Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati
Pasar Beringharjo sore itu ramai. Bukan ramai biasa, tapi ramai seperti orkestra yang belum diatur konduktor. Ada suara teriakan ibu-ibu, suara pedagang batik menawarkan kain, anak kecil nangis karena nggak dibelikan balon, sampai suara klakson becak yang kadang terdengar seperti kodok terjebak di ember.
Tari menggandeng tangan Asri erat, menembus kerumunan manusia seperti kakak yang sedang membawa misi penyelamatan dunia. Wajahnya serius, alisnya menyatu, mata menyisir kiri kanan.
"Sepatu anak, ukuran tiga enam atau tiga tujuh ada nggak, Pak? Yang jangan mahal-mahal ya..." tanya Tari ke salah satu penjual.
Asri mengikuti di belakang, keringatan, tapi matanya penuh harap. Sepatu lamanya—yang sudah bolong dan pernah kena lem tembak pakai glue gun bekas proyek prakarya—akhirnya bakal diganti.
Setelah menawar di dua, tiga lapak, akhirnya mereka nemu. Sepatu warna hitam dengan strip putih di samping. Modelnya mirip yang dipakai pemain bola di TV.
"Ini keren banget, Kak...!"
Tari senyum. Tapi senyumnya nggak penuh. Ada sesuatu di matanya—entah lelah, entah sedih. Mungkin karena uang jajan seminggunya habis buat beli sepatu itu.
"Jaga baik-baik ya. Jangan buat nginjek sawah atau nyari kodok di parit belakang rumah Bu Lurah," katanya.
Asri mengangguk, wajahnya bersinar seperti lampu jalan baru diganti bohlamnya. Tapi di balik senyum itu, ada rasa aneh.
Sepatu baru itu nyaman, tapi hatinya berat. Karena tahu, kakaknya berkorban.
Malam harinya, di kamar yang temboknya penuh gambar tempelan majalah dan jadwal pelajaran, Asri duduk menatap sepatu barunya. Di bawah cahaya lampu lima watt yang remang, sepatu itu terlihat seperti harta karun.
"Kak Tari baik banget... Tapi aku belum bisa ngasih apa-apa ke dia..."
Dari luar kamar, suara ibu terdengar memanggil, "Asri, udah salat magrib belum?"
Asri berdiri, lalu mengecup pelan sepatu barunya, seolah itu benda suci. Lalu dia lari keluar kamar, jawab, "Iya, Bu!"
Malam itu langit Jogja berwarna biru tua, bulan sabit menggantung di langit seperti senyum setengah hati. Dan di dalam rumah kecil itu, ada anak kecil yang mulai belajar mengenali bentuk cinta paling sederhana: pengorbanan diam-diam seorang kakak.
Bersambung...
📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu
📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 -
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar