LUKISAN TANPA WAJAH #10 Potongan yang Mulai Menyatu [Cerita Misteri]

Potongan yang Mulai Menyatu

Udara pagi di ruang kerjaku terasa lebih berat dari biasanya. Jendela-jendela tua berembun, seolah dinding-dinding rumah ini ikut menyimpan napas gelisahku semalaman. Di meja, amplop coklat yang diberikan Arman semalam masih tergeletak, belum sepenuhnya kupahami isinya. Ada nama ayahku tercantum di sana—Agung Baskara—dan tulisan tangan kecil yang menggigil: "Dilarang dibuka sampai waktunya tiba."

Apa maksudnya? Waktu yang mana? Kenapa semua ini seperti menyatu menjadi satu pola yang samar namun perlahan menjadi nyata?

Aku menghidupkan kembali perekam suaraku. Suaraku semalam terdengar rapuh namun terobsesi:

"Aku sedang mencari diriku sendiri..."

Kepalaku masih berdenyut, seperti menyimpan fragmen-fragmen masa lalu yang belum lengkap. Aku kembali ke lukisan itu. Kali ini aku memperhatikan bukan hanya gambarnya, tapi aroma minyak cat tua, debu kayu bingkai, dan suara yang nyaris tak terdengar—seperti bisikan dari balik waktu.

Aku menelusuri sudut-sudut ruangan tempat lukisan itu pertama kali tergantung setelah diwariskan padaku. Ada sesuatu di belakangnya. Dengan hati-hati, aku melepas lukisan dari dinding.

Di balik kanvas, tersembunyi sebuah amplop lain, lebih kecil, usang, dan tertutup segel lilin merah. Di atasnya, tercetak inisial: A.B.—Agung Baskara. Tanganku gemetar saat membukanya.

Isinya hanya satu lembar kertas, namun kata-katanya menghantam seperti palu:

"Jika kamu membaca ini, berarti kau sudah mulai melihat apa yang selama ini kusembunyikan. Lukisan itu bukan sekadar lukisan. Ia adalah kunci. Aku... pernah gagal menghentikannya. Tapi kamu mungkin bisa. Ingatlah satu hal: bayangan tak akan muncul tanpa cahaya. —Ayahmu."

Mataku membelalak. Apa yang hendak dihentikan ayahku? Dan apa kaitannya dengan semua kematian yang mulai muncul dalam berita?

Arman menelpon. Suaranya panik:

"Leo, kamu harus datang ke galeri utama. Ada laporan... seseorang ditemukan tewas di ruang pameran belakang. Dan anehnya, ada lukisanmu tergantung di dinding ruangan itu."

Aku membeku.

"Lukisan yang mana?"

"Yang abstrak, dengan pola melingkar dan titik merah di tengahnya. Yang dulu pernah kamu katakan tak kamu ingat pernah melukisnya."

Dadaku terasa menghimpit. Aku tidak ingat pernah membuat lukisan seperti itu.

Tapi saat Arman mengucapkannya, aku langsung tahu lukisan yang dimaksud.

Kilasan samar kembali muncul. Sebuah ruangan putih. Aroma cat. Tangan yang bergerak tanpa kendali. Wajah seseorang yang berdarah...

Aku segera menuju galeri. Di sana, suasana telah dipenuhi polisi dan pengunjung yang terkejut. Ruangan belakang dipasangi garis polisi. Dan di tengahnya, seorang pria tergolek dengan pisau menancap di dadanya. Di atasnya, lukisan yang seolah menatap balik padaku.

Aku tidak mengenal korban itu. Tapi saat melihat posisinya yang terduduk di bawah lukisan, darah mengalir persis seperti komposisi dalam kanvas... aku tahu ini bukan kebetulan.

Tanganku bergetar saat kutatap lukisan itu lebih dekat.

Di pojok bawahnya, kembali tiga huruf: M-R-T.

Marat. Lagi-lagi Marat. Tapi ini bukan sejarah yang berulang. Ini adalah kenangan.

Atau lebih tepatnya: ini adalah potongan masa lalu yang sedang kembali padaku, satu demi satu, dari balik bingkai diam.


Bersambung....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #9 Di Balik Bingkai Diam

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:

🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #11Jejak yang Terlupakan


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #9 Di Balik Bingkai Diam [Cerita Misteri]

Di Balik Bingkai Diam

Saat malam mulai merangkak turun dan bayangan panjang merayapi dinding rumah tua itu, aku kembali berdiri di depan lukisan yang telah lama menghantui pikiranku. Ada sesuatu yang belum tuntas dari karya itu—seolah-olah ia menyimpan rahasia yang hanya bisa terbaca oleh mata yang telah cukup lama menatap kegelapan.

Aku menyalakan lampu kerja yang menggantung rendah, membiarkan cahaya kekuningan jatuh tepat pada kanvas yang tak bersuara. Di permukaan cat yang mulai retak itu, guratan kasar dan warna-warna gelap tampak seperti arus sungai yang membawa mayat-mayat kenangan. Tapi malam ini, mataku menangkap sesuatu yang berbeda.

Ada pola. Bukan sekadar permainan tekstur, melainkan semacam bentuk simbolik yang berulang. Terlalu halus untuk dianggap kebetulan, terlalu presisi untuk sekadar goresan emosi. Aku mendekat, jantungku berdetak semakin kencang. Lukisan ini menyimpan pesan tersembunyi.

Aku mengambil kaca pembesar dari meja dan mulai mengamati setiap jengkal kanvas. Dan di sudut kiri bawah, hampir menyatu dengan warna latar, aku menemukan ukiran kecil—tiga huruf terukir samar dalam cat: "M-R-T". Marat?

Kilasan tubuh dalam bak mandi. Pisau yang menancap. Surat yang basah darah. Semuanya menyerbu pikiranku dengan kecepatan yang menyesakkan.

Aku mundur. Duduk. Napas tercekat. Mengapa lukisan ini memiliki keterkaitan dengan kematian Jean-Paul Marat? Apa hubungannya denganku?

Tiba-tiba, ketukan terdengar dari pintu depan. Ketukan pelan, namun pasti. Aku bergegas turun. Di balik pintu, berdiri seseorang yang tak asing—Arman.

"Maaf datang tanpa kabar, Leo. Aku menemukan sesuatu yang... harus kamu lihat," katanya seraya menyodorkan sebuah amplop coklat tua.

Kami duduk di ruang kerja, dan aku membuka amplop itu dengan hati-hati. Isinya adalah salinan catatan lelang karya seni tahun 1997, sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa lukisan yang kini ada di dinding rumahku pernah dimiliki oleh seseorang bernama Agung Baskara—ayahku.

Ayahku.

"Aku tidak mengerti," gumamku. "Ayah tidak pernah membicarakan soal ini..."

Arman menggeleng. "Mungkin memang sengaja disembunyikan. Tapi lihat ini," katanya sambil menunjuk catatan kecil di margin dokumen: "Dilarang dibuka sampai waktunya tiba."

Aku merasakan kerongkonganku mengering. Ada sejarah dalam keluarga ini yang telah terkubur begitu lama, dan lukisan itu tampaknya menjadi kunci pembuka.

Malam semakin larut. Aku dan Arman memandangi lukisan itu dalam diam. Kali ini, bukan sekadar karya seni yang menggantung di dinding. Ia adalah pintu. Dan aku bersiap untuk membukanya—meskipun yang menantiku di baliknya adalah kegelapan paling pekat dari masa lalu.

Aku menyalakan perekam suara. Jika aku tidak bisa mempercayai ingatanku, mungkin rekaman ini bisa membantu.

"Hari ini, aku melihat sesuatu dalam lukisan itu. Sesuatu yang mungkin tak terlihat oleh mata biasa. Aku takut. Tapi lebih takut lagi kalau aku berhenti di sini. Aku harus terus. Karena aku bukan hanya mencari kebenaran... Aku sedang mencari diriku sendiri."

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #8 Jejak yang Mengendap

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:

🔗LUKISAN TANPA WAJAH #10 Potongan yang Mulai Menyatu

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #8 Jejak yang Mengendap [Cerita Misteri]

Jejak yang Mengendap

Malam itu hujan turun dengan lembut, menyisakan ketukan halus di jendela ruang kerja. Aku duduk dengan mantel panjang dan syal yang masih menggantung lemas di leher, enggan melepaskannya. Hangat dari tubuhku belum cukup untuk mengusir hawa dingin yang menyusup dari balik celah-celah dinding tua rumah ini. Namun, bukan dingin yang membuat tubuhku menggigil—melainkan ingatan yang baru saja terbit dari balik kabut.

Lukisan itu. Lukisan tanpa wajah yang tergantung di ruang kerjaku selama bertahun-tahun. Seolah menjadi saksi bisu dari hidupku, dan kini terasa seperti pemilik rahasia yang tak pernah aku sadari. Warna-warnanya tampak lebih gelap malam ini, kontras tajam antara merah darah dan abu-abu pekat yang seakan berdenyut mengikuti detak jantungku sendiri.

Pagi harinya, Arman datang ke rumah. Ia membawa map berisi dokumen dari rumah sakit jiwa di luar kota. Tak biasanya ia datang sepagi itu, bahkan kopi belum sempat aku seduh.

"Aku rasa ini bisa menjelaskan sebagian teka-teki," katanya, meletakkan map itu di meja dengan suara berat.

Kukeluarkan isinya. Dokumen lama, lusuh, dan bertahun-tahun tak tersentuh. Di situ tertulis nama yang mengguncang nadi: Leonard Baskara. Tapi bukan milikku. Tanggal lahirnya berbeda. Wajah dalam foto tampak seperti bayanganku di cermin yang retak.

"Kau pikir ini... saudaramu?" tanya Arman hati-hati.

Aku menggeleng. "Tidak punya saudara. Setidaknya tidak yang kuingat."

Namun dalam pikiranku, bayangan samar itu muncul lagi. Sebuah ruang bercat putih. Kursi goyang tua. Suara tangisan anak kecil yang teredam oleh tembok-tembok tinggi. Dan di tengahnya, lukisan tanpa wajah.

Kami memutuskan untuk menelusuri jejak. Rumah sakit jiwa yang dimaksud terletak di pinggiran kota, bangunannya telah lama ditutup dan menyisakan reruntuhan berlumut. Kami tiba menjelang sore, saat kabut mulai turun dan jalan setapak hampir tak terlihat.

Di dalam gedung, udara dipenuhi bau lembap dan tanah basah. Lantai marmer yang dulunya mengilap kini retak dan dipenuhi lumut. Arman menyalakan senter dan kami menyusuri lorong panjang, dindingnya dipenuhi coretan-coretan tak beraturan. Lalu kami menemukan ruang arsip. Pintu kayunya setengah terbuka, seperti sedang menanti kami masuk.

Rak demi rak kami telusuri, hingga kami menemukan satu kotak besar bertanda "Pasien Khusus 1995". Di dalamnya, catatan harian, sketsa-sketsa, dan satu lukisan kecil berbingkai kayu.

Lukisan itu... salinan dari lukisan tanpa wajah yang menggantung di rumahku.

Tanganku gemetar saat menyentuh permukaannya. Arman menatapku dengan sorot mata curiga yang berusaha disamarkan oleh empati.

"Leo... kalau ini pernah ada di tempat ini... dan sekarang ada di rumahmu... bagaimana caranya?"

Aku menatapnya dalam-dalam. "Itu yang ingin kutahu."

Seketika, kilasan lain muncul. Aku—atau seseorang yang mirip denganku—duduk di ranjang, menatap dinding kosong. Seorang dokter menatap dari balik jendela observasi. Lalu suara lembut dari seorang wanita tua yang membacakan puisi. Nama wanita itu berbisik di benakku—"Ibu."

Kami membawa beberapa dokumen yang bisa diselamatkan. Arman tampak gelisah sepanjang perjalanan pulang. Aku hanya diam, memutar kembali ingatan samar itu dalam benakku.

Sesampainya di rumah, aku memandangi lukisan itu sekali lagi. Ada guratan baru yang tampaknya tak pernah kusadari sebelumnya. Sebuah garis samar yang membentuk kontur wajah... wajahku. Tapi bukan aku yang sekarang—aku yang lebih muda, dengan mata yang kehilangan harapan.

Seketika aku merasa ruangan itu menyempit. Napasku tersengal. Arman memegang bahuku.

"Leo, kita harus cari tahu siapa sebenarnya orang dalam lukisan itu. Dan kenapa lukisan ini... mengikuti hidupmu."

Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa takut.

Karena kutahu, jawabannya tak akan membawa ketenangan.

Dan mungkin... lukisan itu bukan hanya terhubung denganku.

Tapi dengan siapa aku dulunya.

Atau... siapa yang seharusnya mati, dan siapa yang hidup menggantikannya.


Bersambung...


📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #9 Di Balik Bingkai Diam

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Luka yang Bukan Milikku [Fiksi Reflektif]

Luka yang Bukan Milikku

Langit malam itu meneteskan gerimis halus, seolah turut berkabung atas kegelisahan yang merambat di dinding-dinding kamarku. Di luar, dunia tidur dalam kesunyian yang menipu. Di dalam, pikiranku adalah labirin yang tak memiliki jalan keluar. Pukul dua lewat delapan menit. Aku tahu pasti karena jam tua peninggalan Kakek berdentang sekali lagi—suara beratnya seperti detak jantung rumah ini, menyuarakan kenangan yang enggan mati.

Duduk membungkuk di meja kerja, kutatap lembaran surat yang sejak sore tadi tergeletak di sana. Warna kertasnya kekuningan, dicetak dengan tinta hitam yang nyaris serupa darah beku. Surat itu adalah pengingat bahwa dunia nyata tak peduli siapa pelaku sebenarnya. Dunia hanya tahu siapa yang tersisa.

"Tagihan terakhir," begitu tertulis di bagian atas.

Jumlahnya membuat perutku mual. Lebih dari sepuluh kali gaji bulananku. Lebih dari tabunganku yang kurawat dengan hati-hati sejak awal pandemi. Lebih dari rasa kasih yang selama ini kutanamkan untuk dua orang yang kusebut orang tua—yang kini entah menjadi beban, musuh, atau sekadar bayang-bayang.

Mereka bilang: "Kamu anak sulung. Sudah seharusnya kamu yang tanggung."

Tapi siapa yang memberi mereka izin untuk hidup sembrono? Siapa yang menyuruh mereka meminjam uang demi usaha yang tak kunjung berhasil, demi gaya hidup yang tak mencerminkan kemampuan? Dan mengapa aku yang kini harus merelakan jam tidur, kesehatan mental, bahkan cita-cita?

Aku tak pernah punya sepeda motor sendiri. Tak pernah berlibur. Tak pernah membeli apapun tanpa diskon. Aku bahkan menghitung ulang lembaran seratus ribu seperti menghitung sisa napas.

Namun surat itu tak peduli. Dunia tak peduli.

Dalam kegelapan kamar, bayangan mereka berdiri. Ayah dengan tatapan tajam yang dulu kupuja, kini menjadi cambuk yang menghantam tanpa suara. Ibu dengan suara tinggi dan tangan yang gemetar, memintaku memahami, lagi dan lagi.

Padahal akulah yang menangis diam-diam di kamar mandi, menahan sesak yang bahkan tak tahu dari mana datangnya. Akulah yang tiap malam merapal doa agar bisa bangun pagi tanpa ingin menghilang.

Aku bukan pahlawan. Aku bahkan tak ingin menjadi penyelamat. Yang kuinginkan hanya kebebasan. Dan sedikit… hanya sedikit… keadilan.


Aku berjalan menyusuri lorong rumah yang sunyi. Setiap langkahku menggema. Lantai kayu berderit seperti menjerit. Aku merasa sedang berjalan di dalam mimpi yang buruk. Tapi semuanya nyata.

Di ruang tamu, bingkai foto keluarga masih terpajang. Senyuman palsu. Mata yang tak benar-benar saling menatap. Di bawah bingkai itu, meja kecil dengan taplak berenda menyembunyikan album masa kecil. Aku mengangkatnya perlahan, membuka halaman demi halaman. Foto ulang tahun. Foto kelulusan. Foto-foto saat semuanya masih tampak baik-baik saja.

Namun di balik gambar-gambar itu, ada luka-luka yang tak bisa dicuci. Ayah yang dulu bersuara keras, kini hanya diam saat diminta bertanggung jawab. Ibu yang pernah memelukku di malam demam, kini hanya tahu menyalahkan dunia dan bertanya: "Kenapa kamu tega membiarkan kami susah?"

Tega?

Tega adalah mereka yang membiarkanku tumbuh dengan luka. Yang memintaku menjadi perisai bagi badai yang bukan milikku.


Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk bicara. Bukan karena keberanian, tapi karena tak ada tempat lagi untuk sembunyi.

"Aku tidak akan bayar utang itu," kataku. Datar. Tenang. Terlalu tenang.

Mereka menatapku seakan aku menjelma iblis.

"Kamu durhaka. Kamu lupa dibesarkan oleh siapa!"

"Aku tidak lupa. Justru karena aku ingat, aku tahu apa yang sudah kalian bebankan padaku sejak kecil. Aku tidak punya masa kecil. Aku tidak punya remaja. Aku cuma punya tanggung jawab yang tidak pernah kupilih."

Ibu menangis. Ayah memalingkan muka.

Aku berdiri. Hatiku dingin. Bahkan terlalu dingin.


Malam itu, mimpi buruk datang. Tapi kali ini aku tidak takut. Dalam mimpi itu, aku melihat diriku terbaring di kamar rumah sakit. Selang di hidung, suara mesin berdentang. Di luar, Ayah dan Ibu duduk di kursi ruang tunggu. Menangis. Tapi bukan karena aku akan mati—melainkan karena tak ada lagi yang bisa mereka mintai bantuan.

Aku terbangun dengan senyum getir. Mimpi itu bukan pertanda. Itu adalah proyeksi dari kebenaran yang selama ini kutahan.

Keesokan harinya, aku menulis surat. Surat itu tidak dikirim ke bank. Tidak juga kepada keluargaku.

Tapi untuk diriku sendiri.

Kepada Aku, yang pernah terlalu penurut,

Maaf karena kau harus tumbuh dalam keluarga yang tak pernah belajar memikul beban masing-masing. Maaf karena kau terlalu lama merasa bersalah atas kesalahan yang bukan milikmu. Maaf karena kau hampir kehilangan dirimu sendiri.

Mulai hari ini, kita bebas. Luka ini bukan warisan. Dan jika cinta harus selalu berarti pengorbanan tanpa batas, maka itu bukan cinta. Itu penjara.


Aku memutuskan pindah. Kota kecil di utara, di mana tak ada yang mengenalku. Aku mulai menulis. Cerita-cerita tentang keluarga. Tentang luka. Tentang cinta yang tak seharusnya menelan hidup seseorang.

Aku bekerja cukup. Tidur cukup. Kadang masih merasa bersalah. Tapi setidaknya, aku tidak lagi hidup dalam labirin yang dibangun orang lain.

Dan jika suatu hari mereka mencari—aku akan bilang:

"Aku mencintai kalian. Tapi aku mencintai diriku lebih dulu. Akhirnya."



📖 Baca Cerita Lainnya:
🔗 Dinding yang Tidak Mendengar

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #10 Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati [Cerita Komedi Remaja]

Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati

Pasar Beringharjo sore itu ramai. Bukan ramai biasa, tapi ramai seperti orkestra yang belum diatur konduktor. Ada suara teriakan ibu-ibu, suara pedagang batik menawarkan kain, anak kecil nangis karena nggak dibelikan balon, sampai suara klakson becak yang kadang terdengar seperti kodok terjebak di ember.

Tari menggandeng tangan Asri erat, menembus kerumunan manusia seperti kakak yang sedang membawa misi penyelamatan dunia. Wajahnya serius, alisnya menyatu, mata menyisir kiri kanan.

"Sepatu anak, ukuran tiga enam atau tiga tujuh ada nggak, Pak? Yang jangan mahal-mahal ya..." tanya Tari ke salah satu penjual.

Asri mengikuti di belakang, keringatan, tapi matanya penuh harap. Sepatu lamanya—yang sudah bolong dan pernah kena lem tembak pakai glue gun bekas proyek prakarya—akhirnya bakal diganti.

Setelah menawar di dua, tiga lapak, akhirnya mereka nemu. Sepatu warna hitam dengan strip putih di samping. Modelnya mirip yang dipakai pemain bola di TV.

"Ini keren banget, Kak...!"

Tari senyum. Tapi senyumnya nggak penuh. Ada sesuatu di matanya—entah lelah, entah sedih. Mungkin karena uang jajan seminggunya habis buat beli sepatu itu.

"Jaga baik-baik ya. Jangan buat nginjek sawah atau nyari kodok di parit belakang rumah Bu Lurah," katanya.

Asri mengangguk, wajahnya bersinar seperti lampu jalan baru diganti bohlamnya. Tapi di balik senyum itu, ada rasa aneh.

Sepatu baru itu nyaman, tapi hatinya berat. Karena tahu, kakaknya berkorban.

Malam harinya, di kamar yang temboknya penuh gambar tempelan majalah dan jadwal pelajaran, Asri duduk menatap sepatu barunya. Di bawah cahaya lampu lima watt yang remang, sepatu itu terlihat seperti harta karun.

"Kak Tari baik banget... Tapi aku belum bisa ngasih apa-apa ke dia..."

Dari luar kamar, suara ibu terdengar memanggil, "Asri, udah salat magrib belum?"

Asri berdiri, lalu mengecup pelan sepatu barunya, seolah itu benda suci. Lalu dia lari keluar kamar, jawab, "Iya, Bu!"

Malam itu langit Jogja berwarna biru tua, bulan sabit menggantung di langit seperti senyum setengah hati. Dan di dalam rumah kecil itu, ada anak kecil yang mulai belajar mengenali bentuk cinta paling sederhana: pengorbanan diam-diam seorang kakak.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 -


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu [Cerita Komedi Remaja]

Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

Jogja pagi itu seperti gadis pemalu yang belum sempat merias wajah. Kabut masih menggantung tipis di antara celah genteng dan tiang listrik, menutupi matahari yang baru sempat mengintip malu-malu dari balik pepohonan. Di gang sempit penuh jemuran itu, langkah kecil Asri terdengar tak beraturan. Sepasang sepatu hitamnya—yang warnanya sudah lebih mirip arang daripada obsidian—menyentuh tanah dengan suara ‘ceplek-ceplek’ yang tak bisa disembunyikan.

Sepatu itu... sudah bolong di ujungnya.

Jempol kaki Asri yang lincah kadang menyembul malu-malu, seolah ingin menyapa dunia luar yang lebih luas dari ruang kelas dan halaman sekolah. Tapi pagi ini, dia tak tertawa seperti biasanya. Ada yang ditahannya di dada. Entah itu rasa malu, atau cuma angin pagi yang dinginnya menelusup lewat lubang sepatunya.

"Ndak usah lari, Sri. Jalan aja pelan-pelan. Toh ujungnya tetep sekolah," kata Tari—kakaknya—dari belakang.

Tari, kakak sulung yang sedang remaja, rambutnya selalu dikucir dua dan membawa ransel penuh buku pelajaran dan cita-cita yang belum sempat ditulis. Ia sekolah di SMP sebelah. Bedanya dengan Asri, selain usia dan tinggi badan, adalah cara mereka menghadapi dunia. Tari penuh logika. Asri penuh insting dan cilok.

"Sepatuku bikin bunyi kayak tikus kecebur sumur," keluh Asri.

Tari terkekeh, "Emangnya tikus suka nyemplung sumur?"

Asri mengangkat bahu. Kadang yang ia pikirkan tak butuh penjelasan. Hanya butuh dimengerti.

Sampai di pelataran sekolah, mereka berpisah. Komplek sekolah SD dan SMP itu cuma dipisahkan pagar dan papan nama. Tari masuk ke gerbang kiri, Asri ke kanan. Tapi sebelum berpisah, Tari sempat menepuk pundak adiknya.

"Nanti sore ikut aku ke pasar ya, cari sepatu. Siapa tahu ada yang murah, tapi bagus."

Asri mengangguk. Pelan. Ada perasaan hangat seperti teh tubruk sore hari yang terselip di sela kata-kata kakaknya. Sepatu bekas mungkin tidak akan menyembunyikan jempolnya dengan sempurna, tapi bisa menyembunyikan kekhawatiran yang makin hari makin dia pahami: bahwa di balik omelan Ibu dan sunyi Bapak, ada kasih yang tak selalu berbentuk barang baru.

Sesampainya di sekolah, teman-temannya mulai datang satu per satu.

"Heh, Sri! Jempolmu kepo tuh!" seru Bowo sambil menunjuk sepatunya.

"Ini... ventilasi. Biar kaki enggak kepanasan," jawab Asri enteng.

Mereka tertawa. Bahkan Dani, si ketua kelas yang jarang senyum, ikutan nyengir. Asri memang punya bakat sulap: mengubah kekurangan jadi bahan ketawa, mengubah malu jadi mainan sore hari.

Di jam istirahat, ia duduk di sudut koridor sekolah, membuka bekal dari ibunya. Nasi dingin, sambal terasi, dan tempe goreng. Tapi di ujung bekal itu, ada sebuah catatan kecil yang ditulis dengan pulpen merah:

“Semangat sekolah, Sri. Jangan malu. Jempolmu boleh nongol, tapi hatimu harus tetap sembunyi di balik kebaikan.”

Tulisannya agak miring. Mungkin Ibu menulis sambil mengejar waktu, atau sambil mengejar sabar yang makin menipis. Tapi pesan itu cukup untuk membuat Asri tersenyum kecil, mengunyah tempe pelan-pelan, dan berpikir bahwa kadang, sepatu bolong pun bisa membawa kita ke tempat yang paling tulus: rasa syukur.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #10 Sepatu Baru dan Rasa yang Aneh di Ujung Hati

Yang Tak Pernah Selesai Dalam Kepala [Puisi]

Yang Tak Pernah Selesai Dalam Kepala

Aku ini, Nak,
orang yang pandai sekali mendengar.
Pandai mengangguk—bahkan saat hati sendiri sedang menjerit minta dipeluk.

Orang-orang datang padaku.
Mereka bercerita tentang luka-luka mereka,
tentang ayah yang tak pernah pulang,
tentang ibu yang terlalu sering menangis di dapur,
tentang cinta yang patah di ujung pesan tak terbalas.

Dan aku duduk di situ,
jadi tempat sampah yang sopan.
Tempat luka dibuang dan ditinggal pergi.

Tapi tahu, Nak?
Orang macam aku ini...
kalau mau cerita balik,
malah diam.

Karena kami takut.
Takut dibilang cengeng.
Takut dianggap terlalu rumit untuk dimengerti.
Takut dicap beban,
oleh orang-orang yang katanya “ada buat kita.”

Akhirnya aku hanya duduk sendiri,
di pojok kepala yang ramai oleh suara-suara tak diucapkan.

Aku ini, Nak,
Yang kalau bilang “nggak apa-apa,”
itu bukan karena tak ada apa-apa,
tapi karena tak tahu harus mulai dari mana.


📖 Baca Puisi Lainnya:
🔗 Di Dalam Dingin

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung [Cerita Misteri]

Lukisan yang Terhubung

Aku menatap lekat-lekat foto yang masih tergenggam di tanganku, seolah berharap wajah-wajah di dalamnya akan menjawab teka-teki yang terus menghantuiku. Pria itu... wajahnya begitu mirip denganku, namun ada sesuatu yang berbeda—pancaran matanya, cara berdirinya, seolah ia membawa beban masa lalu yang tak kukenal, namun terasa akrab. Ibuku berdiri di sisinya, senyumnya kaku, tak seperti yang kuingat dalam kenangan masa kecilku yang samar.

Aku menuruni loteng dengan kaki yang nyaris tak menjejak lantai. Di ruang kerja, aku menyebar foto-foto dan catatan dari kotak tadi di atas meja. Satu demi satu kupelajari, hingga pandanganku tertambat pada secarik kertas lusuh—gambar tangan, sketsa kasar dari sebuah lukisan. Tidak ada judul, hanya guratan kuat dan bayangan gelap yang membentuk sosok tanpa wajah di tengah kanvas.

Ada sensasi aneh yang menjalar ketika aku menyentuhnya. Jantungku berdegup pelan namun mantap, seperti suara jam tua di ruang tamu yang telah lama tak kudengar. Ada ketertarikan yang tak bisa kutolak. Sketsa itu bukan hanya coretan, tapi jejak menuju sesuatu yang telah lama hilang.

Keesokan paginya, aku menemui Arman di galeri tempat ia bekerja. Galeri itu tenang, seperti museum kecil yang dijaga oleh waktu. Ia menyambutku dengan tatapan khawatir, tetapi tak banyak bicara. Aku menyerahkan sketsa itu padanya.

“Pernah melihat ini?” tanyaku.

Arman mengambilnya, meneliti dengan mata tajam seorang kurator berpengalaman. “Tekniknya... mirip gaya ekspresionis. Tapi ini bukan karya sembarangan. Ada semacam—keputusasaan—dalam goresannya.”

“Aku merasa pernah melihat lukisan ini. Tapi bukan dalam bentuk sketsa. Lukisan ini pernah ada, atau mungkin... masih ada.”

Ia menatapku serius. “Leo, kau sadar bahwa ingatanmu sedang bermain-main denganmu? Kau bisa saja menciptakan koneksi yang tak pernah benar-benar ada.”

“Tapi jika lukisan ini nyata, dan jika aku menemukannya, mungkin aku bisa mengurai benang kusut dalam pikiranku.”

Arman mengangguk perlahan, seperti seorang dokter yang tak yakin dengan diagnosisnya namun tak ingin mengecewakan pasien. Ia membuka laptopnya dan mulai mencari di basis data galeri. Setelah beberapa menit, ia menunjukkan sebuah foto digital.

“Itu... lukisan tanpa wajah,” desahku.

Lukisan itu tergantung di sebuah pameran dua tahun lalu. Keterangan mencantumkan nama pemilik: Leonard Baskara.

Aku.

Namun aku tak ingat pernah menyumbangkan karya itu ke pameran manapun. Bahkan aku tak ingat pernah melukisnya.

“Aku harus melihatnya langsung. Di mana lukisan itu sekarang?”

“Sudah ditarik dari pameran. Kembali ke pemilik. Ke rumahmu, Leo.”

Dunia seakan berhenti berputar sesaat. Lukisan itu—yang entah bagaimana menjadi pusat segala hal yang membingungkan ini—ada di rumahku. Dan aku tak pernah menyadarinya.

Arman menatapku lama sebelum berkata, “Aku akan ikut denganmu.”

Kami kembali ke rumahku menjelang sore. Langit mendung menggantung di atas atap, dan angin membawa aroma hujan yang tertahan. Aku membuka pintu dengan tangan gemetar, seolah akan memasuki ruangan asing meskipun ini adalah rumahku sendiri.

Kami menyusuri lorong yang sunyi, melewati ruang-ruang yang menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Sampai akhirnya, di ruang belakang, tersembunyi di balik tirai debu dan waktu, kami menemukannya.

Lukisan itu berdiri tegak di atas kuda-kuda tua. Sosok tanpa wajah, dikelilingi bayangan, seolah hendak keluar dari kanvas untuk menyampaikan sesuatu. Jantungku berdebar tak menentu. Ada gema dalam pikiranku—kilasan, desahan, suara-suara yang bukan milikku, namun terasa berasal dari dalam diriku.

Arman melangkah maju, memperhatikan detail lukisan dengan cermat. “Lukisan ini... seperti menyimpan sesuatu. Cerita. Tragedi.”

Aku hanya bisa mengangguk. “Dan mungkin, jawabannya ada di dalamnya.”

Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa masa laluku—betapa kelam dan menyakitkannya—sedang mencoba berbicara kembali padaku. Melalui warna, bentuk, dan ruang kosong pada wajah itu.

Dan aku harus mendengarkan.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung [Cerita Komedi Remaja]

Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

Rumah Asri bukan istana. Tapi di sana, ada drama yang tak kalah dari sinetron jam tujuh. Ada cinta, ada cemburu, ada tawa, ada juga teriakan kecil yang kadang bikin kuping merah.

Pagi itu, matahari baru setengah naik, burung gereja masih cerewet di atas genteng, dan suara wajan bertemu bawang putih mulai menggema dari dapur.

"Asriii! Bangun! Nanti kesiangan, lho!"

Suara ibunya membelah kesunyian pagi. Suara itu seperti alarm alami yang tak bisa di-snooze. Asri menggeliat di kasurnya yang sudah mulai tipis, menarik selimut sampai ke hidung, berharap bisa hilang dari radar ibu.

"Masih ngantuk, Bu... 5 menit lagi..." gumamnya, suara seperti orang di ujung dunia.

Tapi suara spatula membentur penggorengan adalah tanda bahwa 5 menit itu akan segera berakhir. Dan benar saja, tak sampai 3 menit, ibunya sudah muncul di depan pintu kamar, satu tangan membawa handuk, tangan lain menunjuk jam dinding.

"Kamu tuh, kalau sekolah kayak mau perang. Mana sepatu belum disikat, seragam belum disetrika, PR juga belum selesai, ya kan?!"

Asri bangun sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal. Wajahnya masih bantal semua.

"Udah kok, Bu... PR-nya tinggal dikit..."

"Dikit-dikit tapi belum selesai. Itu sama aja kayak masak tapi lupa garam. Nggak ada gunanya."

Dapur rumah itu kecil, tapi hangat. Ada aroma tumis kangkung bercampur sambal terasi yang mengambang di udara, menembus sampai ke ruang tamu. Di meja, sudah ada bekal dibungkus kertas minyak—nasi, telur dadar, dan irisan timun. Bekal sederhana, tapi dibuat dengan cinta dan sedikit keluhan.

Ayah Asri masih di depan televisi, menyesap kopi hitamnya yang diseruput keras. "Jangan bikin Ibu ngomel tiap pagi, Sri. Itu bisa memperpendek usia."

Asri menatap ayahnya, lalu ibunya. Mereka berdua seperti langit dan bumi—yang satu tenang, yang satu gemuruh. Tapi dari keduanya, Asri belajar bahwa hidup bukan soal jadi sempurna, tapi soal terus bangun pagi walau semalam ketiduran ngerjain PR.

"Sarapan, Sri. Jangan cuma mandangin nasi. Kalau lapar pas pelajaran, nanti gurunya dikira setan gara-gara kamu melamun."

Asri tertawa kecil. Mulutnya mengunyah nasi, matanya menatap luar jendela. Di luar sana, Jogja masih berkabut. Tapi di dalam sini, hatinya sudah mulai hangat.

Lalu muncul sosok yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamar yang menganga.

"Ibu, Asri tuh semalam tidur duluan, PR-nya malah aku yang bantuin ngerjain!" ujar Tari, kakak Asri, dengan nada setengah kesal tapi penuh rasa sayang yang dibungkus sindiran.

Tari, gadis remaja kelas dua SMP yang rambutnya selalu diikat dua seperti kupu-kupu yang sedang menari di belakang kepala. Ia muncul dengan buku PR Asri di tangan kiri, dan sisir di tangan kanan.

"Kak Tari lebay," gerutu Asri sambil mengunyah lebih cepat.

"Lebay-lebay juga, kalau bukan Kakak, kamu bisa kena semprot Bu Gurumu pagi ini."

Ibunya tertawa pendek sambil membalik tumis kangkung di wajan. "Ya sudah, Kak Tari, makasih ya bantuin adikmu. Tapi Sri, lain kali jangan nyusahin kakak terus. PR sendiri ya dikerjain sendiri."

Asri hanya mengangguk pelan. Di meja makan itu, tiga sosok berbeda duduk: seorang ibu yang penuh semangat, seorang ayah yang kalem seperti lagu keroncong, dan seorang kakak perempuan yang cerewet tapi penyayang.

Rumah itu mungkin sederhana, tapi bagai panggung kecil tempat opera kehidupan dimainkan. Ada tawa, ada teriakan, ada tangis yang kadang sembunyi di balik pintu kamar.

Rumah, meski sering diisi omelan, adalah tempat paling nyamannya di dunia.

Bersambung.....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #7 Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #9 Sepatu Butut dan Jalanan Berdebu

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿


LUKISAN TANPA WAJAH #6 Kilasan yang Mengganggu [Cerita Misteri]

Kilasan yang Mengganggu

Malam terasa semakin sunyi. Sejak membaca berita yang mengungkap namaku sendiri di dalam daftar orang yang telah meninggal, dadaku semakin sesak. Pikiran itu berputar tanpa henti, seperti pusaran air yang menelanku ke dalam kegelapan. Bagaimana mungkin aku membaca berita kematianku sendiri? Siapa yang telah mati dengan namaku?

Di ruang kerja yang penuh dengan berkas dan buku berserakan, aku duduk dengan tangan mencengkeram rambutku. Lampu redup memberikan bayangan samar di dinding, seolah-olah ada sosok lain yang diam-diam mengamatiku. Di meja, koran tua dengan tanggal yang pudar masih terbuka di halaman berita kriminal.

"Leonard Baskara, kolektor seni ternama, ditemukan tewas di kediamannya dalam kondisi mengenaskan. Polisi masih menyelidiki kasus ini, tetapi hingga saat ini belum ada petunjuk yang mengarah pada tersangka."

Aku menggeram, tanganku mengepal. Kalimat itu seakan menusuk pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin aku masih hidup jika berita ini benar?

Kilasan-kilasan samar kembali muncul dalam pikiranku. Sebuah ruangan gelap. Aroma cat minyak yang tajam. Suara gemerisik di kejauhan. Dan kemudian, kilatan pisau.

Aku terhenyak. Napasku memburu. Kenangan itu datang seperti serpihan kaca yang menusuk otakku. Sesuatu yang penting hampir kembali padaku, tetapi tetap buram, seperti lukisan yang setengah jadi.

Tak tahan dengan ketidakpastian, aku menghubungi Arman. Suara sahabatku terdengar lelah ketika menjawab panggilan.

"Leo? Kau baik-baik saja? Sudah larut malam."

"Arman, aku butuh bantuanmu. Kita harus menggali lebih dalam tentang berita itu. Siapa yang sebenarnya mati dengan namaku? Aku harus tahu."

Arman terdiam sejenak sebelum menjawab, "Baik. Aku akan mencari sumber lain. Mungkin ada laporan forensik atau catatan rumah sakit yang bisa memberi kita jawaban."

Aku mengangguk meskipun tahu Arman tidak bisa melihatnya. "Aku juga akan mencari petunjuk di rumah ini. Ada sesuatu yang terasa tidak beres."

Setelah menutup telepon, aku menatap ke sekeliling ruangan. Aku memutuskan untuk memeriksa kembali setiap sudut rumahku, mencari sesuatu yang mungkin bisa memicu ingatan yang lebih jelas.

Aku berjalan menuju loteng, tempat aku menyimpan barang-barang lama. Anak tangga kayu berderit di bawah langkahku. Saat mencapai pintu loteng, tanganku gemetar saat menyentuh gagangnya. Ada perasaan ganjil yang menyelimutiku, seperti aku akan menemukan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.

Dengan perlahan, aku mendorong pintu dan menemukan diriku berdiri di tengah ruangan penuh debu. Cahaya bulan masuk melalui celah-celah kayu, menerangi tumpukan kotak-kotak tua. Aku melangkah lebih dalam, mataku menyusuri rak-rak berdebu hingga berhenti pada satu kotak besar di sudut ruangan.

Aku menarik kotak itu dan membuka tutupnya. Di dalamnya, terdapat tumpukan kertas, buku catatan, serta beberapa foto lama yang sudah menguning. Dengan jantung berdebar, aku mengangkat salah satu foto dan menatapnya dengan seksama.

Di foto itu, seorang pria yang mirip denganku berdiri di samping seorang wanita yang tampak familiar. Mataku melebar saat menyadari siapa wanita itu—ibuku. Tetapi pria di sebelahnya...

"Apa ini...?" bisikku.

Rasa pusing mendadak menyerangku, dan kilasan ingatan kembali menghantam pikiranku. Aku melihat diriku di ruangan yang berbeda, duduk di kursi dengan tangan gemetar, memegang pisau berlumuran darah. Di depanku, seseorang tergeletak tak bergerak. Lukisan tanpa wajah tergantung di dinding, menatapku dalam keheningan yang mengerikan.

Kilasan itu lenyap secepat datangnya. Aku terhuyung ke belakang, keringat dingin membasahi pelipisku. Nafasku tersengal. Aku tak bisa lagi menyangkal—ada sesuatu yang hilang dalam hidupku, sesuatu yang mungkin lebih gelap dari yang aku kira.

Dan satu-satunya cara untuk menemukan jawabannya adalah dengan menggali lebih dalam, meskipun itu berarti menghadapi bayangan kelam dari masa laluku yang selama ini terkubur.

Bersambung....

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #5 Berita Pembunuhan [Cerita Misteri]

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 LUKISAN TANPA WAJAH #7 Lukisan yang Terhubung [Cerita Misteri]

Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

Asri SI BOCAH TENGIL #7 Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus [Cerita Komedi Remaja]

Diomelin Ibu Gara-Gara Jajan Terus

Siang itu Jogja panas bukan main. Matahari menyala-nyala, membakar aspal dan genteng rumah warga seperti sedang menguji kesabaran manusia. Asri pulang sekolah sambil menenteng tas yang lebih berat dari isi kantongnya. Keringat mengalir dari pelipisnya, tapi ada satu hal yang lebih mendesak dari panas matahari: lapar.

Lapar bukan karena belum makan. Tapi lapar karena liat gerobak cilok mangkal di depan warung Bu Slamet.

"Cilok... cilok... panas... gurih...!"

Suara si penjual cilok terdengar seperti musik surgawi di telinga Asri. Tanpa pikir panjang, ia berbelok, lupa daratan, lupa rumah, lupa janji ke ibunya buat hemat uang saku.

"Mas, cilok seribuan lima ya! Pake saus banyak, tapi cabenya dikit!" kata Asri sambil menyodorkan uang recehan dari saku bajunya.

Penjual cilok mengangguk bijak seperti pendeta yang tahu betul apa yang dibutuhkan umatnya. Asri menunggu dengan sabar, lidahnya sudah menari-nari membayangkan rasa kenyal dan pedas gurih cilok yang selalu bikin ketagihan.

Lima menit kemudian, Asri pulang dengan langkah lebih ringan. Perut senang, hati tenang. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama.

Begitu sampai di rumah, suara ibunya menyambut dari dapur, "Asri! Sini kamu!"

Nada suaranya tidak seperti biasanya. Ada getaran. Ada hawa panas yang tak kalah dari terik matahari tadi.

Asri masuk dengan langkah pelan, matanya mengintip ke arah dapur. Ibunya berdiri dengan tangan bertolak pinggang, alisnya naik sebelah, bibirnya mengerucut tipis-tipis seperti orang tahan napas.

"Kamu tadi jajan lagi ya?"

Asri terdiam. Diam yang lebih keras dari suara bising pasar. Tapi di wajahnya, ada sisa saus merah yang belum sempat ia bersihkan.

"Itu apa di pipimu? Saus cilok, ya Allah... Asri..."

Dan meledaklah omelan itu seperti petasan cap tikus dilempar ke dalam kaleng kosong.

"Kamu tuh, Ibu udah bilang berapa kali? Nabung! Nabung! Bukan jajan terus tiap hari! Uang jajan itu buat ditabung setengahnya, bukan buat beli cilok tiap pulang sekolah!"

Asri cengengesan. Tapi senyum itu segera luntur ketika melihat mata ibu yang berkaca-kaca, bukan karena marah, tapi karena lelah. Lelah mengulang nasihat yang sama.

"Ibu kerja ngumpulin uang buat kamu sekolah, bukan buat kamu foya-foya jajan. Cilok hari ini, es krim besok, mie ayam lusa. Besok-besok kamu minta ginjal ibu juga?!"

Asri tertunduk. Kata-kata ibunya lebih pedas dari cabai rawit.

"Maaf, Bu..." suaranya kecil seperti bisikan semut di dalam toples gula.

Ibunya mendesah, lalu merogoh saku celemeknya. Ia mengeluarkan dua lembar uang ribuan.

"Ini. Buat besok. Tapi inget, separuh masuk celengan. Kalau ibu dapet laporan dari warung Bu Slamet atau si Mas cilok itu, kamu puasa jajan sebulan. Ngerti?"

Asri mengangguk, matanya berkaca-kaca. Bukan karena sedih, tapi karena merasa dicintai dengan cara yang keras tapi jujur.

Sore itu, ia duduk di pojokan kamar, membuka celengan ayamnya yang mulai berat. Ia masukkan uang dari ibunya ke dalam sana, lalu tersenyum kecil.

Cilok itu enak.

Tapi pelukan ibu lebih mengenyangkan.

Bersambung...

📖 Baca Cerita Sebelumnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #6 Misteri Kotak Bekal yang Hilang

📖 Lanjut ke Cerita Berikutnya:
🔗 Asri SI BOCAH TENGIL #8 Rumah, Sebuah Opera Kecil Penuh Teriakan dan Aroma Tumis Kangkung

Dinding yang Tidak Mendengar [Cerita Horor Psikologis]

 Dinding yang Tidak Mendengar

Demi segala yang kudengar dan kusaksikan, aku bersumpah—aku bukan orang gila.

Aku waras, bahkan lebih waras dari mereka yang sibuk mengukur kewarasan dengan grafik dan catatan medis. Namun, biarkan aku menuturkan kisah ini sebagaimana mestinya, perlahan dan teliti, seperti aku menyusun kembali potongan ingatan yang telah lama kubenamkan ke dalam kegelapan.

Mereka bilang aku pendiam. Ya, itu benar. Tapi mereka tak tahu betapa riuhnya dunia yang hidup di dalam kepalaku—sebuah orkestra jeritan dan bisikan yang tak pernah henti, terutama saat malam mulai menekan dengan sunyi yang menyesakkan.

Aku tinggal di sebuah rumah tua yang diwariskan dari ibuku. Rumah itu besar, dengan lorong panjang yang menelan suara, dan jendela-jendela tinggi yang membiarkan bayangan malam masuk sepuasnya. Di sanalah aku menyendiri, menulis, membaca, dan—yang paling penting—mendengarkan.

Aku adalah pendengar yang baik. Terlalu baik, bahkan.

Selama bertahun-tahun, orang-orang datang padaku membawa cerita mereka. Luka-luka mereka seperti lukisan yang mereka bentangkan di hadapanku—aku tak punya pilihan selain menatap dan menyimpannya. Mereka menangis, tertawa getir, bergetar dalam kalimat yang setengah tak terucap. Dan aku? Aku duduk, diam, mencatat semuanya dalam pikiranku yang tak pernah benar-benar istirahat.

Namun, pernahkah kau berpikir, wahai pendengar, bahwa sebuah bejana pun bisa penuh? Bahwa dinding yang selama ini hanya menerima, suatu hari bisa mulai berbicara?

Aku mulai merasa aneh pada suatu malam, malam ke-37 dalam kalender kebisuanku. Aku sedang duduk di kursi tua yang menghadap jendela. Angin mendesir pelan, membawa aroma lembab dari tanah yang belum disentuh matahari seharian. Di luar, bulan setengah tergantung miring di langit seperti senyuman sinis seorang yang tahu rahasia.

Lalu aku mendengar suara itu.

Bukan suara jeritan manusia, bukan juga bisikan setan, tapi suara... tangisan. Namun tangisan itu datang bukan dari luar, melainkan dari dalam. Dari balik dinding rumahku—dinding tempat aku sering menyandarkan kepala ketika dunia terasa terlalu berat.

Aku terdiam. Mencoba menepis. Tapi suara itu kembali malam berikutnya. Dan berikutnya. Ia mulai menuntut perhatian, seperti bayi lapar yang tak puas hanya dengan pengabaian.

Pada malam ke-41, aku mulai bicara pada dinding itu.

“Kau menangis, ya?” bisikku.

Tentu saja dinding tidak menjawab. Tapi kurasa ia mendengar.

Sejak malam itu, aku mulai bercerita balik. Untuk pertama kalinya, aku menumpahkan isi kepalaku bukan kepada manusia, tapi kepada dinding. Aku ceritakan semuanya—tentang kelelahan jadi tempat pelarian, tentang rasa takut dianggap lemah, tentang semua pesan yang kutulis tapi kuhapus, dan tentang suara-suara di kepalaku yang terus mengatakan aku bukan apa-apa.

Dan sungguh, setelah itu, aku merasa lebih tenang.

Namun tenang itu fana.

Karena di minggu kedua aku bercerita, dinding itu mulai menanggapi. Bukan dengan kata-kata, melainkan dengan ketukan halus. Seperti kuku yang menggesek pelan papan kayu. Seperti detak jantung yang asing tapi akrab. Semakin lama aku bicara, semakin keras ketukan itu.

Aku tahu, aku seharusnya takut. Tapi aku tidak. Aku merasa... dimengerti.

Sampai pada malam itu. Malam ke-58.

Aku berbicara panjang lebar. Tentang seseorang yang dulu pernah membuatku percaya bahwa aku juga berhak bahagia. Seseorang yang datang dengan janji, lalu pergi dengan luka. Aku bicara tentang bagaimana aku menahan tangis di kamar mandi setiap malam, hanya agar tidak ada yang tahu aku sedang hancur.

Dan saat aku selesai, suara dari balik dinding itu tidak lagi mengetuk. Ia mengetuk dan... tertawa.

Tertawa kecil. Tertawa sinis. Seperti tawa yang sering kudengar di kepalaku sendiri—suara yang suka menyebutku lemah, pecundang, beban.

“Aku tahu kau tidak kuat,” bisiknya. “Tapi kenapa berpura-pura?”

Aku mundur. Dadaku sesak. Dinding itu kini memantulkan diriku sendiri, semua kebohongan yang kubangun demi terlihat baik-baik saja. Aku menjerit padanya.

“Diam!”

Tapi suara itu tidak diam. Ia justru membalas, dengan suara yang kini seperti suaraku sendiri. Ia menirukan setiap kalimat yang pernah kuucap pada orang lain: “Kamu harus kuat.” “Jangan nyerah, ya.” “Aku di sini kok.”

Kalimat-kalimat yang selalu kusebutkan, meski aku sendiri tak pernah benar-benar percaya.

Aku meraih palu dari bawah meja. Langkahku berat, tapi pasti. Aku berjalan menuju dinding itu, dinding yang telah terlalu banyak tahu, terlalu banyak menyimpan, terlalu banyak mendengar. Aku tak ingin ia tahu lagi.

Dengan hentakan penuh amarah dan ketakutan, aku memukulnya. Sekali. Dua kali. Puluhan kali. Debu berhamburan. Kayu pecah. Udara dipenuhi serpihan kenangan.

Dan di balik dinding itu—tak ada apa-apa.
Hanya gelap dan suara napasku sendiri.

Rumah menjadi sunyi. Dan aku duduk di lantai, memandangi kehancuran yang kubuat.

Tapi sejak saat itu, dinding tak pernah berbicara lagi. Tak pernah menangis. Tak pernah mengetuk.
Dan aku? Aku kembali mendengar cerita orang lain. Dengan senyum, dengan anggukan, dengan “aku ngerti kok.”

Hanya saja, sekarang, aku tahu.
Bahwa ada bagian dalam diriku yang telah kukubur bersama dinding itu.

Dan malam-malamku kembali sunyi.
Terlalu sunyi.


Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

DENDAM DI BALIK TARIAN [Drama Balas Dendam]

Aku mengenalnya sebagai Saraswati Arum, seorang koreografer tari klasik yang namanya bersinar di Yogyakarta. Ia bukan sekadar seniman, tetapi ikon yang dielu-elukan dalam dunia tari. Gerakannya halus bak angin yang menari di atas aliran sungai, suaranya lembut namun penuh wibawa. Orang-orang mengaguminya, menghormatinya, bahkan memujanya. Tapi bagiku, ia adalah perusak. Seorang pencuri.

Ia mencuri segalanya dariku.

Dulu, akulah yang berdiri di panggung itu. Aku, Arga Mahesa, adalah murid terbaik Sanggar Sekar Jagad. Langkah-langkahku presisi, tubuhku lentur, dan gerakanku nyaris sempurna. Aku selalu menjadi pusat perhatian, hingga Saraswati datang. Dengan kecantikannya, dengan senyumnya yang manis, dan dengan kebohongannya.

Ia mencuri tarianku.

Aku masih ingat malam itu, saat aku pertama kali mempersembahkan Tari Rara Ireng, sebuah koreografi yang kuciptakan sendiri. Gerakan yang terinspirasi dari mitologi Nyai Roro Kidul, penuh dengan tarikan kuat dan lenggokan yang menyerupai ombak. Aku mencurahkannya dari jiwaku sendiri. Tetapi di hari yang sama, Saraswati mengklaim bahwa tari itu adalah miliknya.

Ia mengatakan bahwa aku mencuri gerakannya. Bahwa akulah yang meniru dirinya. Dan semua orang percaya.

Mereka mengusirku dari sanggar. Mereka menyebutku peniru, plagiator, seseorang yang hanya berusaha menyaingi kejeniusannya. Aku dipermalukan di depan para seniman, ditertawakan dalam ruang yang dulu kuanggap rumah. Saraswati tetap tersenyum, seolah tak bersalah.

Tahun-tahun berlalu, dan aku hanyalah bayangan dari kejayaan yang dulu kupunya. Aku hidup dalam keheningan, sementara Saraswati semakin bersinar. Tari Rara Ireng menjadi mahakaryanya, namanya diukir dalam sejarah seni Yogyakarta. Dan aku? Aku hanya seorang pria yang namanya terhapus dari dunia tari.

Namun, malam ini segalanya akan berubah.

Malam ini, aku akan mengambil kembali apa yang menjadi hakku.

**

Aku tahu bahwa membunuh Saraswati tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Ia bukan wanita lemah yang mudah ditaklukkan dengan kekuatan fisik, dan aku tidak ingin meninggalkan bukti sedikit pun. Tidak, kematian Saraswati harus terlihat seperti kecelakaan murni—sebuah kebetulan tragis yang akan disesali orang-orang, bukan sebuah pembunuhan yang memancing kecurigaan.

Untuk itu, aku harus memanfaatkan dua hal: pendopo tempat ia berlatih dan kebiasaannya sendiri.

Mengamati Kebiasaannya

Aku telah mengamati Saraswati selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ia selalu berlatih sendiri setiap malam di pendopo terbuka, bangunan khas Jawa dengan pilar-pilar kayu jati yang menopang atapnya. Lantainya terbuat dari tegel lawas yang sering terasa licin saat terkena lembab, karena pendopo ini terletak di halaman luas dengan taman di sekelilingnya.

Aku juga tahu satu hal penting: Saraswati sering berlatih dengan kain sampur panjang yang ia lilitkan di pinggangnya. Kain ini sering menjuntai ke lantai saat ia menari, melambai-lambai mengikuti gerakannya.

Aku bisa menggunakan ini untuk merancang kematiannya.

Merancang Perangkap

Malam sebelum eksekusi, aku menyelinap ke dalam pendopo dengan kunci duplikat yang sudah kupersiapkan. Aku membawa dua alat sederhana:

  1. Benang pancing tipis namun kuat

  2. Minyak kelapa

Aku mengikat benang pancing setinggi mata kaki di antara dua pilar kayu di sisi pendopo, tepat di area tempat Saraswati sering melakukan gerakan putaran. Dengan pencahayaan lampu minyak yang remang-remang, benang ini nyaris tak terlihat.

Setelah itu, aku mengoleskan lapisan tipis minyak kelapa pada beberapa bagian lantai tegel, terutama di area yang berada di depan benang pancing. Lapisan ini tidak terlihat, tetapi begitu terkena tekanan dari telapak kaki, permukaannya menjadi sangat licin.

Aku memastikan semua tampak alami, seolah-olah tidak ada yang berbeda di pendopo itu. Setelah semua persiapan selesai, aku pergi dengan tenang.

Eksekusi: Malam Tarian Terakhir

Seperti yang kuduga, Saraswati datang sendirian malam itu. Dari balik bayangan pilar, aku memperhatikan ia mulai menari. Gerakannya tetap anggun, meskipun tubuhnya bergerak semakin cepat mengikuti irama gamelan yang ia putar dari pemutar kaset tua. Ia mulai tenggelam dalam ritmenya, tanpa menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhirnya.

Saat ia berputar dengan cepat, ujung kain sampurnya tersangkut pada benang tipis yang kupasang.

Tubuhnya tersentak ke belakang. Ia kehilangan keseimbangan seketika. Kakinya berusaha mencari pijakan, namun justru menginjak lantai yang telah kuolesi minyak kelapa.

Kaki Saraswati terpeleset.

Dalam sekejap, ia terhempas ke belakang dengan posisi kepala lebih dulu menuju anak tangga batu di sisi pendopo.

Brak!

Bunyi dentuman keras memenuhi udara saat tengkoraknya membentur sudut tajam anak tangga batu. Seketika, darah mengalir dari pelipisnya, merembes di antara celah tegel yang telah usang. Matanya yang lebar menatap kosong ke langit-langit, tubuhnya mengejang sekali sebelum akhirnya diam selamanya.

Aku tetap bersembunyi di balik pilar, mendengarkan keheningan yang mengikuti suara hantaman itu. Tidak ada erangan, tidak ada perlawanan. Hanya sunyi.

Aku menunggu beberapa menit sebelum akhirnya mendekat. Saraswati sudah tak bernyawa. Kulitnya mulai pucat, darahnya menggenang di lantai.

Aku berlutut di sampingnya dan berbisik di telinganya, "Kau mencuri tarianku. Kini aku mengambil kembali segalanya."

Sebelum pergi, aku menarik benang pancing dan menyimpannya di saku. Tak ada yang bisa menemukan alat pembunuhannya. Lantai yang licin akan dianggap sebagai penyebab utama kecelakaan, dan posisi jatuhnya yang tepat ke arah anak tangga akan meyakinkan siapapun bahwa ini bukan hasil sabotase.

Dengan langkah ringan, aku meninggalkan pendopo. Di luar, angin malam berhembus, menggoyangkan pepohonan di taman. Bulan pucat bersinar di langit, menyaksikan dosa yang baru saja kulakukan.

Malam ini, aku akhirnya menari kembali.

**

Aku tahu bahwa membunuh hanyalah sebagian dari rencana. Hal yang lebih sulit adalah memastikan aku bukan tersangka.

Aku berjalan menuju gang kecil di belakang pendopo, melewati pagar bambu yang biasa digunakan untuk keluar masuk para murid Saraswati. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Jaket hitam yang kupakai langsung kulepas dan kumasukkan ke dalam plastik. Sarung tangan tipis yang tadi kupakai pun kulepas. Tak boleh ada sidik jariku di mana pun.

Dari gang itu, aku menyelinap menuju jalan utama dan masuk ke dalam sebuah warung kopi langgananku, tepat di seberang pasar. Tempat ini selalu ramai, dengan suara gelak tawa, dentingan gelas, dan aroma kopi yang pekat. Sempurna untuk sebuah alibi.

Aku melangkah masuk dan langsung disapa oleh pemilik warung, Pak Darto.

“Hei, Mas Arga! Tumben malam-malam begini?”

Aku tersenyum santai, menyesap udara malam yang dingin. “Iya, Pak. Lagi nggak bisa tidur. Kopi hitam seperti biasa, ya.”

Pak Darto tertawa. “Wah, Mas ini memang nggak berubah. Duduk, duduk.”

Aku memilih duduk di sudut, cukup dekat dengan beberapa pelanggan lain yang tengah berbincang riuh tentang pertandingan sepak bola. Aku melirik jam tanganku. 22.30 WIB. Kematian Saraswati terjadi sekitar 15 menit yang lalu.

Tepat setelah kopi diantarkan, aku sengaja mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan di grup kerja.

"Ada yang masih bangun? Lagi suntuk nih."

Pesan itu adalah penanda keberadaanku di tempat ini. Beberapa menit kemudian, dua rekanku membalas.

"Woi, begadang mulu lu!"
"Sini ngobrol di Discord, gue juga belum tidur."

Aku tersenyum kecil. Sempurna.

Aku menghabiskan kopi perlahan, berbincang dengan beberapa pelanggan yang kukenal. Setelah satu jam berlalu, aku membayar dan meninggalkan warung. Sekarang, aku adalah pria biasa yang hanya menghabiskan malam dengan secangkir kopi, bukan seorang pembunuh.

**

Keesokan paginya, Yogyakarta masih diselimuti embun ketika terdengar jeritan menggema dari arah pendopo.

Seorang murid tari yang datang lebih awal menemukan tubuh Saraswati tergeletak dalam genangan darah. Orang-orang segera berkerumun, terkejut, bingung, tak percaya.

“Bu Guru… jatuh dari tangga?”

“Tapi kenapa bisa sampai begini?”

Polisi datang tak lama kemudian. Garis kuning dipasang, menghalangi warga yang penasaran. Beberapa petugas mulai mengamati tempat kejadian, sementara yang lain bertanya pada murid-murid dan orang-orang yang terakhir kali melihat Saraswati hidup.

Dari jauh, aku berdiri di antara kerumunan, wajahku menampilkan ekspresi kaget dan sedih. Seolah-olah aku sama sekali tak tahu bahwa aku adalah dalang dari semua ini.

Beberapa jam kemudian, aku mendapat kabar bahwa penyelidikan awal menyimpulkan bahwa kematian Saraswati adalah kecelakaan. Diduga, ia terpeleset karena lantai yang licin, dan jatuh membentur anak tangga batu.

Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Tidak ada barang yang hilang. Tidak ada bukti pembunuhan.

Namun, aku tahu lebih baik dari siapa pun: itu bukan kecelakaan. Itu adalah keadilan.

**

Hari-hari berlalu, dan kematian Saraswati mulai meredup dari perbincangan publik. Beberapa orang mengadakan upacara penghormatan, beberapa muridnya menangis selama berhari-hari, namun waktu selalu menjadi obat. Mereka melupakan.

Tapi aku tidak.

Aku kembali menari.

Aku kembali menguasai panggung yang dulu direbutnya dariku.

Aku adalah penari yang hampir tenggelam karena Saraswati. Aku adalah orang yang dikhianatinya, yang diremehkannya. Aku adalah murid terbaik yang dibuangnya hanya karena aku menolak tunduk pada aturan-aturannya.

Aku yang seharusnya menjadi bintang. Aku yang seharusnya mendapat tempat itu. Tapi ia merebutnya dariku, menghancurkan mimpiku dengan keangkuhannya.

Kini, aku berdiri di atas panggung yang seharusnya milikku. Tanpa bayangannya lagi.

Tapi…

Di sudut cermin studio, aku melihat sesuatu. Bayangan Saraswati.

Ia berdiri diam, menatapku. Matanya kosong, kulitnya pucat, dan bibirnya melengkung dalam senyum samar.

Aku menutup mata, mengatur napas. Itu hanya imajinasiku, bukan? Itu hanya…

Namun saat aku membuka mata lagi, bayangannya masih ada di sana.

Aku merasakan bulu kudukku meremang.

Lalu, suara lirih terdengar di telingaku.

“Tarianmu indah, Arga. Tapi aku masih di sini.”

Aku terpaku. Aku ingin berlari, ingin menjerit, ingin menyangkal bahwa semua ini hanyalah permainan pikiranku.

Tapi aku tahu…

Beberapa tarian tidak akan pernah berakhir.



Jika kamu menikmati kisah-kisah yang kutulis di blog ini dan ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, kamu bisa memberi dukungan lewat:

 Karyakarsa
🍩 Trakteer

Dukunganmu akan jadi bahan bakar untuk menulis lebih banyak kisah, lebih jujur, lebih hidup.
Terima kasih sudah membaca, menemani, dan memberi ruang untuk cerita-cerita ini tumbuh. 🌿

LUKISAN TANPA WAJAH #12 Pintu Kedua [Cerita Misteri]

 Pintu Kedua Kabut malam kembali turun dengan pekatnya, seperti tirai tipis yang mengaburkan batas antara nyata dan mimpi. Saat aku membuka ...