Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung [Cerita Komedi Remaja]

Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

Rumah Asri bukan istana. Tapi di sana, ada drama yang tak kalah dari sinetron jam tujuh. Ada cinta, ada cemburu, ada tawa, ada juga teriakan kecil yang kadang bikin kuping merah.

Pagi itu, matahari baru setengah naik, burung gereja masih cerewet di atas genteng, dan suara wajan bertemu bawang putih mulai menggema dari dapur.

"Asriii! Bangun! Nanti kesiangan, lho!"

Suara ibunya membelah kesunyian pagi. Suara itu seperti alarm alami yang tak bisa di-snooze. Asri menggeliat di kasurnya yang sudah mulai tipis, menarik selimut sampai ke hidung, berharap bisa hilang dari radar ibu.

"Masih ngantuk, Bu... 5 menit lagi..." gumamnya, suara seperti orang di ujung dunia.

Tapi suara spatula membentur penggorengan adalah tanda bahwa 5 menit itu akan segera berakhir. Dan benar saja, tak sampai 3 menit, ibunya sudah muncul di depan pintu kamar, satu tangan membawa handuk, tangan lain menunjuk jam dinding.

"Kamu tuh, kalau sekolah kayak mau perang. Mana sepatu belum disikat, seragam belum disetrika, PR juga belum selesai, ya kan?!"

Asri bangun sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal. Wajahnya masih bantal semua.

"Udah kok, Bu... PR-nya tinggal dikit..."

"Dikit-dikit tapi belum selesai. Itu sama aja kayak masak tapi lupa garam. Nggak ada gunanya."

Dapur rumah itu kecil, tapi hangat. Ada aroma tumis kangkung bercampur sambal terasi yang mengambang di udara, menembus sampai ke ruang tamu. Di meja, sudah ada bekal dibungkus kertas minyak—nasi, telur dadar, dan irisan timun. Bekal sederhana, tapi dibuat dengan cinta dan sedikit keluhan.

Ayah Asri masih di depan televisi, menyesap kopi hitamnya yang diseruput keras. "Jangan bikin Ibu ngomel tiap pagi, Sri. Itu bisa memperpendek usia."

Asri menatap ayahnya, lalu ibunya. Mereka berdua seperti langit dan bumi—yang satu tenang, yang satu gemuruh. Tapi dari keduanya, Asri belajar bahwa hidup bukan soal jadi sempurna, tapi soal terus bangun pagi walau semalam ketiduran ngerjain PR.

"Sarapan, Sri. Jangan cuma mandangin nasi. Kalau lapar pas pelajaran, nanti gurunya dikira setan gara-gara kamu melamun."

Asri tertawa kecil. Mulutnya mengunyah nasi, matanya menatap luar jendela. Di luar sana, Jogja masih berkabut. Tapi di dalam sini, hatinya sudah mulai hangat.

Lalu muncul sosok yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamar yang menganga.

"Ibu, Asri tuh semalam tidur duluan, PR-nya malah aku yang bantuin ngerjain!" ujar Tari, kakak Asri, dengan nada setengah kesal tapi penuh rasa sayang yang dibungkus sindiran.

Tari, gadis remaja kelas dua SMP yang rambutnya selalu diikat dua seperti kupu-kupu yang sedang menari di belakang kepala. Ia muncul dengan buku PR Asri di tangan kiri, dan sisir di tangan kanan.

"Kak Tari lebay," gerutu Asri sambil mengunyah lebih cepat.

"Lebay-lebay juga, kalau bukan Kakak, kamu bisa kena semprot Bu Gurumu pagi ini."

Ibunya tertawa pendek sambil membalik tumis kangkung di wajan. "Ya sudah, Kak Tari, makasih ya bantuin adikmu. Tapi Sri, lain kali jangan nyusahin kakak terus. PR sendiri ya dikerjain sendiri."

Asri hanya mengangguk pelan. Di meja makan itu, tiga sosok berbeda duduk: seorang ibu yang penuh semangat, seorang ayah yang kalem seperti lagu keroncong, dan seorang kakak perempuan yang cerewet tapi penyayang.

Rumah itu mungkin sederhana, tapi bagai panggung kecil tempat opera kehidupan dimainkan. Ada tawa, ada teriakan, ada tangis yang kadang sembunyi di balik pintu kamar.

Rumah, meski sering diisi omelan, adalah tempat paling nyamannya di dunia.

Bersambung.....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #7 Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...