Asri SI BOCAH TENGIL #7 Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus [Cerita Komedi Remaja]

Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus

Siang itu Jogja panas bukan main. Matahari menyala-nyala, membakar aspal dan genteng rumah warga seperti sedang menguji kesabaran manusia. Asri pulang sekolah sambil menenteng tas yang lebih berat dari isi kantongnya. Keringat mengalir dari pelipisnya, tapi ada satu hal yang lebih mendesak dari panas matahari: lapar.

Lapar bukan karena belum makan. Tapi lapar karena liat gerobak cilok mangkal di depan warung Bu Slamet.

"Cilok... cilok... panas... gurih...!"

Suara si penjual cilok terdengar seperti musik surgawi di telinga Asri. Tanpa pikir panjang, ia berbelok, lupa daratan, lupa rumah, lupa janji ke ibunya buat hemat uang saku.

"Mas, cilok seribuan lima ya! Pake saus banyak, tapi cabenya dikit!" kata Asri sambil menyodorkan uang recehan dari saku bajunya.

Penjual cilok mengangguk bijak seperti pendeta yang tahu betul apa yang dibutuhkan umatnya. Asri menunggu dengan sabar, lidahnya sudah menari-nari membayangkan rasa kenyal dan pedas gurih cilok yang selalu bikin ketagihan.

Lima menit kemudian, Asri pulang dengan langkah lebih ringan. Perut senang, hati tenang. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama.

Begitu sampai di rumah, suara ibunya menyambut dari dapur, "Asri! Sini kamu!"

Nada suaranya tidak seperti biasanya. Ada getaran. Ada hawa panas yang tak kalah dari terik matahari tadi.

Asri masuk dengan langkah pelan, matanya mengintip ke arah dapur. Ibunya berdiri dengan tangan bertolak pinggang, alisnya naik sebelah, bibirnya mengerucut tipis-tipis seperti orang tahan napas.

"Kamu tadi jajan lagi ya?"

Asri terdiam. Diam yang lebih keras dari suara bising pasar. Tapi di wajahnya, ada sisa saus merah yang belum sempat ia bersihkan.

"Itu apa di pipimu? Saus cilok, ya Allah... Asri..."

Dan meledaklah omelan itu seperti petasan cap tikus dilempar ke dalam kaleng kosong.

"Kamu tuh, Ibu udah bilang berapa kali? Nabung! Nabung! Bukan jajan terus tiap hari! Uang jajan itu buat ditabung setengahnya, bukan buat beli cilok tiap pulang sekolah!"

Asri cengengesan. Tapi senyum itu segera luntur ketika melihat mata ibu yang berkaca-kaca, bukan karena marah, tapi karena lelah. Lelah mengulang nasihat yang sama.

"Ibu kerja ngumpulin uang buat kamu sekolah, bukan buat kamu foya-foya jajan. Cilok hari ini, es krim besok, mie ayam lusa. Besok-besok kamu minta ginjal ibu juga?!"

Asri tertunduk. Kata-kata ibunya lebih pedas dari cabai rawit.

"Maaf, Bu..." suaranya kecil seperti bisikan semut di dalam toples gula.

Ibunya mendesah, lalu merogoh saku celemeknya. Ia mengeluarkan dua lembar uang ribuan.

"Ini. Buat besok. Tapi inget, separuh masuk celengan. Kalau ibu dapet laporan dari warung Bu Slamet atau si Mas cilok itu, kamu puasa jajan sebulan. Ngerti?"

Asri mengangguk, matanya berkaca-kaca. Bukan karena sedih, tapi karena merasa dicintai dengan cara yang keras tapi jujur.

Sore itu, ia duduk di pojokan kamar, membuka celengan ayamnya yang mulai berat. Ia masukkan uang dari ibunya ke dalam sana, lalu tersenyum kecil.

Cilok itu enak.

Tapi pelukan ibu lebih mengenyangkan.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #6 Misteri Kotak Bekal yang Hilang

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...