Sekolah Itu Berat, Lebih Berat Lagi PR-nya
Pagi yang biasa, matahari naik setengah malas di ufuk timur, menyinari ubin-ubin sekolah dasar yang entah kenapa selalu terlihat kusam meski tiap pagi disapu Pak Slamet. Angin pagi menyelinap masuk dari celah jendela kelas, menggoda buku-buku tulis yang dibiarkan terbuka di meja. Suara ayam dari kandang belakang kantin kadang menyelinap, bersahutan dengan bel sekolah yang suaranya mirip toa masjid.
Asri duduk di bangku paling belakang, sandaran kursinya dimiringkan sedikit ke belakang, kakinya selonjor di bawah meja. Matanya masih setengah mengantuk, rambut acak-acakan.
"Kalian udah ngerjain PR Matematika?" suara Rini tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
Asri mengerjapkan mata, menoleh ke kanan-kiri, mencari siapa yang ditanya. Tapi tatapan Rini jelas tertuju padanya.
"PR?" Asri mengulang kata itu, seperti seorang filsuf yang sedang mempertanyakan makna hidup.
"Iya, PR. Yang 10 soal itu loh," kata Rini, mulai gemas.
Asri masih diam. Otaknya berusaha mengakses ingatan terakhir tentang PR itu, tapi yang muncul justru ingatan tentang semalam, saat dia ketiduran dengan posisi tengkurap di meja belajar, sementara pensil masih terselip di antara jari-jari.
Rini menghela napas panjang. "As, jangan bilang kamu lupa."
"Nggak lupa, aku cuman... belum ngerjain," jawab Asri santai.
"ASTAGA! Ini PR Matematika, As! Miss Diah nggak main-main kalau ada yang nggak ngerjain."
Asri menggaruk kepala. Ya, dia tahu betul bagaimana Miss Diah kalau sudah urusan PR. Guru killer se-Indonesia pun mungkin bisa minder kalau melihat cara Miss Diah menangani murid-muridnya yang tidak mengerjakan tugas.
"Kita harus nemuin solusi," kata Adit, yang sejak tadi diam saja tapi sebenarnya mengalami dilema yang sama.
"Solusi apa? Nyontek?" tanya Rini tajam.
Asri melirik jam dinding di depan kelas. Lima belas menit lagi Miss Diah masuk. Waktu yang tersisa hanya cukup untuk satu dari dua pilihan: pasrah atau bergerak cepat. Dan karena pasrah bukan keahlian Asri, maka ia memilih opsi kedua.
"Baiklah," kata Asri akhirnya, dengan ekspresi seperti seorang jenderal yang baru saja memutuskan strategi perang. "Kita harus cari orang yang udah ngerjain PR ini."
"Dan kita salin jawabannya?" tanya Adit penuh harap.
"Bukan, Dit. Kita meyakinkan dia buat ngajarin kita dalam waktu 10 menit."
Adit dan Rini berpandangan. Rencana ini terdengar nyaris mustahil.
Tapi Asri tetap beranjak dari kursinya. "Ayo cari target. Aku yakin ada satu orang yang udah ngerjain PR ini dengan sempurna."
Rini menghela napas. "Kamu pasti mikir tentang..."
"Bener," potong Asri. "Kita cari Bowo."
Mereka bertiga langsung berjalan cepat menuju meja Bowo, sang jenius kelas yang entah bagaimana caranya selalu menyelesaikan PR sebelum matahari terbit. Bowo sedang asyik membaca buku tebal yang isinya lebih banyak angka daripada huruf.
"Bowo, kita butuh bantuan," kata Asri tanpa basa-basi.
Bowo menatap mereka bertiga dengan tatapan curiga. "Jangan bilang kalian belum ngerjain PR?"
Asri, Adit, dan Rini saling berpandangan, lalu mengangguk bersamaan.
Bowo menghela napas panjang, seperti seorang dokter yang baru saja menerima pasien dalam kondisi kritis. "Lima belas menit lagi Miss Diah masuk. Apa yang bisa aku lakukan dalam waktu sesingkat itu?"
Asri berpikir cepat. "Ajari kami konsep dasarnya. Biar kami bisa jawab kalau nanti dipanggil ke depan."
Bowo menatap mereka dengan ekspresi tak percaya. "Kalian pikir belajar Matematika itu kayak belajar lirik lagu? Lima belas menit nggak cukup!"
"Tapi setidaknya lebih baik daripada nggak sama sekali, kan?" kata Rini putus asa.
Bowo menggeleng, lalu menutup bukunya. "Baiklah, ayo ke meja aku."
Dan selama 10 menit berikutnya, mereka bertiga mengalami pelajaran Matematika paling intens dalam sejarah hidup mereka. Bowo menjelaskan cepat, nyaris seperti komentator sepak bola yang berusaha meringkas 90 menit pertandingan dalam satu kalimat.
Saat bel berbunyi, Miss Diah masuk dengan langkah tegas, wajahnya penuh wibawa. "Oke, anak-anak, keluarkan PR kalian."
Asri melirik Rini dan Adit. Keringat dingin sudah membasahi dahi mereka. Buku tulis mereka terbuka, angka-angka dan rumus-rumus yang baru saja mereka salin dari papan catatan Bowo terasa seperti mantra tak dikenal.
Miss Diah melirik ke seluruh kelas. "Asri, maju ke depan."
Deg.
Asri menelan ludah. Ini dia saatnya. Apakah ia berhasil menyerap ilmu kilat dari Bowo? Atau ia akan menjadi korban berikutnya dari kekejaman PR Matematika?
Asri melangkah pelan ke depan kelas, sementara teman-temannya menahan napas.
"Coba jawab soal nomor 7," kata Miss Diah, menunjuk angka-angka di papan tulis.
Asri mengambil kapur. Tangannya sedikit gemetar. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam.
Dan saat ia membuka mata, otaknya mengakses satu memori penting dari penjelasan Bowo tadi. Tiba-tiba, ia mengerti.
Tangannya bergerak, menuliskan angka-angka di papan tulis.
Dan ketika ia selesai...
Miss Diah tersenyum. "Bagus, Asri. Jawabanmu benar."
Kelas langsung gempar. Rini menepuk dahinya, Adit hampir tersedak air liur sendiri. Sementara Bowo di belakang hanya mengangguk kecil, puas.
Asri menoleh ke arah teman-temannya dan mengedipkan mata.
Kadang, sekolah itu berat.
Tapi lebih berat lagi kalau PR-nya nggak dikerjain.
Bersambung...
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar