Aku mengenalnya sebagai Saraswati Arum, seorang koreografer tari klasik yang namanya bersinar di Yogyakarta. Ia bukan sekadar seniman, tetapi ikon yang dielu-elukan dalam dunia tari. Gerakannya halus bak angin yang menari di atas aliran sungai, suaranya lembut namun penuh wibawa. Orang-orang mengaguminya, menghormatinya, bahkan memujanya. Tapi bagiku, ia adalah perusak. Seorang pencuri.
Ia mencuri segalanya dariku.
Dulu, akulah yang berdiri di panggung itu. Aku, Arga Mahesa, adalah murid terbaik Sanggar Sekar Jagad. Langkah-langkahku presisi, tubuhku lentur, dan gerakanku nyaris sempurna. Aku selalu menjadi pusat perhatian, hingga Saraswati datang. Dengan kecantikannya, dengan senyumnya yang manis, dan dengan kebohongannya.
Ia mencuri tarianku.
Aku masih ingat malam itu, saat aku pertama kali mempersembahkan Tari Rara Ireng, sebuah koreografi yang kuciptakan sendiri. Gerakan yang terinspirasi dari mitologi Nyai Roro Kidul, penuh dengan tarikan kuat dan lenggokan yang menyerupai ombak. Aku mencurahkannya dari jiwaku sendiri. Tetapi di hari yang sama, Saraswati mengklaim bahwa tari itu adalah miliknya.
Ia mengatakan bahwa aku mencuri gerakannya. Bahwa akulah yang meniru dirinya. Dan semua orang percaya.
Mereka mengusirku dari sanggar. Mereka menyebutku peniru, plagiator, seseorang yang hanya berusaha menyaingi kejeniusannya. Aku dipermalukan di depan para seniman, ditertawakan dalam ruang yang dulu kuanggap rumah. Saraswati tetap tersenyum, seolah tak bersalah.
Tahun-tahun berlalu, dan aku hanyalah bayangan dari kejayaan yang dulu kupunya. Aku hidup dalam keheningan, sementara Saraswati semakin bersinar. Tari Rara Ireng menjadi mahakaryanya, namanya diukir dalam sejarah seni Yogyakarta. Dan aku? Aku hanya seorang pria yang namanya terhapus dari dunia tari.
Namun, malam ini segalanya akan berubah.
Malam ini, aku akan mengambil kembali apa yang menjadi hakku.
**
Aku tahu bahwa membunuh Saraswati tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Ia bukan wanita lemah yang mudah ditaklukkan dengan kekuatan fisik, dan aku tidak ingin meninggalkan bukti sedikit pun. Tidak, kematian Saraswati harus terlihat seperti kecelakaan murni—sebuah kebetulan tragis yang akan disesali orang-orang, bukan sebuah pembunuhan yang memancing kecurigaan.
Untuk itu, aku harus memanfaatkan dua hal: pendopo tempat ia berlatih dan kebiasaannya sendiri.
Mengamati Kebiasaannya
Aku telah mengamati Saraswati selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ia selalu berlatih sendiri setiap malam di pendopo terbuka, bangunan khas Jawa dengan pilar-pilar kayu jati yang menopang atapnya. Lantainya terbuat dari tegel lawas yang sering terasa licin saat terkena lembab, karena pendopo ini terletak di halaman luas dengan taman di sekelilingnya.
Aku juga tahu satu hal penting: Saraswati sering berlatih dengan kain sampur panjang yang ia lilitkan di pinggangnya. Kain ini sering menjuntai ke lantai saat ia menari, melambai-lambai mengikuti gerakannya.
Aku bisa menggunakan ini untuk merancang kematiannya.
Merancang Perangkap
Malam sebelum eksekusi, aku menyelinap ke dalam pendopo dengan kunci duplikat yang sudah kupersiapkan. Aku membawa dua alat sederhana:
-
Benang pancing tipis namun kuat
-
Minyak kelapa
Aku mengikat benang pancing setinggi mata kaki di antara dua pilar kayu di sisi pendopo, tepat di area tempat Saraswati sering melakukan gerakan putaran. Dengan pencahayaan lampu minyak yang remang-remang, benang ini nyaris tak terlihat.
Setelah itu, aku mengoleskan lapisan tipis minyak kelapa pada beberapa bagian lantai tegel, terutama di area yang berada di depan benang pancing. Lapisan ini tidak terlihat, tetapi begitu terkena tekanan dari telapak kaki, permukaannya menjadi sangat licin.
Aku memastikan semua tampak alami, seolah-olah tidak ada yang berbeda di pendopo itu. Setelah semua persiapan selesai, aku pergi dengan tenang.
Eksekusi: Malam Tarian Terakhir
Seperti yang kuduga, Saraswati datang sendirian malam itu. Dari balik bayangan pilar, aku memperhatikan ia mulai menari. Gerakannya tetap anggun, meskipun tubuhnya bergerak semakin cepat mengikuti irama gamelan yang ia putar dari pemutar kaset tua. Ia mulai tenggelam dalam ritmenya, tanpa menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhirnya.
Saat ia berputar dengan cepat, ujung kain sampurnya tersangkut pada benang tipis yang kupasang.
Tubuhnya tersentak ke belakang. Ia kehilangan keseimbangan seketika. Kakinya berusaha mencari pijakan, namun justru menginjak lantai yang telah kuolesi minyak kelapa.
Kaki Saraswati terpeleset.
Dalam sekejap, ia terhempas ke belakang dengan posisi kepala lebih dulu menuju anak tangga batu di sisi pendopo.
Brak!
Bunyi dentuman keras memenuhi udara saat tengkoraknya membentur sudut tajam anak tangga batu. Seketika, darah mengalir dari pelipisnya, merembes di antara celah tegel yang telah usang. Matanya yang lebar menatap kosong ke langit-langit, tubuhnya mengejang sekali sebelum akhirnya diam selamanya.
Aku tetap bersembunyi di balik pilar, mendengarkan keheningan yang mengikuti suara hantaman itu. Tidak ada erangan, tidak ada perlawanan. Hanya sunyi.
Aku menunggu beberapa menit sebelum akhirnya mendekat. Saraswati sudah tak bernyawa. Kulitnya mulai pucat, darahnya menggenang di lantai.
Aku berlutut di sampingnya dan berbisik di telinganya, "Kau mencuri tarianku. Kini aku mengambil kembali segalanya."
Sebelum pergi, aku menarik benang pancing dan menyimpannya di saku. Tak ada yang bisa menemukan alat pembunuhannya. Lantai yang licin akan dianggap sebagai penyebab utama kecelakaan, dan posisi jatuhnya yang tepat ke arah anak tangga akan meyakinkan siapapun bahwa ini bukan hasil sabotase.
Dengan langkah ringan, aku meninggalkan pendopo. Di luar, angin malam berhembus, menggoyangkan pepohonan di taman. Bulan pucat bersinar di langit, menyaksikan dosa yang baru saja kulakukan.
Malam ini, aku akhirnya menari kembali.
**
Aku tahu bahwa membunuh hanyalah sebagian dari rencana. Hal yang lebih sulit adalah memastikan aku bukan tersangka.
Aku berjalan menuju gang kecil di belakang pendopo, melewati pagar bambu yang biasa digunakan untuk keluar masuk para murid Saraswati. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Jaket hitam yang kupakai langsung kulepas dan kumasukkan ke dalam plastik. Sarung tangan tipis yang tadi kupakai pun kulepas. Tak boleh ada sidik jariku di mana pun.
Dari gang itu, aku menyelinap menuju jalan utama dan masuk ke dalam sebuah warung kopi langgananku, tepat di seberang pasar. Tempat ini selalu ramai, dengan suara gelak tawa, dentingan gelas, dan aroma kopi yang pekat. Sempurna untuk sebuah alibi.
Aku melangkah masuk dan langsung disapa oleh pemilik warung, Pak Darto.
“Hei, Mas Arga! Tumben malam-malam begini?”
Aku tersenyum santai, menyesap udara malam yang dingin. “Iya, Pak. Lagi nggak bisa tidur. Kopi hitam seperti biasa, ya.”
Pak Darto tertawa. “Wah, Mas ini memang nggak berubah. Duduk, duduk.”
Aku memilih duduk di sudut, cukup dekat dengan beberapa pelanggan lain yang tengah berbincang riuh tentang pertandingan sepak bola. Aku melirik jam tanganku. 22.30 WIB. Kematian Saraswati terjadi sekitar 15 menit yang lalu.
Tepat setelah kopi diantarkan, aku sengaja mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan di grup kerja.
"Ada yang masih bangun? Lagi suntuk nih."
Pesan itu adalah penanda keberadaanku di tempat ini. Beberapa menit kemudian, dua rekanku membalas.
Aku tersenyum kecil. Sempurna.
Aku menghabiskan kopi perlahan, berbincang dengan beberapa pelanggan yang kukenal. Setelah satu jam berlalu, aku membayar dan meninggalkan warung. Sekarang, aku adalah pria biasa yang hanya menghabiskan malam dengan secangkir kopi, bukan seorang pembunuh.
**
Keesokan paginya, Yogyakarta masih diselimuti embun ketika terdengar jeritan menggema dari arah pendopo.
Seorang murid tari yang datang lebih awal menemukan tubuh Saraswati tergeletak dalam genangan darah. Orang-orang segera berkerumun, terkejut, bingung, tak percaya.
“Bu Guru… jatuh dari tangga?”
“Tapi kenapa bisa sampai begini?”
Polisi datang tak lama kemudian. Garis kuning dipasang, menghalangi warga yang penasaran. Beberapa petugas mulai mengamati tempat kejadian, sementara yang lain bertanya pada murid-murid dan orang-orang yang terakhir kali melihat Saraswati hidup.
Dari jauh, aku berdiri di antara kerumunan, wajahku menampilkan ekspresi kaget dan sedih. Seolah-olah aku sama sekali tak tahu bahwa aku adalah dalang dari semua ini.
Beberapa jam kemudian, aku mendapat kabar bahwa penyelidikan awal menyimpulkan bahwa kematian Saraswati adalah kecelakaan. Diduga, ia terpeleset karena lantai yang licin, dan jatuh membentur anak tangga batu.
Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Tidak ada barang yang hilang. Tidak ada bukti pembunuhan.
Namun, aku tahu lebih baik dari siapa pun: itu bukan kecelakaan. Itu adalah keadilan.
**
Hari-hari berlalu, dan kematian Saraswati mulai meredup dari perbincangan publik. Beberapa orang mengadakan upacara penghormatan, beberapa muridnya menangis selama berhari-hari, namun waktu selalu menjadi obat. Mereka melupakan.
Tapi aku tidak.
Aku kembali menari.
Aku kembali menguasai panggung yang dulu direbutnya dariku.
Aku adalah penari yang hampir tenggelam karena Saraswati. Aku adalah orang yang dikhianatinya, yang diremehkannya. Aku adalah murid terbaik yang dibuangnya hanya karena aku menolak tunduk pada aturan-aturannya.
Aku yang seharusnya menjadi bintang. Aku yang seharusnya mendapat tempat itu. Tapi ia merebutnya dariku, menghancurkan mimpiku dengan keangkuhannya.
Kini, aku berdiri di atas panggung yang seharusnya milikku. Tanpa bayangannya lagi.
Tapi…
Di sudut cermin studio, aku melihat sesuatu. Bayangan Saraswati.
Ia berdiri diam, menatapku. Matanya kosong, kulitnya pucat, dan bibirnya melengkung dalam senyum samar.
Aku menutup mata, mengatur napas. Itu hanya imajinasiku, bukan? Itu hanya…
Namun saat aku membuka mata lagi, bayangannya masih ada di sana.
Aku merasakan bulu kudukku meremang.
Lalu, suara lirih terdengar di telingaku.
“Tarianmu indah, Arga. Tapi aku masih di sini.”
Aku terpaku. Aku ingin berlari, ingin menjerit, ingin menyangkal bahwa semua ini hanyalah permainan pikiranku.
Tapi aku tahu…
Beberapa tarian tidak akan pernah berakhir.
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar