LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua

Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka jendela ruang kerjaku, aroma tanah basah dan daun busuk menerobos masuk, menciptakan kesan seolah alam sedang mengubur sesuatu yang tak ingin ditemukan. Di kejauhan, lonceng gereja tua berdentang pelan, menghantam sunyi dengan ritme kematian yang lambat dan berulang.

Aku telah membaca ulang jurnal ayahku. Setiap kalimat di dalamnya terasa seperti desahan terakhir dari seorang pria yang tahu ia sedang dikuntit oleh kegelapan yang tak dapat dijelaskan. Jurnal itu bukan sekadar catatan, tapi jeritan pelan dari seseorang yang kehilangan akal sehatnya sedikit demi sedikit.

“Lukisan itu membisikkan sesuatu di malam-malam tertentu. Bukan suara, tapi kehendak. Seolah ia hidup, dan aku hanya wadahnya.”

Kata-kata itu menempel di benakku seperti jamur yang tumbuh di dinding lembap. Aku merasa seperti sedang berjalan di antara dua alam: dunia nyata dan sesuatu yang jauh lebih purba, lebih gelap, lebih mendalam—tempat di mana ingatan, dosa, dan kematian saling berbisik.

Arman datang sore itu, wajahnya letih namun dipenuhi tekad. Ia membawa satu lagi artefak: bingkai kosong dari masa lalu, yang ditemukan di ruang penyimpanan galeri tua. Ia yakin itu milik ayahku.

“Ada ukiran simbol di bagian belakangnya. Sejenis segel, atau mungkin mantra,” katanya, menunjukkan goresan-goresan halus yang hampir tak terlihat.

Segel itu membentuk lingkaran di mana huruf-huruf Latin bercampur dengan aksara Jawa kuno. Dan saat aku menyentuhnya, denyut nadi di ujung jariku melonjak. Ada rasa dingin yang menjalar cepat, bukan dingin biasa—dingin yang membuat jantung berdegup lebih lambat, seolah tubuh bersiap menyambut sesuatu yang tak seharusnya hadir di dunia ini.

Malam pun datang lebih cepat dari biasanya.

Aku menyalakan lilin dan duduk di depan lukisan itu. Bayangan dari api yang menari di dinding membuat lukisan tampak bergerak. Warna merah tua di sudut-sudut lukisan seolah menjadi genangan darah yang belum mengering. Aku mendengar suara langkah dari lantai atas, padahal aku tahu aku sendirian.

Saat aku memandang lebih dalam, wajah seseorang mulai muncul samar di dalam lukisan. Tidak sepenuhnya jelas, namun cukup untuk menimbulkan rasa takut mendalam: mata itu... mata itu seperti mengenalku.

Aku mulai menyusun kronologi: ayahku mati setelah menemukan sesuatu; Arman mencium kejanggalan dalam pola; lukisan itu muncul kembali setelah bertahun-tahun terkubur; dan kini, setiap orang yang menyentuhnya mulai melihat hal yang sama: kilasan masa lalu, jejak yang hilang, bisikan dari kanvas.

Namun, aku tahu ini bukan sekadar teka-teki logis. Ini adalah jiwa yang terbelah, batin yang perlahan digerogoti oleh pengetahuan terlarang. Karena semakin dalam aku menyelam ke dalam misteri lukisan itu, semakin aku merasa bahwa aku bukan sekadar penelusur kebenaran, melainkan bagian dari narasinya—subjek dari kegilaan yang diwariskan.

Aku bermimpi malam itu. Dalam mimpi, aku berada di ruangan tua, dindingnya dipenuhi lukisan tanpa wajah. Setiap bingkai memancarkan aura kesedihan yang tak tertahankan. Dan di tengah ruangan, berdiri ayahku. Tapi wajahnya tak lagi seperti yang kuingat. Itu adalah wajah tanpa ekspresi, datar, seperti topeng yang baru saja dipahat oleh penderitaan.

“Leo,” katanya, suaranya serak dan berat, “jangan biarkan lukisan itu selesai.”

Aku terbangun dengan napas terengah dan bantal yang basah oleh keringat. Lonceng gereja berdentang lima kali. Aku menoleh ke arah lukisan di ruang kerja—dan untuk pertama kalinya, aku melihat goresan tambahan. Sebuah garis vertikal di pojok kiri bawah yang sebelumnya tidak ada. Seolah seseorang telah melanjutkan lukisan itu... saat aku tidur.

Aku tahu kini, misteri ini tak hanya tentang masa lalu. Ia sedang berkembang, hidup, tumbuh—dan aku berada di pusat pusarannya.

Dan mungkin, hanya dengan membuka pintu kedua—pintu yang dijaga oleh ingatan tergelapku—aku bisa mengakhiri semua ini. Atau ikut terkubur bersama kebenaran yang tak semestinya dibangkitkan.

Bersambung...


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Tomb of the Listening Man – Cerita Horor Psikologis

Tomb of the Listening Man

Pada suatu malam yang tak memiliki waktu, ketika angin tak bernyanyi dan langit tak bergumam, aku duduk dalam rumah tua peninggalan ayahku — bangunan yang telah lama kehilangan denyutnya, seperti jantung yang terus berdetak namun sudah berhenti merasa. Di sanalah aku tinggal, dalam keheningan yang kupelihara dengan ketakutan dan cinta yang sama besarnya.

Orang-orang menyebutku pendiam, penyendiri, bahkan gila. Aku tidak menyangkal salah satunya. Gila, barangkali — tetapi bukan oleh kesalahan pikiran, melainkan karena terlalu lama mendengarkan. Ya, aku adalah pendengar. Dan dengarlah, karena inilah kisah tentang bagaimana telingaku, bukan hatiku, yang menyeretku ke jurang yang tidak bisa lagi kujelaskan dengan bahasa manusia.

Rumah ini, dengan lantai kayunya yang merengek saat diinjak dan jendela-jendela yang menatap kosong ke arah rawa yang sekarat, dulunya milik keluargaku. Kini hanya aku yang tersisa — bukan karena aku kuat, tapi karena aku diam.

Sudah bertahun-tahun aku tak menginjakan kaki keluar gerbang. Bukan karena tubuhku rapuh, tapi karena dunia di luar terlalu ribut, terlalu berisik dengan suara yang bukan suara. Bisikan. Desas-desus. Pertanyaan yang tak pernah benar-benar ditanyakan, tapi terus bergaung di sela-sela kehidupan.

Aku mendengarnya pertama kali pada malam setelah pemakaman kakakku. Suaranya tidak datang dari satu arah, melainkan dari mana-mana: dari sela papan dinding, dari retakan langit-langit, dari lipatan waktu itu sendiri. Itu bukan suara manusia. Itu... bisikan. Bukan hanya satu, tapi banyak — seperti tangan-tangan kecil yang mencakar pelan sisi kewarasanku.

“Kenapa kau tak menangis?”
“Apa kau senang dia mati?”
“Kau yang seharusnya pergi, bukan dia…”

Aku tidak menjawab. Aku tidak pernah menjawab.
Aku hanya mendengar.

Hari-hariku berubah menjadi malam, dan malamku berubah menjadi ruang tak berbatas. Aku hidup dalam sepi, namun ditemani suara-suara yang tidak bisa kau tangkap dengan telinga biasa. Mereka tak pernah berhenti. Mereka mencakar pintu batinku seperti serigala lapar. Tapi aku tidak bangkit. Tidak pernah. Karena aku tahu: bila aku membuka pintu itu, aku akan kehilangan segalanya.

Aku menulis di dinding-dinding rumah dengan arang, puisi dan kutukan yang tidak dimengerti siapa pun. Kertas terlalu tipis untuk menyimpan derita, tapi kayu… kayu bisa menjerit bersama.

Suatu malam, saat bulan tampak seperti mata terbakar di langit dan angin tak berani menyentuh jendela, aku mendengar bisikan yang berbeda.

“I heard their whispers clawing at the door of my peace…”

 Itu bukan suara mereka. Itu… suaraku sendiri.

Dan aku terdiam. Karena kali ini, aku tak sedang mendengar — aku sedang didengar.

Bayangan di pojok ruangan menjadi lebih gelap dari biasanya. Mereka mulai bergerak, bukan hanya bersuara. Aku merasa keberadaan mereka mengental, seperti kabut yang berubah menjadi darah. Mereka datang tidak lagi sebagai desas-desus, tapi sebagai tamu yang tak diundang. Dan aku, sang pendengar, menjadi pusat panggilan mereka.

“Engkau sudah cukup lama diam,” kata mereka. “Kini, bukalah pintumu…”

Aku menggigil. Tapi aku tahu, pintu itu tak lagi bisa dikunci.

Aku turun ke ruang bawah tanah — tempat tak ada cahaya, tak ada jam, dan tak ada arah. Di sanalah aku menyimpan… suara. Ya, suara itu tidak hilang begitu saja. Aku menyimpannya dalam botol, dalam lukisan, dalam celah-celah retakan tanah. Aku menulis di batu bata dengan kuku hingga berdarah, hanya untuk mengingat: aku bukan milik mereka.

Tapi mereka sudah tahu. Mereka sudah menunggu.

Di sana, dalam gelap yang lebih dalam dari kematian, mereka berbisik bersamaan:

“For what is a soul, if not a tomb sealed against the noise of the living?”

Aku tertawa. Bukan karena lucu. Tapi karena kalimat itu… adalah doa terakhir yang kupunya.

Malam itu aku tak kembali ke kamar. Aku memaku pintu ruang bawah tanah dari dalam. Biarlah dinding ini jadi tulangku. Biarlah tanah ini jadi selimutku.

Aku tahu besok mereka akan mencari. Mertua, kerabat, orang-orang desa. Mereka akan mengetuk, lalu mendobrak. Tapi yang akan mereka temukan hanyalah rumah kosong — tanpa jiwa, tanpa suara.

Karena aku telah memilih menjadi makam. Dan makam tak menjawab panggilan dunia.

Catatan ditemukan di dinding ruang bawah tanah, ditulis dengan darah kering:

“I heard their whispers clawing at the door of my peace —
but I did not rise.
For what is a soul, if not a tomb
sealed against the noise of the living?”

– Tamat –


📖 Baca Cerita Lainnya:
🔗 Luka yang Bukan Milikku

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.

Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿 


📚 Review Buku: Selamatkan Anak-Anak oleh Neil Postman

📚 Review Buku: Selamatkan Anak-Anak oleh Neil Postman

Saat Anak-Anak Tak Lagi Punya Masa Kanak-Kanak

Pernah nggak, kamu melihat anak-anak zaman sekarang dan merasa... ada yang berbeda? Mereka cepat sekali dewasa — atau setidaknya, terlihat seperti itu. Mulai dari cara berpakaian, bahasa yang digunakan, sampai konten yang mereka konsumsi di media. Apa yang sebenarnya terjadi?

Itu juga yang jadi pertanyaan utama Neil Postman dalam bukunya yang berjudul “Selamatkan Anak-Anak.”

Buku ini membuka mataku tentang satu hal penting: bisa jadi, tanpa sadar, kita sedang menghapus masa kanak-kanak itu sendiri.


Apa Isi Buku Ini?

Neil Postman, seorang kritikus media asal Amerika, menulis buku ini sebagai refleksi atas perubahan besar dalam cara anak-anak tumbuh di era modern. Menurutnya, dulu masa kanak-kanak adalah fase yang punya batasan jelas. Anak-anak tidak langsung tahu urusan orang dewasa. Ada proses bertahap — dari belajar membaca, menyimak cerita, hingga pelan-pelan memahami kompleksitas hidup.

Tapi sekarang, terutama sejak hadirnya televisi (dan kini internet), semua batas itu runtuh. Anak-anak bisa mengakses konten dewasa sejak dini. Tidak perlu bisa membaca, tidak perlu pendampingan, hanya tinggal menyalakan layar.


Anak-Anak Tahu Terlalu Banyak, Terlalu Cepat

Postman menyebut televisi sebagai media yang “demokratis secara ekstrem” — artinya semua orang bisa mengakses apa saja, tanpa batas usia atau kesiapan mental. Ketika dulu pengetahuan dewasa dijaga dengan bahasa tulis yang butuh kemampuan membaca dan memahami, sekarang anak-anak hanya perlu menonton.

Buatku pribadi, ini pemikiran yang sangat relevan. Apalagi sekarang, anak-anak bahkan punya akses ke smartphone dan media sosial sejak usia dini. Mereka melihat kekerasan, konsumsi gaya hidup dewasa, bahkan drama politik — sebelum mereka tahu cara mengelola emosi mereka sendiri.


Refleksi: Apakah Kita Terlalu Cepat Mendorong Mereka Dewasa?

Aku jadi ingat masa kecilku. Main petak umpet, baca buku cerita bergambar, nonton kartun tiap Minggu pagi. Rasanya ada ruang untuk benar-benar jadi anak-anak — polos, penuh imajinasi, dan tumbuh tanpa tekanan dewasa.

Bandingkan dengan sekarang. Anak-anak berkompetisi di media sosial, merasa harus tampil keren, dan tahu istilah-istilah yang dulu baru kita pahami saat SMA.

Apa ini bentuk kemajuan? Atau justru kehilangan?


Siapa yang Perlu Membaca Buku Ini?

Menurutku, buku ini cocok untuk:

  • Orang tua yang ingin memahami dunia anak dari perspektif budaya dan media.

  • Guru dan pendidik yang ingin membangun ruang aman untuk tumbuh kembang anak.

  • Siapa pun yang peduli dengan generasi masa depan.

Postman tidak sekadar menyalahkan media. Ia mengajak kita berpikir lebih dalam: apakah kita masih menjaga “kesucian” masa kecil, atau justru menghapusnya demi kecepatan dan efisiensi?


 Menjaga Masa Kecil adalah Tanggung Jawab Bersama

“Jika masa kanak-kanak punah, yang hilang bukan hanya anak-anak, tapi juga harapan akan masa depan yang lebih baik.” – Neil Postman

Membaca Selamatkan Anak-Anak membuatku ingin lebih bijak — sebagai individu yang suatu saat bisa jadi orang tua, guru, atau sekadar bagian dari masyarakat. Karena menjaga anak-anak bukan cuma soal teknologi atau peraturan, tapi soal nilai-nilai yang kita rawat dan wariskan.


Kalau kamu sendiri, apa kenangan masa kecil yang paling kamu rindukan?
Dan bagaimana kamu ingin generasi setelah kita mengenal masa kecil mereka?


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #11Jejak yang Terlupakan [Cerita Misteri]

Jejak yang Terlupakan

Kabut pagi menggantung rendah di atas halaman rumah, menyelimuti rerumputan dengan embun yang berkilau redup di bawah cahaya matahari yang enggan terbit sepenuhnya. Aku berdiri di depan jendela ruang kerja, secangkir kopi hangat di tangan, menatap kosong ke arah pagar besi yang membatasi rumah tua ini dari dunia luar. Ada ketenangan yang mencurigakan pagi itu, seolah alam sendiri menahan napas, menyembunyikan sesuatu di balik sunyi yang terlalu sempurna.

Sudah seminggu sejak aku menemukan ukiran "M-R-T" di lukisan itu. Setiap malam sejak saat itu, pikiranku dipenuhi oleh potongan-potongan ingatan yang tak utuh—seperti pecahan cermin yang mencerminkan bayangan masa lalu tanpa bentuk yang jelas. Di antara mimpi dan kenyataan, sesosok bayangan pria tua dengan mantel abu-abu sering muncul, berdiri membelakangiku di lorong rumah ini, tak pernah bicara, hanya menatap lukisan itu dari kejauhan.

Hari itu, Arman kembali datang. Langkah kakinya di lorong kayu terdengar ringan namun tegas, seperti seseorang yang membawa kabar penting. Ia duduk tanpa banyak bicara dan meletakkan sebuah buku catatan tua di atas meja.

"Aku menemukannya di perpustakaan daerah, tersembunyi di antara arsip lama tentang sejarah seniman Indonesia," katanya. "Buku ini milik seseorang bernama Raden T. Prawira. Seorang pelukis yang menghilang secara misterius pada tahun 1979. Lihat halaman ini."

Aku membuka halaman yang ditunjuknya, dan di sana, terpampang sketsa kasar—siluet seorang pria dalam bak mandi, dengan pisau tergenggam di tangan kanan. Tepat di bawahnya tertulis sebuah catatan dalam bahasa Belanda yang telah menguning:

"Voor hen die het zien, zal de waarheid verschijnen."

"Untuk mereka yang melihat, kebenaran akan muncul," terjemahku pelan.

Arman menatapku dengan mata yang sulit disembunyikan kekhawatirannya. "Leo, aku yakin lukisanmu itu bukan sekadar karya seni. Ia mungkin semacam penyimpan—sebuah arsip psikologis atau bahkan spiritual. Seperti... pintu ke ingatan kolektif yang ingin dilupakan."

Aku mengangguk, walau hatiku belum sepenuhnya mengerti. Namun ada sesuatu dalam nada suara Arman yang membangkitkan rasa percaya. Aku membuka kembali dokumen lelang yang dulu ia bawa. Nama ayahku, Agung Baskara, kembali menari di hadapanku seperti bayang-bayang yang tak kunjung surut.

Aku teringat pada satu ruangan yang selama ini kutinggalkan—gudang kecil di belakang rumah. Ayah dulu melarangku masuk ke sana, dan setelah ia meninggal secara misterius, aku tak pernah punya keberanian untuk menyentuhnya. Tapi pagi itu, kaki ini seperti bergerak sendiri.

Gudang itu berdebu, gelap, dan berbau tanah yang lembap. Di antara tumpukan peti kayu, aku menemukan sebuah koper kulit tua yang terkunci. Dengan jemari gemetar, aku membongkarnya. Di dalamnya, tergeletak tumpukan surat, foto-foto usang, dan sebuah jurnal kulit yang sangat familiar.

Tulisannya rapi, khas ayahku.

Halaman-halaman awal berisi catatan tentang seni, koleksi pribadi, dan refleksi estetika. Namun makin ke belakang, tulisannya berubah. Lebih gelap. Lebih kacau. Ada entri tentang mimpi-mimpi aneh, suara-suara dari dalam lukisan, dan sosok pria yang terus mengintainya dari balik bingkai.

Satu kalimat terpaku di tengah halaman:

"Lukisan itu bukan tentang kematian, tapi tentang pengulangan. Ia menyimpan pola yang akan terus mencari korban berikutnya. Dan kali ini, mungkin anakku."

Tanganku bergetar. Napasku tercekat. Apakah ayah tahu bahwa ia akan mati karena lukisan itu? Apakah ini sebab ia tak pernah membiarkanku dekat dengannya?

Malam itu, aku duduk di depan lukisan, kali ini tak sekadar mengamati, tetapi mencoba mendengarkan. Bunyi detak jam dinding terdengar seperti gema langkah di koridor tak terlihat. Dan di tengah kesunyian itu, aku mulai menyadari... lukisan itu tak hanya mencerminkan kenangan, tapi membentuknya.

Setiap petunjuk adalah simpul dari kisah yang lebih besar, dan setiap benang yang terurai membawaku lebih dalam ke jalinan kenyataan yang sebelumnya tersembunyi. Kebenaran itu sendiri tampak berdenyut di balik bingkai lukisan, seolah hidup dalam diam, menanti untuk ditemukan oleh mata yang bersedia melihat lebih dalam dari sekadar warna dan bentuk. Di dinding rumah tua ini, kenyataan tampak menggeliat, seperti entitas yang sabar menunggu saatnya untuk berbicara kembali.

Aku belum menemukan semua potongan. Tapi untuk pertama kalinya, aku tahu arah pencarianku. Jejak masa lalu telah muncul kembali—bukan hanya dalam bentuk mimpi dan ketakutan, tetapi dalam bentuk nyata, menuntut untuk diurai. Dan aku siap menyusurinya, meski jalan itu mungkin tak memiliki ujung yang terang.

Karena terkadang, yang paling mengerikan bukanlah misteri itu sendiri, tapi kesadaran bahwa kita adalah bagian darinya.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #10 Potongan yang Mulai Menyatu

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:

🔗 -

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #10 Potongan yang Mulai Menyatu [Cerita Misteri]

Potongan yang Mulai Menyatu

Udara pagi di ruang kerjaku terasa lebih berat dari biasanya. Jendela-jendela tua berembun, seolah dinding-dinding rumah ini ikut menyimpan napas gelisahku semalaman. Di meja, amplop coklat yang diberikan Arman semalam masih tergeletak, belum sepenuhnya kupahami isinya. Ada nama ayahku tercantum di sana—Agung Baskara—dan tulisan tangan kecil yang menggigil: "Dilarang dibuka sampai waktunya tiba."

Apa maksudnya? Waktu yang mana? Kenapa semua ini seperti menyatu menjadi satu pola yang samar namun perlahan menjadi nyata?

Aku menghidupkan kembali perekam suaraku. Suaraku semalam terdengar rapuh namun terobsesi:

"Aku sedang mencari diriku sendiri..."

Kepalaku masih berdenyut, seperti menyimpan fragmen-fragmen masa lalu yang belum lengkap. Aku kembali ke lukisan itu. Kali ini aku memperhatikan bukan hanya gambarnya, tapi aroma minyak cat tua, debu kayu bingkai, dan suara yang nyaris tak terdengar—seperti bisikan dari balik waktu.

Aku menelusuri sudut-sudut ruangan tempat lukisan itu pertama kali tergantung setelah diwariskan padaku. Ada sesuatu di belakangnya. Dengan hati-hati, aku melepas lukisan dari dinding.

Di balik kanvas, tersembunyi sebuah amplop lain, lebih kecil, usang, dan tertutup segel lilin merah. Di atasnya, tercetak inisial: A.B.—Agung Baskara. Tanganku gemetar saat membukanya.

Isinya hanya satu lembar kertas, namun kata-katanya menghantam seperti palu:

"Jika kamu membaca ini, berarti kau sudah mulai melihat apa yang selama ini kusembunyikan. Lukisan itu bukan sekadar lukisan. Ia adalah kunci. Aku... pernah gagal menghentikannya. Tapi kamu mungkin bisa. Ingatlah satu hal: bayangan tak akan muncul tanpa cahaya. —Ayahmu."

Mataku membelalak. Apa yang hendak dihentikan ayahku? Dan apa kaitannya dengan semua kematian yang mulai muncul dalam berita?

Arman menelpon. Suaranya panik:

"Leo, kamu harus datang ke galeri utama. Ada laporan... seseorang ditemukan tewas di ruang pameran belakang. Dan anehnya, ada lukisanmu tergantung di dinding ruangan itu."

Aku membeku.

"Lukisan yang mana?"

"Yang abstrak, dengan pola melingkar dan titik merah di tengahnya. Yang dulu pernah kamu katakan tak kamu ingat pernah melukisnya."

Dadaku terasa menghimpit. Aku tidak ingat pernah membuat lukisan seperti itu.

Tapi saat Arman mengucapkannya, aku langsung tahu lukisan yang dimaksud.

Kilasan samar kembali muncul. Sebuah ruangan putih. Aroma cat. Tangan yang bergerak tanpa kendali. Wajah seseorang yang berdarah...

Aku segera menuju galeri. Di sana, suasana telah dipenuhi polisi dan pengunjung yang terkejut. Ruangan belakang dipasangi garis polisi. Dan di tengahnya, seorang pria tergolek dengan pisau menancap di dadanya. Di atasnya, lukisan yang seolah menatap balik padaku.

Aku tidak mengenal korban itu. Tapi saat melihat posisinya yang terduduk di bawah lukisan, darah mengalir persis seperti komposisi dalam kanvas... aku tahu ini bukan kebetulan.

Tanganku bergetar saat kutatap lukisan itu lebih dekat.

Di pojok bawahnya, kembali tiga huruf: M-R-T.

Marat. Lagi-lagi Marat. Tapi ini bukan sejarah yang berulang. Ini adalah kenangan.

Atau lebih tepatnya: ini adalah potongan masa lalu yang sedang kembali padaku, satu demi satu, dari balik bingkai diam.


Bersambung....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #9 Di Balik Bingkai Diam

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:

🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #11Jejak yang Terlupakan


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #9 Di Balik Bingkai Diam [Cerita Misteri]

Di Balik Bingkai Diam

Saat malam mulai merangkak turun dan bayangan panjang merayapi dinding rumah tua itu, aku kembali berdiri di depan lukisan yang telah lama menghantui pikiranku. Ada sesuatu yang belum tuntas dari karya itu—seolah-olah ia menyimpan rahasia yang hanya bisa terbaca oleh mata yang telah cukup lama menatap kegelapan.

Aku menyalakan lampu kerja yang menggantung rendah, membiarkan cahaya kekuningan jatuh tepat pada kanvas yang tak bersuara. Di permukaan cat yang mulai retak itu, guratan kasar dan warna-warna gelap tampak seperti arus sungai yang membawa mayat-mayat kenangan. Tapi malam ini, mataku menangkap sesuatu yang berbeda.

Ada pola. Bukan sekadar permainan tekstur, melainkan semacam bentuk simbolik yang berulang. Terlalu halus untuk dianggap kebetulan, terlalu presisi untuk sekadar goresan emosi. Aku mendekat, jantungku berdetak semakin kencang. Lukisan ini menyimpan pesan tersembunyi.

Aku mengambil kaca pembesar dari meja dan mulai mengamati setiap jengkal kanvas. Dan di sudut kiri bawah, hampir menyatu dengan warna latar, aku menemukan ukiran kecil—tiga huruf terukir samar dalam cat: "M-R-T". Marat?

Kilasan tubuh dalam bak mandi. Pisau yang menancap. Surat yang basah darah. Semuanya menyerbu pikiranku dengan kecepatan yang menyesakkan.

Aku mundur. Duduk. Napas tercekat. Mengapa lukisan ini memiliki keterkaitan dengan kematian Jean-Paul Marat? Apa hubungannya denganku?

Tiba-tiba, ketukan terdengar dari pintu depan. Ketukan pelan, namun pasti. Aku bergegas turun. Di balik pintu, berdiri seseorang yang tak asing—Arman.

"Maaf datang tanpa kabar, Leo. Aku menemukan sesuatu yang... harus kamu lihat," katanya seraya menyodorkan sebuah amplop coklat tua.

Kami duduk di ruang kerja, dan aku membuka amplop itu dengan hati-hati. Isinya adalah salinan catatan lelang karya seni tahun 1997, sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa lukisan yang kini ada di dinding rumahku pernah dimiliki oleh seseorang bernama Agung Baskara—ayahku.

Ayahku.

"Aku tidak mengerti," gumamku. "Ayah tidak pernah membicarakan soal ini..."

Arman menggeleng. "Mungkin memang sengaja disembunyikan. Tapi lihat ini," katanya sambil menunjuk catatan kecil di margin dokumen: "Dilarang dibuka sampai waktunya tiba."

Aku merasakan kerongkonganku mengering. Ada sejarah dalam keluarga ini yang telah terkubur begitu lama, dan lukisan itu tampaknya menjadi kunci pembuka.

Malam semakin larut. Aku dan Arman memandangi lukisan itu dalam diam. Kali ini, bukan sekadar karya seni yang menggantung di dinding. Ia adalah pintu. Dan aku bersiap untuk membukanya—meskipun yang menantiku di baliknya adalah kegelapan paling pekat dari masa lalu.

Aku menyalakan perekam suara. Jika aku tidak bisa mempercayai ingatanku, mungkin rekaman ini bisa membantu.

"Hari ini, aku melihat sesuatu dalam lukisan itu. Sesuatu yang mungkin tak terlihat oleh mata biasa. Aku takut. Tapi lebih takut lagi kalau aku berhenti di sini. Aku harus terus. Karena aku bukan hanya mencari kebenaran... Aku sedang mencari diriku sendiri."

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #8 Jejak yang Mengendap

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:

🔗LUKISAN TANPA WAJAH #10 Potongan yang Mulai Menyatu

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #8 Jejak yang Mengendap [Cerita Misteri]

Jejak yang Mengendap

Malam itu hujan turun dengan lembut, menyisakan ketukan halus di jendela ruang kerja. Aku duduk dengan mantel panjang dan syal yang masih menggantung lemas di leher, enggan melepaskannya. Hangat dari tubuhku belum cukup untuk mengusir hawa dingin yang menyusup dari balik celah-celah dinding tua rumah ini. Namun, bukan dingin yang membuat tubuhku menggigil—melainkan ingatan yang baru saja terbit dari balik kabut.

Lukisan itu. Lukisan tanpa wajah yang tergantung di ruang kerjaku selama bertahun-tahun. Seolah menjadi saksi bisu dari hidupku, dan kini terasa seperti pemilik rahasia yang tak pernah aku sadari. Warna-warnanya tampak lebih gelap malam ini, kontras tajam antara merah darah dan abu-abu pekat yang seakan berdenyut mengikuti detak jantungku sendiri.

Pagi harinya, Arman datang ke rumah. Ia membawa map berisi dokumen dari rumah sakit jiwa di luar kota. Tak biasanya ia datang sepagi itu, bahkan kopi belum sempat aku seduh.

"Aku rasa ini bisa menjelaskan sebagian teka-teki," katanya, meletakkan map itu di meja dengan suara berat.

Kukeluarkan isinya. Dokumen lama, lusuh, dan bertahun-tahun tak tersentuh. Di situ tertulis nama yang mengguncang nadi: Leonard Baskara. Tapi bukan milikku. Tanggal lahirnya berbeda. Wajah dalam foto tampak seperti bayanganku di cermin yang retak.

"Kau pikir ini... saudaramu?" tanya Arman hati-hati.

Aku menggeleng. "Tidak punya saudara. Setidaknya tidak yang kuingat."

Namun dalam pikiranku, bayangan samar itu muncul lagi. Sebuah ruang bercat putih. Kursi goyang tua. Suara tangisan anak kecil yang teredam oleh tembok-tembok tinggi. Dan di tengahnya, lukisan tanpa wajah.

Kami memutuskan untuk menelusuri jejak. Rumah sakit jiwa yang dimaksud terletak di pinggiran kota, bangunannya telah lama ditutup dan menyisakan reruntuhan berlumut. Kami tiba menjelang sore, saat kabut mulai turun dan jalan setapak hampir tak terlihat.

Di dalam gedung, udara dipenuhi bau lembap dan tanah basah. Lantai marmer yang dulunya mengilap kini retak dan dipenuhi lumut. Arman menyalakan senter dan kami menyusuri lorong panjang, dindingnya dipenuhi coretan-coretan tak beraturan. Lalu kami menemukan ruang arsip. Pintu kayunya setengah terbuka, seperti sedang menanti kami masuk.

Rak demi rak kami telusuri, hingga kami menemukan satu kotak besar bertanda "Pasien Khusus 1995". Di dalamnya, catatan harian, sketsa-sketsa, dan satu lukisan kecil berbingkai kayu.

Lukisan itu... salinan dari lukisan tanpa wajah yang menggantung di rumahku.

Tanganku gemetar saat menyentuh permukaannya. Arman menatapku dengan sorot mata curiga yang berusaha disamarkan oleh empati.

"Leo... kalau ini pernah ada di tempat ini... dan sekarang ada di rumahmu... bagaimana caranya?"

Aku menatapnya dalam-dalam. "Itu yang ingin kutahu."

Seketika, kilasan lain muncul. Aku—atau seseorang yang mirip denganku—duduk di ranjang, menatap dinding kosong. Seorang dokter menatap dari balik jendela observasi. Lalu suara lembut dari seorang wanita tua yang membacakan puisi. Nama wanita itu berbisik di benakku—"Ibu."

Kami membawa beberapa dokumen yang bisa diselamatkan. Arman tampak gelisah sepanjang perjalanan pulang. Aku hanya diam, memutar kembali ingatan samar itu dalam benakku.

Sesampainya di rumah, aku memandangi lukisan itu sekali lagi. Ada guratan baru yang tampaknya tak pernah kusadari sebelumnya. Sebuah garis samar yang membentuk kontur wajah... wajahku. Tapi bukan aku yang sekarang—aku yang lebih muda, dengan mata yang kehilangan harapan.

Seketika aku merasa ruangan itu menyempit. Napasku tersengal. Arman memegang bahuku.

"Leo, kita harus cari tahu siapa sebenarnya orang dalam lukisan itu. Dan kenapa lukisan ini... mengikuti hidupmu."

Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa takut.

Karena kutahu, jawabannya tak akan membawa ketenangan.

Dan mungkin... lukisan itu bukan hanya terhubung denganku.

Tapi dengan siapa aku dulunya.

Atau... siapa yang seharusnya mati, dan siapa yang hidup menggantikannya.


Bersambung...


📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #9 Di Balik Bingkai Diam

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Luka yang Bukan Milikku [Fiksi Reflektif]

Luka yang Bukan Milikku

Langit malam itu meneteskan gerimis halus, seolah turut berkabung atas kegelisahan yang merambat di dinding-dinding kamarku. Di luar, dunia tidur dalam kesunyian yang menipu. Di dalam, pikiranku adalah labirin yang tak memiliki jalan keluar. Pukul dua lewat delapan menit. Aku tahu pasti karena jam tua peninggalan Kakek berdentang sekali lagi—suara beratnya seperti detak jantung rumah ini, menyuarakan kenangan yang enggan mati.

Duduk membungkuk di meja kerja, kutatap lembaran surat yang sejak sore tadi tergeletak di sana. Warna kertasnya kekuningan, dicetak dengan tinta hitam yang nyaris serupa darah beku. Surat itu adalah pengingat bahwa dunia nyata tak peduli siapa pelaku sebenarnya. Dunia hanya tahu siapa yang tersisa.

"Tagihan terakhir," begitu tertulis di bagian atas.

Jumlahnya membuat perutku mual. Lebih dari sepuluh kali gaji bulananku. Lebih dari tabunganku yang kurawat dengan hati-hati sejak awal pandemi. Lebih dari rasa kasih yang selama ini kutanamkan untuk dua orang yang kusebut orang tua—yang kini entah menjadi beban, musuh, atau sekadar bayang-bayang.

Mereka bilang: "Kamu anak sulung. Sudah seharusnya kamu yang tanggung."

Tapi siapa yang memberi mereka izin untuk hidup sembrono? Siapa yang menyuruh mereka meminjam uang demi usaha yang tak kunjung berhasil, demi gaya hidup yang tak mencerminkan kemampuan? Dan mengapa aku yang kini harus merelakan jam tidur, kesehatan mental, bahkan cita-cita?

Aku tak pernah punya sepeda motor sendiri. Tak pernah berlibur. Tak pernah membeli apapun tanpa diskon. Aku bahkan menghitung ulang lembaran seratus ribu seperti menghitung sisa napas.

Namun surat itu tak peduli. Dunia tak peduli.

Dalam kegelapan kamar, bayangan mereka berdiri. Ayah dengan tatapan tajam yang dulu kupuja, kini menjadi cambuk yang menghantam tanpa suara. Ibu dengan suara tinggi dan tangan yang gemetar, memintaku memahami, lagi dan lagi.

Padahal akulah yang menangis diam-diam di kamar mandi, menahan sesak yang bahkan tak tahu dari mana datangnya. Akulah yang tiap malam merapal doa agar bisa bangun pagi tanpa ingin menghilang.

Aku bukan pahlawan. Aku bahkan tak ingin menjadi penyelamat. Yang kuinginkan hanya kebebasan. Dan sedikit… hanya sedikit… keadilan.


Aku berjalan menyusuri lorong rumah yang sunyi. Setiap langkahku menggema. Lantai kayu berderit seperti menjerit. Aku merasa sedang berjalan di dalam mimpi yang buruk. Tapi semuanya nyata.

Di ruang tamu, bingkai foto keluarga masih terpajang. Senyuman palsu. Mata yang tak benar-benar saling menatap. Di bawah bingkai itu, meja kecil dengan taplak berenda menyembunyikan album masa kecil. Aku mengangkatnya perlahan, membuka halaman demi halaman. Foto ulang tahun. Foto kelulusan. Foto-foto saat semuanya masih tampak baik-baik saja.

Namun di balik gambar-gambar itu, ada luka-luka yang tak bisa dicuci. Ayah yang dulu bersuara keras, kini hanya diam saat diminta bertanggung jawab. Ibu yang pernah memelukku di malam demam, kini hanya tahu menyalahkan dunia dan bertanya: "Kenapa kamu tega membiarkan kami susah?"

Tega?

Tega adalah mereka yang membiarkanku tumbuh dengan luka. Yang memintaku menjadi perisai bagi badai yang bukan milikku.


Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk bicara. Bukan karena keberanian, tapi karena tak ada tempat lagi untuk sembunyi.

"Aku tidak akan bayar utang itu," kataku. Datar. Tenang. Terlalu tenang.

Mereka menatapku seakan aku menjelma iblis.

"Kamu durhaka. Kamu lupa dibesarkan oleh siapa!"

"Aku tidak lupa. Justru karena aku ingat, aku tahu apa yang sudah kalian bebankan padaku sejak kecil. Aku tidak punya masa kecil. Aku tidak punya remaja. Aku cuma punya tanggung jawab yang tidak pernah kupilih."

Ibu menangis. Ayah memalingkan muka.

Aku berdiri. Hatiku dingin. Bahkan terlalu dingin.


Malam itu, mimpi buruk datang. Tapi kali ini aku tidak takut. Dalam mimpi itu, aku melihat diriku terbaring di kamar rumah sakit. Selang di hidung, suara mesin berdentang. Di luar, Ayah dan Ibu duduk di kursi ruang tunggu. Menangis. Tapi bukan karena aku akan mati—melainkan karena tak ada lagi yang bisa mereka mintai bantuan.

Aku terbangun dengan senyum getir. Mimpi itu bukan pertanda. Itu adalah proyeksi dari kebenaran yang selama ini kutahan.

Keesokan harinya, aku menulis surat. Surat itu tidak dikirim ke bank. Tidak juga kepada keluargaku.

Tapi untuk diriku sendiri.

Kepada Aku, yang pernah terlalu penurut,

Maaf karena kau harus tumbuh dalam keluarga yang tak pernah belajar memikul beban masing-masing. Maaf karena kau terlalu lama merasa bersalah atas kesalahan yang bukan milikmu. Maaf karena kau hampir kehilangan dirimu sendiri.

Mulai hari ini, kita bebas. Luka ini bukan warisan. Dan jika cinta harus selalu berarti pengorbanan tanpa batas, maka itu bukan cinta. Itu penjara.


Aku memutuskan pindah. Kota kecil di utara, di mana tak ada yang mengenalku. Aku mulai menulis. Cerita-cerita tentang keluarga. Tentang luka. Tentang cinta yang tak seharusnya menelan hidup seseorang.

Aku bekerja cukup. Tidur cukup. Kadang masih merasa bersalah. Tapi setidaknya, aku tidak lagi hidup dalam labirin yang dibangun orang lain.

Dan jika suatu hari mereka mencari—aku akan bilang:

"Aku mencintai kalian. Tapi aku mencintai diriku lebih dulu. Akhirnya."



📖 Baca Cerita Lainnya:
🔗 Dinding yang Tidak Mendengar

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #10 Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati [Cerita Komedi Remaja]

Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati

Pasar Beringharjo sore itu ramai. Bukan ramai biasa, tapi ramai seperti orkestra yang belum diatur konduktor. Ada suara teriakan ibu-ibu, suara pedagang batik menawarkan kain, anak kecil nangis karena nggak dibelikan balon, sampai suara klakson becak yang kadang terdengar seperti kodok terjebak di ember.

Tari menggandeng tangan Asri erat, menembus kerumunan manusia seperti kakak yang sedang membawa misi penyelamatan dunia. Wajahnya serius, alisnya menyatu, mata menyisir kiri kanan.

"Sepatu anak, ukuran tiga enam atau tiga tujuh ada nggak, Pak? Yang jangan mahal-mahal ya..." tanya Tari ke salah satu penjual.

Asri mengikuti di belakang, keringatan, tapi matanya penuh harap. Sepatu lamanya—yang sudah bolong dan pernah kena lem tembak pakai glue gun bekas proyek prakarya—akhirnya bakal diganti.

Setelah menawar di dua, tiga lapak, akhirnya mereka nemu. Sepatu warna hitam dengan strip putih di samping. Modelnya mirip yang dipakai pemain bola di TV.

"Ini keren banget, Kak...!"

Tari senyum. Tapi senyumnya nggak penuh. Ada sesuatu di matanya—entah lelah, entah sedih. Mungkin karena uang jajan seminggunya habis buat beli sepatu itu.

"Jaga baik-baik ya. Jangan buat nginjek sawah atau nyari kodok di parit belakang rumah Bu Lurah," katanya.

Asri mengangguk, wajahnya bersinar seperti lampu jalan baru diganti bohlamnya. Tapi di balik senyum itu, ada rasa aneh.

Sepatu baru itu nyaman, tapi hatinya berat. Karena tahu, kakaknya berkorban.

Malam harinya, di kamar yang temboknya penuh gambar tempelan majalah dan jadwal pelajaran, Asri duduk menatap sepatu barunya. Di bawah cahaya lampu lima watt yang remang, sepatu itu terlihat seperti harta karun.

"Kak Tari baik banget... Tapi aku belum bisa ngasih apa-apa ke dia..."

Dari luar kamar, suara ibu terdengar memanggil, "Asri, udah salat magrib belum?"

Asri berdiri, lalu mengecup pelan sepatu barunya, seolah itu benda suci. Lalu dia lari keluar kamar, jawab, "Iya, Bu!"

Malam itu langit Jogja berwarna biru tua, bulan sabit menggantung di langit seperti senyum setengah hati. Dan di dalam rumah kecil itu, ada anak kecil yang mulai belajar mengenali bentuk cinta paling sederhana: pengorbanan diam-diam seorang kakak.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 -


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu [Cerita Komedi Remaja]

Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

Jogja pagi itu seperti gadis pemalu yang belum sempat merias wajah. Kabut masih menggantung tipis di antara celah genteng dan tiang listrik, menutupi matahari yang baru sempat mengintip malu-malu dari balik pepohonan. Di gang sempit penuh jemuran itu, langkah kecil Asri terdengar tak beraturan. Sepasang sepatu hitamnya—yang warnanya sudah lebih mirip arang daripada obsidian—menyentuh tanah dengan suara ‘ceplek-ceplek’ yang tak bisa disembunyikan.

Sepatu itu... sudah bolong di ujungnya.

Jempol kaki Asri yang lincah kadang menyembul malu-malu, seolah ingin menyapa dunia luar yang lebih luas dari ruang kelas dan halaman sekolah. Tapi pagi ini, dia tak tertawa seperti biasanya. Ada yang ditahannya di dada. Entah itu rasa malu, atau cuma angin pagi yang dinginnya menelusup lewat lubang sepatunya.

"Ndak usah lari, Sri. Jalan aja pelan-pelan. Toh ujungnya tetep sekolah," kata Tari—kakaknya—dari belakang.

Tari, kakak sulung yang sedang remaja, rambutnya selalu dikucir dua dan membawa ransel penuh buku pelajaran dan cita-cita yang belum sempat ditulis. Ia sekolah di SMP sebelah. Bedanya dengan Asri, selain usia dan tinggi badan, adalah cara mereka menghadapi dunia. Tari penuh logika. Asri penuh insting dan cilok.

"Sepatuku bikin bunyi kayak tikus kecebur sumur," keluh Asri.

Tari terkekeh, "Emangnya tikus suka nyemplung sumur?"

Asri mengangkat bahu. Kadang yang ia pikirkan tak butuh penjelasan. Hanya butuh dimengerti.

Sampai di pelataran sekolah, mereka berpisah. Komplek sekolah SD dan SMP itu cuma dipisahkan pagar dan papan nama. Tari masuk ke gerbang kiri, Asri ke kanan. Tapi sebelum berpisah, Tari sempat menepuk pundak adiknya.

"Nanti sore ikut aku ke pasar ya, cari sepatu. Siapa tahu ada yang murah, tapi bagus."

Asri mengangguk. Pelan. Ada perasaan hangat seperti teh tubruk sore hari yang terselip di sela kata-kata kakaknya. Sepatu bekas mungkin tidak akan menyembunyikan jempolnya dengan sempurna, tapi bisa menyembunyikan kekhawatiran yang makin hari makin dia pahami: bahwa di balik omelan Ibu dan sunyi Bapak, ada kasih yang tak selalu berbentuk barang baru.

Sesampainya di sekolah, teman-temannya mulai datang satu per satu.

"Heh, Sri! Jempolmu kepo tuh!" seru Bowo sambil menunjuk sepatunya.

"Ini... ventilasi. Biar kaki enggak kepanasan," jawab Asri enteng.

Mereka tertawa. Bahkan Dani, si ketua kelas yang jarang senyum, ikutan nyengir. Asri memang punya bakat sulap: mengubah kekurangan jadi bahan ketawa, mengubah malu jadi mainan sore hari.

Di jam istirahat, ia duduk di sudut koridor sekolah, membuka bekal dari ibunya. Nasi dingin, sambal terasi, dan tempe goreng. Tapi di ujung bekal itu, ada sebuah catatan kecil yang ditulis dengan pulpen merah:

“Semangat sekolah, Sri. Jangan malu. Jempolmu boleh nongol, tapi hatimu harus tetap sembunyi di balik kebaikan.”

Tulisannya agak miring. Mungkin Ibu menulis sambil mengejar waktu, atau sambil mengejar sabar yang makin menipis. Tapi pesan itu cukup untuk membuat Asri tersenyum kecil, mengunyah tempe pelan-pelan, dan berpikir bahwa kadang, sepatu bolong pun bisa membawa kita ke tempat yang paling tulus: rasa syukur.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #10 Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati

Yang Tak Pernah Selesai Dalam Kepala [Puisi]

Yang Tak Pernah Selesai Dalam Kepala

Aku ini, Nak,
orang yang pandai sekali mendengar.
Pandai mengangguk—bahkan saat hati sendiri sedang menjerit minta dipeluk.

Orang-orang datang padaku.
Mereka bercerita tentang luka-luka mereka,
tentang ayah yang tak pernah pulang,
tentang ibu yang terlalu sering menangis di dapur,
tentang cinta yang patah di ujung pesan tak terbalas.

Dan aku duduk di situ,
jadi tempat sampah yang sopan.
Tempat luka dibuang dan ditinggal pergi.

Tapi tahu, Nak?
Orang macam aku ini...
kalau mau cerita balik,
malah diam.

Karena kami takut.
Takut dibilang cengeng.
Takut dianggap terlalu rumit untuk dimengerti.
Takut dicap beban,
oleh orang-orang yang katanya “ada buat kita.”

Akhirnya aku hanya duduk sendiri,
di pojok kepala yang ramai oleh suara-suara tak diucapkan.

Aku ini, Nak,
Yang kalau bilang “nggak apa-apa,”
itu bukan karena tak ada apa-apa,
tapi karena tak tahu harus mulai dari mana.


📖 Baca Puisi Lainnya:
🔗 Di Dalam Dingin

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung [Cerita Misteri]

Lukisan yang Terhubung

Aku menatap lekat-lekat foto yang masih tergenggam di tanganku, seolah berharap wajah-wajah di dalamnya akan menjawab teka-teki yang terus menghantuiku. Pria itu... wajahnya begitu mirip denganku, namun ada sesuatu yang berbeda—pancaran matanya, cara berdirinya, seolah ia membawa beban masa lalu yang tak kukenal, namun terasa akrab. Ibuku berdiri di sisinya, senyumnya kaku, tak seperti yang kuingat dalam kenangan masa kecilku yang samar.

Aku menuruni loteng dengan kaki yang nyaris tak menjejak lantai. Di ruang kerja, aku menyebar foto-foto dan catatan dari kotak tadi di atas meja. Satu demi satu kupelajari, hingga pandanganku tertambat pada secarik kertas lusuh—gambar tangan, sketsa kasar dari sebuah lukisan. Tidak ada judul, hanya guratan kuat dan bayangan gelap yang membentuk sosok tanpa wajah di tengah kanvas.

Ada sensasi aneh yang menjalar ketika aku menyentuhnya. Jantungku berdegup pelan namun mantap, seperti suara jam tua di ruang tamu yang telah lama tak kudengar. Ada ketertarikan yang tak bisa kutolak. Sketsa itu bukan hanya coretan, tapi jejak menuju sesuatu yang telah lama hilang.

Keesokan paginya, aku menemui Arman di galeri tempat ia bekerja. Galeri itu tenang, seperti museum kecil yang dijaga oleh waktu. Ia menyambutku dengan tatapan khawatir, tetapi tak banyak bicara. Aku menyerahkan sketsa itu padanya.

“Pernah melihat ini?” tanyaku.

Arman mengambilnya, meneliti dengan mata tajam seorang kurator berpengalaman. “Tekniknya... mirip gaya ekspresionis. Tapi ini bukan karya sembarangan. Ada semacam—keputusasaan—dalam goresannya.”

“Aku merasa pernah melihat lukisan ini. Tapi bukan dalam bentuk sketsa. Lukisan ini pernah ada, atau mungkin... masih ada.”

Ia menatapku serius. “Leo, kau sadar bahwa ingatanmu sedang bermain-main denganmu? Kau bisa saja menciptakan koneksi yang tak pernah benar-benar ada.”

“Tapi jika lukisan ini nyata, dan jika aku menemukannya, mungkin aku bisa mengurai benang kusut dalam pikiranku.”

Arman mengangguk perlahan, seperti seorang dokter yang tak yakin dengan diagnosisnya namun tak ingin mengecewakan pasien. Ia membuka laptopnya dan mulai mencari di basis data galeri. Setelah beberapa menit, ia menunjukkan sebuah foto digital.

“Itu... lukisan tanpa wajah,” desahku.

Lukisan itu tergantung di sebuah pameran dua tahun lalu. Keterangan mencantumkan nama pemilik: Leonard Baskara.

Aku.

Namun aku tak ingat pernah menyumbangkan karya itu ke pameran manapun. Bahkan aku tak ingat pernah melukisnya.

“Aku harus melihatnya langsung. Di mana lukisan itu sekarang?”

“Sudah ditarik dari pameran. Kembali ke pemilik. Ke rumahmu, Leo.”

Dunia seakan berhenti berputar sesaat. Lukisan itu—yang entah bagaimana menjadi pusat segala hal yang membingungkan ini—ada di rumahku. Dan aku tak pernah menyadarinya.

Arman menatapku lama sebelum berkata, “Aku akan ikut denganmu.”

Kami kembali ke rumahku menjelang sore. Langit mendung menggantung di atas atap, dan angin membawa aroma hujan yang tertahan. Aku membuka pintu dengan tangan gemetar, seolah akan memasuki ruangan asing meskipun ini adalah rumahku sendiri.

Kami menyusuri lorong yang sunyi, melewati ruang-ruang yang menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Sampai akhirnya, di ruang belakang, tersembunyi di balik tirai debu dan waktu, kami menemukannya.

Lukisan itu berdiri tegak di atas kuda-kuda tua. Sosok tanpa wajah, dikelilingi bayangan, seolah hendak keluar dari kanvas untuk menyampaikan sesuatu. Jantungku berdebar tak menentu. Ada gema dalam pikiranku—kilasan, desahan, suara-suara yang bukan milikku, namun terasa berasal dari dalam diriku.

Arman melangkah maju, memperhatikan detail lukisan dengan cermat. “Lukisan ini... seperti menyimpan sesuatu. Cerita. Tragedi.”

Aku hanya bisa mengangguk. “Dan mungkin, jawabannya ada di dalamnya.”

Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa masa laluku—betapa kelam dan menyakitkannya—sedang mencoba berbicara kembali padaku. Melalui warna, bentuk, dan ruang kosong pada wajah itu.

Dan aku harus mendengarkan.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung [Cerita Komedi Remaja]

Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

Rumah Asri bukan istana. Tapi di sana, ada drama yang tak kalah dari sinetron jam tujuh. Ada cinta, ada cemburu, ada tawa, ada juga teriakan kecil yang kadang bikin kuping merah.

Pagi itu, matahari baru setengah naik, burung gereja masih cerewet di atas genteng, dan suara wajan bertemu bawang putih mulai menggema dari dapur.

"Asriii! Bangun! Nanti kesiangan, lho!"

Suara ibunya membelah kesunyian pagi. Suara itu seperti alarm alami yang tak bisa di-snooze. Asri menggeliat di kasurnya yang sudah mulai tipis, menarik selimut sampai ke hidung, berharap bisa hilang dari radar ibu.

"Masih ngantuk, Bu... 5 menit lagi..." gumamnya, suara seperti orang di ujung dunia.

Tapi suara spatula membentur penggorengan adalah tanda bahwa 5 menit itu akan segera berakhir. Dan benar saja, tak sampai 3 menit, ibunya sudah muncul di depan pintu kamar, satu tangan membawa handuk, tangan lain menunjuk jam dinding.

"Kamu tuh, kalau sekolah kayak mau perang. Mana sepatu belum disikat, seragam belum disetrika, PR juga belum selesai, ya kan?!"

Asri bangun sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal. Wajahnya masih bantal semua.

"Udah kok, Bu... PR-nya tinggal dikit..."

"Dikit-dikit tapi belum selesai. Itu sama aja kayak masak tapi lupa garam. Nggak ada gunanya."

Dapur rumah itu kecil, tapi hangat. Ada aroma tumis kangkung bercampur sambal terasi yang mengambang di udara, menembus sampai ke ruang tamu. Di meja, sudah ada bekal dibungkus kertas minyak—nasi, telur dadar, dan irisan timun. Bekal sederhana, tapi dibuat dengan cinta dan sedikit keluhan.

Ayah Asri masih di depan televisi, menyesap kopi hitamnya yang diseruput keras. "Jangan bikin Ibu ngomel tiap pagi, Sri. Itu bisa memperpendek usia."

Asri menatap ayahnya, lalu ibunya. Mereka berdua seperti langit dan bumi—yang satu tenang, yang satu gemuruh. Tapi dari keduanya, Asri belajar bahwa hidup bukan soal jadi sempurna, tapi soal terus bangun pagi walau semalam ketiduran ngerjain PR.

"Sarapan, Sri. Jangan cuma mandangin nasi. Kalau lapar pas pelajaran, nanti gurunya dikira setan gara-gara kamu melamun."

Asri tertawa kecil. Mulutnya mengunyah nasi, matanya menatap luar jendela. Di luar sana, Jogja masih berkabut. Tapi di dalam sini, hatinya sudah mulai hangat.

Lalu muncul sosok yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamar yang menganga.

"Ibu, Asri tuh semalam tidur duluan, PR-nya malah aku yang bantuin ngerjain!" ujar Tari, kakak Asri, dengan nada setengah kesal tapi penuh rasa sayang yang dibungkus sindiran.

Tari, gadis remaja kelas dua SMP yang rambutnya selalu diikat dua seperti kupu-kupu yang sedang menari di belakang kepala. Ia muncul dengan buku PR Asri di tangan kiri, dan sisir di tangan kanan.

"Kak Tari lebay," gerutu Asri sambil mengunyah lebih cepat.

"Lebay-lebay juga, kalau bukan Kakak, kamu bisa kena semprot Bu Gurumu pagi ini."

Ibunya tertawa pendek sambil membalik tumis kangkung di wajan. "Ya sudah, Kak Tari, makasih ya bantuin adikmu. Tapi Sri, lain kali jangan nyusahin kakak terus. PR sendiri ya dikerjain sendiri."

Asri hanya mengangguk pelan. Di meja makan itu, tiga sosok berbeda duduk: seorang ibu yang penuh semangat, seorang ayah yang kalem seperti lagu keroncong, dan seorang kakak perempuan yang cerewet tapi penyayang.

Rumah itu mungkin sederhana, tapi bagai panggung kecil tempat opera kehidupan dimainkan. Ada tawa, ada teriakan, ada tangis yang kadang sembunyi di balik pintu kamar.

Rumah, meski sering diisi omelan, adalah tempat paling nyamannya di dunia.

Bersambung.....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #7 Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]

Kilasan yang Mengganggu

Malam terasa semakin sunyi. Sejak membaca berita yang mengungkap namaku sendiri di dalam daftar orang yang telah meninggal, dadaku semakin sesak. Pikiran itu berputar tanpa henti, seperti pusaran air yang menelanku ke dalam kegelapan. Bagaimana mungkin aku membaca berita kematianku sendiri? Siapa yang telah mati dengan namaku?

Di ruang kerja yang penuh dengan berkas dan buku berserakan, aku duduk dengan tangan mencengkeram rambutku. Lampu redup memberikan bayangan samar di dinding, seolah-olah ada sosok lain yang diam-diam mengamatiku. Di meja, koran tua dengan tanggal yang pudar masih terbuka di halaman berita kriminal.

"Leonard Baskara, kolektor seni ternama, ditemukan tewas di kediamannya dalam kondisi mengenaskan. Polisi masih menyelidiki kasus ini, tetapi hingga saat ini belum ada petunjuk yang mengarah pada tersangka."

Aku menggeram, tanganku mengepal. Kalimat itu seakan menusuk pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin aku masih hidup jika berita ini benar?

Kilasan-kilasan samar kembali muncul dalam pikiranku. Sebuah ruangan gelap. Aroma cat minyak yang tajam. Suara gemerisik di kejauhan. Dan kemudian, kilatan pisau.

Aku terhenyak. Napasku memburu. Kenangan itu datang seperti serpihan kaca yang menusuk otakku. Sesuatu yang penting hampir kembali padaku, tetapi tetap buram, seperti lukisan yang setengah jadi.

Tak tahan dengan ketidakpastian, aku menghubungi Arman. Suara sahabatku terdengar lelah ketika menjawab panggilan.

"Leo? Kau baik-baik saja? Sudah larut malam."

"Arman, aku butuh bantuanmu. Kita harus menggali lebih dalam tentang berita itu. Siapa yang sebenarnya mati dengan namaku? Aku harus tahu."

Arman terdiam sejenak sebelum menjawab, "Baik. Aku akan mencari sumber lain. Mungkin ada laporan forensik atau catatan rumah sakit yang bisa memberi kita jawaban."

Aku mengangguk meskipun tahu Arman tidak bisa melihatnya. "Aku juga akan mencari petunjuk di rumah ini. Ada sesuatu yang terasa tidak beres."

Setelah menutup telepon, aku menatap ke sekeliling ruangan. Aku memutuskan untuk memeriksa kembali setiap sudut rumahku, mencari sesuatu yang mungkin bisa memicu ingatan yang lebih jelas.

Aku berjalan menuju loteng, tempat aku menyimpan barang-barang lama. Anak tangga kayu berderit di bawah langkahku. Saat mencapai pintu loteng, tanganku gemetar saat menyentuh gagangnya. Ada perasaan ganjil yang menyelimutiku, seperti aku akan menemukan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.

Dengan perlahan, aku mendorong pintu dan menemukan diriku berdiri di tengah ruangan penuh debu. Cahaya bulan masuk melalui celah-celah kayu, menerangi tumpukan kotak-kotak tua. Aku melangkah lebih dalam, mataku menyusuri rak-rak berdebu hingga berhenti pada satu kotak besar di sudut ruangan.

Aku menarik kotak itu dan membuka tutupnya. Di dalamnya, terdapat tumpukan kertas, buku catatan, serta beberapa foto lama yang sudah menguning. Dengan jantung berdebar, aku mengangkat salah satu foto dan menatapnya dengan seksama.

Di foto itu, seorang pria yang mirip denganku berdiri di samping seorang wanita yang tampak familiar. Mataku melebar saat menyadari siapa wanita itu—ibuku. Tetapi pria di sebelahnya...

"Apa ini...?" bisikku.

Rasa pusing mendadak menyerangku, dan kilasan ingatan kembali menghantam pikiranku. Aku melihat diriku di ruangan yang berbeda, duduk di kursi dengan tangan gemetar, memegang pisau berlumuran darah. Di depanku, seseorang tergeletak tak bergerak. Lukisan tanpa wajah tergantung di dinding, menatapku dalam keheningan yang mengerikan.

Kilasan itu lenyap secepat datangnya. Aku terhuyung ke belakang, keringat dingin membasahi pelipisku. Nafasku tersengal. Aku tak bisa lagi menyangkal—ada sesuatu yang hilang dalam hidupku, sesuatu yang mungkin lebih gelap dari yang aku kira.

Dan satu-satunya cara untuk menemukan jawabannya adalah dengan menggali lebih dalam, meskipun itu berarti menghadapi bayangan kelam dari masa laluku yang selama ini terkubur.

Bersambung....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #5 Berita Pembunuhan [Cerita Misteri]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung [Cerita Misteri]

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...