Potongan yang Mulai Menyatu
Udara pagi di ruang kerjaku terasa lebih berat dari biasanya. Jendela-jendela tua berembun, seolah dinding-dinding rumah ini ikut menyimpan napas gelisahku semalaman. Di meja, amplop coklat yang diberikan Arman semalam masih tergeletak, belum sepenuhnya kupahami isinya. Ada nama ayahku tercantum di sana—Agung Baskara—dan tulisan tangan kecil yang menggigil: "Dilarang dibuka sampai waktunya tiba."
Apa maksudnya? Waktu yang mana? Kenapa semua ini seperti menyatu menjadi satu pola yang samar namun perlahan menjadi nyata?
Aku menghidupkan kembali perekam suaraku. Suaraku semalam terdengar rapuh namun terobsesi:
"Aku sedang mencari diriku sendiri..."
Kepalaku masih berdenyut, seperti menyimpan fragmen-fragmen masa lalu yang belum lengkap. Aku kembali ke lukisan itu. Kali ini aku memperhatikan bukan hanya gambarnya, tapi aroma minyak cat tua, debu kayu bingkai, dan suara yang nyaris tak terdengar—seperti bisikan dari balik waktu.
Aku menelusuri sudut-sudut ruangan tempat lukisan itu pertama kali tergantung setelah diwariskan padaku. Ada sesuatu di belakangnya. Dengan hati-hati, aku melepas lukisan dari dinding.
Di balik kanvas, tersembunyi sebuah amplop lain, lebih kecil, usang, dan tertutup segel lilin merah. Di atasnya, tercetak inisial: A.B.—Agung Baskara. Tanganku gemetar saat membukanya.
Isinya hanya satu lembar kertas, namun kata-katanya menghantam seperti palu:
"Jika kamu membaca ini, berarti kau sudah mulai melihat apa yang selama ini kusembunyikan. Lukisan itu bukan sekadar lukisan. Ia adalah kunci. Aku... pernah gagal menghentikannya. Tapi kamu mungkin bisa. Ingatlah satu hal: bayangan tak akan muncul tanpa cahaya. —Ayahmu."
Mataku membelalak. Apa yang hendak dihentikan ayahku? Dan apa kaitannya dengan semua kematian yang mulai muncul dalam berita?
Arman menelpon. Suaranya panik:
"Leo, kamu harus datang ke galeri utama. Ada laporan... seseorang ditemukan tewas di ruang pameran belakang. Dan anehnya, ada lukisanmu tergantung di dinding ruangan itu."
Aku membeku.
"Lukisan yang mana?"
"Yang abstrak, dengan pola melingkar dan titik merah di tengahnya. Yang dulu pernah kamu katakan tak kamu ingat pernah melukisnya."
Dadaku terasa menghimpit. Aku tidak ingat pernah membuat lukisan seperti itu.
Tapi saat Arman mengucapkannya, aku langsung tahu lukisan yang dimaksud.
Kilasan samar kembali muncul. Sebuah ruangan putih. Aroma cat. Tangan yang bergerak tanpa kendali. Wajah seseorang yang berdarah...
Aku segera menuju galeri. Di sana, suasana telah dipenuhi polisi dan pengunjung yang terkejut. Ruangan belakang dipasangi garis polisi. Dan di tengahnya, seorang pria tergolek dengan pisau menancap di dadanya. Di atasnya, lukisan yang seolah menatap balik padaku.
Aku tidak mengenal korban itu. Tapi saat melihat posisinya yang terduduk di bawah lukisan, darah mengalir persis seperti komposisi dalam kanvas... aku tahu ini bukan kebetulan.
Tanganku bergetar saat kutatap lukisan itu lebih dekat.
Di pojok bawahnya, kembali tiga huruf: M-R-T.
Marat. Lagi-lagi Marat. Tapi ini bukan sejarah yang berulang. Ini adalah kenangan.
Atau lebih tepatnya: ini adalah potongan masa lalu yang sedang kembali padaku, satu demi satu, dari balik bingkai diam.
Bersambung....
📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #9 Di Balik Bingkai Diam
📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #11Jejak yang Terlupakan
Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:
Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿