LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung [Cerita Misteri]

Lukisan yang Terhubung

Aku menatap lekat-lekat foto yang masih tergenggam di tanganku, seolah berharap wajah-wajah di dalamnya akan menjawab teka-teki yang terus menghantuiku. Pria itu... wajahnya begitu mirip denganku, namun ada sesuatu yang berbeda—pancaran matanya, cara berdirinya, seolah ia membawa beban masa lalu yang tak kukenal, namun terasa akrab. Ibuku berdiri di sisinya, senyumnya kaku, tak seperti yang kuingat dalam kenangan masa kecilku yang samar.

Aku menuruni loteng dengan kaki yang nyaris tak menjejak lantai. Di ruang kerja, aku menyebar foto-foto dan catatan dari kotak tadi di atas meja. Satu demi satu kupelajari, hingga pandanganku tertambat pada secarik kertas lusuh—gambar tangan, sketsa kasar dari sebuah lukisan. Tidak ada judul, hanya guratan kuat dan bayangan gelap yang membentuk sosok tanpa wajah di tengah kanvas.

Ada sensasi aneh yang menjalar ketika aku menyentuhnya. Jantungku berdegup pelan namun mantap, seperti suara jam tua di ruang tamu yang telah lama tak kudengar. Ada ketertarikan yang tak bisa kutolak. Sketsa itu bukan hanya coretan, tapi jejak menuju sesuatu yang telah lama hilang.

Keesokan paginya, aku menemui Arman di galeri tempat ia bekerja. Galeri itu tenang, seperti museum kecil yang dijaga oleh waktu. Ia menyambutku dengan tatapan khawatir, tetapi tak banyak bicara. Aku menyerahkan sketsa itu padanya.

“Pernah melihat ini?” tanyaku.

Arman mengambilnya, meneliti dengan mata tajam seorang kurator berpengalaman. “Tekniknya... mirip gaya ekspresionis. Tapi ini bukan karya sembarangan. Ada semacam—keputusasaan—dalam goresannya.”

“Aku merasa pernah melihat lukisan ini. Tapi bukan dalam bentuk sketsa. Lukisan ini pernah ada, atau mungkin... masih ada.”

Ia menatapku serius. “Leo, kau sadar bahwa ingatanmu sedang bermain-main denganmu? Kau bisa saja menciptakan koneksi yang tak pernah benar-benar ada.”

“Tapi jika lukisan ini nyata, dan jika aku menemukannya, mungkin aku bisa mengurai benang kusut dalam pikiranku.”

Arman mengangguk perlahan, seperti seorang dokter yang tak yakin dengan diagnosisnya namun tak ingin mengecewakan pasien. Ia membuka laptopnya dan mulai mencari di basis data galeri. Setelah beberapa menit, ia menunjukkan sebuah foto digital.

“Itu... lukisan tanpa wajah,” desahku.

Lukisan itu tergantung di sebuah pameran dua tahun lalu. Keterangan mencantumkan nama pemilik: Leonard Baskara.

Aku.

Namun aku tak ingat pernah menyumbangkan karya itu ke pameran manapun. Bahkan aku tak ingat pernah melukisnya.

“Aku harus melihatnya langsung. Di mana lukisan itu sekarang?”

“Sudah ditarik dari pameran. Kembali ke pemilik. Ke rumahmu, Leo.”

Dunia seakan berhenti berputar sesaat. Lukisan itu—yang entah bagaimana menjadi pusat segala hal yang membingungkan ini—ada di rumahku. Dan aku tak pernah menyadarinya.

Arman menatapku lama sebelum berkata, “Aku akan ikut denganmu.”

Kami kembali ke rumahku menjelang sore. Langit mendung menggantung di atas atap, dan angin membawa aroma hujan yang tertahan. Aku membuka pintu dengan tangan gemetar, seolah akan memasuki ruangan asing meskipun ini adalah rumahku sendiri.

Kami menyusuri lorong yang sunyi, melewati ruang-ruang yang menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Sampai akhirnya, di ruang belakang, tersembunyi di balik tirai debu dan waktu, kami menemukannya.

Lukisan itu berdiri tegak di atas kuda-kuda tua. Sosok tanpa wajah, dikelilingi bayangan, seolah hendak keluar dari kanvas untuk menyampaikan sesuatu. Jantungku berdebar tak menentu. Ada gema dalam pikiranku—kilasan, desahan, suara-suara yang bukan milikku, namun terasa berasal dari dalam diriku.

Arman melangkah maju, memperhatikan detail lukisan dengan cermat. “Lukisan ini... seperti menyimpan sesuatu. Cerita. Tragedi.”

Aku hanya bisa mengangguk. “Dan mungkin, jawabannya ada di dalamnya.”

Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa masa laluku—betapa kelam dan menyakitkannya—sedang mencoba berbicara kembali padaku. Melalui warna, bentuk, dan ruang kosong pada wajah itu.

Dan aku harus mendengarkan.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung [Cerita Komedi Remaja]

Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

Rumah Asri bukan istana. Tapi di sana, ada drama yang tak kalah dari sinetron jam tujuh. Ada cinta, ada cemburu, ada tawa, ada juga teriakan kecil yang kadang bikin kuping merah.

Pagi itu, matahari baru setengah naik, burung gereja masih cerewet di atas genteng, dan suara wajan bertemu bawang putih mulai menggema dari dapur.

"Asriii! Bangun! Nanti kesiangan, lho!"

Suara ibunya membelah kesunyian pagi. Suara itu seperti alarm alami yang tak bisa di-snooze. Asri menggeliat di kasurnya yang sudah mulai tipis, menarik selimut sampai ke hidung, berharap bisa hilang dari radar ibu.

"Masih ngantuk, Bu... 5 menit lagi..." gumamnya, suara seperti orang di ujung dunia.

Tapi suara spatula membentur penggorengan adalah tanda bahwa 5 menit itu akan segera berakhir. Dan benar saja, tak sampai 3 menit, ibunya sudah muncul di depan pintu kamar, satu tangan membawa handuk, tangan lain menunjuk jam dinding.

"Kamu tuh, kalau sekolah kayak mau perang. Mana sepatu belum disikat, seragam belum disetrika, PR juga belum selesai, ya kan?!"

Asri bangun sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal. Wajahnya masih bantal semua.

"Udah kok, Bu... PR-nya tinggal dikit..."

"Dikit-dikit tapi belum selesai. Itu sama aja kayak masak tapi lupa garam. Nggak ada gunanya."

Dapur rumah itu kecil, tapi hangat. Ada aroma tumis kangkung bercampur sambal terasi yang mengambang di udara, menembus sampai ke ruang tamu. Di meja, sudah ada bekal dibungkus kertas minyak—nasi, telur dadar, dan irisan timun. Bekal sederhana, tapi dibuat dengan cinta dan sedikit keluhan.

Ayah Asri masih di depan televisi, menyesap kopi hitamnya yang diseruput keras. "Jangan bikin Ibu ngomel tiap pagi, Sri. Itu bisa memperpendek usia."

Asri menatap ayahnya, lalu ibunya. Mereka berdua seperti langit dan bumi—yang satu tenang, yang satu gemuruh. Tapi dari keduanya, Asri belajar bahwa hidup bukan soal jadi sempurna, tapi soal terus bangun pagi walau semalam ketiduran ngerjain PR.

"Sarapan, Sri. Jangan cuma mandangin nasi. Kalau lapar pas pelajaran, nanti gurunya dikira setan gara-gara kamu melamun."

Asri tertawa kecil. Mulutnya mengunyah nasi, matanya menatap luar jendela. Di luar sana, Jogja masih berkabut. Tapi di dalam sini, hatinya sudah mulai hangat.

Lalu muncul sosok yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamar yang menganga.

"Ibu, Asri tuh semalam tidur duluan, PR-nya malah aku yang bantuin ngerjain!" ujar Tari, kakak Asri, dengan nada setengah kesal tapi penuh rasa sayang yang dibungkus sindiran.

Tari, gadis remaja kelas dua SMP yang rambutnya selalu diikat dua seperti kupu-kupu yang sedang menari di belakang kepala. Ia muncul dengan buku PR Asri di tangan kiri, dan sisir di tangan kanan.

"Kak Tari lebay," gerutu Asri sambil mengunyah lebih cepat.

"Lebay-lebay juga, kalau bukan Kakak, kamu bisa kena semprot Bu Gurumu pagi ini."

Ibunya tertawa pendek sambil membalik tumis kangkung di wajan. "Ya sudah, Kak Tari, makasih ya bantuin adikmu. Tapi Sri, lain kali jangan nyusahin kakak terus. PR sendiri ya dikerjain sendiri."

Asri hanya mengangguk pelan. Di meja makan itu, tiga sosok berbeda duduk: seorang ibu yang penuh semangat, seorang ayah yang kalem seperti lagu keroncong, dan seorang kakak perempuan yang cerewet tapi penyayang.

Rumah itu mungkin sederhana, tapi bagai panggung kecil tempat opera kehidupan dimainkan. Ada tawa, ada teriakan, ada tangis yang kadang sembunyi di balik pintu kamar.

Rumah, meski sering diisi omelan, adalah tempat paling nyamannya di dunia.

Bersambung.....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #7 Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]

Kilasan yang Mengganggu

Malam terasa semakin sunyi. Sejak membaca berita yang mengungkap namaku sendiri di dalam daftar orang yang telah meninggal, dadaku semakin sesak. Pikiran itu berputar tanpa henti, seperti pusaran air yang menelanku ke dalam kegelapan. Bagaimana mungkin aku membaca berita kematianku sendiri? Siapa yang telah mati dengan namaku?

Di ruang kerja yang penuh dengan berkas dan buku berserakan, aku duduk dengan tangan mencengkeram rambutku. Lampu redup memberikan bayangan samar di dinding, seolah-olah ada sosok lain yang diam-diam mengamatiku. Di meja, koran tua dengan tanggal yang pudar masih terbuka di halaman berita kriminal.

"Leonard Baskara, kolektor seni ternama, ditemukan tewas di kediamannya dalam kondisi mengenaskan. Polisi masih menyelidiki kasus ini, tetapi hingga saat ini belum ada petunjuk yang mengarah pada tersangka."

Aku menggeram, tanganku mengepal. Kalimat itu seakan menusuk pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin aku masih hidup jika berita ini benar?

Kilasan-kilasan samar kembali muncul dalam pikiranku. Sebuah ruangan gelap. Aroma cat minyak yang tajam. Suara gemerisik di kejauhan. Dan kemudian, kilatan pisau.

Aku terhenyak. Napasku memburu. Kenangan itu datang seperti serpihan kaca yang menusuk otakku. Sesuatu yang penting hampir kembali padaku, tetapi tetap buram, seperti lukisan yang setengah jadi.

Tak tahan dengan ketidakpastian, aku menghubungi Arman. Suara sahabatku terdengar lelah ketika menjawab panggilan.

"Leo? Kau baik-baik saja? Sudah larut malam."

"Arman, aku butuh bantuanmu. Kita harus menggali lebih dalam tentang berita itu. Siapa yang sebenarnya mati dengan namaku? Aku harus tahu."

Arman terdiam sejenak sebelum menjawab, "Baik. Aku akan mencari sumber lain. Mungkin ada laporan forensik atau catatan rumah sakit yang bisa memberi kita jawaban."

Aku mengangguk meskipun tahu Arman tidak bisa melihatnya. "Aku juga akan mencari petunjuk di rumah ini. Ada sesuatu yang terasa tidak beres."

Setelah menutup telepon, aku menatap ke sekeliling ruangan. Aku memutuskan untuk memeriksa kembali setiap sudut rumahku, mencari sesuatu yang mungkin bisa memicu ingatan yang lebih jelas.

Aku berjalan menuju loteng, tempat aku menyimpan barang-barang lama. Anak tangga kayu berderit di bawah langkahku. Saat mencapai pintu loteng, tanganku gemetar saat menyentuh gagangnya. Ada perasaan ganjil yang menyelimutiku, seperti aku akan menemukan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.

Dengan perlahan, aku mendorong pintu dan menemukan diriku berdiri di tengah ruangan penuh debu. Cahaya bulan masuk melalui celah-celah kayu, menerangi tumpukan kotak-kotak tua. Aku melangkah lebih dalam, mataku menyusuri rak-rak berdebu hingga berhenti pada satu kotak besar di sudut ruangan.

Aku menarik kotak itu dan membuka tutupnya. Di dalamnya, terdapat tumpukan kertas, buku catatan, serta beberapa foto lama yang sudah menguning. Dengan jantung berdebar, aku mengangkat salah satu foto dan menatapnya dengan seksama.

Di foto itu, seorang pria yang mirip denganku berdiri di samping seorang wanita yang tampak familiar. Mataku melebar saat menyadari siapa wanita itu—ibuku. Tetapi pria di sebelahnya...

"Apa ini...?" bisikku.

Rasa pusing mendadak menyerangku, dan kilasan ingatan kembali menghantam pikiranku. Aku melihat diriku di ruangan yang berbeda, duduk di kursi dengan tangan gemetar, memegang pisau berlumuran darah. Di depanku, seseorang tergeletak tak bergerak. Lukisan tanpa wajah tergantung di dinding, menatapku dalam keheningan yang mengerikan.

Kilasan itu lenyap secepat datangnya. Aku terhuyung ke belakang, keringat dingin membasahi pelipisku. Nafasku tersengal. Aku tak bisa lagi menyangkal—ada sesuatu yang hilang dalam hidupku, sesuatu yang mungkin lebih gelap dari yang aku kira.

Dan satu-satunya cara untuk menemukan jawabannya adalah dengan menggali lebih dalam, meskipun itu berarti menghadapi bayangan kelam dari masa laluku yang selama ini terkubur.

Bersambung....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #5 Berita Pembunuhan [Cerita Misteri]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung [Cerita Misteri]

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #7 Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus [Cerita Komedi Remaja]

Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus

Siang itu Jogja panas bukan main. Matahari menyala-nyala, membakar aspal dan genteng rumah warga seperti sedang menguji kesabaran manusia. Asri pulang sekolah sambil menenteng tas yang lebih berat dari isi kantongnya. Keringat mengalir dari pelipisnya, tapi ada satu hal yang lebih mendesak dari panas matahari: lapar.

Lapar bukan karena belum makan. Tapi lapar karena liat gerobak cilok mangkal di depan warung Bu Slamet.

"Cilok... cilok... panas... gurih...!"

Suara si penjual cilok terdengar seperti musik surgawi di telinga Asri. Tanpa pikir panjang, ia berbelok, lupa daratan, lupa rumah, lupa janji ke ibunya buat hemat uang saku.

"Mas, cilok seribuan lima ya! Pake saus banyak, tapi cabenya dikit!" kata Asri sambil menyodorkan uang recehan dari saku bajunya.

Penjual cilok mengangguk bijak seperti pendeta yang tahu betul apa yang dibutuhkan umatnya. Asri menunggu dengan sabar, lidahnya sudah menari-nari membayangkan rasa kenyal dan pedas gurih cilok yang selalu bikin ketagihan.

Lima menit kemudian, Asri pulang dengan langkah lebih ringan. Perut senang, hati tenang. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama.

Begitu sampai di rumah, suara ibunya menyambut dari dapur, "Asri! Sini kamu!"

Nada suaranya tidak seperti biasanya. Ada getaran. Ada hawa panas yang tak kalah dari terik matahari tadi.

Asri masuk dengan langkah pelan, matanya mengintip ke arah dapur. Ibunya berdiri dengan tangan bertolak pinggang, alisnya naik sebelah, bibirnya mengerucut tipis-tipis seperti orang tahan napas.

"Kamu tadi jajan lagi ya?"

Asri terdiam. Diam yang lebih keras dari suara bising pasar. Tapi di wajahnya, ada sisa saus merah yang belum sempat ia bersihkan.

"Itu apa di pipimu? Saus cilok, ya Allah... Asri..."

Dan meledaklah omelan itu seperti petasan cap tikus dilempar ke dalam kaleng kosong.

"Kamu tuh, Ibu udah bilang berapa kali? Nabung! Nabung! Bukan jajan terus tiap hari! Uang jajan itu buat ditabung setengahnya, bukan buat beli cilok tiap pulang sekolah!"

Asri cengengesan. Tapi senyum itu segera luntur ketika melihat mata ibu yang berkaca-kaca, bukan karena marah, tapi karena lelah. Lelah mengulang nasihat yang sama.

"Ibu kerja ngumpulin uang buat kamu sekolah, bukan buat kamu foya-foya jajan. Cilok hari ini, es krim besok, mie ayam lusa. Besok-besok kamu minta ginjal ibu juga?!"

Asri tertunduk. Kata-kata ibunya lebih pedas dari cabai rawit.

"Maaf, Bu..." suaranya kecil seperti bisikan semut di dalam toples gula.

Ibunya mendesah, lalu merogoh saku celemeknya. Ia mengeluarkan dua lembar uang ribuan.

"Ini. Buat besok. Tapi inget, separuh masuk celengan. Kalau ibu dapet laporan dari warung Bu Slamet atau si Mas cilok itu, kamu puasa jajan sebulan. Ngerti?"

Asri mengangguk, matanya berkaca-kaca. Bukan karena sedih, tapi karena merasa dicintai dengan cara yang keras tapi jujur.

Sore itu, ia duduk di pojokan kamar, membuka celengan ayamnya yang mulai berat. Ia masukkan uang dari ibunya ke dalam sana, lalu tersenyum kecil.

Cilok itu enak.

Tapi pelukan ibu lebih mengenyangkan.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #6 Misteri Kotak Bekal yang Hilang

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

Dinding yang Tidak Mendengar [Cerita Horor Psikologis]

 Dinding yang Tidak Mendengar

Demi segala yang kudengar dan kusaksikan, aku bersumpah—aku bukan orang gila.

Aku waras, bahkan lebih waras dari mereka yang sibuk mengukur kewarasan dengan grafik dan catatan medis. Namun, biarkan aku menuturkan kisah ini sebagaimana mestinya, perlahan dan teliti, seperti aku menyusun kembali potongan ingatan yang telah lama kubenamkan ke dalam kegelapan.

Mereka bilang aku pendiam. Ya, itu benar. Tapi mereka tak tahu betapa riuhnya dunia yang hidup di dalam kepalaku—sebuah orkestra jeritan dan bisikan yang tak pernah henti, terutama saat malam mulai menekan dengan sunyi yang menyesakkan.

Aku tinggal di sebuah rumah tua yang diwariskan dari ibuku. Rumah itu besar, dengan lorong panjang yang menelan suara, dan jendela-jendela tinggi yang membiarkan bayangan malam masuk sepuasnya. Di sanalah aku menyendiri, menulis, membaca, dan—yang paling penting—mendengarkan.

Aku adalah pendengar yang baik. Terlalu baik, bahkan.

Selama bertahun-tahun, orang-orang datang padaku membawa cerita mereka. Luka-luka mereka seperti lukisan yang mereka bentangkan di hadapanku—aku tak punya pilihan selain menatap dan menyimpannya. Mereka menangis, tertawa getir, bergetar dalam kalimat yang setengah tak terucap. Dan aku? Aku duduk, diam, mencatat semuanya dalam pikiranku yang tak pernah benar-benar istirahat.

Namun, pernahkah kau berpikir, wahai pendengar, bahwa sebuah bejana pun bisa penuh? Bahwa dinding yang selama ini hanya menerima, suatu hari bisa mulai berbicara?

Aku mulai merasa aneh pada suatu malam, malam ke-37 dalam kalender kebisuanku. Aku sedang duduk di kursi tua yang menghadap jendela. Angin mendesir pelan, membawa aroma lembab dari tanah yang belum disentuh matahari seharian. Di luar, bulan setengah tergantung miring di langit seperti senyuman sinis seorang yang tahu rahasia.

Lalu aku mendengar suara itu.

Bukan suara jeritan manusia, bukan juga bisikan setan, tapi suara... tangisan. Namun tangisan itu datang bukan dari luar, melainkan dari dalam. Dari balik dinding rumahku—dinding tempat aku sering menyandarkan kepala ketika dunia terasa terlalu berat.

Aku terdiam. Mencoba menepis. Tapi suara itu kembali malam berikutnya. Dan berikutnya. Ia mulai menuntut perhatian, seperti bayi lapar yang tak puas hanya dengan pengabaian.

Pada malam ke-41, aku mulai bicara pada dinding itu.

“Kau menangis, ya?” bisikku.

Tentu saja dinding tidak menjawab. Tapi kurasa ia mendengar.

Sejak malam itu, aku mulai bercerita balik. Untuk pertama kalinya, aku menumpahkan isi kepalaku bukan kepada manusia, tapi kepada dinding. Aku ceritakan semuanya—tentang kelelahan jadi tempat pelarian, tentang rasa takut dianggap lemah, tentang semua pesan yang kutulis tapi kuhapus, dan tentang suara-suara di kepalaku yang terus mengatakan aku bukan apa-apa.

Dan sungguh, setelah itu, aku merasa lebih tenang.

Namun tenang itu fana.

Karena di minggu kedua aku bercerita, dinding itu mulai menanggapi. Bukan dengan kata-kata, melainkan dengan ketukan halus. Seperti kuku yang menggesek pelan papan kayu. Seperti detak jantung yang asing tapi akrab. Semakin lama aku bicara, semakin keras ketukan itu.

Aku tahu, aku seharusnya takut. Tapi aku tidak. Aku merasa... dimengerti.

Sampai pada malam itu. Malam ke-58.

Aku berbicara panjang lebar. Tentang seseorang yang dulu pernah membuatku percaya bahwa aku juga berhak bahagia. Seseorang yang datang dengan janji, lalu pergi dengan luka. Aku bicara tentang bagaimana aku menahan tangis di kamar mandi setiap malam, hanya agar tidak ada yang tahu aku sedang hancur.

Dan saat aku selesai, suara dari balik dinding itu tidak lagi mengetuk. Ia mengetuk dan... tertawa.

Tertawa kecil. Tertawa sinis. Seperti tawa yang sering kudengar di kepalaku sendiri—suara yang suka menyebutku lemah, pecundang, beban.

“Aku tahu kau tidak kuat,” bisiknya. “Tapi kenapa berpura-pura?”

Aku mundur. Dadaku sesak. Dinding itu kini memantulkan diriku sendiri, semua kebohongan yang kubangun demi terlihat baik-baik saja. Aku menjerit padanya.

“Diam!”

Tapi suara itu tidak diam. Ia justru membalas, dengan suara yang kini seperti suaraku sendiri. Ia menirukan setiap kalimat yang pernah kuucap pada orang lain: “Kamu harus kuat.” “Jangan nyerah, ya.” “Aku di sini kok.”

Kalimat-kalimat yang selalu kusebutkan, meski aku sendiri tak pernah benar-benar percaya.

Aku meraih palu dari bawah meja. Langkahku berat, tapi pasti. Aku berjalan menuju dinding itu, dinding yang telah terlalu banyak tahu, terlalu banyak menyimpan, terlalu banyak mendengar. Aku tak ingin ia tahu lagi.

Dengan hentakan penuh amarah dan ketakutan, aku memukulnya. Sekali. Dua kali. Puluhan kali. Debu berhamburan. Kayu pecah. Udara dipenuhi serpihan kenangan.

Dan di balik dinding itu—tak ada apa-apa.
Hanya gelap dan suara napasku sendiri.

Rumah menjadi sunyi. Dan aku duduk di lantai, memandangi kehancuran yang kubuat.

Tapi sejak saat itu, dinding tak pernah berbicara lagi. Tak pernah menangis. Tak pernah mengetuk.
Dan aku? Aku kembali mendengar cerita orang lain. Dengan senyum, dengan anggukan, dengan “aku ngerti kok.”

Hanya saja, sekarang, aku tahu.
Bahwa ada bagian dalam diriku yang telah kukubur bersama dinding itu.

Dan malam-malamku kembali sunyi.
Terlalu sunyi.


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

DENDAM DI BALIK TARIAN [Drama Balas Dendam]

Aku mengenalnya sebagai Saraswati Arum, seorang koreografer tari klasik yang namanya bersinar di Yogyakarta. Ia bukan sekadar seniman, tetapi ikon yang dielu-elukan dalam dunia tari. Gerakannya halus bak angin yang menari di atas aliran sungai, suaranya lembut namun penuh wibawa. Orang-orang mengaguminya, menghormatinya, bahkan memujanya. Tapi bagiku, ia adalah perusak. Seorang pencuri.

Ia mencuri segalanya dariku.

Dulu, akulah yang berdiri di panggung itu. Aku, Arga Mahesa, adalah murid terbaik Sanggar Sekar Jagad. Langkah-langkahku presisi, tubuhku lentur, dan gerakanku nyaris sempurna. Aku selalu menjadi pusat perhatian, hingga Saraswati datang. Dengan kecantikannya, dengan senyumnya yang manis, dan dengan kebohongannya.

Ia mencuri tarianku.

Aku masih ingat malam itu, saat aku pertama kali mempersembahkan Tari Rara Ireng, sebuah koreografi yang kuciptakan sendiri. Gerakan yang terinspirasi dari mitologi Nyai Roro Kidul, penuh dengan tarikan kuat dan lenggokan yang menyerupai ombak. Aku mencurahkannya dari jiwaku sendiri. Tetapi di hari yang sama, Saraswati mengklaim bahwa tari itu adalah miliknya.

Ia mengatakan bahwa aku mencuri gerakannya. Bahwa akulah yang meniru dirinya. Dan semua orang percaya.

Mereka mengusirku dari sanggar. Mereka menyebutku peniru, plagiator, seseorang yang hanya berusaha menyaingi kejeniusannya. Aku dipermalukan di depan para seniman, ditertawakan dalam ruang yang dulu kuanggap rumah. Saraswati tetap tersenyum, seolah tak bersalah.

Tahun-tahun berlalu, dan aku hanyalah bayangan dari kejayaan yang dulu kupunya. Aku hidup dalam keheningan, sementara Saraswati semakin bersinar. Tari Rara Ireng menjadi mahakaryanya, namanya diukir dalam sejarah seni Yogyakarta. Dan aku? Aku hanya seorang pria yang namanya terhapus dari dunia tari.

Namun, malam ini segalanya akan berubah.

Malam ini, aku akan mengambil kembali apa yang menjadi hakku.

**

Aku tahu bahwa membunuh Saraswati tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Ia bukan wanita lemah yang mudah ditaklukkan dengan kekuatan fisik, dan aku tidak ingin meninggalkan bukti sedikit pun. Tidak, kematian Saraswati harus terlihat seperti kecelakaan murni—sebuah kebetulan tragis yang akan disesali orang-orang, bukan sebuah pembunuhan yang memancing kecurigaan.

Untuk itu, aku harus memanfaatkan dua hal: pendopo tempat ia berlatih dan kebiasaannya sendiri.

Mengamati Kebiasaannya

Aku telah mengamati Saraswati selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ia selalu berlatih sendiri setiap malam di pendopo terbuka, bangunan khas Jawa dengan pilar-pilar kayu jati yang menopang atapnya. Lantainya terbuat dari tegel lawas yang sering terasa licin saat terkena lembab, karena pendopo ini terletak di halaman luas dengan taman di sekelilingnya.

Aku juga tahu satu hal penting: Saraswati sering berlatih dengan kain sampur panjang yang ia lilitkan di pinggangnya. Kain ini sering menjuntai ke lantai saat ia menari, melambai-lambai mengikuti gerakannya.

Aku bisa menggunakan ini untuk merancang kematiannya.

Merancang Perangkap

Malam sebelum eksekusi, aku menyelinap ke dalam pendopo dengan kunci duplikat yang sudah kupersiapkan. Aku membawa dua alat sederhana:

  1. Benang pancing tipis namun kuat

  2. Minyak kelapa

Aku mengikat benang pancing setinggi mata kaki di antara dua pilar kayu di sisi pendopo, tepat di area tempat Saraswati sering melakukan gerakan putaran. Dengan pencahayaan lampu minyak yang remang-remang, benang ini nyaris tak terlihat.

Setelah itu, aku mengoleskan lapisan tipis minyak kelapa pada beberapa bagian lantai tegel, terutama di area yang berada di depan benang pancing. Lapisan ini tidak terlihat, tetapi begitu terkena tekanan dari telapak kaki, permukaannya menjadi sangat licin.

Aku memastikan semua tampak alami, seolah-olah tidak ada yang berbeda di pendopo itu. Setelah semua persiapan selesai, aku pergi dengan tenang.

Eksekusi: Malam Tarian Terakhir

Seperti yang kuduga, Saraswati datang sendirian malam itu. Dari balik bayangan pilar, aku memperhatikan ia mulai menari. Gerakannya tetap anggun, meskipun tubuhnya bergerak semakin cepat mengikuti irama gamelan yang ia putar dari pemutar kaset tua. Ia mulai tenggelam dalam ritmenya, tanpa menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhirnya.

Saat ia berputar dengan cepat, ujung kain sampurnya tersangkut pada benang tipis yang kupasang.

Tubuhnya tersentak ke belakang. Ia kehilangan keseimbangan seketika. Kakinya berusaha mencari pijakan, namun justru menginjak lantai yang telah kuolesi minyak kelapa.

Kaki Saraswati terpeleset.

Dalam sekejap, ia terhempas ke belakang dengan posisi kepala lebih dulu menuju anak tangga batu di sisi pendopo.

Brak!

Bunyi dentuman keras memenuhi udara saat tengkoraknya membentur sudut tajam anak tangga batu. Seketika, darah mengalir dari pelipisnya, merembes di antara celah tegel yang telah usang. Matanya yang lebar menatap kosong ke langit-langit, tubuhnya mengejang sekali sebelum akhirnya diam selamanya.

Aku tetap bersembunyi di balik pilar, mendengarkan keheningan yang mengikuti suara hantaman itu. Tidak ada erangan, tidak ada perlawanan. Hanya sunyi.

Aku menunggu beberapa menit sebelum akhirnya mendekat. Saraswati sudah tak bernyawa. Kulitnya mulai pucat, darahnya menggenang di lantai.

Aku berlutut di sampingnya dan berbisik di telinganya, "Kau mencuri tarianku. Kini aku mengambil kembali segalanya."

Sebelum pergi, aku menarik benang pancing dan menyimpannya di saku. Tak ada yang bisa menemukan alat pembunuhannya. Lantai yang licin akan dianggap sebagai penyebab utama kecelakaan, dan posisi jatuhnya yang tepat ke arah anak tangga akan meyakinkan siapapun bahwa ini bukan hasil sabotase.

Dengan langkah ringan, aku meninggalkan pendopo. Di luar, angin malam berhembus, menggoyangkan pepohonan di taman. Bulan pucat bersinar di langit, menyaksikan dosa yang baru saja kulakukan.

Malam ini, aku akhirnya menari kembali.

**

Aku tahu bahwa membunuh hanyalah sebagian dari rencana. Hal yang lebih sulit adalah memastikan aku bukan tersangka.

Aku berjalan menuju gang kecil di belakang pendopo, melewati pagar bambu yang biasa digunakan untuk keluar masuk para murid Saraswati. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Jaket hitam yang kupakai langsung kulepas dan kumasukkan ke dalam plastik. Sarung tangan tipis yang tadi kupakai pun kulepas. Tak boleh ada sidik jariku di mana pun.

Dari gang itu, aku menyelinap menuju jalan utama dan masuk ke dalam sebuah warung kopi langgananku, tepat di seberang pasar. Tempat ini selalu ramai, dengan suara gelak tawa, dentingan gelas, dan aroma kopi yang pekat. Sempurna untuk sebuah alibi.

Aku melangkah masuk dan langsung disapa oleh pemilik warung, Pak Darto.

“Hei, Mas Arga! Tumben malam-malam begini?”

Aku tersenyum santai, menyesap udara malam yang dingin. “Iya, Pak. Lagi nggak bisa tidur. Kopi hitam seperti biasa, ya.”

Pak Darto tertawa. “Wah, Mas ini memang nggak berubah. Duduk, duduk.”

Aku memilih duduk di sudut, cukup dekat dengan beberapa pelanggan lain yang tengah berbincang riuh tentang pertandingan sepak bola. Aku melirik jam tanganku. 22.30 WIB. Kematian Saraswati terjadi sekitar 15 menit yang lalu.

Tepat setelah kopi diantarkan, aku sengaja mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan di grup kerja.

"Ada yang masih bangun? Lagi suntuk nih."

Pesan itu adalah penanda keberadaanku di tempat ini. Beberapa menit kemudian, dua rekanku membalas.

"Woi, begadang mulu lu!"
"Sini ngobrol di Discord, gue juga belum tidur."

Aku tersenyum kecil. Sempurna.

Aku menghabiskan kopi perlahan, berbincang dengan beberapa pelanggan yang kukenal. Setelah satu jam berlalu, aku membayar dan meninggalkan warung. Sekarang, aku adalah pria biasa yang hanya menghabiskan malam dengan secangkir kopi, bukan seorang pembunuh.

**

Keesokan paginya, Yogyakarta masih diselimuti embun ketika terdengar jeritan menggema dari arah pendopo.

Seorang murid tari yang datang lebih awal menemukan tubuh Saraswati tergeletak dalam genangan darah. Orang-orang segera berkerumun, terkejut, bingung, tak percaya.

“Bu Guru… jatuh dari tangga?”

“Tapi kenapa bisa sampai begini?”

Polisi datang tak lama kemudian. Garis kuning dipasang, menghalangi warga yang penasaran. Beberapa petugas mulai mengamati tempat kejadian, sementara yang lain bertanya pada murid-murid dan orang-orang yang terakhir kali melihat Saraswati hidup.

Dari jauh, aku berdiri di antara kerumunan, wajahku menampilkan ekspresi kaget dan sedih. Seolah-olah aku sama sekali tak tahu bahwa aku adalah dalang dari semua ini.

Beberapa jam kemudian, aku mendapat kabar bahwa penyelidikan awal menyimpulkan bahwa kematian Saraswati adalah kecelakaan. Diduga, ia terpeleset karena lantai yang licin, dan jatuh membentur anak tangga batu.

Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Tidak ada barang yang hilang. Tidak ada bukti pembunuhan.

Namun, aku tahu lebih baik dari siapa pun: itu bukan kecelakaan. Itu adalah keadilan.

**

Hari-hari berlalu, dan kematian Saraswati mulai meredup dari perbincangan publik. Beberapa orang mengadakan upacara penghormatan, beberapa muridnya menangis selama berhari-hari, namun waktu selalu menjadi obat. Mereka melupakan.

Tapi aku tidak.

Aku kembali menari.

Aku kembali menguasai panggung yang dulu direbutnya dariku.

Aku adalah penari yang hampir tenggelam karena Saraswati. Aku adalah orang yang dikhianatinya, yang diremehkannya. Aku adalah murid terbaik yang dibuangnya hanya karena aku menolak tunduk pada aturan-aturannya.

Aku yang seharusnya menjadi bintang. Aku yang seharusnya mendapat tempat itu. Tapi ia merebutnya dariku, menghancurkan mimpiku dengan keangkuhannya.

Kini, aku berdiri di atas panggung yang seharusnya milikku. Tanpa bayangannya lagi.

Tapi…

Di sudut cermin studio, aku melihat sesuatu. Bayangan Saraswati.

Ia berdiri diam, menatapku. Matanya kosong, kulitnya pucat, dan bibirnya melengkung dalam senyum samar.

Aku menutup mata, mengatur napas. Itu hanya imajinasiku, bukan? Itu hanya…

Namun saat aku membuka mata lagi, bayangannya masih ada di sana.

Aku merasakan bulu kudukku meremang.

Lalu, suara lirih terdengar di telingaku.

“Tarianmu indah, Arga. Tapi aku masih di sini.”

Aku terpaku. Aku ingin berlari, ingin menjerit, ingin menyangkal bahwa semua ini hanyalah permainan pikiranku.

Tapi aku tahu…

Beberapa tarian tidak akan pernah berakhir.



Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #5 Berita Pembunuhan [Cerita Misteri]

 

Berita Pembunuhan

Pagi datang dengan enggan, sinar matahari menerobos perlahan melalui tirai jendela ruang kerjaku. Sisa hujan semalam masih menyisakan genangan di jalan-jalan kecil Jakarta, mencerminkan langit yang masih mendung. Aku duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang mulai mendingin di hadapanku. Malam tadi aku hampir tak tidur, pikiranku terus dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang belum tersusun rapi.

Arman datang. Ia masuk tanpa banyak bicara, melempar sebuah koran ke meja. Halamannya sedikit kusut, seolah telah dibolak-balik dengan tergesa.

"Bacalah," katanya dengan nada datar.

Aku menarik napas dalam sebelum meraih koran itu. Mataku langsung tertuju pada judul yang dicetak tebal di halaman utama:

KOLEKTOR SENI TERKEMUKA TEWAS MISTERIUS DI RUMAHNYA

Darahku seakan membeku saat membaca paragraf pertama.

Leonard Baskara, seorang kolektor seni terkenal, ditemukan tewas di rumah pribadinya pada tengah malam. Sumber kepolisian menyebutkan bahwa korban ditemukan dalam posisi duduk di ruang kerja, dengan satu lukisan misterius tergantung di dinding di dekatnya. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, dan pintu rumah ditemukan terkunci dari dalam.

Aku hampir menjatuhkan koran itu. Nama itu—namaku sendiri—tertera di berita ini. Tapi aku masih hidup. Ini pasti semacam kesalahan, atau lebih buruk lagi, sebuah peringatan.

Arman menatapku tajam, menunggu reaksiku.

"Apa-apaan ini?" suaraku bergetar.

"Itulah yang ingin aku tanyakan," jawabnya tenang. "Koran ini dicetak pagi ini, dan namamu ada di dalamnya. Bagaimana mungkin?"

Aku merasakan keringat dingin mengalir di pelipis. Tanganku gemetar saat memegang lembaran itu lebih erat. Ini bukan kebetulan. Seseorang ingin aku membaca ini. Seseorang ingin aku tahu sesuatu.

Aku mengusap wajahku, mencoba berpikir jernih. "Siapa yang menulis artikel ini?"

Arman membuka ponselnya, lalu menunjukkan sesuatu padaku. "Seorang jurnalis investigasi bernama Farah Wijaya. Aku mengenalnya dari kasus-kasus sebelumnya. Dia bukan tipe yang sembarangan menulis tanpa bukti. Kalau namamu ada di sini, pasti ada alasannya."

Aku membaca ulang kalimat-kalimat dalam artikel itu, berusaha mencari kejanggalan. Satu bagian menarik perhatianku:

Di lokasi kejadian, polisi menemukan sebuah lukisan tanpa wajah yang sebelumnya dikabarkan sebagai bagian dari koleksi pribadi korban. Lukisan ini, yang hingga kini belum diketahui asal-usulnya, disebut-sebut memiliki kaitan dengan kasus pembunuhan kolektor seni di masa lalu.

Kepalaku berdenyut hebat. Ini bukan sekadar berita palsu. Ini adalah bayangan dari sesuatu yang lebih dalam—sebuah teka-teki yang belum aku pahami sepenuhnya.

Arman bersandar ke kursi, menyilangkan tangan di dadanya. "Kita perlu bicara dengan Farah."

Aku menatapnya, masih berusaha memahami semuanya. "Jika ini bukan kesalahan, dan namaku benar-benar ada dalam artikel ini... apa artinya?"

Arman menghela napas panjang. "Artinya, seseorang ingin kau menemukan sesuatu. Atau lebih buruk lagi, seseorang ingin memastikan kau mengingat sesuatu yang sudah lama terkubur."

Aku menelan ludah. Pikiranku berputar-putar, menghubungkan titik-titik yang masih samar. Lukisan itu, pembunuhan ayahku, dan sekarang sebuah berita tentang kematianku sendiri.

Satu hal yang pasti: ini bukan akhir dari misteri. Ini baru permulaan.

Bersambung..

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #4 Bayangan di Masa Lalu [Cerita Misteri]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #6 Misteri Kotak Bekal yang Hilang

Misteri Kotak Bekal yang Hilang

Pagi masih muda, tapi hiruk-pikuk sekolah sudah seperti pasar tiban. Kaki-kaki kecil berlarian di lorong kelas, suara obrolan bercampur tawa bersahutan, seperti orkestra tanpa konduktor. Udara bercampur aroma seragam yang masih basah kena setrikaan ibu-ibu semalam, dan sisa embun yang malas menguap di lapangan sekolah. Di antara semua keriuhan itu, Asri duduk di bangkunya dengan raut wajah tak biasa. Ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang lebih penting dari PR Matematika yang kemarin hampir membuatnya mati berdiri di depan kelas.

Kotak bekalnya.

Asri mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Tasnya sudah dibongkar tiga kali, laci meja juga diperiksa ulang. Nihil. Kotak bekal berwarna hijau terang dengan stiker karakter kesayangannya lenyap entah ke mana.

Rini yang duduk di sebelahnya menatap heran. "Kenapa, As? Kok kayak kehilangan separuh nyawa?"

"Kotak bekalku hilang, Rin. Padahal tadi pagi aku yakin banget naruhnya di tas."

Adit yang baru saja duduk ikut menimpali. "Siapa tahu ketinggalan di rumah?"

Asri menggeleng kuat. "Nggak mungkin, Dit. Aku bahkan bisa membayangkan betapa indahnya nasi goreng buatan ibu tadi pagi, lengkap dengan telur dadar yang dikerat tipis-tipis kayak di restoran. Mana mungkin aku lupa naruh?"

Mata Rini menyipit. "Kalau nggak ketinggalan di rumah, berarti… hilang di sekolah?"

Asri dan Adit saling berpandangan. Hilang di sekolah? Ini bukan sekadar kasus kehilangan barang biasa. Ini adalah kasus besar. Kasus yang harus dipecahkan sebelum jam istirahat tiba. Sebab, jam istirahat tanpa kotak bekal sama saja seperti pelajaran tanpa bel pulang—menyiksa.

"Baiklah," kata Asri akhirnya, memasang ekspresi seperti detektif yang baru saja mengambil kasus terbesarnya. "Kita harus cari tahu siapa pelakunya."

Adit mengangkat tangan. "Tunggu. Kenapa kita langsung mikir ini dicuri? Bisa aja jatuh atau tertukar."

"Coba pikir, Dit. Kalau jatuh, pasti ada yang lihat. Kalau tertukar, harusnya ada yang ngaku. Tapi sampai sekarang, kotak bekalku masih nggak ada. Ini pasti ulah seseorang."

Rini menyandarkan dagu di tangannya. "Jadi kita mulai dari mana?"

Asri menatap sekeliling kelas. Wajah-wajah polos teman-temannya kini berubah menjadi tersangka potensial dalam kepalanya. Lalu matanya tertumbuk pada satu sosok di pojokan kelas. Bowo.

Si kutu buku ini memang dikenal jenius dalam urusan pelajaran. Tapi di balik kejeniusannya, ada kebiasaan yang mencurigakan: dia sering membawa bekal, tapi jarang terlihat benar-benar makan. Bisa jadi, ini bagian dari rencananya selama ini.

"Bowo," panggil Asri, mendekati meja sang jenius.

Bowo menatapnya dari balik kacamatanya. "Kenapa, As? Ada soal Matematika yang nggak kamu mengerti lagi?"

"Bukan. Ini lebih serius. Kotak bekalku hilang."

Bowo mengangkat alis. "Dan kamu pikir aku yang ambil?"

"Kamu selalu bawa bekal, tapi aku jarang lihat kamu makan. Ini bukti pertama."

"Bekalku nggak hilang, jadi aku nggak perlu mencuri bekal orang lain. Itu bukti pertama versiku," balas Bowo santai.

Asri mendecak. Oke, target pertama lolos dari kecurigaan.

Rini yang sejak tadi diam akhirnya bersuara, "Gimana kalau kita cari di tempat-tempat yang nggak terduga? Misalnya, di ruang guru, kantin, atau bahkan di kelas lain? Bisa aja seseorang nemu kotak bekalmu dan lupa balikin."

"Setuju," kata Asri. "Ayo kita mulai investigasi."

Mereka bertiga berpencar. Adit ke kantin, Rini ke ruang guru, dan Asri menyisir lorong kelas. Ia bertanya ke beberapa teman, tapi tak ada yang melihat bekalnya. Sampai akhirnya, di dekat rak sepatu, ia melihat sesuatu yang familiar—sebuah tutup hijau dengan stiker karakter yang dikenalnya.

Dengan langkah cepat, Asri menghampiri. Itu benar-benar tutup kotak bekalnya! Tapi anehnya, kotaknya sendiri tidak ada.

"Hei, kalian! Sini! Aku nemu sesuatu!" serunya memanggil Rini dan Adit.

Mereka segera berkumpul. "Lho, kok cuma tutupnya? Mana kotaknya?" tanya Rini.

Adit mengangkat tutupnya, mengamatinya dengan seksama. "Ini nggak sengaja jatuh atau sengaja disembunyikan?"

Asri menatap sekeliling. "Kayaknya ada yang mau bikin aku panik. Tapi siapa? Dan kenapa?"

Saat mereka bertiga masih berpikir keras, tiba-tiba terdengar suara tawa pelan dari belakang rak sepatu. Tawa yang khas, seperti seseorang yang menikmati keusilan yang baru saja diperbuat.

Mereka bertiga saling berpandangan. Tanpa berkata-kata, mereka bergerak ke belakang rak sepatu, dan di sana, berjongkok dengan wajah penuh kemenangan, adalah... Dono.

Si tukang jahil kelas. Tangannya masih menggenggam kotak bekal Asri yang terbuka, isinya sudah setengah habis.

"Dono!" teriak Asri, setengah marah, setengah tak percaya.

Dono nyengir, mulutnya masih penuh dengan nasi goreng. "As, enak banget bekalmu. Coba tiap hari bawa lebih ya?"

Asri mendengus, sementara Rini menepuk jidat dan Adit hanya bisa geleng-geleng kepala. Misteri ini akhirnya terpecahkan. Dan meskipun ia berhasil mendapatkan kembali kotak bekalnya, Asri sadar satu hal:

Di sekolah ini, ada yang lebih berat dari PR Matematika.

Yakni, menjaga bekal tetap utuh sampai jam istirahat.

Bersambung....


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #5 Sekolah Itu Berat, Lebih Berat Lagi PR-nya

Sekolah Itu Berat, Lebih Berat Lagi PR-nya

Pagi yang biasa, matahari naik setengah malas di ufuk timur, menyinari ubin-ubin sekolah dasar yang entah kenapa selalu terlihat kusam meski tiap pagi disapu Pak Slamet. Angin pagi menyelinap masuk dari celah jendela kelas, menggoda buku-buku tulis yang dibiarkan terbuka di meja. Suara ayam dari kandang belakang kantin kadang menyelinap, bersahutan dengan bel sekolah yang suaranya mirip toa masjid.

Asri duduk di bangku paling belakang, sandaran kursinya dimiringkan sedikit ke belakang, kakinya selonjor di bawah meja. Matanya masih setengah mengantuk, rambut acak-acakan.

"Kalian udah ngerjain PR Matematika?" suara Rini tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

Asri mengerjapkan mata, menoleh ke kanan-kiri, mencari siapa yang ditanya. Tapi tatapan Rini jelas tertuju padanya.

"PR?" Asri mengulang kata itu, seperti seorang filsuf yang sedang mempertanyakan makna hidup.

"Iya, PR. Yang 10 soal itu loh," kata Rini, mulai gemas.

Asri masih diam. Otaknya berusaha mengakses ingatan terakhir tentang PR itu, tapi yang muncul justru ingatan tentang semalam, saat dia ketiduran dengan posisi tengkurap di meja belajar, sementara pensil masih terselip di antara jari-jari.

Rini menghela napas panjang. "As, jangan bilang kamu lupa."

"Nggak lupa, aku cuman... belum ngerjain," jawab Asri santai.

"ASTAGA! Ini PR Matematika, As! Miss Diah nggak main-main kalau ada yang nggak ngerjain."

Asri menggaruk kepala. Ya, dia tahu betul bagaimana Miss Diah kalau sudah urusan PR. Guru killer se-Indonesia pun mungkin bisa minder kalau melihat cara Miss Diah menangani murid-muridnya yang tidak mengerjakan tugas.

"Kita harus nemuin solusi," kata Adit, yang sejak tadi diam saja tapi sebenarnya mengalami dilema yang sama.

"Solusi apa? Nyontek?" tanya Rini tajam.

Asri melirik jam dinding di depan kelas. Lima belas menit lagi Miss Diah masuk. Waktu yang tersisa hanya cukup untuk satu dari dua pilihan: pasrah atau bergerak cepat. Dan karena pasrah bukan keahlian Asri, maka ia memilih opsi kedua.

"Baiklah," kata Asri akhirnya, dengan ekspresi seperti seorang jenderal yang baru saja memutuskan strategi perang. "Kita harus cari orang yang udah ngerjain PR ini."

"Dan kita salin jawabannya?" tanya Adit penuh harap.

"Bukan, Dit. Kita meyakinkan dia buat ngajarin kita dalam waktu 10 menit."

Adit dan Rini berpandangan. Rencana ini terdengar nyaris mustahil.

Tapi Asri tetap beranjak dari kursinya. "Ayo cari target. Aku yakin ada satu orang yang udah ngerjain PR ini dengan sempurna."

Rini menghela napas. "Kamu pasti mikir tentang..."

"Bener," potong Asri. "Kita cari Bowo."

Mereka bertiga langsung berjalan cepat menuju meja Bowo, sang jenius kelas yang entah bagaimana caranya selalu menyelesaikan PR sebelum matahari terbit. Bowo sedang asyik membaca buku tebal yang isinya lebih banyak angka daripada huruf.

"Bowo, kita butuh bantuan," kata Asri tanpa basa-basi.

Bowo menatap mereka bertiga dengan tatapan curiga. "Jangan bilang kalian belum ngerjain PR?"

Asri, Adit, dan Rini saling berpandangan, lalu mengangguk bersamaan.

Bowo menghela napas panjang, seperti seorang dokter yang baru saja menerima pasien dalam kondisi kritis. "Lima belas menit lagi Miss Diah masuk. Apa yang bisa aku lakukan dalam waktu sesingkat itu?"

Asri berpikir cepat. "Ajari kami konsep dasarnya. Biar kami bisa jawab kalau nanti dipanggil ke depan."

Bowo menatap mereka dengan ekspresi tak percaya. "Kalian pikir belajar Matematika itu kayak belajar lirik lagu? Lima belas menit nggak cukup!"

"Tapi setidaknya lebih baik daripada nggak sama sekali, kan?" kata Rini putus asa.

Bowo menggeleng, lalu menutup bukunya. "Baiklah, ayo ke meja aku."

Dan selama 10 menit berikutnya, mereka bertiga mengalami pelajaran Matematika paling intens dalam sejarah hidup mereka. Bowo menjelaskan cepat, nyaris seperti komentator sepak bola yang berusaha meringkas 90 menit pertandingan dalam satu kalimat.

Saat bel berbunyi, Miss Diah masuk dengan langkah tegas, wajahnya penuh wibawa. "Oke, anak-anak, keluarkan PR kalian."

Asri melirik Rini dan Adit. Keringat dingin sudah membasahi dahi mereka. Buku tulis mereka terbuka, angka-angka dan rumus-rumus yang baru saja mereka salin dari papan catatan Bowo terasa seperti mantra tak dikenal.

Miss Diah melirik ke seluruh kelas. "Asri, maju ke depan."

Deg.

Asri menelan ludah. Ini dia saatnya. Apakah ia berhasil menyerap ilmu kilat dari Bowo? Atau ia akan menjadi korban berikutnya dari kekejaman PR Matematika?

Asri melangkah pelan ke depan kelas, sementara teman-temannya menahan napas.

"Coba jawab soal nomor 7," kata Miss Diah, menunjuk angka-angka di papan tulis.

Asri mengambil kapur. Tangannya sedikit gemetar. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam.

Dan saat ia membuka mata, otaknya mengakses satu memori penting dari penjelasan Bowo tadi. Tiba-tiba, ia mengerti.

Tangannya bergerak, menuliskan angka-angka di papan tulis.

Dan ketika ia selesai...

Miss Diah tersenyum. "Bagus, Asri. Jawabanmu benar."

Kelas langsung gempar. Rini menepuk dahinya, Adit hampir tersedak air liur sendiri. Sementara Bowo di belakang hanya mengangguk kecil, puas.

Asri menoleh ke arah teman-temannya dan mengedipkan mata.

Kadang, sekolah itu berat.

Tapi lebih berat lagi kalau PR-nya nggak dikerjain.


Bersambung...


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #4 Duel di Pojok Kantin

Duel di Pojok Kantin

Siang itu, matahari seperti sedang mendidihkan seluruh halaman sekolah. Udara bergetar, aspal di depan kantin seakan mengeluarkan uap tipis yang melayang malas. Tapi di pojok kantin, suasana jauh lebih panas dari siang yang melelehkan.

Dua anak laki-laki berdiri berhadapan, saling tatap, saling tantang. Adit, dengan kacamatanya yang sedikit miring karena keringat, menggertakkan giginya. Jono, dengan tangan yang bersedekap dan mulutnya menyeringai, berdiri penuh kemenangan seolah ini bukan sekadar urusan tahu isi terakhir, tapi soal harga diri dan kebanggaan.

Anak-anak lain mulai berkumpul di sekeliling mereka, membentuk lingkaran kecil yang tak terlalu rapat, memberi ruang cukup bagi dua petarung ini untuk beradu kehormatan.

"As, dengkulku mulai gemetar ini," bisik Rini.

Asri mengusap peluh di tengkuknya. "Aku juga. bukan aku yang bertarung, jadi kenapa aku deg-degan?"

Bu Sarti, sang penguasa kantin, akhirnya melangkah ke tengah arena. Langkahnya mantap, penuh wibawa. Di balik kacamatanya yang tebal, matanya menatap anak-anak ini dengan tajam, seperti seorang hakim di persidangan paling penting abad ini.

"Wis-wis, opo to sing diributke?" suaranya berat. 

Adit menunjuk etalase kaca.

"Tahu isi terakhir, Bu."

Jono menimpali, "Aku yang mau beli!"

"Tapi aku yang antre duluan!"

Langit yang tadi biru, kini terasa makin menekan. Seketika kantin menjadi tempat yang sunyi. Bahkan suara kipas angin tua di sudut dinding yang biasanya berderit-derit seperti nenek renta, kini terdengar lebih lambat.

Mata-mata anak-anak lain berbinar, bukan karena kasihan atau peduli, tapi karena mereka tahu, ini bukan lagi soal tahu isi semata. Ini adalah duel yang akan dikenang turun-temurun, diceritakan dengan gaya berlebihan kepada angkatan-angkatan mendatang.

Lalu, Rini, si pemilik ide gila, melangkah ke depan.

"As, aku punya ide," katanya dengan mata berbinar-binar seperti ilmuwan yang baru saja menemukan teori revolusioner.

"Kenapa ya aku selalu takut kalau kamu bilang begitu?"

Tapi sudah terlambat. Rini sudah berdiri di tengah-tengah, tangannya terangkat seperti seorang wasit yang hendak memulai pertandingan.

"Baiklah, semua! Daripada ribut-ribut nggak jelas, kita adakan duel adu kuat buat menentukan siapa yang paling pantas mendapatkan tahu isi terakhir ini!"

Sorakan terdengar. Beberapa anak langsung semangat, seolah baru saja mendapat tontonan gratis yang lebih seru daripada sinetron laga di TV sore.

Jono menyeringai. "Adu kuat? Hah! Aku pasti menang!"

Adit menyesuaikan kacamatanya. "Kalau pertandingannya adil, aku tidak akan mundur!"

"As, ini akan jadi eksperimen sosial yang menarik," bisik Rini, suaranya penuh semangat.

"Halah, ini akan jadi caraku masuk ruang BP," balas Asri, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Mereka berdua akhirnya duduk berhadapan di bangku panjang kantin. Meja kayu tua di antara mereka sudah siap menjadi arena pertempuran.

Matahari dari jendela kantin menyorot ke atas permukaan meja yang sudah mulai lapuk, memberikan efek dramatis. Seseorang bahkan mulai menabuh meja, menciptakan suara drumroll murahan yang menambah ketegangan.

"SIAP… MULAI!"

Tangan mereka bertaut. Otot-otot Jono menegang, urat di dahinya mulai muncul. Adit menahan dorongan dengan susah payah, giginya menggertak, tapi matanya penuh perlawanan.

Dorongan pertama, meja sedikit bergetar.

Dorongan kedua, keringat mulai menetes.

Dorongan ketiga…

BRAK!

Adit kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjungkal ke belakang, tangannya meraih udara kosong. Dan dalam satu kejadian yang akan diceritakan ulang selama bertahun-tahun kemudian…

GUBRAK!

Meja tempat etalase gorengan berdiri bergoyang hebat. Gelas-gelas plastik jatuh berhamburan. Minyak dari penggorengan memercik.

Dan tahu isi yang menjadi rebutan?

Ia terbang.

Seperti dalam adegan slow motion film laga, tahu isi itu melayang di udara, berputar sekali, dua kali, tiga kali. Waktu terasa berhenti. Semua mata mengikuti perjalanannya, dari satu sudut ke sudut lain.

Lalu…

PLUK!

Tahu isi itu mendarat dengan sempurna di atas kepala Bu Sarti.

Sunyi.

Semua anak membeku di tempat. Bahkan jangkrik di kebun belakang sekolah pun sepertinya sadar untuk tidak berbunyi.

Bu Sarti, dengan minyak tahu menetes pelan dari dahinya, menghela napas. Tangannya bergerak perlahan, mengambil tahu isi dari kepalanya.

"As, aku takut," bisik Rini.

Asri hanya menelan ludah.

Lalu, dalam gerakan yang sangat pelan dan penuh wibawa, Bu Sarti menatap mereka semua satu per satu.

"As, ini saatnya kita kabur," kata Rini, suaranya hampir seperti doa yang putus asa.

Dan tanpa menunggu lebih lama, mereka semua serentak berlari seperti dikejar genderuwo. Kantin mendadak sepi, hanya menyisakan Bu Sarti yang berdiri kaku dengan tahu isi di tangannya.

Dari kejauhan, terdengar suara beratnya bergema pelan.

"Anak-anak jaman saiki…"

Dan begitulah, kisah tentang duel di pojok kantin menjadi legenda, yang akan diceritakan berulang kali oleh generasi mendatang.

Bersambung...


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #4 Bayangan di Masa Lalu [Cerita Misteri]

Bayangan di Masa Lalu

Hujan yang tak kunjung reda menciptakan irama monoton, mengiringi derasnya aliran air di kaca jendela. Siluet samar terbentuk, berkombinasi dengan kelamnya malam, menghadirkan atmosfer muram yang membaur dengan ruang kerja yang diselimuti redupnya cahaya lampu. Di atas meja kayu berlapis debu, berserakan lembaran-lembaran kertas tua, seakan menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Aku duduk diam, memandangi foto yang Arman serahkan padaku malam itu.

Gambar itu menampilkan sebuah kamar berantakan. Garis polisi masih dapat disingkap samar di atas lantai kayu yang tampak lusuh. Tepat di tengah ruangan, lukisan tanpa wajah menggantung di dinding, seolah menjadi saksi tak bersuara dari tragedi yang telah lama terkubur dalam sejarah. Semakin lama aku menelusuri setiap detail dalam foto itu, semakin kuat sensasi familiar yang mengusikku—sesuatu yang begitu dekat, namun tetap sulit kugapai dalam ingatan.

Aku memejamkan mata, berusaha menggali masa lalu. Namun, sama seperti sebelumnya, segala ingatan itu masih terselubung kabut yang pekat, menutupi akses menuju kebenaran yang entah bagaimana terasa begitu esensial. Aku meremas wajah dengan kedua tangan, merasakan denyut yang perlahan menjalar di pelipis.

Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunanku. Kali ini lebih lembut, seakan tak ingin mengganggu. Dengan enggan, aku bangkit dari kursi, langkahku terasa berat menuju pintu. Saat membukanya, Arman berdiri di sana, ekspresinya lebih serius dari sebelumnya.

"Aku menemukan sesuatu lagi," ucapnya tanpa basa-basi. Ia melangkah masuk dan meletakkan sebuah map besar di atas meja ruang tamu. Aku mengikuti dengan tatapan penuh tanya, detak jantungku semakin tak beraturan.

"Apa ini?" tanyaku, mencoba menjaga ketenangan.

Tanpa berkata banyak, Arman membuka map tersebut, memperlihatkan dokumen-dokumen fotokopi yang tampak usang. Ada laporan forensik, artikel koran, hingga sketsa detail tempat kejadian perkara yang lebih komprehensif dibandingkan foto yang sebelumnya ia tunjukkan kepadaku.

"Ini laporan investigasi kasus tahun 1998," tuturnya, menunjuk satu halaman yang tampak lebih lapuk dibandingkan yang lain. "Pembunuhan seorang kolektor seni bernama Agung Baskara. Nama ini terdengar familiar bagimu?"

Aku terpaku. Baskara—nama keluargaku. Seketika tenggorokanku mengering, jemariku gemetar saat meraih dokumen itu.

"Agung Baskara... siapa dia?" suaraku bergetar.

Arman menghela napas panjang sebelum menjawab. "Dia ayahmu, Leo."

Dunia seolah berputar di sekelilingku. Seumur hidup, aku tidak pernah memiliki ingatan tentang ayahku. Ibuku jarang membicarakannya, seakan-akan sosok itu telah lenyap tanpa jejak. Kini, kenyataan itu menghantamku dengan keras, menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak pernah terlintas dalam benakku.

"Ayahku... dibunuh?" Aku nyaris tak mampu mengucapkan kata-kata itu.

Arman mengangguk pelan. "Dan lukisan tanpa wajah itu ditemukan di kamar tempat kejadian perkara. Kau mengerti maksudnya, bukan? Ini bukan kebetulan."

Aku merasa lemas, jatuh terduduk di kursi. Pikiranku berkecamuk, mencoba merangkai kepingan-kepingan memori yang mungkin tersimpan dalam lipatan bawah sadar. Jika lukisan itu berada di lokasi pembunuhan ayahku, bagaimana bisa akhirnya sampai ke tanganku? Apakah ini hanya bagian dari warisan yang tak berjejak, atau ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi di baliknya?

Aku mengusap pelipis, merasakan denyut nyeri yang semakin terasa menekan. "Jadi, apa langkah kita selanjutnya?"

Arman menyandarkan diri ke sofa, ekspresinya penuh pertimbangan. "Ada seseorang yang mungkin bisa memberi kita jawaban."

Aku menatapnya tajam. "Siapa?"

"Ibumu."

Aku terdiam. Sejak kecil, ibuku selalu menghindari pertanyaan tentang ayahku. Ia memilih diam, seolah ada sesuatu yang harus tetap tersembunyi. Jika memang ada orang yang bisa mengungkap kebenaran ini, maka itu pasti dia. Namun, pertanyaannya adalah: apakah ia akan mau berbicara?

Arman tampaknya bisa membaca kebimbanganku. "Kita tidak punya pilihan lain, Leo. Jika ada yang tahu asal-usul lukisan itu, ibumu pasti salah satunya."

Aku menghela napas panjang, masih berusaha mencerna semuanya. Namun, semakin lama aku menatap foto lukisan tanpa wajah itu, semakin kuat perasaan bahwa kebenaran yang kucari telah lama terkubur.

Aku menatap Arman, mencoba mengumpulkan keberanian. "Besok kita menemui ibu."

Arman mengangguk, lalu berdiri. "Baik. Aku akan menghubungi beberapa pihak yang mungkin bisa membantu kita memahami kasus ini lebih dalam. Kau butuh istirahat, Leo. Perjalanan ini akan semakin berat."

Aku hanya bisa mengangguk, meskipun aku tahu malam ini aku tak akan bisa memejamkan mata dengan tenang. Babak baru telah dimulai, dan aku tidak yakin apakah aku siap menghadapi bayangan masa lalu yang telah lama mengintai dari kegelapan.


Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #3 Kunjungan yang Tak Terduga [Cerita Mister]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #5 Berita Pembunuhan [Cerita Misteri]


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...