Kunjungan yang Tak Terduga
Ketukan di pintu menggema di antara dinding rumahku yang sepi, menciptakan ritme samar yang berpadu dengan gemericik hujan di luar. Aku baru saja menuangkan segelas anggur merah, aroma buahnya bercampur dengan udara lembap yang menyusup dari celah jendela. Langit kelabu menggantung rendah, membebani atmosfer dengan kesan muram. Ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah menanti sesuatu yang tak terduga.
Aku menatap pintu dengan ragu. Jarang ada tamu yang datang tanpa pemberitahuan, terlebih di malam seperti ini. Dengan langkah perlahan, aku menuju ke pintu, melewati bayangan lampu yang memantul di lantai marmer dingin. Tanganku menyentuh kenop pintu, merasakan sensasi dinginnya sebelum akhirnya membuka celah kecil.
Sosok pria berdiri di ambang pintu, mantel gelapnya basah, rambutnya acak karena gerimis. Tatapannya menyiratkan keseriusan yang sulit diabaikan. Setetes air jatuh dari ujung rambutnya, menciptakan noda kecil di lantai kayu.
"Leonard," sapanya, suaranya berat, sedikit ragu, tetapi juga penuh dorongan.
Aku mengangkat alis, terkejut. "Arman? Kau tidak bilang akan datang. Bukankah kita akan beretemu besok sore."
"Aku harus bicara denganmu. Bolehkah aku masuk?"
Aku mempertimbangkan sejenak, lalu membuka pintu lebih lebar. "Masuklah."
Arman melangkah masuk, melepas mantelnya dan menggantungnya di dekat pintu. Aku menunjuk ke sofa di ruang tamu. "Duduklah. Mau minum sesuatu? Kopi? Teh? Atau anggur?"
"Kopi saja," jawabnya, mengusap wajahnya yang tampak lelah. Aku berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan kopi, sesekali melirik ke arahnya. Dia tampak gelisah, tangannya bermain-main dengan kain celana, matanya menelusuri ruangan dengan tatapan tajam, seakan mencari sesuatu. Api di perapian yang sejak sore menyala berderak pelan, mengeluarkan suara kayu yang retak terbakar.
Aku kembali dengan dua cangkir kopi, meletakkan salah satunya di depannya. "Jadi, apa yang membawamu ke sini?"
Dia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Ini tentang lukisan itu."
Aku menegang. Jari-jariku mencengkeram gagang cangkir sedikit lebih erat. "Apa maksudmu?"
Arman merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan amplop cokelat tua. Kertas-kertas di dalamnya tampak rapuh, kekuningan, seolah menyimpan rahasia yang telah terkubur lama.
"Aku menemukan ini di arsip galeri tempatku bekerja. Lukisan tanpa wajah yang ada di rumahmu—aku rasa aku tahu asalnya."
Aku mengambil lembaran itu dengan hati-hati, mataku menelusuri tiap baris tulisan. Denyut nadiku meningkat saat aku menyadari apa yang tertulis di sana.
Sebuah laporan polisi. Tahun 1998. Sebuah lukisan anonim ditemukan di tempat kejadian pembunuhan. Korban tergeletak di kamar tidurnya, dengan bercak darah yang mengotori sudut kanvas lukisan itu.
Aku menatap Arman, keterkejutan jelas tergambar di wajahku. "Ini... tidak mungkin. Bagaimana bisa lukisan itu ada di rumahku? Aku tidak pernah membeli sesuatu seperti ini di lelang mana pun."
Arman menyandarkan tubuhnya ke sofa, wajahnya tegang. "Itulah yang membuatku curiga. Setelah kasus itu ditutup, tidak ada catatan tentang pemilik baru lukisan ini. Seolah-olah ia menghilang... dan entah bagaimana, kini ada di rumahmu."
Sebuah sensasi dingin merayap di tengkukku. Aku mengingat malam-malam tanpa tidur, kegelisahan yang semakin parah, dan sensasi aneh yang selalu kurasakan setiap kali menatap lukisan itu. Aku mengalihkan pandanganku ke ruang kerjaku, di mana lukisan itu tergantung. Cahaya lampu gantung membuat permukaannya tampak berkilau, goresan-goresan catnya kasar, seolah memiliki nyawa sendiri.
"Leonard, aku tahu ini terdengar gila..." suara Arman terdengar lebih pelan, nyaris berbisik. "Tapi aku harus bertanya. Pernahkah kau merasa ada sesuatu yang salah dengan lukisan itu?"
Aku menelan ludah. "Aku... sering terbangun di depannya tanpa mengingat bagaimana aku sampai di sana. Aku merasa ada sesuatu yang berubah di kanvasnya, tapi setiap kali aku mencoba mengingat, semuanya terasa kabur."
Arman menatapku tajam. "Aku rasa ini lebih dari sekadar kebetulan, Leo. Ada sesuatu yang menghubungkan kau, lukisan itu, dan masa lalu yang mungkin telah kau lupakan."
Kata-katanya menggema di pikiranku. Aku kembali menatap lukisan itu, yang tergantung di dinding ruang kerjaku, seakan menantangku untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Apa yang harus kita lakukan?"
Arman mengeluarkan foto lama dari dalam tasnya. "Aku juga menemukan ini. Foto dari tempat kejadian perkara tahun 1998. Perhatikan baik-baik."
Aku mengambil foto itu dengan tangan gemetar. Sebuah kamar berantakan, garis polisi masih samar terlihat di lantainya. Dan di tengah ruangan, tergantung di dinding, adalah lukisan yang sama yang kini ada di rumahku.
Aku menatap foto itu, lalu menoleh ke arah lukisan yang tergantung di ruang kerjaku. Seolah-olah jarak waktu dua dekade menghilang, dan sesuatu yang dingin menjalari tulangku.
Di luar, angin berembus lebih kencang, membuat jendela bergetar pelan. Api di perapian meredup, seolah bereaksi terhadap atmosfer yang semakin mencekam.
"Ini tidak mungkin..." bisikku.
Arman menatapku dengan ekspresi serius. "Aku rasa kita harus menggali lebih dalam. Itu berarti kita harus menyelidiki masa lalumu."
Aku tidak bisa menjawab. Yang bisa kulakukan hanyalah menatap lukisan itu—lukisan tanpa wajah, yang kini terasa lebih hidup dari sebelumnya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar