Bayangan di Masa Lalu
Hujan yang tak kunjung reda menciptakan irama monoton, mengiringi derasnya aliran air di kaca jendela. Siluet samar terbentuk, berkombinasi dengan kelamnya malam, menghadirkan atmosfer muram yang membaur dengan ruang kerja yang diselimuti redupnya cahaya lampu. Di atas meja kayu berlapis debu, berserakan lembaran-lembaran kertas tua, seakan menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Aku duduk diam, memandangi foto yang Arman serahkan padaku malam itu.
Gambar itu menampilkan sebuah kamar berantakan. Garis polisi masih dapat disingkap samar di atas lantai kayu yang tampak lusuh. Tepat di tengah ruangan, lukisan tanpa wajah menggantung di dinding, seolah menjadi saksi tak bersuara dari tragedi yang telah lama terkubur dalam sejarah. Semakin lama aku menelusuri setiap detail dalam foto itu, semakin kuat sensasi familiar yang mengusikku—sesuatu yang begitu dekat, namun tetap sulit kugapai dalam ingatan.
Aku memejamkan mata, berusaha menggali masa lalu. Namun, sama seperti sebelumnya, segala ingatan itu masih terselubung kabut yang pekat, menutupi akses menuju kebenaran yang entah bagaimana terasa begitu esensial. Aku meremas wajah dengan kedua tangan, merasakan denyut yang perlahan menjalar di pelipis.
Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunanku. Kali ini lebih lembut, seakan tak ingin mengganggu. Dengan enggan, aku bangkit dari kursi, langkahku terasa berat menuju pintu. Saat membukanya, Arman berdiri di sana, ekspresinya lebih serius dari sebelumnya.
"Aku menemukan sesuatu lagi," ucapnya tanpa basa-basi. Ia melangkah masuk dan meletakkan sebuah map besar di atas meja ruang tamu. Aku mengikuti dengan tatapan penuh tanya, detak jantungku semakin tak beraturan.
"Apa ini?" tanyaku, mencoba menjaga ketenangan.
Tanpa berkata banyak, Arman membuka map tersebut, memperlihatkan dokumen-dokumen fotokopi yang tampak usang. Ada laporan forensik, artikel koran, hingga sketsa detail tempat kejadian perkara yang lebih komprehensif dibandingkan foto yang sebelumnya ia tunjukkan kepadaku.
"Ini laporan investigasi kasus tahun 1998," tuturnya, menunjuk satu halaman yang tampak lebih lapuk dibandingkan yang lain. "Pembunuhan seorang kolektor seni bernama Agung Baskara. Nama ini terdengar familiar bagimu?"
Aku terpaku. Baskara—nama keluargaku. Seketika tenggorokanku mengering, jemariku gemetar saat meraih dokumen itu.
"Agung Baskara... siapa dia?" suaraku bergetar.
Arman menghela napas panjang sebelum menjawab. "Dia ayahmu, Leo."
Dunia seolah berputar di sekelilingku. Seumur hidup, aku tidak pernah memiliki ingatan tentang ayahku. Ibuku jarang membicarakannya, seakan-akan sosok itu telah lenyap tanpa jejak. Kini, kenyataan itu menghantamku dengan keras, menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak pernah terlintas dalam benakku.
"Ayahku... dibunuh?" Aku nyaris tak mampu mengucapkan kata-kata itu.
Arman mengangguk pelan. "Dan lukisan tanpa wajah itu ditemukan di kamar tempat kejadian perkara. Kau mengerti maksudnya, bukan? Ini bukan kebetulan."
Aku merasa lemas, jatuh terduduk di kursi. Pikiranku berkecamuk, mencoba merangkai kepingan-kepingan memori yang mungkin tersimpan dalam lipatan bawah sadar. Jika lukisan itu berada di lokasi pembunuhan ayahku, bagaimana bisa akhirnya sampai ke tanganku? Apakah ini hanya bagian dari warisan yang tak berjejak, atau ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi di baliknya?
Aku mengusap pelipis, merasakan denyut nyeri yang semakin terasa menekan. "Jadi, apa langkah kita selanjutnya?"
Arman menyandarkan diri ke sofa, ekspresinya penuh pertimbangan. "Ada seseorang yang mungkin bisa memberi kita jawaban."
Aku menatapnya tajam. "Siapa?"
"Ibumu."
Aku terdiam. Sejak kecil, ibuku selalu menghindari pertanyaan tentang ayahku. Ia memilih diam, seolah ada sesuatu yang harus tetap tersembunyi. Jika memang ada orang yang bisa mengungkap kebenaran ini, maka itu pasti dia. Namun, pertanyaannya adalah: apakah ia akan mau berbicara?
Arman tampaknya bisa membaca kebimbanganku. "Kita tidak punya pilihan lain, Leo. Jika ada yang tahu asal-usul lukisan itu, ibumu pasti salah satunya."
Aku menghela napas panjang, masih berusaha mencerna semuanya. Namun, semakin lama aku menatap foto lukisan tanpa wajah itu, semakin kuat perasaan bahwa kebenaran yang kucari telah lama terkubur.
Aku menatap Arman, mencoba mengumpulkan keberanian. "Besok kita menemui ibu."
Arman mengangguk, lalu berdiri. "Baik. Aku akan menghubungi beberapa pihak yang mungkin bisa membantu kita memahami kasus ini lebih dalam. Kau butuh istirahat, Leo. Perjalanan ini akan semakin berat."
Aku hanya bisa mengangguk, meskipun aku tahu malam ini aku tak akan bisa memejamkan mata dengan tenang. Babak baru telah dimulai, dan aku tidak yakin apakah aku siap menghadapi bayangan masa lalu yang telah lama mengintai dari kegelapan.
Bersambung...
📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #3 Kunjungan yang Tak Terduga [Cerita Mister]
📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #5 Berita Pembunuhan [Cerita Misteri]
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar