Lukisan yang Terhubung
Aku menatap lekat-lekat foto yang masih tergenggam di tanganku, seolah berharap wajah-wajah di dalamnya akan menjawab teka-teki yang terus menghantuiku. Pria itu... wajahnya begitu mirip denganku, namun ada sesuatu yang berbeda—pancaran matanya, cara berdirinya, seolah ia membawa beban masa lalu yang tak kukenal, namun terasa akrab. Ibuku berdiri di sisinya, senyumnya kaku, tak seperti yang kuingat dalam kenangan masa kecilku yang samar.
Aku menuruni loteng dengan kaki yang nyaris tak menjejak lantai. Di ruang kerja, aku menyebar foto-foto dan catatan dari kotak tadi di atas meja. Satu demi satu kupelajari, hingga pandanganku tertambat pada secarik kertas lusuh—gambar tangan, sketsa kasar dari sebuah lukisan. Tidak ada judul, hanya guratan kuat dan bayangan gelap yang membentuk sosok tanpa wajah di tengah kanvas.
Ada sensasi aneh yang menjalar ketika aku menyentuhnya. Jantungku berdegup pelan namun mantap, seperti suara jam tua di ruang tamu yang telah lama tak kudengar. Ada ketertarikan yang tak bisa kutolak. Sketsa itu bukan hanya coretan, tapi jejak menuju sesuatu yang telah lama hilang.
Keesokan paginya, aku menemui Arman di galeri tempat ia bekerja. Galeri itu tenang, seperti museum kecil yang dijaga oleh waktu. Ia menyambutku dengan tatapan khawatir, tetapi tak banyak bicara. Aku menyerahkan sketsa itu padanya.
“Pernah melihat ini?” tanyaku.
Arman mengambilnya, meneliti dengan mata tajam seorang kurator berpengalaman. “Tekniknya... mirip gaya ekspresionis. Tapi ini bukan karya sembarangan. Ada semacam—keputusasaan—dalam goresannya.”
“Aku merasa pernah melihat lukisan ini. Tapi bukan dalam bentuk sketsa. Lukisan ini pernah ada, atau mungkin... masih ada.”
Ia menatapku serius. “Leo, kau sadar bahwa ingatanmu sedang bermain-main denganmu? Kau bisa saja menciptakan koneksi yang tak pernah benar-benar ada.”
“Tapi jika lukisan ini nyata, dan jika aku menemukannya, mungkin aku bisa mengurai benang kusut dalam pikiranku.”
Arman mengangguk perlahan, seperti seorang dokter yang tak yakin dengan diagnosisnya namun tak ingin mengecewakan pasien. Ia membuka laptopnya dan mulai mencari di basis data galeri. Setelah beberapa menit, ia menunjukkan sebuah foto digital.
“Itu... lukisan tanpa wajah,” desahku.
Lukisan itu tergantung di sebuah pameran dua tahun lalu. Keterangan mencantumkan nama pemilik: Leonard Baskara.
Aku.
Namun aku tak ingat pernah menyumbangkan karya itu ke pameran manapun. Bahkan aku tak ingat pernah melukisnya.
“Aku harus melihatnya langsung. Di mana lukisan itu sekarang?”
“Sudah ditarik dari pameran. Kembali ke pemilik. Ke rumahmu, Leo.”
Dunia seakan berhenti berputar sesaat. Lukisan itu—yang entah bagaimana menjadi pusat segala hal yang membingungkan ini—ada di rumahku. Dan aku tak pernah menyadarinya.
Arman menatapku lama sebelum berkata, “Aku akan ikut denganmu.”
Kami kembali ke rumahku menjelang sore. Langit mendung menggantung di atas atap, dan angin membawa aroma hujan yang tertahan. Aku membuka pintu dengan tangan gemetar, seolah akan memasuki ruangan asing meskipun ini adalah rumahku sendiri.
Kami menyusuri lorong yang sunyi, melewati ruang-ruang yang menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Sampai akhirnya, di ruang belakang, tersembunyi di balik tirai debu dan waktu, kami menemukannya.
Lukisan itu berdiri tegak di atas kuda-kuda tua. Sosok tanpa wajah, dikelilingi bayangan, seolah hendak keluar dari kanvas untuk menyampaikan sesuatu. Jantungku berdebar tak menentu. Ada gema dalam pikiranku—kilasan, desahan, suara-suara yang bukan milikku, namun terasa berasal dari dalam diriku.
Arman melangkah maju, memperhatikan detail lukisan dengan cermat. “Lukisan ini... seperti menyimpan sesuatu. Cerita. Tragedi.”
Aku hanya bisa mengangguk. “Dan mungkin, jawabannya ada di dalamnya.”
Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa masa laluku—betapa kelam dan menyakitkannya—sedang mencoba berbicara kembali padaku. Melalui warna, bentuk, dan ruang kosong pada wajah itu.
Dan aku harus mendengarkan.
Bersambung...
📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]
📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar