Pintu Kedua
Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka jendela ruang kerjaku, aroma tanah basah dan daun busuk menerobos masuk, menciptakan kesan seolah alam sedang mengubur sesuatu yang tak ingin ditemukan. Di kejauhan, lonceng gereja tua berdentang pelan, menghantam sunyi dengan ritme kematian yang lambat dan berulang.
Aku telah membaca ulang jurnal ayahku. Setiap kalimat di dalamnya terasa seperti desahan terakhir dari seorang pria yang tahu ia sedang dikuntit oleh kegelapan yang tak dapat dijelaskan. Jurnal itu bukan sekadar catatan, tapi jeritan pelan dari seseorang yang kehilangan akal sehatnya sedikit demi sedikit.
“Lukisan itu membisikkan sesuatu di malam-malam tertentu. Bukan suara, tapi kehendak. Seolah ia hidup, dan aku hanya wadahnya.”
Kata-kata itu menempel di benakku seperti jamur yang tumbuh di dinding lembap. Aku merasa seperti sedang berjalan di antara dua alam: dunia nyata dan sesuatu yang jauh lebih purba, lebih gelap, lebih mendalam—tempat di mana ingatan, dosa, dan kematian saling berbisik.
Arman datang sore itu, wajahnya letih namun dipenuhi tekad. Ia membawa satu lagi artefak: bingkai kosong dari masa lalu, yang ditemukan di ruang penyimpanan galeri tua. Ia yakin itu milik ayahku.
“Ada ukiran simbol di bagian belakangnya. Sejenis segel, atau mungkin mantra,” katanya, menunjukkan goresan-goresan halus yang hampir tak terlihat.
Segel itu membentuk lingkaran di mana huruf-huruf Latin bercampur dengan aksara Jawa kuno. Dan saat aku menyentuhnya, denyut nadi di ujung jariku melonjak. Ada rasa dingin yang menjalar cepat, bukan dingin biasa—dingin yang membuat jantung berdegup lebih lambat, seolah tubuh bersiap menyambut sesuatu yang tak seharusnya hadir di dunia ini.
Malam pun datang lebih cepat dari biasanya.
Aku menyalakan lilin dan duduk di depan lukisan itu. Bayangan dari api yang menari di dinding membuat lukisan tampak bergerak. Warna merah tua di sudut-sudut lukisan seolah menjadi genangan darah yang belum mengering. Aku mendengar suara langkah dari lantai atas, padahal aku tahu aku sendirian.
Saat aku memandang lebih dalam, wajah seseorang mulai muncul samar di dalam lukisan. Tidak sepenuhnya jelas, namun cukup untuk menimbulkan rasa takut mendalam: mata itu... mata itu seperti mengenalku.
Aku mulai menyusun kronologi: ayahku mati setelah menemukan sesuatu; Arman mencium kejanggalan dalam pola; lukisan itu muncul kembali setelah bertahun-tahun terkubur; dan kini, setiap orang yang menyentuhnya mulai melihat hal yang sama: kilasan masa lalu, jejak yang hilang, bisikan dari kanvas.
Namun, aku tahu ini bukan sekadar teka-teki logis. Ini adalah jiwa yang terbelah, batin yang perlahan digerogoti oleh pengetahuan terlarang. Karena semakin dalam aku menyelam ke dalam misteri lukisan itu, semakin aku merasa bahwa aku bukan sekadar penelusur kebenaran, melainkan bagian dari narasinya—subjek dari kegilaan yang diwariskan.
Aku bermimpi malam itu. Dalam mimpi, aku berada di ruangan tua, dindingnya dipenuhi lukisan tanpa wajah. Setiap bingkai memancarkan aura kesedihan yang tak tertahankan. Dan di tengah ruangan, berdiri ayahku. Tapi wajahnya tak lagi seperti yang kuingat. Itu adalah wajah tanpa ekspresi, datar, seperti topeng yang baru saja dipahat oleh penderitaan.
“Leo,” katanya, suaranya serak dan berat, “jangan biarkan lukisan itu selesai.”
Aku terbangun dengan napas terengah dan bantal yang basah oleh keringat. Lonceng gereja berdentang lima kali. Aku menoleh ke arah lukisan di ruang kerja—dan untuk pertama kalinya, aku melihat goresan tambahan. Sebuah garis vertikal di pojok kiri bawah yang sebelumnya tidak ada. Seolah seseorang telah melanjutkan lukisan itu... saat aku tidur.
Aku tahu kini, misteri ini tak hanya tentang masa lalu. Ia sedang berkembang, hidup, tumbuh—dan aku berada di pusat pusarannya.
Dan mungkin, hanya dengan membuka pintu kedua—pintu yang dijaga oleh ingatan tergelapku—aku bisa mengakhiri semua ini. Atau ikut terkubur bersama kebenaran yang tak semestinya dibangkitkan.
Bersambung...
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿