LUKISAN TANPA WAJAH #8 Jejak yang Mengendap [Cerita Misteri]

Jejak yang Mengendap

Malam itu hujan turun dengan lembut, menyisakan ketukan halus di jendela ruang kerja. Aku duduk dengan mantel panjang dan syal yang masih menggantung lemas di leher, enggan melepaskannya. Hangat dari tubuhku belum cukup untuk mengusir hawa dingin yang menyusup dari balik celah-celah dinding tua rumah ini. Namun, bukan dingin yang membuat tubuhku menggigil—melainkan ingatan yang baru saja terbit dari balik kabut.

Lukisan itu. Lukisan tanpa wajah yang tergantung di ruang kerjaku selama bertahun-tahun. Seolah menjadi saksi bisu dari hidupku, dan kini terasa seperti pemilik rahasia yang tak pernah aku sadari. Warna-warnanya tampak lebih gelap malam ini, kontras tajam antara merah darah dan abu-abu pekat yang seakan berdenyut mengikuti detak jantungku sendiri.

Pagi harinya, Arman datang ke rumah. Ia membawa map berisi dokumen dari rumah sakit jiwa di luar kota. Tak biasanya ia datang sepagi itu, bahkan kopi belum sempat aku seduh.

"Aku rasa ini bisa menjelaskan sebagian teka-teki," katanya, meletakkan map itu di meja dengan suara berat.

Kukeluarkan isinya. Dokumen lama, lusuh, dan bertahun-tahun tak tersentuh. Di situ tertulis nama yang mengguncang nadi: Leonard Baskara. Tapi bukan milikku. Tanggal lahirnya berbeda. Wajah dalam foto tampak seperti bayanganku di cermin yang retak.

"Kau pikir ini... saudaramu?" tanya Arman hati-hati.

Aku menggeleng. "Tidak punya saudara. Setidaknya tidak yang kuingat."

Namun dalam pikiranku, bayangan samar itu muncul lagi. Sebuah ruang bercat putih. Kursi goyang tua. Suara tangisan anak kecil yang teredam oleh tembok-tembok tinggi. Dan di tengahnya, lukisan tanpa wajah.

Kami memutuskan untuk menelusuri jejak. Rumah sakit jiwa yang dimaksud terletak di pinggiran kota, bangunannya telah lama ditutup dan menyisakan reruntuhan berlumut. Kami tiba menjelang sore, saat kabut mulai turun dan jalan setapak hampir tak terlihat.

Di dalam gedung, udara dipenuhi bau lembap dan tanah basah. Lantai marmer yang dulunya mengilap kini retak dan dipenuhi lumut. Arman menyalakan senter dan kami menyusuri lorong panjang, dindingnya dipenuhi coretan-coretan tak beraturan. Lalu kami menemukan ruang arsip. Pintu kayunya setengah terbuka, seperti sedang menanti kami masuk.

Rak demi rak kami telusuri, hingga kami menemukan satu kotak besar bertanda "Pasien Khusus 1995". Di dalamnya, catatan harian, sketsa-sketsa, dan satu lukisan kecil berbingkai kayu.

Lukisan itu... salinan dari lukisan tanpa wajah yang menggantung di rumahku.

Tanganku gemetar saat menyentuh permukaannya. Arman menatapku dengan sorot mata curiga yang berusaha disamarkan oleh empati.

"Leo... kalau ini pernah ada di tempat ini... dan sekarang ada di rumahmu... bagaimana caranya?"

Aku menatapnya dalam-dalam. "Itu yang ingin kutahu."

Seketika, kilasan lain muncul. Aku—atau seseorang yang mirip denganku—duduk di ranjang, menatap dinding kosong. Seorang dokter menatap dari balik jendela observasi. Lalu suara lembut dari seorang wanita tua yang membacakan puisi. Nama wanita itu berbisik di benakku—"Ibu."

Kami membawa beberapa dokumen yang bisa diselamatkan. Arman tampak gelisah sepanjang perjalanan pulang. Aku hanya diam, memutar kembali ingatan samar itu dalam benakku.

Sesampainya di rumah, aku memandangi lukisan itu sekali lagi. Ada guratan baru yang tampaknya tak pernah kusadari sebelumnya. Sebuah garis samar yang membentuk kontur wajah... wajahku. Tapi bukan aku yang sekarang—aku yang lebih muda, dengan mata yang kehilangan harapan.

Seketika aku merasa ruangan itu menyempit. Napasku tersengal. Arman memegang bahuku.

"Leo, kita harus cari tahu siapa sebenarnya orang dalam lukisan itu. Dan kenapa lukisan ini... mengikuti hidupmu."

Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa takut.

Karena kutahu, jawabannya tak akan membawa ketenangan.

Dan mungkin... lukisan itu bukan hanya terhubung denganku.

Tapi dengan siapa aku dulunya.

Atau... siapa yang seharusnya mati, dan siapa yang hidup menggantikannya.


Bersambung...


📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #9 Di Balik Bingkai Diam

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...