Berita Pembunuhan
Pagi datang dengan enggan, sinar matahari menerobos perlahan melalui tirai jendela ruang kerjaku. Sisa hujan semalam masih menyisakan genangan di jalan-jalan kecil Jakarta, mencerminkan langit yang masih mendung. Aku duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang mulai mendingin di hadapanku. Malam tadi aku hampir tak tidur, pikiranku terus dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang belum tersusun rapi.
Arman datang. Ia masuk tanpa banyak bicara, melempar sebuah koran ke meja. Halamannya sedikit kusut, seolah telah dibolak-balik dengan tergesa.
"Bacalah," katanya dengan nada datar.
Aku menarik napas dalam sebelum meraih koran itu. Mataku langsung tertuju pada judul yang dicetak tebal di halaman utama:
KOLEKTOR SENI TERKEMUKA TEWAS MISTERIUS DI RUMAHNYA
Darahku seakan membeku saat membaca paragraf pertama.
Leonard Baskara, seorang kolektor seni terkenal, ditemukan tewas di rumah pribadinya pada tengah malam. Sumber kepolisian menyebutkan bahwa korban ditemukan dalam posisi duduk di ruang kerja, dengan satu lukisan misterius tergantung di dinding di dekatnya. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, dan pintu rumah ditemukan terkunci dari dalam.
Aku hampir menjatuhkan koran itu. Nama itu—namaku sendiri—tertera di berita ini. Tapi aku masih hidup. Ini pasti semacam kesalahan, atau lebih buruk lagi, sebuah peringatan.
Arman menatapku tajam, menunggu reaksiku.
"Apa-apaan ini?" suaraku bergetar.
"Itulah yang ingin aku tanyakan," jawabnya tenang. "Koran ini dicetak pagi ini, dan namamu ada di dalamnya. Bagaimana mungkin?"
Aku merasakan keringat dingin mengalir di pelipis. Tanganku gemetar saat memegang lembaran itu lebih erat. Ini bukan kebetulan. Seseorang ingin aku membaca ini. Seseorang ingin aku tahu sesuatu.
Aku mengusap wajahku, mencoba berpikir jernih. "Siapa yang menulis artikel ini?"
Arman membuka ponselnya, lalu menunjukkan sesuatu padaku. "Seorang jurnalis investigasi bernama Farah Wijaya. Aku mengenalnya dari kasus-kasus sebelumnya. Dia bukan tipe yang sembarangan menulis tanpa bukti. Kalau namamu ada di sini, pasti ada alasannya."
Aku membaca ulang kalimat-kalimat dalam artikel itu, berusaha mencari kejanggalan. Satu bagian menarik perhatianku:
Di lokasi kejadian, polisi menemukan sebuah lukisan tanpa wajah yang sebelumnya dikabarkan sebagai bagian dari koleksi pribadi korban. Lukisan ini, yang hingga kini belum diketahui asal-usulnya, disebut-sebut memiliki kaitan dengan kasus pembunuhan kolektor seni di masa lalu.
Kepalaku berdenyut hebat. Ini bukan sekadar berita palsu. Ini adalah bayangan dari sesuatu yang lebih dalam—sebuah teka-teki yang belum aku pahami sepenuhnya.
Arman bersandar ke kursi, menyilangkan tangan di dadanya. "Kita perlu bicara dengan Farah."
Aku menatapnya, masih berusaha memahami semuanya. "Jika ini bukan kesalahan, dan namaku benar-benar ada dalam artikel ini... apa artinya?"
Arman menghela napas panjang. "Artinya, seseorang ingin kau menemukan sesuatu. Atau lebih buruk lagi, seseorang ingin memastikan kau mengingat sesuatu yang sudah lama terkubur."
Aku menelan ludah. Pikiranku berputar-putar, menghubungkan titik-titik yang masih samar. Lukisan itu, pembunuhan ayahku, dan sekarang sebuah berita tentang kematianku sendiri.
Satu hal yang pasti: ini bukan akhir dari misteri. Ini baru permulaan.
Bersambung..
📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #4 Bayangan di Masa Lalu [Cerita Misteri]
📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿