Luka yang Bukan Milikku
Langit malam itu meneteskan gerimis halus, seolah turut berkabung atas kegelisahan yang merambat di dinding-dinding kamarku. Di luar, dunia tidur dalam kesunyian yang menipu. Di dalam, pikiranku adalah labirin yang tak memiliki jalan keluar. Pukul dua lewat delapan menit. Aku tahu pasti karena jam tua peninggalan Kakek berdentang sekali lagi—suara beratnya seperti detak jantung rumah ini, menyuarakan kenangan yang enggan mati.
Duduk membungkuk di meja kerja, kutatap lembaran surat yang sejak sore tadi tergeletak di sana. Warna kertasnya kekuningan, dicetak dengan tinta hitam yang nyaris serupa darah beku. Surat itu adalah pengingat bahwa dunia nyata tak peduli siapa pelaku sebenarnya. Dunia hanya tahu siapa yang tersisa.
"Tagihan terakhir," begitu tertulis di bagian atas.
Jumlahnya membuat perutku mual. Lebih dari sepuluh kali gaji bulananku. Lebih dari tabunganku yang kurawat dengan hati-hati sejak awal pandemi. Lebih dari rasa kasih yang selama ini kutanamkan untuk dua orang yang kusebut orang tua—yang kini entah menjadi beban, musuh, atau sekadar bayang-bayang.
Mereka bilang: "Kamu anak sulung. Sudah seharusnya kamu yang tanggung."
Tapi siapa yang memberi mereka izin untuk hidup sembrono? Siapa yang menyuruh mereka meminjam uang demi usaha yang tak kunjung berhasil, demi gaya hidup yang tak mencerminkan kemampuan? Dan mengapa aku yang kini harus merelakan jam tidur, kesehatan mental, bahkan cita-cita?
Aku tak pernah punya sepeda motor sendiri. Tak pernah berlibur. Tak pernah membeli apapun tanpa diskon. Aku bahkan menghitung ulang lembaran seratus ribu seperti menghitung sisa napas.
Namun surat itu tak peduli. Dunia tak peduli.
Dalam kegelapan kamar, bayangan mereka berdiri. Ayah dengan tatapan tajam yang dulu kupuja, kini menjadi cambuk yang menghantam tanpa suara. Ibu dengan suara tinggi dan tangan yang gemetar, memintaku memahami, lagi dan lagi.
Padahal akulah yang menangis diam-diam di kamar mandi, menahan sesak yang bahkan tak tahu dari mana datangnya. Akulah yang tiap malam merapal doa agar bisa bangun pagi tanpa ingin menghilang.
Aku bukan pahlawan. Aku bahkan tak ingin menjadi penyelamat. Yang kuinginkan hanya kebebasan. Dan sedikit… hanya sedikit… keadilan.
Aku berjalan menyusuri lorong rumah yang sunyi. Setiap langkahku menggema. Lantai kayu berderit seperti menjerit. Aku merasa sedang berjalan di dalam mimpi yang buruk. Tapi semuanya nyata.
Di ruang tamu, bingkai foto keluarga masih terpajang. Senyuman palsu. Mata yang tak benar-benar saling menatap. Di bawah bingkai itu, meja kecil dengan taplak berenda menyembunyikan album masa kecil. Aku mengangkatnya perlahan, membuka halaman demi halaman. Foto ulang tahun. Foto kelulusan. Foto-foto saat semuanya masih tampak baik-baik saja.
Namun di balik gambar-gambar itu, ada luka-luka yang tak bisa dicuci. Ayah yang dulu bersuara keras, kini hanya diam saat diminta bertanggung jawab. Ibu yang pernah memelukku di malam demam, kini hanya tahu menyalahkan dunia dan bertanya: "Kenapa kamu tega membiarkan kami susah?"
Tega?
Tega adalah mereka yang membiarkanku tumbuh dengan luka. Yang memintaku menjadi perisai bagi badai yang bukan milikku.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk bicara. Bukan karena keberanian, tapi karena tak ada tempat lagi untuk sembunyi.
"Aku tidak akan bayar utang itu," kataku. Datar. Tenang. Terlalu tenang.
Mereka menatapku seakan aku menjelma iblis.
"Kamu durhaka. Kamu lupa dibesarkan oleh siapa!"
"Aku tidak lupa. Justru karena aku ingat, aku tahu apa yang sudah kalian bebankan padaku sejak kecil. Aku tidak punya masa kecil. Aku tidak punya remaja. Aku cuma punya tanggung jawab yang tidak pernah kupilih."
Ibu menangis. Ayah memalingkan muka.
Aku berdiri. Hatiku dingin. Bahkan terlalu dingin.
Malam itu, mimpi buruk datang. Tapi kali ini aku tidak takut. Dalam mimpi itu, aku melihat diriku terbaring di kamar rumah sakit. Selang di hidung, suara mesin berdentang. Di luar, Ayah dan Ibu duduk di kursi ruang tunggu. Menangis. Tapi bukan karena aku akan mati—melainkan karena tak ada lagi yang bisa mereka mintai bantuan.
Aku terbangun dengan senyum getir. Mimpi itu bukan pertanda. Itu adalah proyeksi dari kebenaran yang selama ini kutahan.
Keesokan harinya, aku menulis surat. Surat itu tidak dikirim ke bank. Tidak juga kepada keluargaku.
Tapi untuk diriku sendiri.
Kepada Aku, yang pernah terlalu penurut,
Maaf karena kau harus tumbuh dalam keluarga yang tak pernah belajar memikul beban masing-masing. Maaf karena kau terlalu lama merasa bersalah atas kesalahan yang bukan milikmu. Maaf karena kau hampir kehilangan dirimu sendiri.
Mulai hari ini, kita bebas. Luka ini bukan warisan. Dan jika cinta harus selalu berarti pengorbanan tanpa batas, maka itu bukan cinta. Itu penjara.
Aku memutuskan pindah. Kota kecil di utara, di mana tak ada yang mengenalku. Aku mulai menulis. Cerita-cerita tentang keluarga. Tentang luka. Tentang cinta yang tak seharusnya menelan hidup seseorang.
Aku bekerja cukup. Tidur cukup. Kadang masih merasa bersalah. Tapi setidaknya, aku tidak lagi hidup dalam labirin yang dibangun orang lain.
Dan jika suatu hari mereka mencari—aku akan bilang:
"Aku mencintai kalian. Tapi aku mencintai diriku lebih dulu. Akhirnya."
📖 Baca Cerita Lainnya:
🔗 Dinding yang Tidak Mendengar
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar