LUKISAN TANPA WAJAH #9 Di Balik Bingkai Diam [Cerita Misteri]

Di Balik Bingkai Diam

Saat malam mulai merangkak turun dan bayangan panjang merayapi dinding rumah tua itu, aku kembali berdiri di depan lukisan yang telah lama menghantui pikiranku. Ada sesuatu yang belum tuntas dari karya itu—seolah-olah ia menyimpan rahasia yang hanya bisa terbaca oleh mata yang telah cukup lama menatap kegelapan.

Aku menyalakan lampu kerja yang menggantung rendah, membiarkan cahaya kekuningan jatuh tepat pada kanvas yang tak bersuara. Di permukaan cat yang mulai retak itu, guratan kasar dan warna-warna gelap tampak seperti arus sungai yang membawa mayat-mayat kenangan. Tapi malam ini, mataku menangkap sesuatu yang berbeda.

Ada pola. Bukan sekadar permainan tekstur, melainkan semacam bentuk simbolik yang berulang. Terlalu halus untuk dianggap kebetulan, terlalu presisi untuk sekadar goresan emosi. Aku mendekat, jantungku berdetak semakin kencang. Lukisan ini menyimpan pesan tersembunyi.

Aku mengambil kaca pembesar dari meja dan mulai mengamati setiap jengkal kanvas. Dan di sudut kiri bawah, hampir menyatu dengan warna latar, aku menemukan ukiran kecil—tiga huruf terukir samar dalam cat: "M-R-T". Marat?

Kilasan tubuh dalam bak mandi. Pisau yang menancap. Surat yang basah darah. Semuanya menyerbu pikiranku dengan kecepatan yang menyesakkan.

Aku mundur. Duduk. Napas tercekat. Mengapa lukisan ini memiliki keterkaitan dengan kematian Jean-Paul Marat? Apa hubungannya denganku?

Tiba-tiba, ketukan terdengar dari pintu depan. Ketukan pelan, namun pasti. Aku bergegas turun. Di balik pintu, berdiri seseorang yang tak asing—Arman.

"Maaf datang tanpa kabar, Leo. Aku menemukan sesuatu yang... harus kamu lihat," katanya seraya menyodorkan sebuah amplop coklat tua.

Kami duduk di ruang kerja, dan aku membuka amplop itu dengan hati-hati. Isinya adalah salinan catatan lelang karya seni tahun 1997, sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa lukisan yang kini ada di dinding rumahku pernah dimiliki oleh seseorang bernama Agung Baskara—ayahku.

Ayahku.

"Aku tidak mengerti," gumamku. "Ayah tidak pernah membicarakan soal ini..."

Arman menggeleng. "Mungkin memang sengaja disembunyikan. Tapi lihat ini," katanya sambil menunjuk catatan kecil di margin dokumen: "Dilarang dibuka sampai waktunya tiba."

Aku merasakan kerongkonganku mengering. Ada sejarah dalam keluarga ini yang telah terkubur begitu lama, dan lukisan itu tampaknya menjadi kunci pembuka.

Malam semakin larut. Aku dan Arman memandangi lukisan itu dalam diam. Kali ini, bukan sekadar karya seni yang menggantung di dinding. Ia adalah pintu. Dan aku bersiap untuk membukanya—meskipun yang menantiku di baliknya adalah kegelapan paling pekat dari masa lalu.

Aku menyalakan perekam suara. Jika aku tidak bisa mempercayai ingatanku, mungkin rekaman ini bisa membantu.

"Hari ini, aku melihat sesuatu dalam lukisan itu. Sesuatu yang mungkin tak terlihat oleh mata biasa. Aku takut. Tapi lebih takut lagi kalau aku berhenti di sini. Aku harus terus. Karena aku bukan hanya mencari kebenaran... Aku sedang mencari diriku sendiri."

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #8 Jejak yang Mengendap

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:

🔗LUKISAN TANPA WAJAH #10 Potongan yang Mulai Menyatu

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...