripada sinetron laga di TV sore.

Jono menyeringai. "Adu kuat? Hah! Aku pasti menang!"

Adit menyesuaikan kacamatanya. "Kalau pertandingannya adil, aku tidak akan mundur!"

"As, ini akan jadi eksperimen sosial yang menarik," bisik Rini, suaranya penuh semangat.

"Halah, ini akan jadi caraku masuk ruang BP," balas Asri, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Mereka berdua akhirnya duduk berhadapan di bangku panjang kantin. Meja kayu tua di antara mereka sudah siap menjadi arena pertempuran.

Matahari dari jendela kantin menyorot ke atas permukaan meja yang sudah mulai lapuk, memberikan efek dramatis. Seseorang bahkan mulai menabuh meja, menciptakan suara drumroll murahan yang menambah ketegangan.

"SIAP… MULAI!"

Tangan mereka bertaut. Otot-otot Jono menegang, urat di dahinya mulai muncul. Adit menahan dorongan dengan susah payah, giginya menggertak, tapi matanya penuh perlawanan.

Dorongan pertama, meja sedikit bergetar.

Dorongan kedua, keringat mulai menetes.

Dorongan ketiga…

BRAK!

Adit kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjungkal ke belakang, tangannya meraih udara kosong. Dan dalam satu kejadian yang akan diceritakan ulang selama bertahun-tahun kemudian…

GUBRAK!

Meja tempat etalase gorengan berdiri bergoyang hebat. Gelas-gelas plastik jatuh berhamburan. Minyak dari penggorengan memercik.

Dan tahu isi yang menjadi rebutan?

Ia terbang.

Seperti dalam adegan slow motion film laga, tahu isi itu melayang di udara, berputar sekali, dua kali, tiga kali. Waktu terasa berhenti. Semua mata mengikuti perjalanannya, dari satu sudut ke sudut lain.

Lalu…

PLUK!

Tahu isi itu mendarat dengan sempurna di atas kepala Bu Sarti.

Sunyi.

Semua anak membeku di tempat. Bahkan jangkrik di kebun belakang sekolah pun sepertinya sadar untuk tidak berbunyi.

Bu Sarti, dengan minyak tahu menetes pelan dari dahinya, menghela napas. Tangannya bergerak perlahan, mengambil tahu isi dari kepalanya.

"As, aku takut," bisik Rini.

Asri hanya menelan ludah.

Lalu, dalam gerakan yang sangat pelan dan penuh wibawa, Bu Sarti menatap mereka semua satu per satu.

"As, ini saatnya kita kabur," kata Rini, suaranya hampir seperti doa yang putus asa.

Dan tanpa menunggu lebih lama, mereka semua serentak berlari seperti dikejar genderuwo. Kantin mendadak sepi, hanya menyisakan Bu Sarti yang berdiri kaku dengan tahu isi di tangannya.

Dari kejauhan, terdengar suara beratnya bergema pelan.

"Anak-anak jaman saiki…"

Dan begitulah, kisah tentang duel di pojok kantin menjadi legenda, yang akan diceritakan berulang kali oleh generasi mendatang.

Bersambung...


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #4 Bayangan di Masa Lalu [Cerita Misteri]

Bayangan di Masa Lalu

Hujan yang tak kunjung reda menciptakan irama monoton, mengiringi derasnya aliran air di kaca jendela. Siluet samar terbentuk, berkombinasi dengan kelamnya malam, menghadirkan atmosfer muram yang membaur dengan ruang kerja yang diselimuti redupnya cahaya lampu. Di atas meja kayu berlapis debu, berserakan lembaran-lembaran kertas tua, seakan menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Aku duduk diam, memandangi foto yang Arman serahkan padaku malam itu.

Gambar itu menampilkan sebuah kamar berantakan. Garis polisi masih dapat disingkap samar di atas lantai kayu yang tampak lusuh. Tepat di tengah ruangan, lukisan tanpa wajah menggantung di dinding, seolah menjadi saksi tak bersuara dari tragedi yang telah lama terkubur dalam sejarah. Semakin lama aku menelusuri setiap detail dalam foto itu, semakin kuat sensasi familiar yang mengusikku—sesuatu yang begitu dekat, namun tetap sulit kugapai dalam ingatan.

Aku memejamkan mata, berusaha menggali masa lalu. Namun, sama seperti sebelumnya, segala ingatan itu masih terselubung kabut yang pekat, menutupi akses menuju kebenaran yang entah bagaimana terasa begitu esensial. Aku meremas wajah dengan kedua tangan, merasakan denyut yang perlahan menjalar di pelipis.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunanku. Kali ini lebih lembut, seakan tak ingin mengganggu. Dengan enggan, aku bangkit dari kursi, langkahku terasa berat menuju pintu. Saat membukanya, Arman berdiri di sana, ekspresinya lebih serius dari sebelumnya.

"Aku menemukan sesuatu lagi," ucapnya tanpa basa-basi. Ia melangkah masuk dan meletakkan sebuah map besar di atas meja ruang tamu. Aku mengikuti dengan tatapan penuh tanya, detak jantungku semakin tak beraturan.

"Apa ini?" tanyaku, mencoba menjaga ketenangan.

Tanpa berkata banyak, Arman membuka map tersebut, memperlihatkan dokumen-dokumen fotokopi yang tampak usang. Ada laporan forensik, artikel koran, hingga sketsa detail tempat kejadian perkara yang lebih komprehensif dibandingkan foto yang sebelumnya ia tunjukkan kepadaku.

"Ini laporan investigasi kasus tahun 1998," tuturnya, menunjuk satu halaman yang tampak lebih lapuk dibandingkan yang lain. "Pembunuhan seorang kolektor seni bernama Agung Baskara. Nama ini terdengar familiar bagimu?"

Aku terpaku. Baskara—nama keluargaku. Seketika tenggorokanku mengering, jemariku gemetar saat meraih dokumen itu.

"Agung Baskara... siapa dia?" suaraku bergetar.

Arman menghela napas panjang sebelum menjawab. "Dia ayahmu, Leo."

Dunia seolah berputar di sekelilingku. Seumur hidup, aku tidak pernah memiliki ingatan tentang ayahku. Ibuku jarang membicarakannya, seakan-akan sosok itu telah lenyap tanpa jejak. Kini, kenyataan itu menghantamku dengan keras, menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak pernah terlintas dalam benakku.

"Ayahku... dibunuh?" Aku nyaris tak mampu mengucapkan kata-kata itu.

Arman mengangguk pelan. "Dan lukisan tanpa wajah itu ditemukan di kamar tempat kejadian perkara. Kau mengerti maksudnya, bukan? Ini bukan kebetulan."

Aku merasa lemas, jatuh terduduk di kursi. Pikiranku berkecamuk, mencoba merangkai kepingan-kepingan memori yang mungkin tersimpan dalam lipatan bawah sadar. Jika lukisan itu berada di lokasi pembunuhan ayahku, bagaimana bisa akhirnya sampai ke tanganku? Apakah ini hanya bagian dari warisan yang tak berjejak, atau ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi di baliknya?

Aku mengusap pelipis, merasakan denyut nyeri yang semakin terasa menekan. "Jadi, apa langkah kita selanjutnya?"

Arman menyandarkan diri ke sofa, ekspresinya penuh pertimbangan. "Ada seseorang yang mungkin bisa memberi kita jawaban."

Aku menatapnya tajam. "Siapa?"

"Ibumu."

Aku terdiam. Sejak kecil, ibuku selalu menghindari pertanyaan tentang ayahku. Ia memilih diam, seolah ada sesuatu yang harus tetap tersembunyi. Jika memang ada orang yang bisa mengungkap kebenaran ini, maka itu pasti dia. Namun, pertanyaannya adalah: apakah ia akan mau berbicara?

Arman tampaknya bisa membaca kebimbanganku. "Kita tidak punya pilihan lain, Leo. Jika ada yang tahu asal-usul lukisan itu, ibumu pasti salah satunya."

Aku menghela napas panjang, masih berusaha mencerna semuanya. Namun, semakin lama aku menatap foto lukisan tanpa wajah itu, semakin kuat perasaan bahwa kebenaran yang kucari telah lama terkubur.

Aku menatap Arman, mencoba mengumpulkan keberanian. "Besok kita menemui ibu."

Arman mengangguk, lalu berdiri. "Baik. Aku akan menghubungi beberapa pihak yang mungkin bisa membantu kita memahami kasus ini lebih dalam. Kau butuh istirahat, Leo. Perjalanan ini akan semakin berat."

Aku hanya bisa mengangguk, meskipun aku tahu malam ini aku tak akan bisa memejamkan mata dengan tenang. Babak baru telah dimulai, dan aku tidak yakin apakah aku siap menghadapi bayangan masa lalu yang telah lama mengintai dari kegelapan.


Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #3 Kunjungan yang Tak Terduga [Cerita Mister]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #5 Berita Pembunuhan [Cerita Misteri]


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #3 Kunjungan yang Tak Terduga [Cerita Mister]

Kunjungan yang Tak Terduga

Ketukan di pintu menggema di antara dinding rumahku yang sepi, menciptakan ritme samar yang berpadu dengan gemericik hujan di luar. Aku baru saja menuangkan segelas anggur merah, aroma buahnya bercampur dengan udara lembap yang menyusup dari celah jendela. Langit kelabu menggantung rendah, membebani atmosfer dengan kesan muram. Ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah menanti sesuatu yang tak terduga.

Aku menatap pintu dengan ragu. Jarang ada tamu yang datang tanpa pemberitahuan, terlebih di malam seperti ini. Dengan langkah perlahan, aku menuju ke pintu, melewati bayangan lampu yang memantul di lantai marmer dingin. Tanganku menyentuh kenop pintu, merasakan sensasi dinginnya sebelum akhirnya membuka celah kecil.

Sosok pria berdiri di ambang pintu, mantel gelapnya basah, rambutnya acak karena gerimis. Tatapannya menyiratkan keseriusan yang sulit diabaikan. Setetes air jatuh dari ujung rambutnya, menciptakan noda kecil di lantai kayu.

"Leonard," sapanya, suaranya berat, sedikit ragu, tetapi juga penuh dorongan.

Aku mengangkat alis, terkejut. "Arman? Kau tidak bilang akan datang. Bukankah kita akan beretemu besok sore."

"Aku harus bicara denganmu. Bolehkah aku masuk?"

Aku mempertimbangkan sejenak, lalu membuka pintu lebih lebar. "Masuklah."

Arman melangkah masuk, melepas mantelnya dan menggantungnya di dekat pintu. Aku menunjuk ke sofa di ruang tamu. "Duduklah. Mau minum sesuatu? Kopi? Teh? Atau anggur?"

"Kopi saja," jawabnya, mengusap wajahnya yang tampak lelah. Aku berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan kopi, sesekali melirik ke arahnya. Dia tampak gelisah, tangannya bermain-main dengan kain celana, matanya menelusuri ruangan dengan tatapan tajam, seakan mencari sesuatu. Api di perapian yang sejak sore menyala berderak pelan, mengeluarkan suara kayu yang retak terbakar.

Aku kembali dengan dua cangkir kopi, meletakkan salah satunya di depannya. "Jadi, apa yang membawamu ke sini?"

Dia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Ini tentang lukisan itu."

Aku menegang. Jari-jariku mencengkeram gagang cangkir sedikit lebih erat. "Apa maksudmu?"

Arman merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan amplop cokelat tua. Kertas-kertas di dalamnya tampak rapuh, kekuningan, seolah menyimpan rahasia yang telah terkubur lama.

"Aku menemukan ini di arsip galeri tempatku bekerja. Lukisan tanpa wajah yang ada di rumahmu—aku rasa aku tahu asalnya."

Aku mengambil lembaran itu dengan hati-hati, mataku menelusuri tiap baris tulisan. Denyut nadiku meningkat saat aku menyadari apa yang tertulis di sana.

Sebuah laporan polisi. Tahun 1998. Sebuah lukisan anonim ditemukan di tempat kejadian pembunuhan. Korban tergeletak di kamar tidurnya, dengan bercak darah yang mengotori sudut kanvas lukisan itu.

Aku menatap Arman, keterkejutan jelas tergambar di wajahku. "Ini... tidak mungkin. Bagaimana bisa lukisan itu ada di rumahku? Aku tidak pernah membeli sesuatu seperti ini di lelang mana pun."

Arman menyandarkan tubuhnya ke sofa, wajahnya tegang. "Itulah yang membuatku curiga. Setelah kasus itu ditutup, tidak ada catatan tentang pemilik baru lukisan ini. Seolah-olah ia menghilang... dan entah bagaimana, kini ada di rumahmu."

Sebuah sensasi dingin merayap di tengkukku. Aku mengingat malam-malam tanpa tidur, kegelisahan yang semakin parah, dan sensasi aneh yang selalu kurasakan setiap kali menatap lukisan itu. Aku mengalihkan pandanganku ke ruang kerjaku, di mana lukisan itu tergantung. Cahaya lampu gantung membuat permukaannya tampak berkilau, goresan-goresan catnya kasar, seolah memiliki nyawa sendiri.

"Leonard, aku tahu ini terdengar gila..." suara Arman terdengar lebih pelan, nyaris berbisik. "Tapi aku harus bertanya. Pernahkah kau merasa ada sesuatu yang salah dengan lukisan itu?"

Aku menelan ludah. "Aku... sering terbangun di depannya tanpa mengingat bagaimana aku sampai di sana. Aku merasa ada sesuatu yang berubah di kanvasnya, tapi setiap kali aku mencoba mengingat, semuanya terasa kabur."

Arman menatapku tajam. "Aku rasa ini lebih dari sekadar kebetulan, Leo. Ada sesuatu yang menghubungkan kau, lukisan itu, dan masa lalu yang mungkin telah kau lupakan."

Kata-katanya menggema di pikiranku. Aku kembali menatap lukisan itu, yang tergantung di dinding ruang kerjaku, seakan menantangku untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi di dalamnya.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Apa yang harus kita lakukan?"

Arman mengeluarkan foto lama dari dalam tasnya. "Aku juga menemukan ini. Foto dari tempat kejadian perkara tahun 1998. Perhatikan baik-baik."

Aku mengambil foto itu dengan tangan gemetar. Sebuah kamar berantakan, garis polisi masih samar terlihat di lantainya. Dan di tengah ruangan, tergantung di dinding, adalah lukisan yang sama yang kini ada di rumahku.

Aku menatap foto itu, lalu menoleh ke arah lukisan yang tergantung di ruang kerjaku. Seolah-olah jarak waktu dua dekade menghilang, dan sesuatu yang dingin menjalari tulangku.

Di luar, angin berembus lebih kencang, membuat jendela bergetar pelan. Api di perapian meredup, seolah bereaksi terhadap atmosfer yang semakin mencekam.

"Ini tidak mungkin..." bisikku.

Arman menatapku dengan ekspresi serius. "Aku rasa kita harus menggali lebih dalam. Itu berarti kita harus menyelidiki masa lalumu."

Aku tidak bisa menjawab. Yang bisa kulakukan hanyalah menatap lukisan itu—lukisan tanpa wajah, yang kini terasa lebih hidup dari sebelumnya.


Bersambung...

Asri SI BOCAH TENGIL #3 Rencana Besar di Kantin

Rencana Besar di Kantin

Bel istirahat baru saja berbunyi, dan seperti sekawanan burung merpati yang dilepas dari sangkar, murid-murid berhamburan keluar kelas. Beberapa langsung berlari ke kantin, yang lain memilih duduk di bawah pohon, mengobrol sambil menikmati semilir angin siang.

Di antara kerumunan itu, dua bocah perempuan berjalan dengan langkah penuh semangat. Asri dan Rini.

"Aku masih nggak yakin sama rencana ini, Rin," kata Asri sambil menatap sahabatnya dengan penuh curiga.

Rini tersenyum lebar. "Percaya aja, As! Ini bakal berhasil!"

Asri menghela napas. Setiap kali Rini bilang "ini bakal berhasil", justru itu adalah tanda bahwa mereka akan terlibat dalam sesuatu yang entah konyol atau berbahaya.

Mereka sampai di kantin, sebuah bangunan kecil dengan atap seng yang sudah mulai berkarat di beberapa bagian. Meja-meja kayu panjang berjajar di depannya, dipenuhi anak-anak yang sibuk mengunyah gorengan, nasi kuning, atau es lilin yang dibeli dari gerobak dekat gerbang sekolah.

Di balik etalase kaca yang penuh dengan risoles, tahu isi, dan lemper, Bu Sarti—penjaga kantin yang dikenal murah senyum tapi tegas soal utang—sedang sibuk melayani anak-anak yang antre.

"Asri, Rini! Mau beli apa?" tanyanya ramah.

Rini menyenggol Asri pelan. "Tenang. Biarkan aku yang bicara."

Asri hanya bisa menelan ludah.

Rini melangkah maju, bersandar di etalase dengan gaya seperti seorang negosiator ulung.

"Bu Sarti, hari ini kami nggak bawa uang jajan," katanya dengan suara penuh percaya diri.

Bu Sarti menaikkan alis. "Terus mau utang?"

Rini mengangkat tangan. "Oh, tentu tidak, Bu. Kami punya proposal yang lebih menarik!"

Bu Sarti menatapnya curiga. "Proposal opo meneh iki?"

Asri sudah mulai merasa tidak enak.

Rini menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara dengan nada dramatis, seperti seorang politikus yang sedang berpidato di depan rakyatnya.

"Begini, Bu. Kami tahu bahwa kantin ini terkenal dengan gorengannya yang renyah, es lilinnya yang segar, dan suasana yang nyaman. Tapi ada satu masalah besar!"

Bu Sarti melipat tangan di dada. "Masalah opo?"

"Marketing, Bu! Promosi! Branding!" Rini mengayunkan tangannya ke udara, seakan kata-katanya punya kekuatan sihir. "Coba pikir, kalau kantin ini punya lebih banyak pelanggan, keuntungan pasti meningkat, kan?"

Bu Sarti menyipitkan mata. "Terus kowe loro iki arep ngopo?"

Asri memandang Rini dengan wajah penuh kepasrahan.

Rini tersenyum. "Kami menawarkan jasa promosi, Bu! Kami akan berkeliling sekolah, merekomendasikan kantin ini ke semua murid. Kami bisa bikin slogan, kampanye mulut ke mulut, bahkan kalau perlu kami bisa bikin yel-yel!"

Asri langsung menoleh ke Rini dengan ekspresi kaget. "Hah?!? Yel-yel?!? Sejak kapan?!?"

Rini mengabaikannya dan terus melanjutkan. "Sebagai imbalannya, kami hanya minta satu gorengan dan satu es lilin setiap hari selama seminggu. Gimana, Bu?"

Bu Sarti terdiam.

Asri menahan napas.

Rini masih tersenyum.

Hening.

Lalu Bu Sarti tertawa. Bukan tawa geli atau senang, tapi tawa khas seorang ibu yang sudah terlalu paham dengan kelakuan anak-anak macam mereka.

"Kowe loro iki pinter tenan, yo!" katanya sambil menggeleng. "Tapi maaf, aku nggak butuh promosi. Wong kantinku sudah laris dari dulu."

Rini terbelalak. "T-tapi Bu, ini kesempatan emas! Dengan strategi pemasaran yang tepat, kantin ini bisa jadi kantin nomor satu se-Kotagede!"

Bu Sarti terkekeh. "Wis, nggak usah neko-neko. Kalau pengin gorengan, ya bayar. Ora bayar, ora mangan."

Asri menghembuskan napas lega. Setidaknya kali ini mereka tidak berakhir dihukum seperti waktu mereka mencoba bisnis jualan kertas contekan minggu lalu.

Rini masih terlihat kecewa, tapi akhirnya ia menyerah. "Ya udahlah… Kalau gitu, kita cari cara lain buat makan gratis."

Asri langsung panik. "Rin, plis, nggak usah cari perkara lagi!"

Tapi sebelum mereka bisa berdiskusi lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah meja pojok kantin.

"Aku duluan yang mau beli!"

"Bukannya aku dulu yang antre?!"

Asri dan Rini menoleh. Di sana, dua anak laki-laki sedang berdebat sengit. Yang satu berkacamata dengan raut wajah serius—Adit. Yang satu lagi berbadan lebih besar dengan rambut cepak—Jono, anak kelas sebelah yang terkenal suka cari gara-gara.

"Eh, eh, ada ribut-ribut!" bisik Asri penuh semangat.

Rini mengangguk. "Seru nih! Ayo kita tonton!"

Mereka berdua buru-buru mendekat, tanpa tahu bahwa kejadian ini akan membawa mereka ke dalam masalah baru… lagi.

Bersambung…




Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #2 Kakakku Galak Banget!

Kakakku Galak Banget!

Matahari mulai naik, sinarnya menyapu dedaunan yang masih basah oleh embun. Di pinggir jalan, pedagang bubur ayam sudah mulai berteriak menawarkan dagangannya, sesekali mengaduk buburnya dengan gerakan cepat dan penuh pengalaman. Sementara itu, di trotoar kecil dekat sekolah, Asri masih sibuk membersihkan rumput yang menempel di seragamnya.

"Ayo cepet, nanti telat!" bentak Tari sambil menahan tawa.

"As— Astaghfirullah… Aku tadi jatuh lho, Kak. Luka batinku lebih dalam daripada luka fisikku," kata Asri dengan dramatis.

Tari hanya menggeleng dan kembali mengayuh sepedanya, meninggalkan Asri yang masih berdiri di pinggir jalan. Dengan tergopoh-gopoh, Asri buru-buru menaiki sepedanya dan menyusul.

Begitu sampai di gerbang sekolah, seorang satpam berbadan besar dengan kumis tebal berdiri di depan pintu masuk, tangan menyilang di dada. Namanya Pak Dul, penjaga sekolah yang terkenal galak kalau urusan keterlambatan.

"Jam piro iki?" tanyanya dengan suara dalam.

Tari buru-buru melihat jam di tangannya. "Masih jam tujuh kurang lima, Pak!"

Pak Dul mengangguk. "Oke. Masuk."

Mereka berdua mengayuh sepeda ke parkiran, lalu bergegas masuk kelas. Di depan pintu kelas 5B, sudah ada beberapa teman Asri yang sedang ngobrol. Salah satunya adalah Adit, bocah tinggi berkacamata yang selalu membawa buku kemana-mana.

"Kowe ngopo, As?" tanya Adit begitu melihat rambut Asri yang masih penuh dedaunan kecil.

Asri menarik nafas panjang, lalu mengembuskannya dramatis. "Aku tadi jatuh, Dit. Tragis. Kejadian yang akan kuceritakan ke anak-cucuku nanti."

Adit hanya tertawa kecil, lalu berjalan masuk ke dalam kelas. Sementara itu, seorang bocah perempuan berambut kuncir dua tiba-tiba muncul dari belakang, menepuk bahu Asri dengan semangat.

"Asri! Nanti istirahat, kita ke kantin yuk!" katanya.

Itu Rini, sahabat Asri sejak kelas satu. Anak pedagang bakpia yang selalu punya ide-ide aneh, tapi entah kenapa selalu bisa menyeret Asri untuk ikut dalam kegilaannya.

"Tapi aku belum ada uang jajan, Rin," kata Asri sambil cemberut.

"Tenang! Aku ada ide! Pokoknya ikut aja nanti!" Rini tersenyum misterius.

Asri menelan ludah. Setiap kali Rini bilang "aku ada ide", itu hampir selalu berakhir dengan bencana.

Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, tiba-tiba suara bel berbunyi nyaring. Semua anak segera masuk dan duduk di tempat masing-masing.

Bu Rahayu, wali kelas mereka, masuk dengan wajah serius. Ia guru yang sabar, tapi kalau sudah marah, suaranya bisa bikin kaca jendela bergetar.

"Pagi, anak-anak!" katanya tegas.

"Selamat pagi, Bu!" semua anak menjawab serempak.

"Baik, sebelum kita mulai pelajaran, saya mau mengingatkan bahwa minggu depan ada ulangan matematika. Jadi mulai sekarang, kalian harus belajar lebih giat."

Terdengar keluhan serentak dari seluruh kelas.

"Matematika lagi…" bisik Asri.

"Matematika itu penting, Asri," kata Adit yang duduk di sebelahnya.

"Iya penting, tapi buat siapa? Aku kan nggak mau jadi kalkulator," gerutu Asri.

Bu Rahayu mengetuk meja dengan penggaris, membuat semua anak diam seketika.

"Baik, sekarang kita mulai pelajaran hari ini. Buku kalian sudah siap?"

Seluruh kelas serentak mengeluarkan buku, kecuali satu orang.

Asri merogoh tasnya, mengaduk-aduk isinya dengan panik. Buku matematikanya tidak ada.

"Asri," panggil Bu Rahayu dengan nada berbahaya.

Asri menegakkan badan. "Ehehe… Aku lupa bawa buku, Bu."

Bu Rahayu menatapnya tajam. "Lupa lagi? Minggu lalu juga lupa. Kamu kapan mau belajar disiplin?"

Asri tertawa kecil, mencoba meredakan suasana. "Eee… aku kan anaknya fleksibel, Bu. Disiplin itu berat…"

Seluruh kelas tertawa. Tapi Bu Rahayu tidak.

"Baik, kalau begitu, kamu berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai."

Mata Asri membesar. "Hah?!? Tapi Bu—"

"Atau kamu mau saya suruh mengerjakan soal di papan tulis?"

Asri langsung berdiri tanpa protes. Berdiri di depan kelas lebih baik daripada mengerjakan soal matematika.

Dan begitulah, selama satu jam pelajaran, Asri berdiri di sudut kelas seperti patung, sementara teman-temannya sibuk menyalin rumus dari papan tulis.

Ketika bel istirahat berbunyi, ia langsung berlari kembali ke tempat duduknya dan menoleh ke Rini.

"Oke, Rin. Jadi ide gilamu tadi apa?"

Rini tersenyum lebar. "Ayo ikut ke kantin. Percaya deh, ini bakal seru!"

Asri menelan ludah. Sepertinya, petualangan barunya baru saja dimulai…

Bersambung…


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #2 Bayangan dalam Kanvas [Cerita Misteri]

Bayangan dalam Kanvas

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mengalami insomnia seburuk ini. Sejak perbincangan dengan Arman semalam, pikiranku terus-menerus dipenuhi oleh pertanyaan yang belum terjawab. Kenapa dia tiba-tiba tertarik dengan koleksi lukisanku? Apa yang sebenarnya ingin dia katakan?

Aku menatap cangkir kopi yang sudah dingin di meja. Sejak tadi pagi, aku hanya duduk di ruang kerjaku, mengamati lukisan yang sama—lukisan tanpa wajah yang seolah memiliki rahasia yang enggan diungkap. Aku mencoba mencari makna di dalamnya, mencoba mengingat dari mana aku mendapatkannya, tapi jawabannya terus menghindariku.

Aku menyandarkan tubuh di kursi dan menghela napas panjang. Pikiranku masih tertuju pada kejadian semalam. Kenapa aku terbangun di depan lukisan ini? Aku bukan tipe orang yang sering berjalan dalam tidur, apalagi sampai berdiri diam menatap sesuatu selama berjam-jam. Aku merasakan sensasi tidak nyaman setiap kali menatap lukisan itu lebih lama dari yang seharusnya.

Tapi aku tidak bisa berhenti.

Aku melirik jam di dinding. Masih ada beberapa jam sebelum aku harus bertemu dengan Arman di kafe DeLume. Mungkin aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku. Aku bangkit dari kursi, berjalan ke rak buku, dan mengambil katalog lelang yang kusimpan sejak bertahun-tahun lalu.

Jika aku bisa menemukan asal-usul lukisan ini, mungkin aku bisa memahami kenapa perasaan aneh ini terus menghantuiku.

Aku membuka halaman demi halaman, membaca daftar karya seni yang pernah kubeli. Beberapa lukisan aku ingat dengan jelas; bagaimana aku mendapatkannya, dari siapa, bahkan di mana aku menawarnya. Tapi tidak ada satu pun yang menyebutkan lukisan tanpa wajah itu. Aku mengerutkan kening. Ini aneh.

Aku kembali ke meja kerja, membuka laptop, dan mulai mencari catatan digital dari setiap lelang yang pernah kuikuti. Aku mengetikkan berbagai kata kunci: lukisan tanpa wajah, abstrak, anonim, tapi tidak ada satu pun hasil yang cocok dengan lukisan yang kini tergantung di dinding ruanganku.

Aku menatapnya lagi, merasa ada sesuatu yang luput dari perhatianku. Mungkin aku harus melihatnya lebih dekat.

Aku berdiri dan berjalan ke arah lukisan itu. Semakin dekat, semakin aku merasa ada sesuatu yang berubah. Warna-warna di dalamnya terlihat lebih suram dari biasanya, seolah ada lapisan baru yang muncul dalam kegelapan kanvas. Aku mengangkat tangan dan menyentuh permukaannya. Catnya terasa sedikit kasar, tapi ada bagian tertentu yang terasa lebih halus. Seolah-olah ada sesuatu yang pernah tertutup di sana.

Aku mundur selangkah, mencoba menenangkan detak jantungku yang entah kenapa semakin cepat. Aku merasa seolah sedang menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak kuganggu.

Malam sebelumnya, saat aku berdiri di hadapan lukisan itu, ada kilasan aneh yang muncul dalam benakku. Sebuah lorong panjang, suara langkah kaki, dan aroma cat minyak yang menyengat. Seolah aku pernah berada di suatu tempat yang berhubungan dengan lukisan ini, tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Bayangan itu samar, seperti memori yang telah lama terkubur.

Aku menutup mata, mencoba menggali lebih dalam. Aku ingat ada seseorang yang berbicara kepadaku dalam bisikan—suara itu terdengar akrab, tetapi wajahnya tidak bisa kulihat. “Kau tidak boleh melupakan ini, Leonard,” suara itu berkata. “Lukisan ini… adalah bagian darimu.”

Aku tersentak dan mundur beberapa langkah. Keringat dingin mengalir di pelipisku. Apa yang baru saja kulihat? Apakah itu sekadar ilusi, ataukah ada sesuatu yang benar-benar terkubur dalam ingatanku?

Aku menyalakan laptop kembali dan membuka folder arsip lama yang pernah kupindai dari catatan pribadiku. Ada beberapa potongan koran yang kusimpan—berita tentang berbagai lelang seni yang pernah kuhadiri, wawancara dengan kolektor, hingga laporan-laporan seni yang menarik perhatianku. Saat aku menggulir layar, sebuah artikel dengan tajuk “Tragedi Galeri Senja: Misteri Pembunuhan di Balik Sebuah Lukisan” membuat napasku tertahan.

Tanganku gemetar saat mengklik artikel itu. Mataku membaca setiap kata dengan cepat, dan sebuah foto di dalam artikel membuat dadaku terasa sesak.

Itu adalah ruangan galeri tua, dengan lampu remang-remang dan dinding yang dipenuhi lukisan-lukisan abstrak. Di tengah ruangan, ada sebuah kursi dengan noda darah yang mengering, dan di dinding belakangnya… tergantung sebuah lukisan yang sangat familiar.

Lukisan tanpa wajah.

Aku menatap foto itu dengan ngeri. Ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin lukisan yang ada di rumahku sekarang pernah menjadi saksi bisu dari sebuah pembunuhan? Siapa korban yang ada di ruangan itu?

Aku membaca lebih lanjut. Nama korban disebutkan dalam artikel itu: Damar Baskara, seorang kolektor seni ternama yang ditemukan tewas di depan lukisan yang kini tergantung di rumahku.

Baskara.

Aku merasakan jantungku mencelos. Itu nama keluargaku. Nama belakangku.

Tangan kananku mencengkeram sisi meja, mencoba menyangga tubuhku yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Apakah ini kebetulan? Ataukah ini bagian dari ingatan yang selama ini terhapus dari pikiranku?

Pikiran itu terlalu mengerikan untuk diterima. Jika Damar Baskara memiliki hubungan denganku… apakah mungkin dia adalah—

Aku menutup laptopku dengan cepat, napasku memburu. Aku tidak bisa menerima ini. Aku tidak siap untuk menghadapinya. Namun, jauh di dalam benakku, aku tahu bahwa misteri ini sudah mulai terbuka sedikit demi sedikit.

Aku harus mencari tahu kebenarannya. Tapi di saat yang sama, aku takut akan apa yang mungkin kutemukan.


Bersambung...

LUKISAN TANPA WAJAH #1Lukisan yang Tak Bermakna [Cerita Misteri]

LUKISAN TANPA WAJAH

Lukisan itu selalu menggantung di dinding ruang kerjanya. Sebuah kanvas abstrak tanpa bentuk jelas, tanpa ekspresi, tanpa wajah. Namun, semakin lama dia menatapnya, semakin banyak bayangan yang muncul—bayangan yang tidak seharusnya ada.

Sebagai seorang kolektor seni, ia selalu percaya bahwa setiap lukisan memiliki jiwa. Tapi kali ini, jiwanya sendiri yang perlahan terkoyak. Seiring dengan serangkaian pembunuhan yang terjadi, dia mulai menyadari pola yang tak bisa dijelaskan—semua korban memiliki keterkaitan dengannya, semua kematian mencerminkan adegan dari lukisan dalam koleksinya.

Lukisan yang Tak Bermakna

Aku selalu percaya bahwa seni memiliki jiwa. Setiap sapuan kuas, setiap detail yang tertuang di atas kanvas, menyimpan emosi yang tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada lukisan yang terasa penuh gairah, ada yang memancarkan kesedihan mendalam, dan ada pula yang mengundang ketakutan yang entah dari mana asalnya.

Tapi di antara semua koleksi yang kupajang di ruang kerjaku, ada satu lukisan yang terasa berbeda. Bukan karena teknik atau keindahannya, melainkan karena ia selalu terasa… kosong.

Lukisan itu tergantung di dinding seberang meja kerjaku. Sebuah kanvas besar dengan sapuan warna yang kacau, bentuk yang tak jelas, tanpa sosok, tanpa wajah. Aku bahkan tak ingat dari mana aku mendapatkannya—mungkin hasil lelang bertahun-tahun lalu, atau hadiah dari seseorang yang kini telah kulupakan. Yang pasti, lukisan itu sudah ada di sana sejak lama, terabaikan, seperti benda mati tanpa makna.

Namun akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berubah.

Aku tak tahu pasti kapan perasaan itu dimulai. Mungkin beberapa minggu lalu, ketika aku bangun di tengah malam dan mendapati diriku duduk di depan lukisan itu tanpa tahu bagaimana aku bisa sampai di sana. Atau mungkin lebih lama dari itu, sejak aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang menatap balik dari balik lapisan cat yang kasar.

Aku mengusap wajahku, mencoba mengusir perasaan aneh yang terus mengganggu pikiranku.

Ruangan ini seharusnya menjadi tempat yang paling nyaman bagiku. Cahaya lampu gantung redup menyinari rak-rak kayu berisi berbagai buku seni dan katalog lelang. Di sepanjang dinding, lukisan-lukisan dari berbagai periode sejarah tertata rapi, mulai dari gaya klasik hingga modern. Aroma samar cat minyak bercampur dengan wangi kayu tua dari lantai parquet yang selalu mengeluarkan bunyi pelan setiap kali aku melangkah.

Namun, di ruangan yang seharusnya menjadi surga bagi seorang kolektor seni seperti aku, ada sesuatu yang terasa salah.

Aku kembali menatap lukisan itu. Warna-warna acaknya tampak lebih gelap dari yang kuingat. Apakah ini hanya pantulan cahaya? Atau mataku yang sudah terlalu lelah? Aku mengalihkan pandangan dan menghela napas. Tidak ada gunanya memikirkan hal-hal tak masuk akal.

Saat itulah teleponku berdering, mengusik keheningan yang membungkus ruangan. Aku mengulurkan tangan dan mengambil ponsel di atas meja, melihat sekilas nama yang muncul di layar.

Arman.

Aku terdiam sejenak. Nama itu membawa kembali ingatan yang samar. Arman, teman masa kecilku. Kami tumbuh di lingkungan yang sama, berbagi cerita, berbagi rahasia. Namun seiring waktu, hubungan kami merenggang. Aku yang semakin tenggelam dalam dunia koleksi seniku, dan dia yang memilih jalan berbeda sebagai seorang kurator seni. Kami jarang berbicara, hampir seperti orang asing.

Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku sekarang?

Aku mengangkat telepon. “Halo?”

Suaranya terdengar jelas, meski ada sedikit keraguan dalam nada bicaranya. “Aku di kota. Bisakah kita bertemu?”

Aku mengernyit. “Ada apa?”

“Aku ingin membicarakan sesuatu. Tentang… koleksi lukisanmu.”

Alisku berkerut. “Lukisanku?”

“Ya. Ada sesuatu yang penting. Aku tidak bisa menjelaskan di telepon. Kita bisa bertemu?”

Aku menatap lukisan abstrak di dinding seberang, dan entah kenapa, untuk sesaat aku merasa warnanya tampak lebih pekat dari sebelumnya.

Aku mengangguk, meskipun dia tak bisa melihatnya. “Baiklah. Di mana?”

“Ada kafe baru di dekat galeri tempatku bekerja. Namanya DeLume. Bisa besok sore?”

Aku menghela napas. Aku tidak suka pertemuan spontan seperti ini, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa ini bukan sekadar basa-basi.

“Baik. Besok sore.”

Setelah percakapan berakhir, aku meletakkan ponsel dan kembali menatap lukisan di dinding.

Kenapa Arman tiba-tiba tertarik dengan koleksi lukisanku?

Dan kenapa, di saat yang sama, aku mulai merasa bahwa ada sesuatu dalam ruangan ini yang berubah?

Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu. Ini hanya kebetulan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun malam itu, aku kembali terbangun di tengah malam.

Dan ketika aku sadar, aku sudah berdiri di depan lukisan itu, dengan jantung berdebar kencang tanpa alasan.

Lukisan itu tetap sama. Tidak berubah.

Tapi entah kenapa, kali ini aku merasa bahwa sesuatu… atau seseorang… ada di dalamnya, menatap balik ke arahku.


Bersambung...

Asri SI BOCAH TENGIL #1Kenalan Sama Asri!


Di tengah hiruk-pikuk kehidupan Yogyakarta, Asri, seorang bocah tengil yang selalu bikin onar, menjalani hari-harinya dengan segudang keisengan, petualangan konyol, dan kehangatan keluarga yang penuh drama. Bersama sahabat-sahabatnya, ia menghadapi beragam kejadian seru-dari masalah sekolah, rencana iseng yang sering berujung bencana, hingga pertengkaran kocak dengan kakaknya yang galak. Dalam setiap kekacauan yang ia buat, ada satu hal yang selalu melekat: semangatnya yang tak pernah padam untuk menjalani hidup dengan cara yang paling Asri-bebas, lucu, dan tanpa beban.

Kenalan Sama Asri!

Angin pagi berhembus dari celah jendela yang separuh terbuka, membawa aroma tanah basah yang masih tersisa dari hujan semalam. Langit di atas Yogyakarta masih berwarna biru keunguan, seakan ragu untuk menyambut mentari yang sebentar lagi akan menyala garang di atas kepala. Di kejauhan, ayam jantan mulai bernyanyi, menyusul suara azan Subuh yang baru saja usai.

Tapi di dalam sebuah rumah kecil bercat hijau muda di gang sempit daerah Kotagede, sudah ada satu makhluk yang sejak tadi ribut bukan main.

"Buk! Buk! Kak Tari!"

Suara itu menggelegar seperti petir. Sebuah lemari kayu tua berguncang hebat, nyaris tumbang, seiring dengan tangan kecil yang sibuk mengacak-acak isi di dalamnya. Kaus kaki, buku pelajaran, hingga pita rambut beterbangan keluar, berserakan di lantai.

"Asriiiiiii!!!"

Seorang gadis remaja dengan rambut masih basah keluar dari kamar mandi, wajahnya penuh amarah. Itu Tari, kakak Asri. Yang lahir dua tahun lebih dulu, tapi merasa seolah membawa tanggung jawab menjaga anak satu kampung.

"As— Astaghfirullah, Asri! Apa-apaan kamu ngerusak kamarku?!?"

"Aku nyari kaus kaki, Kak! Punyaku hilang semua!"

"Lha terus, kenapa ngacak-acak kamarku?!? Pikirannya taruh di kepala, bukan di dengkul!"

Tari menarik kerah baju adiknya, menyeret bocah tengil itu keluar dari kamar dengan kasar. Asri menggelepar-gelepar seperti ikan lele yang baru ditangkap dari empang, berusaha melepaskan diri, tapi Tari tak peduli.

Dari dapur, terdengar suara seorang perempuan dengan nada yang sudah terlalu akrab dengan kekacauan semacam ini.

"Asri! Tari! Cepetan sarapan! Kalian mau telat sekolah!"

Asri, yang sudah bebas dari cengkeraman kakaknya, langsung lari ke meja makan. Kursi plastik berwarna biru berdecit ketika ia duduk dengan kasar. Di hadapannya, sepiring nasi goreng mengepul dengan telur ceplok yang kuningnya masih setengah matang.

Ibu datang dengan daster lusuhnya, tangan masih memegang spatula. Matanya menatap Asri penuh curiga.

"Kamu bikin onar lagi, ya?"

Asri pura-pura tak mendengar. Ia sudah menyendok nasi goreng dan mengunyah dengan nikmat. Tari duduk di seberangnya dengan wajah masih merengut.

"Asri ini lho, Bu! Pagi-pagi sudah bikin orang naik darah!"

Asri menelan makanannya cepat-cepat. "Lha salahku apa? Aku cuma nyari kaus kaki!"

"Lha itu yang di kakimu apa?" Tari menunjuk ke bawah meja.

Asri melongok ke bawah. Sepasang kaus kaki biru dengan gambar Doraemon sudah melilit di kakinya.

"Oh… Lha kok udah ada?"

Ibu langsung menepuk dahinya. "Astaghfirullah, Asri! Pagi-pagi sudah bikin geger!"

Di ujung meja, seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan hanya terkekeh pelan. Itu bapak. Sejak tadi ia sibuk membaca koran, sesekali menyeruput kopi hitam kental dalam gelas kecil.

"Sudah, sudah. Makan dulu, nanti telat," katanya dengan suara datar.

Setelah sarapan dan berpamitan, Asri dan Tari naik sepeda menuju sekolah. Matahari mulai naik sedikit demi sedikit, cahayanya menembus celah pohon rindang di sepanjang jalan. Beberapa pedagang kaki lima mulai membuka dagangan mereka, menata gerobak, menghidupkan kompor, dan mengipas-ngipas arang. Aroma gorengan mulai mengudara.

Tari mengayuh sepedanya dengan anggun, penuh kehati-hatian. Sementara Asri?

"Asri! Pelan-pelan! Nanti jatuh!" teriak Tari dari belakang.

Tapi Asri tertawa lebar. "Santai, Kak! Aku udah kayak pembalap ini!"

Baru saja ia selesai bicara, roda sepedanya masuk ke lubang kecil di jalan.

"WOAAAA!!"

BRUKK!

Asri terlempar ke semak-semak di pinggir jalan. Daun-daun dan ranting-ranting kecil menempel di rambutnya yang berantakan. Tari berhenti, memandang adiknya dengan ekspresi penuh kepasrahan.

"Ya Allah, Asri… Pagi-pagi udah bikin kekacauan…"

Sementara itu, di dalam semak-semak, Asri hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mencerna kejadian barusan.

"Yah… kayanya aku nggak jadi pembalap deh…"

Dan begitulah kehidupan Asri, bocah tengil dari Jogja, yang setiap harinya selalu membawa kekacauan baru.

Bersambung…


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...